Lilja And Linus: A Short Story


"You are like a big brother to me."

Sebuah kalimat dari Lilja terus-menerus terngiang di kepala Linus. Kalimat yang, selamanya, tidak pernah ingin didengar oleh Linus. Dengan mengatakan itu, maka berarti Lily—begitu Lilja biasa dipanggil—tidak akan pernah mau menjadi kekasihnya, walaupun Linus menyatakan cinta jutaan kali. Bertahun-tahun Linus menunjukkan perhatian, sayang dan segalanya, pada akhirnya Linus hanya dianggap kakak? Getting brotherzoned lebih menyakitkan daripada getting friendzoned. Dianggap seperti kakak, Linus tertawa pahit, apakah saat Linus menciumnya, Lily akan merasa dia sedang melakukan inses?

Big brother? Kalau Linus tidak mendapatkan Lilja sebagai kekasihnya, sebaiknya tidak sama sekali. Tidak perlu bersahabat. Tidak perlu bertingkah seperti kakak dan adik.

Semenjak dua bulan yang lalu, Linus sudah berhenti menghubungi Lily. Tentu saja Lily tidak tinggal diam. Lily terus menghubungi dan mencari Linus. Namun Linus memilih tidak peduli. Linus tidak akan menghambakan dirinya pada Lily, yang jelas-jelas tidak tertarik padanya, apalagi mencintainya. Untuk apa? Dijadikan kuli angkut saat Lily pindah ke apartemen barunya? Atau disuruh menemani Lily ke mana-mana? Tidak. Linus tidak sebodoh itu. Masa bodoh dengan perjanjian di antara ibu Linus dengan ibunya Lily. Mereka berdua sama-sama 'menitipkan' Lily kepada Linus, untuk dijaga selama mereka sama-sama kuliah di Jerman.

Tidak. Lily sudah dewasa. Bisa menjaga dirinya sendiri. Linus tidak mau menjadi satpam, atau bodyguard, tanpa mendapatkan ganjaran yang dia ingingan. Mendapatkan Lily—termasuk hati dan cintanya.

Linus mendengus keras. Tidak ada kalimat yang menyakitakan selain 'you are like a brother to me' yang keluar dari bibir wanita yang kita cintai. Kalimat paling kejam di antara semua kalimat yang digunakan wanita untuk menolak laki-laki. Karena you are like a brother to me adalah sebuah kode dari kalimat sebenarnya,"I love you but I will never kiss you." Tidak ingin seseorang pergi dari hidup, namun juga tidak mau memberi tempat di hati. Sungguh sangat tidak manusiawi. Lakukan itu kepada siapapun laki-laki di dunia ini dan kalian akan membunuh hati mereka.

Wanita tidak manusiawi itu baru saja mengirim pesan. Linus hanya membacanya, sama sekali tidak berniat membalas.

You' re one-quarter of the way to turning a century old! Happy 25th birthday!

Dua lima tahun dan sedang patah hati. Linus menertawakan dirinya sendiri. Walaupun, dia tahu seharusnya dia bersyukur hari ini. Sudah banyak pencapaian yang diraih Linus sepanjang hidupnya; kuliah di salah satu kampus terbaik di Eropa, lulus SGP—Siemens AG Graduate Program dan sekarang bekerja membuat lokomotif kereta cepat Vectron di plant milik Siemens AG di Allach, Munich. Linus juga mendatangi banyak negara Afrika untuk memuaskan jiwa petualangannya, roadtrip ke Rusia dan banyak lagi. Lima tahun yang lalu Linus tidak pernah menyangka bahwa dia akan sampai di titik ini. Titik yang dimimpikan banyak orang seusianya. Namun sayang, di titik ini juga, Linus harus melupakan impian terbesarnya. Menikah dengan Lily.

Rangkaian pemikirkan Linus terpotong oleh bunyi telepon. Lily. Linus menghela napas. Kalau tidak diterima, Lily akan semakin rajin mengganggunya.

"Halo," sapan Linus dengan malas.

"Hi, birthday boy. How about birthday dinner?" Lily menawarkan dengan ceria.

"Aku sibuk hari ini."

"Hari Sabtu begini sibuk juga?"

Linus tidak mengatakan apa-apa.

"Linus, pokoknya kita harus ketemu malam ini. Udah lama kita nggak ketemu."

"Sudah kubilang a—" Linus tidak sempat mendebat, sebab Lily sudah memutuskan sambungan terlebih dahulu. Untungnya, Lily tidak menyebut mereka akan bertemu di mana. Jadi Linus punya alasan untuk tidak datang.

Masih lekat di ingatan Linus saat dia mengungkapkan perasaan kepada Lily. Pada suatu sore setelah Linus membantu Lily pindah dari apartemen lamanya. Lilja ingin tinggal di gedung yang sama dengan Linus. Apa lagi tujuannya, kalau bukan untuk merepotkan Linus? Mereka duduk bersama, kelelahan, dan Lily mentraktir Linus minum kopi.

"Makasih banyak ya, Linus. Kalau ada kamu, rasanya seperti ada Mikkel di sini. Kamu sama seperti Mikkel, baik banget." Lily tersenyum senang.

Rahang Linus mengeras kala itu, karena perhatian dan kasih sayangnya disamakan dengan Mikkel, kakak kandung Lily.

"Aku berbeda dengan Mikkel. Kapan kamu akan mulai melihatnya? Memangnya Mikkel pernah menciummu sampai kakimu lemas dan kamu kehabisan napas?"

Pipi Lily merona, membuat Linus ingin mencium Lily lagi. Ciuman pertama mereka dilakukan tiga jam sebelumnya, ketika Linus membersihkan debu yang menempel di ujung hidung Lily—Lily sedang menyapu salah satu sudut apartemen barunya. Linus berani mempertaruhkan gajinya selama setahun, bahwa dialah laki-laki pertama yang berani mencium Lily. Mungkin akan menjadi satu-satunya laki-laki yang pernah mencium Lily, sampai sepuluh tahun ke depan.

Lily adalah satu-satunya anak perempuan di keluarganya, dengan dua kakak laki-laki dan ayah yang sama garangnnya. Tidak ada laki-laki yang berani mendekati Lily karena Lily punya barisan keamanan yang siap menghalau para setiap laki-lai. Hanya karena sebuah keberuntungan kecil, orangtua Linus berteman dengan orangtua Lily, Linus bisa berteman dekat dengan Lily. Linus aman sebab keluarga Lily menganggap Linus tidak lebih dari salah satu aparat yang bertugas mengamankan Lily.

"Aku mencintaimu, Lily. Bukan seperti Mikkel mencintaimu. Aku menginginkanmu menjadi kekasihku, bukan adikku," Linus mengatakan dengan sangat jelas sore itu.

Linus tidak mau lagi menyimpan perasaannya terlalu lama. Atau menunggu Lily menyadari sendiri. Itu hanya akan membuatnya semakin gila. Mulai sekarang dan seterusnya Lily tidak boleh menganggapnya sebagai kakak lagi. Atau sahabat. Kalau Liliy tidak mau menjadi kekasih Linus, tidak perlu ada hubungan apa-apa di antara mereka.

"Linus ... aku ... kita sudah lama bersama. Sejak kita masih kecil. Sejak aku lahir. Aku menyayangimu, selalu menyayangimu. Mencintaimu. Tapi aku nggak tahu apa ... kamu ... You are like a big brother to me."

Keluarlah kalimat terkutuk itu dari bibir Lily. Sebuah kalimat yang sangat tidak ingin didengar Linus. Parahnya, Lily mengatakan kalimat itu sambil tersenyum, sama sekali tidak sadar bahwa dia baru saja menginjak-injak pohon harapan milik Linus.

Baiklah. Kalau Lily menginginkan makan malam, hari ini dia akan mendapatkannya. Makan malam terakhir mereka. Di mana Linus akan menegaskan bahwa mereka tidak bisa lagi menjalani persahabatan seperti dulu.

Birthday dinner. Umurnya sudah 25 tahun. Bukannya merayakan dengan kekasih, malah merayakan dengan adiknya. Adik. Hari Sabtu yang paling menyedihkan dalam hidup Linus. Tetapi Linus tetap menyambung internet dan memesan tempat di restoran mahal di hotel di pusat kota. Demi mengakhiri semua rasa sakit ini/

"Little sister? Cute." Linus mendengus.

Linus tidak pernah punya adik. Baik biologis maupun tidak.

***

Lily duduk berhadapan dengan Linus, yang malam ini terlihat semakin luar biasa. Memang Linus berulang tahun. Namun Linus tidak bertambah tua, Linus hanya semakin mempesona. Banyak wanita bahkan terang-terangan mengamati ketika Linus berjalan melewati mereka, membimbing Lily menuju ke meja yang telah dipesan sebelumnyanya. Siapa yang bisa menyalahkan mereka? Sulit memalingkan pandangan kalau sudah menatap Linus.

Karena Linus terlihat berbeda di sini. Kulit Linus seperti kulit orang Asia, tidak putih, tapi Linus tinggi besar seperti ayahnya. Ditambah Linus bermain sepak bola semi profesional di sini. Warna rambut dan mata Linus juga berbeda dengan kebanyakan orang yang mendominasi negara ini. Masalah wajah jangan ditanya. Yang paling mengesankan dari Linus adalah tindak-tanduknya. Sangat penuh percaya diri. Linus tidak pernah bejalan dengan cepat, seperti dia tahu seisi dunia rela menunggunya. Tatapan mata Linus penuh keberanian dan ... dan bagi Lily, itu seksi sekali.

"Kamu nggak suka tempatnya?" Linus bertanya karena Lily diam saja sejak tadi.

"Suka." Lily mencoba tersenyum. Kepercayaan diri Lily menguap ketika menyapa betapa luar biasanya Linus malam ini. Linus. Satu-satunya laki-laki yang menyatakan cinta kepadanya. Laki-laki pertama yang menyatakan cinta padanya.

"Sepertinya ini ulang tahun terbaik selama hidupku."

Jantung Lily hampir meloncat dari rongganya melihat Linus tersenyum tipis.

"Aku belum beli kado."

"Kamu mau duduk di sini bersamaku sudah jadi kado paling baik darimu."

"Tetap saja aku harus beli kado, Linus."

"Masih ada ulang tahunku tahun depan, sepuluh tahun lagi dan mungkin ulang tahunku yang ketujuh puluh."

"Kita ... nggak selamanya bisa bersama seperti ini." Lily menggumam sambil meremas-remas tangannya.

"Kenapa begitu? Kenapa kita tidak bisa bersama selamanya?" Linus menatap Lily dengan tajam.

"Eh... mungkin ... nanti kamu akan menikah dengan wanita yang ... mencintaimu, nggak mungkin aku terus duduk denganmu seperti ini...."

"Kenapa kamu nggak mau mencintaiku?"

"Linus, aku ... kamu seperti kakak buatku. Aku—"

"Jadi kamu tetap mau bilang kamu nggak mencintaiku?" potong Linus.

"Aku mencintaimu, Linus, seperti aku mencintai...."

"Mikkel. Aku sudah tahu. Boleh aku meminta kadoku sekarang, Lily?"

"Oke, nanti aku belikan."

"Untuk hadiah ulang tahunku, aku ingin kamu belajar mencintaiku. Cinta seorang wanita dewasa kepada laki-laki dewasa. Bukan antarsahabat atau kakak kepada adiknya."

"Maafkan aku, Linus. "

Kadang hidup memang memang tentang seseorang yang kita inginkan, tapi mereka tidak menginginkan kita. Cinta baru akan menjadi cerita bahagia jika terjadi timbal balik, kedua belah pihak memiliki perasaan sama. Seperti cinta kedua orangtua Linus. Namun bagaimana kalau salah satu tidak merasakan hal yang sama? Maka seberapa keras pun kita menginginkan seseorang mencintai kita, kita tetap dihadapkan pada patah hati. Kita tidak akan bisa mencapatkan mereka, sebagai kekasih atau pasangan hidup.

Apa yang harus dilakukan saat seseorang yang kita inginkan tidak menginginkan kita?

"Forget her, let her go!" Linus memerintah dirinya sendiri.

***

Sejak tadi Lily hanya bergerak-gerak gelisah di tempat tidurnya. Kantuk tidak kunjung datang. Benaknya sibuk memikirkan komunikasinya dengan Linus, yang kini sudah putus. Tidak, Linus tidak mengeblok Lily dari segala jalur komunikasi. Hanya Linus tidak pernah lagi antusias bicara dengan Lily. Pikiran Lily tercabik antara ingin menelepon Linus atau menahan gengsi; masa sudah menolak cinta Linus, masih juga berharap Linus meladeninya.

Lily menarik napas dan menguatkan tekad. Persahabatannya dengan Linus, yang sudah berjalan dua puluh tahun, tidak boleh berakhir. Hanya karena mereka tidak saling mencintai, mereka tidak boleh mengorbankan hubungan baik yang mereka miliki.

Lily menggapai ponsel di meja. Mendapatkan maaf dari Linus, dan mendapatkan kembali sahabat terbaiknya, seharusnya selesai dengan satu panggilan saja. Angkat, Linus, angkat. Dalam hati Lily bergumam. Tidak mungkin Linus sudah tidur. Mungkin masih main game. Atau menonton pertandingan sepak bola.

"Ya?" Sebuah suara yang sangat dirindukan Lily menyahut.

"Gimana... kabarmu...?" Lily bersusah-payah mengeluarkan suaranya. Sudah begitu pertanyaan yang keluar dari bibirnya tidak kalah payah.

"Apa kamu merindukanku?" Alih-alih menjawab, Linus malah bertanya.

"Kamu sahabatku, Linus, tentu—"

"Apa kamu merindukanku? Bukan rindu kepada sahabat, tapi kepada kekasih."

"Aku...." Lily menggigit bibir bawahnya. Hatinya ingin mengatakan iya.

"You never had a slight feeling for me? That you are missing me?" Linus terus mendesak. "Kuberitahu kamu sesuatu, Lily. Jangan melakukan ini lagi. Menelepon laki-laki, hampir tengah malam, hanya untuk menanyakan kabarnya? Kamu tahu apa artinya itu?"

Lily menggeleng walaupun tahu Linus tidak bisa melihatnya.

"That means 'I miss you ... I really, really love you, that I can't wait to tell you'. 'I have that feeling for you'. Kalau kamu tidak mencintaiku, tidak merindukanku, jangan meneleponku malam-malam lagi. Lakukan siang hari, seperti teman-temanku yang lain."

Lily menahan sesak di dada. Air matanya mengalir jatuh. Benar apa yang dikatakan Linus. Tidak ada wanita yang menelepon seorang laki-laki, di atas jam sepuluh malam, jika laki-laki tersebut tidak istimewa. Jika wanita itu tidak merindukannya, tidak bisa menunggu besok untuk mendengar suaranya.

Lily menutup wajah dengan bantal. Apakah dia baru saja kehilangan Linus? Sahabat terbaiknya? Laki-laki yang mencintainya? Apa Linus sangat membencinya sekarang? Saat bicara tadi, suara Linus tegas dan dingin, tidak penuh canda dan hangat seperti dulu. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dibenci oleh orang yang dia sayangi.

"Jangan pernah memberikan sinyal yang salah kepada laki-laki, Lily," kata Linus sebelum mengakhiri sambungan.

"Jangan tinggalkan aku, Linus." Lily berbisik pada udara kosong. "Aku nggak bisa hidup tanpa kamu...."

***

"Linus...." Lily mendekat Linus yang sedang membuka pintu apartemennya. Semenjak tadi Lily sudah berdiri di lorong ini menunggu Linus.

"Ya?"

Lily gentar ketika mendengar jawaban yang, lagi-lagi, terlalu singkat dari Linus. Seperti Linus tidak ingin berbicara dengannya. Tidak ada waktu untuk menanggapinya.

"Aku mau bicara...." Lily memberanikan diri, demi mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan apa yang mengganjal di hatinya.

"Bicara saja."

"Apa ... apa kita bisa berteman seperti dulu lagi?" Lily menggigit bibir bawahnya.

"Menurutmu?"

Lily diam tidak menjawab.

"Aku menyatakan cinta kepadamu dua kali dan kamu menolak. Apa menurutmu aku akan mau berteman denganmu lagi?"

Jawaban Linus membuat Lily menangis. Lily tahu Linus sakit hati dengan penolakannya. Tetapi bukankah lebih baik Linus sakit hati sekarang daripada nanti, ketika rasa cinta itu semakin besar dan membuat semakin sakit dan sulit, karena Lily tetap akan menganggap Linus sebagai kakaknya? Salah satu kakak laki-lakinya?

"Jawabannya tidak, Lily. Aku nggak bisa berteman denganmu lagi. Aku sudah mempertaruhkan semua harga diriku untuk menyatakan cinta, dan kamu menolak. Lalu kamu berharap aku memperlakukanmu sebagai teman?"

***

Botol air minum di tangan Linus terlepas. Linus berdiri mematung, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi pada dirinya saat ini. Pada bibirnya, lebih tepatnya. Sepasang lengan kini mengalung di lehernya. Wangi tubuh dan rambut yang sangat dikenalnya menyapa hidungnya.

Tiba-tiba saja Lily menghambur ke arah Linus. Dan mencium Linus dengan penuh perasaan. Di tempat umum. Di pinggir lapangan bola. Teman setim Linus bersorak-sorak dan bersiul-siul memberi semangat. Lily, yang kini sudah melepaskan bibirnya dari bibir Linus, menundukkan kepala dalam-dalam.

Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas, Linus merapatkan tubuhnya ke tubuh Lily, memangkas jarak di antara mereka. Lily memejamkan mata dan mendesah bahagia.

"I missed you, Linus. So much." Lily menginginkan Linus. Bersama Linus, Lily merasa dicintai, diinginkan, dan dipuja.

"I know, Princess." Linus mencium bibir Lily lagi, sebentar saja.

"Siapa cewek yang sama kamu kemarin?" Lily memberanikan diri menatap wajah Linus.

"Yang mana?"

"Yang ke mana-mana sama kamu itu." Lily menjawab ketus.

Ah, ternyata Lily sempat melihat Linus bersama teman kencannya. Tentu saja Linus menerima ajakan kencan, demi bisa melupakan Lily secepatnya.

"My date." Linus menjawab

"Date?!" Lily menjerit tidak percaya.

"Kenapa? Cemburu?"

"Kamu harus putus sama dia. "

"Kenapa? Aku lebih suka punya pacar daripada jomlo."

"Aku ... mau jadi pacar kamu...." Lily menjawab pelan sambil menunduk.

Setelah melihat Linus bersama wanita itu, yang sangat cantik, hati Lily sakit sekali. Lily tidak rela melihat Linus tertawa bersama wanita lain. Setelah sekilas melihat Linus duduk di kafe bersama wanita lain, Lily menangis semalaman. Namun rasa sakit di hatinya tetap tidak hilang. Setelah lelah menangis dan tidak mau lagi menangis di kemudian hari, Lily mendatangi Linus di sini. Semoga saja dia belum terlambat.

"Bukannya kamu cuma mau jadi adikku?"

Lily menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Linus, please..."

"Apa yang kamu inginkan, Lily?"

***

"Kamu nggak ingin mengatakan sesuatu padaku?" Linus mendekati Lily yang sedang duduk di dapur di apartemen Linus. Tergesa-gesa Linus membawa Lily ke sini, karena Linus perlu mandi setelah main bola, sebelum memeluk dan mencium Lily. Dan menghindari olokan teman-teman Linus.

"Aku mau minta maaf, Linus." Hati Lily lega Linus kembali hangat kepadanya.

"Bukan itu yang ingin kudengar." Linus mendekat, berdiri di sebelah kananya.

"Eh?" Wajah Lily memerah.

"Katakan, Princess." Suara seksi Linus tepat berada di atas kepala Lily.

"I love you." Lily semakin menunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah.

Linus menarik kepala Lily ke dadanya. Ini adalah satu kalimat yang paling ingin didengar Linus. The three little words. Lily sudah mengakui perasaannya dan mengatakan cinta. Linus selalu siap menghadapi tantangan apa pun yang ada di depannya. Tetapi bersama Lily, Linus merasa seribu kali lebih kuat.

***

Enam tahun telah berlalu semenjak perasaan Linus terbalas. Tidak perlu waktu lama bagi Linus untuk meyakinkan Lily agar bersedia menikah dengannya. Pernikahan mereka berjalan dengan indah, Sangat indah. Sebelum semuanya berubah pada tahun keenam.

Di sinilah Linus berdiri sekarang, di depan pintu sebuah tempat yang dulu selalu disebutnya rumah. Di dalam rumah itu pernah ada wanita yang dicintainya, wanita yang sudah dikenalnya hampir sepanjang umurnya. Yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah menatap angka merah samar di atas pintu lift. Lift itu semakin turun, semakin jauh membawa Lily dari hidupnya. Sudah tujuh tahun Linus bekerja membuat lokomotif kereta cepat yang dipakai di banyak negara; Austria, Rumania, Republik Ceko, Slowakia, dan banyak negara lagi.

Kontras dengan itu semua, dia malah menghancurkan kereta kehidupannya sendiri. Rangkaian gerbong kehidupan dengan keluarga kecilnya yang berharga. Perasaan nelangsa saat membuka pintu flat kembali dirasakannya. Jika sebelumnya Linus tidak akan melihat Lily yang dulu dikenalnya, kali ini Linus benar-benar tidak akan melihat Lily, dalam sosok apa pun, di dalam sana. Hanya kekosongan yang menyambutnya. Suasana lengang yang menyesakkan dada.

***

Baca Selengkapnya Kisah Lily dan Linus dalam novel When Love Is Not Enough. Tersedia di Gramedia Digital, Google Play, maupun fasilitas membaca bersubsidi di Ipusnas. Terima kasih karena kamu sudah menjadi pembaca yang bermartabat dengan menghargai karya penulis dan tidak membeli/mengunduh buku/e-book bajakan. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top