BAB 9
Pintu lift terbuka tepat di lantai lima gedung apartemen The Empire Court. Jefferson keluar terlebih dahulu sambil menyeret koper dan menenteng sebuah tas besar yang Stanley bahkan tidak ingin tahu apa isinya. Stanley mengikutinya dari belakang sambil mengedarkan pandangan ke sekitar lorong yang memiliki enam pintu di sana.
"Kau benar-benar pernah tinggal di sini?" tanya Stanley ketika mereka sudah berdiri tepat di depan pintu nomor 501 yang terletak di ujung lorong.
"Ya. Dulu," jawab Jefferson masih dengan senyum manis nan memuakkan di wajah pria tua itu. Ia membuka pintu kayu bercat putih, dan langsung menghamburkan diri masuk ke dalam ruangan yang berukuran cukup besar.
Stanley tidak bisa tahan untuk tidak memeriksa ruangan itu begitu ia melangkahkan kakinya. Di sebelah kiri foyer, terdapat sebuah kamar mandi dengan keramik putih motif metro. Lengkap dengan pancuran air, dan juga kloset duduk. Setelah cukup memeriksa semua alat-alat di kamar mandi berfungsi dengan baik, Stanley bergabung dengan Jefferson yang sudah berbaring santai sambil menaikkan kakinya di lengan sofa berwarna abu muda.
"Santailah dulu, Stan. Apa kau tidak lelah?" Jefferson menunjuk satu kursi kosong di samping sofa. Tetapi, Stanley malah masih asyik memeriksa tiap detail ruang tamu itu. Menyibakkan korden berwarna abu tua lalu melirik ke luar jendela di mana ada bangunan lain di sebarang sana. Anggaplah ini sudah menjadi salah satu kebiasaan Stanley yang tidak bisa seluruhnya ia hilangkan. Berada di medan perang sudah membuat insting bertahan hidupnya terbuka. Tetap waspada, dan berhati-hati.
Ia kemudian beralih ke dapur yang menyatu dengan ruang tamu. Ada mini bar kecil yang cukup untuk meletakkan dua piring di atasnya. Mereka beruntung sudah di sediakan kompor, oven, dan juga kulkas. Tidak sabar rasanya untuk Stanley segera mengisi benda besar dengan alat pendingin itu. Tentu saja memasukkan persedian makanan yang mereka butuhkan selama beberapa hari ke depan.
"Lihat, sepertinya kita akan berbagi tempat tidur," ucap Jefferson begitu ia membuka pintu kamar, dan kembali membaringkan tubuhnya di tempat yang berbeda. "Sangat nyaman dan empuk sekali. Padahal sudah lama rasanya aku tidak kembali."
Untuk beberapa detik, Stanley berdiri termangu dengan mulut membentuk huruf O kecil. Keningnya berkerut begitu ia berjalan memasuki kamar. "Dan kau memesan tempat dengan satu kamar?"
"Ya. Bukankah kita bisa berbagi? Oh, tenang saja aku tidak akan mendengkur atau menendangmu dari atas ranjang. Tidak," gurau Jefferson. Ia tidak tahu kalau Stanley tentu saja tidak akan pernah setuju dengan ide Jefferson itu.
"Siapa juga yang mau berbagi ranjang denganmu. Aku tidak sudi." Stanley mengangkat tasnya.
"Kau mau ke mana?"
"Tentu saja mencari kamar lain. Aku tidak ingin satu kamar denganmu."
"Aku bertaruh kau tidak akan mendapatkannya. Semua kamar sudah penuh dan kalau kau mencari lagi di tempat lain, aku yakinkan padamu, Stanley ... tidak ada satu pun."
Bila dilihat dari air mukanya, Stanley sudah benar-benar kesal dengan Jefferson. Matanya menatap nyalang pria tua itu dengan rahang yang mengeras. Syukur saja, Jefferson tidak mendengar suara gigi-giginya yang sudah bergemelatuk di dalam sana. Ia mencoba menormalkan kembali emosi dan napasnya tentu saja. Benar, berdekatan dengan Jefferson adalah sebuah ujian bagi kesehatannya sendiri. Kesehatan fisik dan mental.
Ia memejamkan matanya sesaat lalu membuang napas panjang. "Baiklah begini saja. Lebih baik aku tidur di sini." Stanley menunjuk ke arah ruang tamu. "Jadi, kau bisa tidur dengan tenang tanpa perlu menggangguku."
"Kau tidur di sofa?"
"Untuk apa bertanya lagi kalau kau sudah tahu jawabannya." Stanley sedikit berteriak ketika ia mulai memasukan koper dan barang-barangnya yang lain ke dalam walk in closet yang ada di samping dapur.
"Oh, ayolah. Stanley." Jefferson turun dari ranjang dan mendapati putranya sudah keluar dari walk in closet dengan pakaian yang berbeda.
"Kau mau ke mana?"
"Jalan-jalan."
"Bisakah kau membelikan aku sesuatu untuk mengisi perut laparku ini, Stan? Rasanya aku malas sekali untuk keluar lagi."
Stanley memutar kedua bola matanya. "Ya ... ya. Baiklah."
"Aku sayang padamu, Stanley!" Teriak Jefferson begitu Stanley akan menutup pintu kamar.
"Shit."
***
Stanley baru saja keluar dari Metropolitan Barber Shop, sedikit merapikan rambutnya yang menurut Stanley sendiri terlihat agak berantakan. Jujur saja, ia tidak mengerti mengapa ia melakukan itu, tetapi setidaknya Stanley ingin tampak rapi dan menarik di hadapan Louisa nanti. Apa ia terlalu berlebihan? Entahlah, pria itu hanya agak gugup.
Menikmati menit-menit berharga tanpa Jefferson membuat Stanley lebih rileks dari biasanya. Siapa yang tidak ingin sedikit bersantai di kota berjulukan Fog City? Dengan suhu sekitar delapan belas derajat celcius, dan cuaca yang bersahabat, sangat cocok untuk pelancong seperti Stanley menjelajahi semua sudut kota San Francisco. Beruntung mereka menyewa apartemen yang letaknya begitu strategis, dekat dengan minimarket, dan juga beberapa cafe.
Seperti yang ia lakukan saat ini. Memanjakan diri dengan bersantai menikmati seporsi Diavola Pinsa sambil mengecek email yang agak menumpuk di berandanya. Beberapa email itu dari Amy, editor Stanley. Wanita berkacamata minus dua itu sepertinya penasaran dengan rencana cerita baru yang mulai Stanley kerjakan. Tetapi, Stanley tidak bisa mengobral janji kapan ia akan menuntaskan naskah barunya kali ini. Ada sesuatu yang menurutnya lebih penting dari itu. Seperti yang Jefferson katakan, misi cinta lama bertemu kembali.
Sudah lebih dari lima kali, si pria tua itu menggaungkan betapa indah dan kerennya nama misi yang mereka jalani sekarang. Padahal Stanley sendiri sudah berkata kalau itu terlalu berlebihan. Apa itu perlu?
Kali ini ia mengarahkan langkahnya memasuki Market Mayflower & Deli yang terletak tidak jauh dari Gusto Pinsa. Tentu saja, ia sudah memesankan seporsi Vegan Margherita Pinsa untuk Jefferson yang pasti sudah merengek seperti bayi sekarang di kamarnya karena kelaparan. Biarkan saja pria tua menyebalkan itu merana sendirian. Anggap saja sedikit pembalasan dari Stanley. Siapa yang akan tahan sendirian dengan perut kosong setidaknya hampir dua jam? Bukan Jefferson namanya kalau tidak mengeluh kelaparan.
Ia mengambil keranjang belanjaan berwarna merah, dan mulai menyusuri rak-rak makanan. Sesekali Stanley mencuri pandang pada pria dan wanita lain yang tidak sengaja berpapasan dengannya di rak cemilan. Sebetulnya, Stanley juga bingung dengan apa yang harus ia beli kali ini. Jefferson dan dirinya pasti memiliki selera makanan yang berbeda. Karena itu untuk menyingkat waktu, Stanley memilih mengisi keranjangnya dengan buah apel merah, apel hijau, jeruk, kiwi, dan anggur. Sisanya, ia memasukkan sekotak besar susu, roti tawar, selada, saus kacang, dua kotak sereal, dan minuman soda. Anggaplah ini sudah lebih dari cukup.
Butuh waktu setidaknya sepuluh menit untuk Stanley mendapatkan barang belanjaan yang sudah tertata rapi di kantong kertas berwarna cokelat. Membayar total belanjaannya dan segera pergi dari tempat itu. Sama seperti pejalan kaki lainnya, Stanley berhenti di pinggir zebra cross ketika lampu lalu lintas berubah hijau. Ia berdiri tepat di samping seorang nenek tua berusia kurang lebih enam puluh tahun dengan rambut putih yang mulai tampak mencolok. Entah mengapa nenek tadi mengingatkannya pada neneknya sendiri yang sudah meninggal ketika ia masih duduk di kelas tujuh.
"Nek?" Stanley mencoba menyapa wanita tua itu.
Berhasil. Si nenek menoleh dengan kening berkerut. "Kau sedang berbicara denganku, anak muda?"
"Ya, Nek. Mari aku bantu anda membawa barang belanjaan ini," ucap Stanley. Jujur ia merasa kasihan melihat nenek tua itu membawa kantong belanjaannya sendirian. Walaupun kelihatannya tidak berat, tetap saja Stanley tidak bisa melihat itu. Buktinya, nenek tadi mengembangkan senyumnya dan mengucapkan banyak terima kasih pada Stanley.
Mereka berdua berjalan beriringan ketika lampu hijau berubah merah. Si nenek tadi mempekenalkan dirinya sebagai Sonia Bachmann. Tepat seperti dugaan Stanley, nenek itu berumur enam puluh dua tahun dan yang lebih mengejutkan lagi mereka tinggal di apartemen yang sama. Persis seperti neneknya sendiri, Sonia tipe orang yang senang mengobrol. Sepanjang perjalanan pulang mereka, nenek Sonia banyak bercerita tentang hobinya memasak, membaca, dan juga merajut.
Tidak sampai lima belas menit mereka sudah tiba di lobi apartemen. Stanley mengantar nenek Sonia sampai ke kamarnya yang terletak di lantai dua.
"Seharusnya kau memberitahuku untuk berhenti kalau kau merasa bosan dengan ceritaku, anak muda," ucap Sonia yang berdiri di samping Stanley ketika mereka memasuki lift.
"Tidak. Aku senang bisa mendengarkan cerita anda, Mrs. Bachmann," sahut Stanley sambil tersenyum sopan.
"Ah, aku lupa ... siapa namamu tadi?"
"Kau bisa memanggilku Stanley saja."
Nenek Sonia mengangguk mengerti. "Apa kau mau mampir untuk mencicipi kue chiffon, Stanley?"
"Maafkan aku, Mrs. Bachmann. Aku takut kalau aku tidak bisa memenuhi undanganmu ini, karena masih ada urusan lain yang harus aku kerjakan."
Awalnya nenek Sonia tampak kecewa, tetapi ia segera melempar senyum kembali. "Baiklah tidak mengapa. Mungkin lain kali saja."
Stanley tersenyum.
Ketika mereka sudah sampai di depan kamar nomor 210, nenek Sonia membawa barang belanjaannya kembali.
Sebelum menutup pintu kamar setelah ia mengucapkan terima kasih, nenek Sonia tidak sengaja mengatakan sesuatu. "Astaga, aku lupa harus mengembalikan vacuum cleaner milik Louisa."
Baru hendak melangkah menjauh, Stanley berhenti setelah mendengar nama Louisa. Jantungnya berpacu cepat hanya mendengar nama itu keluar dari mulut seseorang yang baru beberapa menit ia kenal, Hatinya sangat tergelitik untuk bertanya. Dengan memberanikan diri dan membuang rasa malu, Stanley berbalik lalu menahan pintu kamar nenek Sonia yang hampir tertutup.
"Maaf Mrs. Bachmann kalau aku lancang, tetapi bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Oh, astaga. Kau mengagetkanku. Ya, silahkan?"
"Louisa yang anda sebutkan tadi, kalau boleh aku tahu apa dia tinggal di sini juga?"
Nenek Sonia menatap Stanley dengan sedikit heran. "Ya, tentu saja."
"Boleh aku tahu siapa nama lengkapnya?"
"Apa dia seseorang yang kau kenal, Stanley?"
"Ya." Stanley mengangguk.
"Seingatku namanya Louisa Morez. Ya benar. Oh, dia wanita yang baik sekali."
"..."
Lidah Stanley mendadak kelu. Ingin sekali ia berteriak senang, dan melompat-lompat di sini sekarang juga.
"Stanley? Apa semua baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja."
***
Tanpa mengindahkan Jefferson yang mulai bertanya padanya mengapa butuh waktu yang lama bagi Stanley untuk sekedar jalan-jalan, Stanley malah langsung menyambar tasnya, mencari file yang pernah Jefferson berikan beberapa hari yang lalu. Ia mengecek kembali data-data yang tertulis di sana sampai Stanley menemukan apa yang ia cari.
"Apa ada sesuatu terjadi?" tanya Jefferson.
Dada Stanley naik turun mencoba menormalkan kembali nafasnya. Bagaimana tidak? Begitu ia keluar dari lift, Stanley langsung berlari menuju kamarnya dengan sangat tidak sabaran. Manik birunya berpaling menatap Jefferson.
"Dia tinggal di sini, bukan?"
"Siapa maksudmu?"
"Louisa ... karena itu kau memilih tempat ini juga."
Jefferson tersenyum. "Tentu saja. Aku pintar, bukan?"
"Wow. Jadi, aku bisa lebih mudah bertemu dengannya?"
"Ya. Tetapi, tidak hari ini, Dude."
"Mengapa tidak?" Stanley cukup penasaran sekarang. Ia bahkan melipat kedua tangan di atas dada sambil mencoba mendengar kalimat Jefferson dengan seksama.
"Dia sedang mengambil cuti dan pulang ke rumah ibunya."
"Dari mana kau tahu?"
"Tentu saja aku mempunyai banyak mata, Stanley." Jefferson memutar bola matanya, lalu membuka isi kantong belanjaan putranya. "Lebih baik kau istirahat saja dulu karena besok kita akan memulai misi selanjutnya."
Stanley hanya mengangguk bungkam sebelum kemudian meneguk sebotol minuman soda yang ia beli tadi.
Besok.
***
Seperti yang Jefferson katakan kemarin, ternyata memang benar kalau Louisa tidak akan pulang ke apartemennya. Wanita itu memilih untuk langsung pergi ke tempatnya bekerja di SM Billingual Preschool. Louisa memakai atasan blouse berwarna pink berpotongan lengan pendek dipadukan rok hitam di bawah lutut. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai hingga sebagian anak rambutnya terkadang terbang menutupi sebelah matanya.
Benar-benar pemandangan yang begitu indah.
Itulah yang sekarang ada dibenak Stanley, ketika ia hanya bisa mengagumi betapa mempesonanya Louisa dari tempatnya duduk saat ini. Ya, benar. Ayah dan anak itu sedang duduk di dalam mobil mustang sambil mengamati gerak gerik Louisa. Mungkin agak sedikit kasar, baiklah Stanley ralat kembali. Bukan mengamati, tetapi memata-matai. Oke, kedengarannya lebih keren. Dan demi Tuhan, ia bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak hanya karena memikirkan tentang misi mata-mata ala Jefferson ini. Bahkan mereka sudah berada tidak jauh dari sekolah itu sejak pukul 06:00 pagi.
"Sudah saatnya untuk mengucapkan 'Hai'?" ucap Jefferson ketika ia melirik Stanley yang bahkan tidak berkedip ketika ia untuk pertama kalinya bisa melihat Louisa kembali. "Jadi, tebakanku benar, bukan? Tidak perlu berterima kasih. Aku memang hebat."
"Entahlah."
"Entahlah bukan jawaban yang aku inginkan, Stanley. Dengar, menurut situs yang aku baca ketika seseorang ingin memulai pendekatan kembali ke mantan pasangannya, lebih baik ia ... introspeksi diri ... menjadi lebih baik begitu ... mungkin, pastikan mantanmu masih available, ajak dia bertemu, jangan terburu-buru, lalu beri dia perhatian lebih. Terakhir, jadilah orang yang membuatnya jatuh cinta."
"Wow, kedengarannya seperti kau mengutip situs wikipedia."
"Aku merangkum semua yag aku baca semalam, Stanley."
"Oh, karena itukah lampu kamarmu masih menyala?"
"Kau memperhatikanku?" Jefferson sudah memasang wajah terharunya, dan sukses membuat Stanley merasa risih.
"Tidak," timpal Stanley cepat-cepat.
"Oh, ego yang tinggi. Jujurlah sedikit, Stan. Ingat langkah pertama, introspeksi diri."
"Apa hubungannya introspeksi diri dengan berkata jujur padamu?"
"Astaga, yang benar saja, Stanley. Kau harus bisa lebih jujur dengan apa yang kau rasakan. Bila kau ingin seseorang memahamimu, utarakan apa yang kau rasakan sebelum orang itu menjadi salah paham dengan sikapmu. Salah paham itu menyakitkan, kau tahu? Setidaknya kau bisa jujur padaku."
Sosok Louisa sudah tidak ada lagi di sana. Sepertinya wanita itu masuk kembali ke dalam sekolah dan memulai pelajaran. Itu membuat Stanley sedikit merasa kecewa karena waktu untuk bisa melihat Louisa menjadi berkurang. Sekarang ia harus menunggu dengan sabar hingga wanita itu menyelesaikan pekerjaannya.
"Aku pikir semua orang akan mengerti," ucap Stanley yang menyuarakan sedikit pembelaan diri.
"Tidak semua begitu, Stan. Kejujuran itu sebuah keharusan, dan harga mati."
"Apa kita benar sedang membicarakan tentangku? Atau kehidupanmu?"
"Tentu saja kau. Astaga." Jefferson mengunyah kembali popcorn yang ia bawa. "Akan ada saatnya ketika aku akan menceritakan padamu kehidupanku dulu. Tetapi, sekarang ini adalah momenmu. Jadi, mari kita tidak merusak momen ini. Kau setuju?"
Stanley membuang napas. "Baiklah."
"Oke, beranjak ke langkah kedua. Memastikan mantan pasanganmu masih available," ucap Jefferson sambil mengusap garis rahangnya. "Urgh, agak susah untuk ditebak."
"Maksudmu? Kau bilang kau memilliki seseorang yang melakukan tugas itu. Dan hasilnya?"
"Dia memang tidak pernah terlihat pergi dengan laki-laki mana pun. Itu yang Johny katakan padaku."
"Begitukah?"
"Kau tidak percaya padaku?"
"Kalau kau bertanya seperti itu tentu saja aku akan menjawab ya dan tidak."
"Ya ... ya, terserah padamu saja. Baiklah, kalau begitu, mari kita cari tahu apakah Louisa masih single atau tidak."
"Bagaimana caranya?"
"Kau hanya harus mengikuti intruksiku, Stanley. Bagaimana?"
"Oke."
***
Bagaimana menurut kalian tentang bab 9 ini guys?
Jangan lupa tuliskan pendapat kalian di kolom komentar ya ....
Terima kasih
Love Love
=======
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top