BAB 6

Assalamualaikum ....

Selamat malam semuanya ....

Selamat menikmati akhir pekan dengan keluarga tercinta dan orang terkasih.

Biarkan Stanley dan Jefferson menemani malam Minggu kalian dengan cerita mereka yang akan mulai memasuki babak baru.

Terima kasih atas cinta dan perhatiannya untuk StanStan.

Love Love

=====

18 November 2004

Dear Stanley

Ketika kau menerima surat ini, yakinlah kalau aku begitu gugup hanya untuk menguraikan beberapa patah kata yang akan aku sampaikan padamu. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Kau tahu aku begitu lantang dan tegas dengan apa yang aku inginkan. Namun, bila itu menyangkut kita, demi Tuhan, aku gugup sekali.

Aku tidak mengerti dari mana harus memulainya, ini sungguh membingungkan. Oke, baiklah ...

Sudah beberapa bulan berlalu sejak terakhir kali kita bertemu, aku belum bisa melupakan sepenuhnya tentang kita. Stanley aku hanya ... astaga aku bersikap seperti seorang gadis yang tidak terima kekasihnya memutuskan hubungan percintaan saja. Buruknya aku. Bagaimana aku bisa bertemu denganmu setelah ini?

Stanley

Aku berusaha untuk mengerti seperti apa berada diposisimu. Orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Begitu juga dengan ayahmu. Dia benar, aku hanyalah orang luar yang bisa saja menjadi penghalang bagimu untuk melangkah ke depan, seperti yang ia inginkan. Sebenarnya aku kesal sekali dengannya. Karena ayahmu, kita berpisah. Perpisahan yang sama sekali tidak aku inginkan, dan aku berharap kau juga merasakan perasaan yang sama. Aku harap.

Stanley

Tidak ada satu menit pun dalam hariku, tidak memikirkanmu. Aku sudah mencoba untuk tidak lagi datang ke tempat persembunyian kita, atau hanya sekedar memainkan biolaku dengan lagu La Vie En Rose kesukaanmu. Lagu kita sebenarnya.

Mom bilang patah hati itu menyakitkan. Sekali pun kau memakan sepuluh potong cokelat, kau masih tetap merasakan sakitnya.

Tetapi, Stanley ...

Kau harus tahu, kalau aku akan tetap mencintaimu. Seandainya Tuhan masih berbaik hati mempertemukan kita kembali. Entah kapan pun itu, aku akan selalu menunggumu.

Lusa, aku akan pergi meninggalkan Myers Park. Ibu ingin kami segera pergi dari tempat ini. Kau tahu, orang tuaku telah memutuskan untuk berpisah. Kau benar, Stan. Robert berselingkuh.

Virginia. Nenek ingin kami untuk menetap kembali di sana. Ini sebuah pilihan yang sulit, untukku dan juga mom. Aku tidak bisa untuk memintanya bertahan di sini. Terlalu banyak kenangan dan kepahitan kata mom.

Jadi, kalau boleh aku meminta untuk terakhir kalinya, Stan.  Bisakah kita bertemu? Aku ingin mengucapkan sepatah dua patah kata perpisahan, mungkin ... aku tidak yakin. Demi Tuhan, aku ingin sekali bertemu denganmu.

Aku akan menunggumu besok di tempat persembunyian kita, pukul 17:00.

Cintamu selalu

Louisa

***

Entah mengapa, Stanley betah sekali berada di ruang kerjanya hari ini. Sudah empat jam lebih ia hanya duduk di depan laptop dengan beberapa lembar kertas yang bertebaran di atas meja. Pria bermata biru itu mencoba menangkap semua sumber inspirasi yang melayang di udara dan menuangkannya dalam bentuk kalimat yang mengandung makna.

Stanley rasa, satu setengah tahun setelah novel ke tiganya dirilis, ia harus segera membuat novel baru. Produktif, mungkin itu yang sekarang Stanley coba lakukan. Meskipun sial, ia baru bisa menuliskan sekitar dua ribu kata untuk bab pertamanya. Entahlah, pikiran Stanley kacau balau dengan Jefferson yang menjadi pusat dari semua kekacauan ini.

Ya, sejak terakhir kali mereka makan bersama di Bad Daddy's Burger Bar, Jefferson tidak pernah lagi membicarakan masalah yang berhubungan dengan Louisa atau sesuatu yang menyangkut cinta dan rumah tangga. Stanley rasa pria tua itu sengaja memberinya waktu untuk berpikir. Walaupun terkadang Jefferson masih mencoba untuk sedikit menggodanya, tentu saja.

Ia sudah membuka amplop pemberian Jefferson hanya selang beberapa menit setelah mereka tiba di rumah. Ada lebih dari satu foto Louisa di dalamnya, lengkap dengan semua data diri wanita itu. Stanley masih tidak percaya, akhirnya ia bisa melihat Louisa kembali walaupun hanya berupa foto. Ternyata gadis mataharinya itu sudah berubah menjadi seorang wanita dewasa yang semakin cantik menawan.

Manik biru Stanley menyapu tiap detail informasi yang tertera di sana. Ia tersenyum ketika mengetahui Louisa sekarang tinggal di San Francisco dan menjadi seorang guru playgroup. Sesuatu yang memang Louisa ingin lakukan sejak dulu. Ia bersyukur wanita itu bisa menjadi seperti apa yang ia mau. Stanley bangga padanya.

Jujur, Stanley bahkan tidak bisa tidur semalam. Setiap dirinya akan terlelap, lagi-lagi bayangan Louisa-lah yang muncul dihadapannya. Sebut saja ia gila atau apalah itu namanya, tetapi Stanley yakin betul kalau ia benar-benar melihat wanita itu. Louisa, gadis yang dulu ia kenal periang dengan senyum secerah mentari.

Lalu sekarang, apa yang harus ia lakukan?

Ia harus segera membuat keputusan.

God! Sebegitu sulitkah untuk dirinya memilih dan mengambil keputusan?

Stanley beranjak dari kursinya dengan mata lelah. Ia memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas sofa, melepas kacamata yang sudah ia kenakan hampir empat jam pula sembari membuang napas berat. Sedetik, dua detik kemudian, Stanley sudah tidak memiliki niat lagi untuk melanjutkan tulisan yang ia kerjakan dan memilih meninggalkan ruangan itu. Dalam hati, Stanley mulai bertanya-tanya, apa yang sekarang sedang Louisa lakukan?

***

"Di sini kau rupanya," ucap Stanley ketika ia membuka pintu bioskop pribadinya dan menemukan pria tua yang ia cari-cari. Stanley dapat melihat keterkejutan dari gerak gerik Jefferson.

"Astaga, kau mengagetkanku," sahut Jefferson sambil berusaha menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya. "Tidak biasanya." Jefferson tersenyum lembut. Biasanya pria itu akan mengolok-olok Stanley, tetapi kali ini tidak terjadi.

"Anggap saja aku sedang berbaik hati padamu." Stanley mengambil tempat di samping Jefferson sambil mengamati film yang sedang diputar di layar proyektor.

Ruangan itu memang tidak terlalu besar, hanya berukuran lima kali lima meter dengan deretan sofa panjang berwarna abu tua. Dulu Stanley ingin sekali mengganti warna sofanya dengan warna yang lebih cerah. Tetapi, usulan itu ditolak oleh kawan-kawannya. Semua sudah bagus, tidak ada yang perlu diubah lagi. Begitulah pendapat mereka.

"Sebuah kemajuan." Jefferson melirik Stanley yang selalu tampak canggung berada di dekatnya. "Kita butuh segelas champagne untuk merayakannya."

"Itu tidak perlu. Terlalu berlebihan," tolak Stanley.

"Apa salahnya? Astaga, Stanley. ini sebuah momen yang harus kita rayakan." Jefferson menunggu sambil mengamati Stanley yang sama sekali tidak menanggapi perkataannya. Kebisuan putranya itu membuat Jefferson menyerah untuk memaksa lagi. "Baiklah, tidak ada champagne. Kau sama sekali tidak asyik."

Jefferson memperbaiki posisi duduknya lalu menyambar kentang goreng yang ada di samping Stanley dengan memasang wajah permusuhan.

"Kau merajuk?" Salah satu alis Stanley terangkat begitu menangkap tingkah Jefferson.

"Siapa? Aku?"

"Siapa lagi?"

"Tidak."

"Ya, kau merajuk."

"Mengapa kau menjadi begitu memaksa? Ya Tuhan, baiklah. Aku memang merajuk. Puas!"

"Aku belajar darimu." Sudut bibir Stanley membentuk lengkungan kecil yang tak terlihat oleh ayahnya itu. "Aku pikir kau tidak suka membaca?"

"Ini?" Jefferson memperlihatkan buku bersampul hijau dengan judul 3914 Miles. "Tentu saja aku membacanya. Ini salah bentuk dukunganku pada tiap karya yang sudah kau ciptakan. Kalau kau mau tahu, aku punya buku pertama dan keduamu juga. Ini yang ketiga. Masih belum selesai aku baca sebenarnya. Tapi, aku akan berusaha menamatkannya dalam beberapa hari ke depan."

"Oh. Tidak perlu memaksakan diri. Lagipula aku yakin kau tidak akan terlalu suka isinya."

"Siapa bilang? Aku suka dan itu jujur."

"Baiklah, terima kasih."

"Jadi, apa yang membawamu kemari? Tidak biasanya kau bersikap seperti ini. Apa kau sudah membuat keputusan?"

"Film apa yang kau tonton? Seingatku, aku tidak mengoleksi film romantis," ucap Stanley begitu menyaksikan adegan di mana tokoh prianya sedang bertengkar dengan tokoh wanita di bawah siraman hujan. Tipikal drama percintaan. Selalu ada adegan lari-lari di bandara, jalan-jalan ke taman bermain, berduaan menaiki kano, atau bermain-main dengan hujan.

"Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan, Stan."

"Aku hanya bertanya."

Jefferson berpaling. "Message in a bottle."

"Oh, aku tidak pernah tahu kau suka dengan film seperti ini."

"Jangan mengejekku cengeng. Ini lebih baik daripada aku menonton koleksi film horormu. Itu lebih mengerikan lagi. Bagaimana bisa kau tidur tanpa merasakan bayang-bayang hantu yang siap menakutimu?"

"Itu bagus. Kau saja yang terlalu penakut."

"Tidak sepenakut Luke." Jefferson memutar boal matanya. Suara pria tua itu seperti tikus yang mencicit mencari makan ketika ia mengatakan, "ibumu menyukai film ini."

"Kau merindukannya?"

"Tentu saja, selalu."

"Tapi, kau membuatnya pergi."

"Aku tidak mengerti mengapa ia dulu sangat menyukai film ini walaupun tidak berakhir bahagia sama sekali," ucap Jefferson. Tampak binar-binar kristal bening yang mulai berkumpul di pelupuk matanya. "Pada akhirnya aku mengerti satu hal. Ketika kau sudah menemukan dia yang benar-benar kau cintai, kau akan selalu ingin menjaga, dan membahagiakannya. Akan selalu ada cinta yang patut dan harus diperjuangkan."

" ... "

"Kesalahanku tidak bisa memperjuangkannya kembali. Kesalahanku yang terlalu larut dalam ego sampai akhirnya aku kehilangan semuanya. Tersadar setelah aku tidak memiliki apa pun lagi yang bisa membuatku merasa hidup dan bahagia. Itu sangat menyedihkan, dan aku merasa malu pada diriku sendiri." Jefferson menoleh, menatap Stanley. "Malu pada kalian."

"Mengapa kau mengatakannya padaku?"

"Kau yang ingin tahu."

Kali ini Stanley berdecak sambil melempar bantal sofa ke arah Jefferson. "Kau tidak marah pada Bryan?"

"Marah karena apa?"

"Tentu saja karena sudah menikah dengan mom."

"Aku tidak marah sama sekali," timpal Jefferson. Ia menundukkan kepalanya, membuka satu persatu halaman buku di genggamannya sambil tersenyum simpul. "Tuhan sudah bertindak adil. Aku menerima hukumanku sekarang."

" ... "

"Ketika kau mencintai seseorang, kau harus bersikap berani. Berani merebut hati dan mengatakan padanya kalau kau mencintainya, atau kau harus berani melihat orang yang kau cintai bersama dengan seseorang yang itu bukan dirimu. Dan sekarang aku sedang berada di posisi berani melihat Stacey bersama dengan orang yang ia cintai. Aku senang Bryan bisa membuatnya bahagia."

"Apa yang harus aku katakan? Setidaknya kau bisa belajar dari kesalahanmu."

"Ya. Aku tahu, dan sekarang aku sedang belajar menjadi ayah yang lebih baik untukmu serta Luke." Mereka sama-sama terdiam ketika salah satu adegan yang muncul di layar memperlihatkan Garret sedang berdebat dengan ayahnya-Dodge, membicarakan tentang pilihan. Pilihan yang harus dibuat oleh si tokoh utama, Garret.

"Sekarang kau pilih. Pilihlah ... antara kemarin dan hari esok. Pilih salah satunya dan lakukanlah," ucap Dodge.

"Aneh sekali kalau kita berada dalam kondisi yang sama seperti adegan itu," bisik Stanley.

"Tapi, aku tidak suka dengan akhirnya."

"Seperti apa?"

"Garret pada akhirya meninggal setelah berusaha menyelamatkan orang lain di tengah badai di lautan. Padahal ia sudah membuat keputusan untuk berdamai dengan masa lalu, dan berencana untuk pergi mencari wanita yang ia cintai. Kau lihat saja sendiri."

Kedua orang berbeda umur itu terhanyut dalam adegan selanjutnya. Benar, setelah malam Garret membuat surat terakhir untuk Cathrine, pria paruh baya dengan potongan rambut cokelat pendek itu melakukan pelayaran terakhirnya. Di tengah lautan, ternyata terjadi badai besar, dan Garret melihat tiga orang yang berada dalam bahaya. Garret berusaha untuk menolong mereka bertiga. Sampai pada akhirnya, ia tenggelam saat mencoba berenang menyelamatkan ibu dari anak kecil itu.

Theresa, si tokoh utama wanita, datang kembali ke Outer Banks dan menemukan pesan di dalam botol milik Garret. Pesan terakhir yang pria itu tuliskan pada malam sebelum pelayaran terakhirnya.

"Bagian akhir itu selalu membuatku terharu," ujar Jefferson yang sudah mengusap bulir air matanya sendiri.

"Kau menangis?"

"Aku hanya terharu."

"Jangan mengelak. Kau memang menangis." Stanley membuang napas. Sesuatu dari surat terakhir Garret itu seperti tepat menusuk relung hatinya. Seolah gunung es yang melingkupi Stanley, perlahan mencair. Ia tidak merasakan haru itu, lebih tepatnya ia merasakan sesuatu yang lain yang mendorongnya untuk bergerak maju. Sesuatu yang meneriakinya 'Kau bisa seperti Garret. Bersikap gentle-lah, Stanley. Kau harus berani membuka hati.'

Jefferson tersenyum kecut. "Kau benar. Karena itulah, aku tidak ingin kau berbuat kesalahan yang sama sepertiku."

"Ya." Bibir Stanley terkatup, menatap kosong layar proyektor yang kini memperlihatkan perahu yang berlayar di lautan lepas. "Sebaiknya aku menyelesaikan pekerjaanku dulu. Beristirahatlah, Dad."

Pria tua itu hanya bisa terdiam, mencoba mengamati raut wajah datar putranya. Ia mencari-cari setitik cahaya di sana, dan bertanya-tanya dalam hati, apa Stanley sudah mulai berubah? Jefferson menatap punggung kekar Stanley yang menjauh dari pandangannya. Namun, saat Stanley hendak membuka pintu, Jefferson kembali melontarkan pertanyaan. "untuk apa kau mencariku kemari, Stan?"

Agaknya ragu atau malu untuk menjawab pertanyaan Jefferson, Stanley memilih untuk tidak menjawabnya. Mereka berdua saling tatap menatap, hingga membuat Jefferson frustasi.

"Aku hanya ingin memberitahumu, kalau aku akan pergi."

"Lalu bagaimana dengan rencanaku?"

"Kita akan pergi ke San Francisco." Stanley mengangguk membenarkan. "Aku akan menemui Louisa."

Jefferson sudah tersenyum sumringah. "That's my son."

***

"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top