BAB 3
"Maksudmu?"
"Maksudku, aku berusaha untuk menebus kesalahanku dulu padamu serta gadis itu, dengan cara mempertemukan kalian lagi. Bukankah itu ide yang bagus?" Dipandanginya Stanley dengan penuh arti. Nada suara Jefferson melembut sambil menunggu Stanley memahami apa yang baru ia katakan.
Stanley masih berdiri termangu, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi saat ini. Bahkan setelah membaca surat tadi, Stanley masih belum bisa meredakan debaran jantungnya. Louisa, bohong kalau Stanley tidak mengingat nama itu. Bertahun-tahun ia berusaha untuk melupakan gadis yang membuatnya merasakan jatuh cinta untuk pertama kali dalam hidupnya.
Seseorang pernah mengatakan pada Stanley, bila kau berusaha melupakan suatu hal yang sangat penting dalam hidupmu, percayalah kau akan selalu dihantui oleh ingatan itu sampai kau bisa menyelesaikannya. Melupakan bukanlah jalan keluar. Stanley harus mengatakan kalau itu benar.
Bahkan ketika ia berada di ujung kematian, wajah Louisalah yang berkelebatan di depan matanya. Bukankah itu aneh ketika seharusnya, ia melihat kelebatan kehidupannya bersama dengan Jefferson, Stacey, Luke atau pun Nicholas.
Ia pikir semua hanyalah halusinasi sesaat. Namun, ketika ia menceritakan hal itu pada psikiaternya, Stanley sedikit terkejut. Bisa jadi halusinasinya melihat wajah Louisa merupakan keinginan terpendam dari alam bawah sadar dirinya sendiri. Benarkah ia masih merindukan Louisa?
Setelah beberapa saat terdiam akhirnya Stanley meledak. "Apa kau sedang mempermainkanku? Kalau ya begitu, aku harus mengucapkan selamat karena kau hampir saja membuatku percaya pada kata-kata manismu itu. Tetapi, sayangnya aku harus ingat dengan siapa aku bicara. Jefferson Clifford."
Ya benar, seharusnya Stanley tahu dengan siapa dia bicara malam itu. Percakapan mereka bahkan berakhir dengan pertengkaran besar yang membuatnya sakit kepala dan tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia baru bisa tidur pukul 3:00 dini hari setelah menelan dua butir pil tidur dan terbangun pukul 09:30 pagi.
Stanley sudah memarkirkan mobilnya tepat di depan toko The Spice and Tea Exchange. Letaknya tidak terlalu jauh dari rumah Stanley yang berada di jalan Lemon Tree Lane. Setelah lelah membakar kalori dan berkeringat dengan lari pagi dua puluh putaran, agaknya ia ingin menyesap teh hijau agar pikirannya kembali rileks dan tenang.
Setidaknya, inilah yang ia perlukan setelah Jefferson merusak malamnya yang damai dengan sangat sempurna. Beruntung, pagi tadi Stanley tidak bertatap muka dengan ayahnya itu. Jefferson pergi lagi tanpa mengatakan apa pun namun hanya menuliskan memo yag bertuliskan 'Aku pergi mengunjungi sahabat lama. Ayah sudah menyiapkan sarapanmu. Salam cinta, muah-muah.'
Oh Tuhan, Stanley serasa akan memuntahkan potongan sandwich dengan isian keju mozarella, beberapa lembar daging asap, irisan tomat merah segar dan tidak lupa selada sebagai pelengkap akhirnya. Apa-apaan? Salam cinta? Muah-muah? Apa Jefferson mulai kehilangan kewarasannya? Mengingatnya saja sudah membuat Stanley merinding.
Menjijikkan.
Pria itu menggapai gagang pintu yang bercat merah dengan kaca transparan berukuran besar. Begitu kakinya melangkah masuk dalam toko, indera penciumannya disambut dengan aroma rempah yang menusuk hidung. Ada begitu banyak toples-toples kaca yang dipenuhi dengan berbagai macam rempah, garam, dan bahkan teh.
"Ada yang bisa saya bantu, Sir?" tanya seorang pramusaji wanita yang berada di meja pelayan.
"Ya, segelas teh hijau, please," jawab Stanley sambil melempar senyum simpul. Lalu ia bergerak menjauh dari meja pelayan, mengitari rak peppers, chilies dan paprikas. Mengambil ponsel dalam sakunya dan mencari nama Luke di deretan kontak ponselnya. Ia menunggu untuk beberapa saat sebelum panggilannya tersambung.
"Halo, Stan. Tidak biasanya kau menghubungiku sepagi ini. Miss me, huh?"
Stanley tersenyum masam. "Jam sebelas tidak bisa dikatakan pagi, Luke. Oh, dan jangan pernah bermimpi aku merindukanmu."
"Hei hei, aku hanya bercanda. Kau memang tidak memiliki selera humor."
"Sudahlah aku tidak ingin berbasa-basi lagi, apa kau yang memberi tahu Jefferson alamat rumahku?"
"Ayah ada di sana?" Lalu suara tawa menggelegar di seberang panggilan Stanley. "Aku kira dia tidak serius. Ternyata ayah masih memiliki nyali yang besar bertemu denganmu."
"Kau puas?"
"Oh yeah, tentu saja. Um, maksudku bukan begitu. Aku pikir dia tidak serius. Aku bersumpah, Stan."
"Kau tidak pernah serius dengan sumpahmu, Luke." Stanley memijit keningnya sesaat. "Jadi sekarang aku sudah tahu dari mulut siapa tua bangka itu tahu rumahku. Terima kasih sudah membawa mimpi buruk dalam hidupku lagi, Luke. Damn, ingin rasanya aku menghajarmu detik ini juga."
"Ibu tentu saja tidak akan memberitahukannya pada ayah. Aku berani jamin. Bryan bahkan melarangnya."
"Lalu kau?"
"Aku? Aku hanya mencoba bersikap baik."
"Begitukah?"
"Dengar, Stan. Aku tahu bagaimana kau dengan ayah. Tapi cobalah untuk berbaikan, oke."
"Hah! Yang benar saja? Lalu bagaimana denganmu? Apa dia mengunjungmu juga?"
"Ya, kau pikir darimana dia tahu di mana kau berada kalau tidak dariku?"
"Kalau boleh aku tahu alasannya?"
"Aku hanya mencoba berdamai dengan masa lalu, Stan. Aku tahu itu berat tapi aku mencoba mencari hal positifnya. Apa kau tahu ibu bahkan sudah berbaikan dengan ayah?"
Stanley mengernyit. "Apa aku orang terakhir yang tahu hal itu?"
"Aku rasa, ya."
"Kapan? Apa Jefferson sudah tahu ibu menikah lagi dengan Bryan?"
"Tentu saja ya. Bahkan dia berani mendatangi ibu hanya untuk mengucapkan selamat dan permohonan maaf."
"Dan dia juga datang pada mu ... "
"Ya. Dia senang sekali memiliki cucu. Cucu membuatnya mengingat umurnya sekarang yang tidak lagi muda."
"Aku kira dia akan datang dan memarahi cucunya karena tidak bisa membaca dengan lancar."
"Poppy bahkan sudah hapal tiga lagu, Stanley. Dia anak yang manis. Kau tahu itu."
" ... "
"Stan?"
"Ya?"
"Aku mohon, luangkan sedikit waktumu untuknya. Oke. Ayah hanya memiliki kita."
"Kau melunak? Lucu sekali. Tipikal Luke ..." cemooh Stanley. "Jefferson tidak memiliki lebih banyak waktu untukku bahkan kau, lalu untuk apa aku bersikap baik? Maaf aku bukan kau atau pun mom." Stanley menoleh ketika pramusaji tadi memanggilnya. Ia berjalan mendekati meja pelayan, memberikan dua lembar uang kertas dan kemudian keluar dari toko sambil memegang segelas teh hijau yang terisi penuh. "Kemana perginya wanita yang ia sebut, babe? Atau darling? Aku pikir Jefferson sudah menikah dengan jalang itu."
"Dia tidak pernah menikah lagi Stan setelah bercerai dari ibu."
Stanley tergelak. "Itu bukan urusanku."
"Dengar, Stan. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Aku paham kebencian yang masih kau pendam pada ayah tapi tolong beri dia kesempatan untuk merubah semuanya. Ayah sangat menyesali apa yang dulu dia perbuat."
Kesalahan? Sialnya satu kata itu kembali mengingatkan Stanley dengan satu kesalahan yang ia perbuat dulu. Luke memang pandai mengatakan sesuatu yang menusuk tepat di hati.
"Aku tidak peduli ... "
"Tidak. Oh, tunggu sebentar ..." Terdengar suara air yang menggema seperti menyedot sesuatu.
"Kau sedang apa?"
"Buang air besar, perutku mulas sekali. Sepertinya Casey harus mengurangi takaran bubuk cabenya, aku tidak toleran pedas."
Sontak Stanley menyemburkan teh hijau yang baru saja ia seruput. "Kau apa?"
"Oh Tuhan, apa aku harus mengatakannya dengan lantang? Kau tahu di bilik sebelah ada orang, Stan."
"Kau membuatku memuntahkan tehku, sialan!"
Luke tertawa.
"Menjijikan, aku menyesal sudah menghubungimu." Stanley memutuskan panggilan dengan sepihak. Ia masuk ke dalam mobil dengan perasaan dongkol yang teramat sangat lalu melajukan Chevrolet Avalanche miliknya, menghilang dari jalan Gov Morrison.
***
Sudah dua jam lebih, Stanley duduk di ayunan bercat putih yang ada di halaman belakang rumah Tom. Ia datang begitu saja tanpa memberikan kabar terlebih dahulu. Setidaknya Stanley bisa mengirimkan pesan suara seperti yang sahabatnya itu katakan beberapa menit yang lalu begitu menemukan Stanley duduk melamun dengan tatapan kosong. Itu memunculkan rasa penasaran Tom namun ia urung bertanya.
"Kau membuat Amelia kaget, kau tahu itu Stan," ujar Tom sambil menawarkan sekaleng pepsi pada Stanley dan kemudian duduk di tangga teras yang berhadapan dengan taman belakang. Sementara Stanley masih tidak mau beranjak dari ayunan kesayangan Amelia.
"Maaf," ucap Stanley sambil mengubah posisi duduknya. Tidak terasa pantulan sinar matahari perlahan memudar. Langit yang tadinya berwarna jingga kemerahan mulai berubah menjadi biru gelap. "Aku hanya tidak tahu harus pergi ke mana lagi."
"Luke? Bibi Stacey?"
Ya, bisa saja Stanley sekedar mampir ke Myers Park di mana Luke sekarang tinggal di rumah peninggalan mendiang kakeknya. Tetapi, urung ia lakukan setelah tahu kalau Luke-lah pelaku utama yang memberi tahukan alamat rumahnya pada Jefferson. Sungguh, Stanley tidak bisa menerima itu.
Sempat ia terpikir untuk mengunjungi rumah baru ibu dan suami barunya, Bryan McAllister di Greensboro namun begitu melintasi Providence Road, Stanley langsung putar haluan dan memilih menenangkan diri di rumah Tom. Stanley bersyukur mereka tinggal berdekatan.
"Kau agak sedikit kacau, Stan. Ada apa dengan kantung matamu yang berlipat-lipat itu. Ck, kau mirip seperti Spongebob yang tidak tidur berhari-hari. Berantakan."
"Aku tidak bisa tidur semalam. Entahlah." Stanley membuang napas panjang lalu mengusap wajahnya kasar. Ia nampak lesu. "Aku rasa, aku rindu celotehanmu."
"Wow, aku merasa tersanjung kalau begitu." Tom mulai tersenyum jenaka. Ia menyeruput sedikit cheerwine dengan tidak berhenti mengamati Stanley. Anggap saja Tom sangat perhatian pada Stanley meskipun mereka bukan saudara sedarah. "Kau melakukannya lagi?"
"Apanya?"
Tom melirik tangan Stanley yang dibalut kain kasa putih yang sudah berubah warna menjadi merah karena rembesan darah dari buku-buku jari pria itu.
"Tanganmu, bodoh. Kau pikir bisa membohongiku?"
"Tidak." Stanley mengamati kedua tangannya yang masih berdenyut sakit. Pagi tadi setelah berlari sekitar lima putaran, ia berhenti di dekat sebatang pohon oak besar. Permukaan batangnya yang agak kasar, sepertinya membuat Stanley tergiur untuk memukul batang pohon itu berkali-kali. Setelah puluhan kali mendaratkan tinjunya, Stanley mulai merasa tangannya sudah mati rasa.
Inilah salah satu caranya untuk meluapkan emosi. Stanley mulai melakukan hal ini selang sebulan setelah kembali dari dinas militer. Tidak berani untuk membicarakan tentang halusinasi dan ketakutan yang ia alami kepada Stacey, membuat Stanley memilih untuk menyakiti dirinya sendiri. Tom, orang pertama yang tahu kebiasaannya ini, sebelum pria itu mengadukan hal itu pada ibu Stanley.
Tatapan keduanya bertemu.
"Bolehkah aku menginap untuk malam ini saja, Tom?"
"Apa aku melewatkan sesuatu?"
"Aku hanya ingin mencari inspirasi."
"Oh, mencari inspirasi bagaimana caranya meledekku atau mengintip dari lubang pintu caraku 'begitu'?" Tom menambahkan penekan pada kata terakhirnya.
"Apa kau bercanda? Hah, aku tidak akan semesum itu."
"Aku rasa tidak masalah, sih. Tapi aku tidak menjamin Amelia memberimu izin untuk menginap malam ini. Kami baru saja berkonsultasi dengan dokter kandungan, dan yeah Amelia mengajakku bermain." Tom sedikit berbisik agar Amelia tidak mendengar pembicaraan mereka, wanita itu kini sedang memperhatikan keduanya dari balik jendela dapur yang mengarah ke taman belakang.
Stanley tidak bisa mencegah tawanya keluar ketika Tom mengucapkan kata bermain. Ia tahu dua sejoli itu sedang menjalani program kehamilan, tetapi ayolah ia tidak akan mengintip. "Aku akan menutup telingaku dengan bantal kalau begitu, bila kau pikir aku akan mendengar suara-suara kaki terjepit pintu."
"Jangan menggodaku, Stan. Kau akan tahu bagaimana rasanya nanti bila kau sudah berada di posisi yang sama sepertiku."
"Ya, kah?"
"Semua pria lajang akan berkata seperti itu. Tetapi, bila kau sudah hidup bersama seseorang yang benar-benar cocok denganmu, semua akan terasa berbeda. Kau lihat aku dan Amelia? Kau bisa menilai bagaimana aku yang dulu dan sekarang, bukan?"
"Kau tetap pria brengsekku."
Tom langsung melempar kaleng cheerwine yang sudah kosong di tangannya. Stanley dengan cepat menghindar dan berpindah posisi mengambil tempat di samping Tom. Mereka tertawa bersama.
"Kau benar-benar pintar membuatku emosi. Tolong jangan mempermainkan hormonku, Stan. Mereka akan melakukan tugas negara malam ini dan aku tidak mau mengecewakan Amelia."
Stanley tersenyum miris. "Kau mencintainya?"
"Sangat."
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Kau sedikit mencurigakan, apa ada sesuatu terjadi?"
"Boleh atau tidak?"
"Tentu saja boleh, sialan."
"Apa yang kau lakukan, bila kau tahu telah melakukan kesalahan. Tapi, waktu membuatmu sadar kalau kau tidak bisa mengubah segalanya?"
"Kesalahan seperti apa?"
"Seperti, kau sadar membuat seseorang pergi menjauh darimu." Jeda sejenak. "Bagaimana kalau kau diberikan kesempatan untuk mengejarnya lagi, tapi semua sudah terlambat?"
"Ah, aku mencium aroma percintaan di sini," ejek Tom.
Stanley mengerling dengan wajah masam. "Apa aku pernah mengatakan ini masalah cinta?"
"Tetapi, apa yang kau katakan seperti menjurus ke sana. Apa tebakanku salah?"
"Entahlah."
"Um, yeah ... kedengarannya seperti masalah percintaan yang rumit." Tom menyilangkan kedua kakinya lalu menoleh pada Stanley yang menatap jauh ke atas bintang-bintang yang mulai menunjukan eksistensinya. "Aku akan mengambil semua kesempatan yang ada. Bagaimana kau akan tahu seperti apa hasilnya kalau kau tidak mencoba?"
"Tetapi, bagaimana kalau kau terlambat?"
"Apa hanya aku atau kita memang sedang membicarakan masalahmu sekarang? Bukan orang lain?"
" ... " Stanley terdiam. Demi Tuhan, ia bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Ingatannya tentang kesempatan yang ditawarkan oleh Jefferson semalam membuat Stanley terjaga. Begitu banyak pertimbangan yang sudah ia pikirkan dan semua mengarah pada hasil yang tidak sesuai harapannya. Dalam artian dia akan gagal bahkan sebelum mencoba. "Sebaiknya kita masuk, aku sudah mulai kedinginan."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top