BAB 4

Assalamualaikum

Selamat malam semuanya.

Love Stanley hadir lagi untuk menemani malam Minggu kalian ya.

Selamat membaca, dan jangan lupa berikan banyak cinta untuk StanStan dengan menuliskan kritik dann saran untuk cerita ini. Terima kasih banyak.

LOVE YOU

=====


Tom dan Amelia saling melempar pandangan satu sama lain. Amelia bahkan sudah melotot pada Tom dengan tatapan yang dapat diartikan 'Lakukan sesuatu, bodoh. Kau lihat dia sudah mabuk'.

Ada sikap tidak biasa yang jelas-jelas Stanley perlihatkan pada dua sejoli yang sedang memperhatikannya dengan penuh tanda tanya itu. Bagaimana tidak? Ia menghabiskan makan malamnya seperti hari esok tidak akan pernah ada lagi di dunia. Bola-bola daging panggang, mashed potato, cobb salad, dan salsa verde enchilada pie. Tom dan Amelia bertanya-tanya dalam hati, apa Stanley tidak memakan sesuatu dua hari belakangan ini?

"Kau mau tambah lagi?" Stanley baru saja akan menuangkan champagne ke dalam gelas Tom, sebelum sahabatnya itu menolak dengan alasan dirinya tidak sedang ingin mabuk.

"Aku tidak mengizinkan Tom mabuk kali ini." Amelia merespon.

"Oh, ayolah. Hanya aku sendiri?" ucap Stanley setelah menghabiskan bagiannya dengan sekali tegukkan. Kemudian menuangkan champagne lagi untuk ke tiga kalinya dan ia sudah merasakan efeknya.

"Aku rasa kau harus berhenti minum, Stan," ucap Amelia yang mulai memperlihatkan kekhawatirannya.

"Ya benar, kau sudah benar-benar mabuk." Tom meringis ketika tanpa sengaja Stanley hampir menjatuhkan gelas champagne seharga dua puluh dollar. Ia bisa menangkap keterkejutan Amelia dari sudut matanya.

Wanita itu langsung bangkit dari kursinya. Lebih baik ia cepat-cepat membereskan piring-piring di meja makan sebelum Stanley melempar salah satu di antara semuanya. Amelia jamin Stanley harus mengganti dua kali lipat dari harga asli kalau pria itu sampai melakukannya.

"Aku? Mabuk?" Stanley terkikik. "Oh, seandainya aku bisa menikmati segelas champagne ini dengannya."

"Dia siapa?"

"Louisa. Louisaku ..."

"Louisa Morez?" tebak Tom sambil menyipitkan matanya.

"Siapa lagi, bodoh."

Tom mengerutkan keningnya. "Kau bertemu lagi dengannya? Itu sudah begitu lama."

"Tidak." Stanley menggeleng dengan wajah bodoh namun sedetik kemudian ekspresi wajahnya berubah sendu. Ternyata efek champagne cepat sekali bekerja pada Stanley yang memiliki toleransi rendah terhadap minuman beralkohol. "Jefferson memberikanku surat yang ditulis Louisa tiga belas tahun yang lalu. Tiga belas, Tom! Bukankah itu angka sial?"

"Entahlah, tapi tunggu dulu." Jeda sejenak. "Ayahmu ada di sini?"

"Ya, dia seperti hantu. Kau tahu? Kita harus mengadakan ritual pegusiran setan supaya dia bisa pergi dari rumahku."

"Maksudmu, ayahmu sudah mati?"

"Tidak, bodoh!" Stanley cegukan untuk kali kedua. "Aku menyesal berpisah darinya, Tom. Kembalikan dia padaku ..."

"Kau meminta sesuatu seperti aku ini seorang jin lampu yang bisa mengabulkan semua keinginanmu hanya dalam satu kedipan mata saja."

"Aku memang bodoh. Seharusnya aku tidak meninggalkannya. Seharusnya aku tidak mengikuti keinginan Jefferson laknat itu." Suara isakan keluar dari mulut Stanley.

"Apa kau masih mencintainya?"

"Aku tidak yakin," bisik Stanley. Suaranya terdengar seperti tikus yang mencicit.

"Mengapa tidak? Bukankah bila kau ingin ia kembali padamu, itu berarti kau masih mencintainya?"

"Aku hanya takut." Stanley memutar gelas champagne-nya. Mengamati cairan yang bergerak mengikuti arah putaran gelas.

"Dasar aneh."

Stanley melotot. "Mengapa aneh?"

"Coba aku sebutkan siapa saja wanita yang dulu dekat denganmu. Setidaknya yang pernah kau ceritakan padaku. Veronica, Meisy, Jules?"

"Aku tidak bisa tidak membandingkan mereka dengan Louisa," bisik Stanley.

"Itu dia yang aku maksud. Kau masih saja menganggap Louisa sebagai standar wanita yang boleh bersanding denganmu. Dalam artian, kau belum bisa lepas dari bayang-bayangnya, Stan."

" ... "

"Apa ayahmu tahu?"

"Tidak, lagipula aku bertengkar dengannya. Si tua itu memberiku penawaran. Lucu sekali, bukan? Dia datang dengan membawa surat Louisa hanya untuk berbaikan denganku. Apa dia pikir hanya dengan secarik kertas itu, semua yang terjadi dulu bisa terulang kembali?"

"Kalau itu ayahmu, mungkin aku akan menjawab ya. Kau tahu sendiri seperti apa dirinya."

"Apa kau ingin tahu surat yang Louisa tuliskan untukku? Aku akan membacakannya untukmu." Stanley mengeluarkan kertas yang ia simpan di saku celananya. Ia mencoba berdiri tegak namun tidak bisa menyeimbangkan dirinya sendiri. Tepat ketika itu Amelia kembali bergabung di meja makan dengan membawa sebotol air mineral untuk Stanley.

"Aku melewatkan sesuatu?" tanya Amelia sambil melirik Tom yang memberi kode padanya agar duduk di samping pria itu. "Ada apa dengannya?"

"Tidak ... tidak perlu. Nanti juga aku membacanya sendiri. Lebih baik kau duduk lagi, Stan," pinta Tom. Kemudian, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Amelia. "Kegalauan hati Stanley."

"Stanley bisa merasakan galau? Yang benar saja."

"Oh, aku mendengarmu, Am." Stanley menunjuk Amelia yang masih kebingungan.

Stanley menghela napas. "Apa menurutmu, Louisa mau menerimaku lagi, Tom?"

"Sebenarnya, aku merasa penasaran dengan penawaran yang ayahmu katakan."

"Dia mau membantuku untuk mendapatkan Louisa kembali."

"Benarkah? Louisa bahkan sudah tidak tinggal di Charlotte lagi, seingatku."

"Jefferson tahu di mana dia berada karena itu dia mau membantuku. Menurutmu?"

"Mengapa tidak kau coba saja, Stan." Kali ini giliran Amelia yang memberikan pendapat. "Kau tahu wanita itu suka melihat perjuangan laki-laki yang mencintainya. Lebih dari sekedar sebuket mawar merah atau makan malam romantis dengan paduan musik jazz. Wanita suka dikejar, wanita suka diperlakukan seperti ratu."

"Oh, itu semua menjawab pertanyaanku mengapa kau susah sekali aku taklukkan dulu, Am," sahut Tom. "Terlalu jual mahal."

"Tapi sekarang aku menjadi istrimu."

"Karena aku mencintaimu." Tom memberikan kecupan manis di pipi istrinya. Pertunjukan romantis di tengah kegalauan hati Stanley. Hebat. Tidakkah dua orang kawannya ini memberikan sedikit rasa simpati padanya?

"Begitukah?" Hati Stanley rasanya mulai tergelitik begitu mendengar kata-kata Amelia.

"Ya tentu saja. Demi Tuhan, Stanley. Bila kau mencintainya, dan tidak ingin kehilangannya, buktikan kalau kau satu-satunya laki-laki yang bisa mencintainya lebih dari lelaki mana pun."

"Tapi kami sudah berpisah tiga belas tahun, Amelia. Apa pun bisa terjadi. Mungkin sekarang Louisa sudah menikah dan memiliki anak ..."

"Atau dia sudah mati?" sahut Tom dengan wajah tanpa dosa. Membuat Amelia mendaratkan tamparan di pipi suaminya.

"Jaga ucapanmu."

"Tapi aku benar, bukan? Mungkin saja dia sudah mati dan kau tidak akan pernah bisa menyatakan perasaanmu lagi padanya."

"Kau ingin aku menghajarmu?" sahut Stanley yang sudah menampakan kekesalannya pada Tom.

"Oke baiklah, tidak. Maksudku, kau tidak bisa memastikan sesuatu kalau kau sendiri masih berada di sini tanpa mau keluar untuk mencari kebenarannya. Kau tidak akan pernah melihat dunia dari sebuah lubang kunci. Tapi, kau bisa melihat dunia bila kau membuka pintunya."

Amelia melongo. "Aku tidak pernah mendengar kau begitu filosofis."

"Aku belajar darimu, sayang." Tom tersenyum jenaka.

"Oh, aku melihat kalian ada empat." Stanley menghitung dengan jarinya. "Tidak, bukan. Ada sepu ...." Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, Stanley sudah jatuh tersungkur dengan wajah lebih dulu mencium lantai.

"Oh Tuhan!" Amelia langsung menghampiri Stanley. "Kau harus membawanya pulang Tom. Dia sudah mabuk berat."

"Biarkan saja dia tidur di sini, lagi pula masih ada kamar yang kosong." Tom mengalungkan lengan kanan Stanley di lehernya. Ia sedikit menggeram tatkala ia merasa badan Stanley jauh lebih berat dari biasanya. Untung saja kamar tamu berada di lantai satu. Tom tidak akan sanggup bila harus menggotong Stanley naik ke lantai dua.

Amelia membuka pintu kamar tamu dan menyalakan lampunya. Kamar tamu itu cukup luas, berukuran lima kali lima meter dengan kasur king size yang berada di tengah-tengah ruangan. Sprei kasur berwarna putih tulang selaras dengan warna dinding yang bercat abu muda. Ada tiga buah jendela besar bergaya pedesaan Perancis yang menambah kesan nyaman pada kamar itu.

Tom meletakan Stanley dengan hati-hati di atas kasur, sementara sahabatnya itu mulai merancau tidak jelas sambil menyebut nama Louisa.

"Kau yakin?"

"Apa?" Tom menoleh pada Amelia yang berdiri di sisi ranjang memperhatikan Stanley yang mulai tertidur.

"Stanley bermalam di sini. Lalu, bagaimana dengan rencana bayi kita? Bagaimana kalau dia mendengar keributan kita? Aku tidak akan bisa menampakan wajahku lagi di depannya kalau ia mendengar aku ..."

"Stanley tidak akan mendengar. Aku jamin itu. Aku sendiri yang akan menendangnya keluar kalau dia berani mengintip."

Mereka berdua hendak keluar dari kamar setelah mematikan lampu. Amelia menoleh ke belakang, menatap Stanley sebelum Tom menutup pintunya.

"Aku khawatir dengan Stanley," ucap Amelia.

"Dia akan baik-baik saja. Kau tidak pernah tahu kalau dia pernah menghadapi situasi yang jauh lebih buruk dari ini."

"Benarkah?"

"Ya." Kini giliran Tom yang menatap Stanley dari kejauhan. "Dia sudah berubah lebih baik dari dulu."

***

Sinar matahari bergerak menerobos masuk melalui celah-celah ventilasi udara, membuat suasana kamar yang semula suram menjadi lebih bercahaya. Stanley mulai bergerak gelisah ke kanan dan ke kiri di atas ranjangnya. Ia menarik selimut sampai menutupi hidung tanpa mau membuka mata. Namun, semburat sinar jingga tampaknya ingin bermain-main dengannya sampai ia terpaksa membuka mata perlahan sambil menggeliat malas.

Terduduk dengan mata yang setengah terbuka dan mulut yang sesekali menguap lebar, Stanley mencoba menemukan kesadarannya kembali. Ia mengerang begitu kepalanya terasa sedikit sakit.

"Shit," umpat Stanley pelan ketika menyadari kalau semalam ia mabuk berat. Ia mengubur wajahnya dalam bantal, meringkuk malas selama sepuluh menit sebelum akhirnya menggerakan kaki turun dari ranjang.

Sudut matanya menangkap nakas motif serat kayu yang sudah terisi dengan segelas air, lima waffles yang tersusun seperti menara dengan potongan buah anggur merah ditambah siraman saus cokelat. Stanley meraih selembar kertas memo yang ada di samping nakas.

Selamat pagi pangeran tampan

Selamat menikmati sarapanmu, dan jangan lupa minum obat sakit kepalanya. Kau kacau sekali semalam. Aku hampir encok mengangkatmu, kau tahu.

Tolong letakkan kunci rumah di bawah pot bunga mawar yang ada di teras belakang, oke.

Note: Jack dan Jonah harus mendengar apa yang kau ucapkan semalam. Aku rasa mereka akan suka dengan isinya. Kekekeke ... StaLou ... aku rasa itu singkatan yang cocok untukmu. Buahahaha ... Entahlah kau pikirkan saja sendiri.

Sahabatmu yang tercinta

Agaknya kesal dengan isi memo yang baru ia baca, Stanley meremas kertas itu lalu melemparnya asal ke tempat sampah di samping meja tadi. Cepat ia menyambar pil yang memang sudah disiapkan oleh Tom dan meminumnya. Ingatkan Stanley untuk menghubungi Jack dan Jonah, jangan sampai kedua orang itu tahu apa yang ia katakan semalam. Itu akan merusak citranya sebagai laki-laki yang selalu menjaga image keren.

Stanley menyeret kakinya menuju kamar mandi. Ia butuh air dingin untuk membuatnya rileks pagi ini. Sungguh, Tom benar-benar tahu bagaimana caranya membuat Stanley emosi. Bahkan di pukul 09:30 sekali pun. Oh Tuhan, semoga saja semalam dirinya tidak melakukan hal yang aneh, seperti menari perut mungkin.

***

Suara Joseph Washbourn terdengar nyaring melantunkan lagunya dancing in the moon light, saat Stanley mengambil remote TV setelah bosan menonton film The Lord of the Ring. Ia langsung menyambar ponselnya yang sudah berhenti berbunyi dan bersungut-sungut kesal ketika melihat daftar nama panggilan. Jefferson berada di urutan pertama dengan tiga puluh panggilan tak terjawab. Kemudian ada panggilan dari ibunya, Stacey. Sepertinya Stacey sudah tahu kalau Jefferson berada di rumahnya dan hanya memastikan ia baik-baik saja. Stanley memang tampak baik dari luar, tapi dalam hati ia berdarah-darah.

Sepertinya, sudah saatnya ia angkat kaki dari rumah Tom, setelah menghabiskan waktu lima jam berada di sana tanpa melakukan kegiatan apa pun selain menonton koleksi film yang sahabatnya itu miliki. Stanley mengacak-acak rak DVD, dan menghamburkan beberapa isinya di meja, memilih satu persatu judul yang dianggapnya menarik. Stanley berani bertaruh kumpulan judul romantis itu bukan termasuk dalam daftar film Tom, melainkan Amelia. Bukankah wanita suka dengan sesuatu yang bertema percintaan, patah hati dan jatuh cinta?

Menjarah stok cemilan Tom juga termasuk dalam kegiatan yang sangat ia sukai. Pria itu memiliki banyak di kulkasnya dan Stanley dengan senang hati melahap setengah dari persediaan Tom, menghabiskan satu botol besar pepsi dan membuat dapur Amelia sedikit berantakan.

Ia memasak popcorn dan menghamburkan beberapa bijinya di kitchen island wanita itu. Tetapi, Stanley secepat kilat langsung membersihkan kekacauan yang telah ia perbuat. Tentu saja Stanley tidak ingin menjadi sasaran amukan Amelia. Wanita itu bisa lebih menyeramkan dari hantu di film The Conjuring.

Tanpa sengaja, Stanley melirik foto pernikahan Tom dan Amelia yang terpajang di ruang keluarga. Foto berukuran besar dengan bingkai berwarna hitam. Kala itu Tom memakai tuxedo hitam dengan senyum lebar menghiasai wajah brengsek itu. Sedangkan Amelia, oh ... wanita itu sungguh sangat cantik dengan balutan gaun pengantin putih sederhana lengkap dengan sebuket bunga mawar merah. Stanley sudah pernah mengatakan pada Tom kalau sahabatnya itu sungguh beruntung memiliki istri secantik Amelia. Mereka sangat cocok.

Membayangkan bagaimana rasanya menikah, hidup bersama dalam satu atap, berbagi suka dan duka, rasanya membuat hati Stanley menghangat. Ia jadi teringat kata-kata Amelia semalam walau pun agak samar. Sesuatu yang bisa ia tangkap sebagai komitmen.

Ya, mungkin dirinya memiliki masalah dengan kepercayaan dan komitmen. Karena itu, sampai sekarang pun ia belum bisa memilih untuk mengambil kesempatan yang ditawarkan Jefferson atau tidak.

Sesuai pesan dari Tom, ia meletakkan kunci rumah di bawah pot bunga mawar lalu turun dari panggung teras belakang dan menyalakan mobilnya. Chevrolet hitam milik Stanley mulai keluar dari pekarangan rumah Tom. Hanya dalam waktu sekitar dua menit saja dari Beresford Road, Stanley sudah tiba di rumahnya sendiri.

Rumah tampak sepi dari luar ketika Stanley membuka pintu dan berjalan menuju ruang utama. Ia pikir Jefferson pasti sudah pergi sekarang dan ia sendiri bisa terbebas dari ayahnya itu. Toh, siapa juga yang akan tahan bila selalu memiliki ekor yang membuntutimu ke mana saja kecuali kamar mandi.

Suara gelak tawa dari belakang rumah, membuat Stanley kaget dan mengerutkan keningnya. Tidak mungkinkan, Stacey dan Bryan-ayah tiri Stanley, mengunjunginya juga. Ia akan mati kutu kalau ternyata itu benar. Seharusnya, ia lebih lama berada di rumah Tom.

Penasaran dengan keriuhan itu membuat Stanley tergerak untuk memeriksa. Semakin dekat ia melangkah menuju teras belakang, semakin jelas suara yang ia dengar.

Sial, Jefferson membawa wanita ke rumahnya.

Oh tidak.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top