12. Luka yang Teramat Perih
Aya tidak sanggup menahan rasa kekecewaannya. Hatinya hancur lebur. Kebahagiaan baru yang didapatkannya sirna sekejab mata setelah kebenaran terungkap. Kebenaran yang begitu pahit akibat kecerobohan yang dilakukannya sendiri.
Aya menangis tersedu-sedu di kamarnya sehingga membuat matanya sembab. Tisu telah habis sekotak dan kini bertambah sekotak lagi yang baru saja dibeli pembantunya.
Rika mendengar laporan dari pembantunya itu pun membujuk anaknya untuk keluar dari kamar. Namun, hasilnya sia-sia, Aya tidak mendengarkan maminya dan tetap mengurung diri di kamar.
Cemas, Rika menelepon ponakannya untuk menghibur Aya. Tiara yang mendapat cerita lewat telepon Rika pun bergegas berkunjung ke rumah mewah tantenya itu.
Tiba di depan pintu kamar bercat putih, Tiara mengetuk-ngetuk pintu tersebut.
Tok Tok Tok!
“Aya, ini aku Tiara!” panggilnya dari luar.
Mendengar suara sepupunya, Aya bangun dari ranjangnya dan membukakan pintu untuk sepupunya. Tiara masuk dan betapa terkejutnya saat dia melihat isi kamar Aya. Tisu berserakan di lantai dan juga di atas kasur. Dilihatnya wajah Aya yang sangat kacau—mata sembab, rambut bak singa serta beberapa helai melekat di wajahnya akibat air mata dan juga keringat. Baru kali ini sapupunya sekacau itu.
Aya kembali menutup pintu dan bergegas ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Tiara duduk di kursi meja belajar yang ada di sana selagi menunggu Aya keluar dari kamar mandi.
Aya pun keluar setelah membersihkan wajahnya.
“Ya, ada apa? Kenapa lu bisa habisin tisu sebanyak ini? Apa yang yang terjadi, cerita dong!”
Aya memilih diam dan mengganti pakaiannya. Tadi dia masih mengenakan seragam sekolah dan kini dia tukar dengan dress kasual.
“Aya, kamu cuekin aku. Kita ini kan saudara, nggak ada salahnya kamu bagi beban yang kamu rasakan sama aku. Mana tau dengan kamu cerita bisa mengurangi kesedihanmu dan mana tau aku bisa bantu,” ucap Tiara berdiri di sebelah Aya yang memakai bedak dan duduk di meja rias.
Aya berdiri dan menatap wajah Tiara dengan tatapan horor sambil bersedekap.
“Ke kafe yuk!” ajaknya lalu mengambil tas yang tergantung dibelakang pintu kamar.
Tiara heran melihat sepupunya itu, dia hanya bisa menyetujui ajakan Aya tanpa bertanya apa-apa lagi.
***
Aya dan Tiara duduk sebuah kafe X. Jus mangga dan vanilla latte terlihat di atas meja tersebut. Tiara meminum sedikit vanilla latte, sedangkan Aya masih mengaduk-aduk jusnya dengan sedotan. Aya tampak galau, namun Tiara hanya bisa menunggu sampai sepupunya itu membuka suara dan bercerita.
Setelah lima menit mengaduk-aduk jus, Aya menatap sepupunya dengan tatapan kosong.
“Kak ... aku salah,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca. “Sticky note, bekal, roti, kado, cokelat, itu semua salah. Pesan sticky note itu bukan dari Kak Alfi. Hiks ... hiks ....” air matanya jatuh.
“Maksud Aya bukan dari Kak Alfi, terus itu dari siapa?” tanya Tiara yang tidak paham.
“Selama ini aku salah, Kak. bodoh aku salah sejak awal. Aku masukin bekal itu ke kolong meja temannya Kak Alfi. Hiks ... hiks ....”
“Kok bisa. Memangnya kamu nggak cek dulu, Ya?”
Aya mengusap air matanya dengan jari tangannya, menghirup udara dengan hidung tersumbat lalu dihembuskannya lewat mulutnya. Pandangannya beralih ke jendela.
“Udah aku cek Kak. Bahkan aku liat Kak Alfi makan nasi goreng aku. Aku pun masih bingung mengapa bisa begini. Bodohnya aku bisa senang dengan permainan yang aku buat sendiri.”
Tiara menepuk bahu sepupunya. “Jangan nangis di sini, Ya. Ini tempat umum, banyak orang yang lihat.” Dia menyodorkan tisu kepada Aya.
Aya menerimanya. “Kak, aku ke toilet sebentar. Sepertinya bedakku luntur kena air mata.”
“Aku temanin ya.”
“Nggak usah, Kak. Kakak tunggu aja di sini sebentar, aku nggak lama kok.”
Aya pun pergi menuju toilet. Setelah selesai membasuh wajahnya dan memakai bedak. Dia keluar dari toilet tersebut. Namun saat hendak ke mejanya, dia melihat Alfi. Cowok itu tidak sendirian melaikan bersama seorang cewek, bahkan cewek itu merangkul tangan Alfi.
Hati Aya saat ini sedang terluka, ditambah pemandangan yang baru saja dia lihat barusan semakin memperdalam lukanya. Bagaikan luka yang tersiram air asam, sungguh perih.
Dia mempercepat langkahnya mendekati Tiara dan mengjajak sepupunya itu pulang. Tiara binggung dengan sikap Aya dan lagi, dia hanya bisa mengikut saja.
***
Di sekolah, Tristan tampak tidak semangat. Cowok itu terus duduk di kursinya sambil mencoret-coret bukunya. Alfi yang melihat keanehan dari sahabatnya itu ingin mencari tau penyebabnya. Alfi duduk di sebelah Tristan, namun Tristan belum berbicara sepatah pun padanya.
“Tan, kamu kenapa? ada masalah?” tanya Alfi.
“Masalahnya ada sama kamu,” jawab Tristan ketus
Tristan beranjak dari kursinya mengambil tasnya. Dia pun berjalan mendekati kursi pojok kiri paling depan dan meminta Hendra untuk pindah ke kursinya. Hendra pun setuju dan cowok itu duduk di sebelah Alfi.
Alfi bingung dengan sikap Tristan. Dia mencoba mengingat-ingat apa dia punya masalah dengan sahabatnya itu. setelah berpikir keras dia merasa tidak punya masalah apa pun. Seketika dia teringat sesuatu. Aya. cewek itu kemarin menanyakan suatu hal yang dia tidak mengerti.
Sticky note, kalung. Ya, sekarang dia paham. Cowok itu pergi meninggalkan kelas dan mencari Aya.
Alfi mondar mandir di koridor. Dia binggung mencari Aya di mana kerena tidak tau kelas cewek itu. kebetulan dia melihat temannya Aya—Nova—yang sedang jalan bersama dua temannya yang lain.
“Dek, kamu temannya Aya kan. Aya kelasnya di mana?” tanya Alfi berdiri di hadapan Nova.
“Aya sekelas sama kami. X IPA 2,” jawab Nova.
“Makasih ya, Dek.”
Alfi pun bergegas meningglkan tiga gadis itu dan berjalan menuju kelas X IPA 2.
Setiba di depan kelas X IPA 2, Alfi tanpa ragu masuk ke kelas tersebut. Seorang siswi menghampirinya.
“Kak Alfi tumben ke sini, nyari siapa?” tanya Melani yang cukup mengenal Alfi karena cowok itu anak Osis yang sempat membuat heboh saat pelaksanaan MOS.
“Aya,” jawabnya.
“Oh, nyariin Aya. Tu dia lagi tidur,” ucapnya sembari menunjuk meja Aya.
“Makasih ya, Dek.” Alfi pun langsung menghampiri Aya yang tampak menyenderkan wajahnya di atas buku paket.
Alfi mengetuk meja cewek itu, sehingga Aya terkesiap. Cewek mendongak dan menoleh ke seseorang yang berdiri di samping mejanya.
“Kak Alfi,” lirihnya.
Wajah Aya tampak lesu, sama seperti wajah Tristan. Alfi semakin yakin bahwa dugaannya pasti benar.
“Aya bisa kita bicara sebentar.”
“Bicara aja, Kak.”
Alfi melihat kiri-kanan, “Jangan di sini. Di luar bisa,” pintanya.
Aya bangkit dari kursinya dan berdiri menghadap Alfi. “Bisa Kak.” Aya pun jalan duluan dan diikuti langkah Alfi di belakangnya.
Alfi membawanya ke taman. Mereka berdiri di bawah pohon rindang.
“Kakak mau ngomong apa?”
“Maaf ya sebelumnya, Ya, mungkin pembicaraan kita ini akan membuat kamu merasa kecewa. Tapi ini harus dibicarakan biar tidak ada kesalah pahaman lagi di hari-hari lain.”
“Iya, Kak. bicara saja. Aku nggak pa-pa kok,” lirih Aya yang seakan tau maksud pembahasan yang akan mereka bahas.
“Kemarin kamu kan berterima kasih atas kalung yang aku kasih. Dan kamu juga menanyakan sticky note. Apa benar kamu yang memasukkan bekal ke dalam kolong meja Tristan dan kamu mengiranya itu meja aku?”
Aya tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Dia malu sekaligus sedih. kini matanya berkaca-kaca dan setelah mengedipkan matanya air mata itu lolos mengenai pipi mulusnya.
“Iya Kak. Bekal itu dari aku untuk Kakak. Tak ku sangka selama ini yang menerima itu semua adalah teman kakak.”
“Maaf telah membuat kesalah pahaman ini. Tristan galau karena aku. Hari-hari sebelumnya dia tampak ceria dan wajahnya begitu cerah. Gara-gara kamu menyukai membuat sahabatku itu tampak terluka. Dan juga maafkan aku membuat kamu juga sama terlukanya seperti Tristan.”
“Kakak nggak salah. Yang salah itu aku. Aku yang pengecut dan penakut untuk mendekati kakak. Walau pun pahit, yang terpenting kesalah pahaman ini telah berakhir. Sekarang kakak juga tau kan bahwa aku menyukai Kakak.”
“Maaf. Aku tidak bisa menerima cintamu. Aku telah memiliki kekasih.”
Mendengar ucapan Alfi membuat air matanya semakin deras. Rupanya yang dia lihat kemarin itu benar adanya. Alfi yang tampak bahagia bersama kekasihnya. Sungguh bodohnya dia menangis untuk seseorang yang telah dimiliki gadis lain.
Aya pergi meninggalkan Alfi sendirian. Dia pergi ke toilet untuk sepuas-puasnya melepaskan kesakitannya yang dialaminya saat ini.
Masih galau
Tinggal beberapa chapter lagi nih
Semangat buat Mariz 😊
Makasih udah mampir
Jangan lupa vote dan komentarnya ya 😄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top