BAB 21
"Maafkan aku. Aku tidak bisa bersamamu."
Stanley tidak tahu cara apalagi yang harus ia lakukan untuk mengenyahkan kata-kata menusuk hati yang baru saja ia dengar dari orang yang sangat ia harapkan di dunia ini. Mungkin orang terakhir yang begitu ia cintai bahkan sampai detik ini.
Ia tidak tolol untuk mengerti bahwa Louisa memang tidak bisa lagi bersamanya karena ikatan bodoh yang terjalin antara wanita itu dan juga Mark. Kata orang, terima saja apa yang memang sudah menjadi takdir dari Tuhan. Mungkin saja, di masa depan nanti kau akan bertemu dengan orang yang lebih baik dan lebih mencintaimu. Itu kata orang.
Tetapi, bagi Stanley, untuk menerima semua hasil dari apa yang sudah ia perjuangkan sejauh ini ... delapan puluh persen dari dirinya sendiri belum bisa menerima semua itu dengan lapang dada. Apa mungkin karena ia terlalu berharap kalau ia akan diterima kembali oleh Louisa?
"Anda mau tambah red wine—nya lagi, Sir?" tanya seorang bartender dengan seragam hitam polos dan potongan rambut hitam klemis.
Stanley yang awalnya sedang melamun sambil menggoyang-goyangkan gelas wine-nya yang sudah kosong itu langsung tersentak setelah pemuda yang berumur sekitar dua puluh tahunan itu bertanya. "Ah, ya, please."
Seingatnya, ia bukanlah seorang pemabuk. Terakhir kali yang ia ingat, dirinya sempat mabuk ketika berada di rumah Tom. Ya, benar. Saat itu Jefferson tiba-tiba saja hadir kembali ke dalam kehidupanya setelah sekian tahun lamanya mereka tidak bertemu dan pak tua itu menawarkan diri untuk membantunya bertemu dan kembali lagi dengan Louisa.
Kedengarannya memang tawaran yang sangat menggiurkan. Seperti judi yang akan membuatmu memenangkan berjuta-juta dollar bila kau menerima tawaran itu, atau kau akan kalah dengan kerugian yang tidak seberapa, namun kau akan selalu tertarik untuk mencoba. Entahlah.
Ia merasa gagal kembali. Perasaan yang membuatnya jatuh ke dasar jurang paling dalam sampai bisa membawa jiwanya kehilangan arah dalam kegelapan. Sudah sangat lama ia tidak merasakan hal semacam ini. Bahkan ia berpikir orang-orang menganggapnya sebagai seorang lelaki pecundang yang gagal.
"Aku pikir dia mencintaiku ...." keluh Stanley pada si pemuda bartender. Pemuda tadi yang sedang menyiapkan minumannya itu pun berbalik dengan satu alis terangkat. Wajahnya jelas-jelas mengisyaratkan kata 'apa?'
"Oh ... ya?" timpal si pemuda bartender setelah menyodorkan gelas wine sudah berisi cairan merah yang membuat kepala terasa pening itu.
"Ya, dia mantan kekasihku dan kami berpisah selama tiga belas tahun. Aku pikir mencarinya dan mengatakan betapa bodohnya aku dulu akan membuat dirinya memberiku kesempatan kedua." Stanley terkekeh.
"Tiga belas tahun, bung. Kau tidak tahu perubahan apa yang bisa saja terjadi, bukan?"
Seolah mengiyakan kata-kata si pemuda itu, Stanley mengangguk setuju dengan wajah sendu sembari menyeruput cairan merah tadi masuk ke dalam kerongkongannya. Suara musik yang berdentum keras dalam ruangan bar itu membuat jantung Stanley ikut berdebar keras. Ia tidak begitu tahu lagu apa yang sedang diputar, tetapi cukup membuat adrenalinnya terpacu. Anggap saja ia berada di tempat pelarian yang tepat walaupun ini bukan rencana pertama dan terakhir yang ia pikirkan.
Si pemuda bartender pergi dari hadapan Stanley, melanjutkan pekerjaan dengan melayani pelanggan lain yang membutuhkan jasanya. Meninggalkan Stanley yang mengerang frustasi. Pria itu kemudian mendesah panjang, menoleh ke seorang wanita di sampingnya yang sedang asyik bergosip.
"Hei ... hei ...." sapa Stanley yang sudah kehilangan separuh akal sehatnya.
Wanita berambut cokelat panjang dengan potongan baju pendek dan minim itu menoleh dengan ragu. "Ya?"
"Wanita yang aku cintai mencampakkanku dan akan menikah dengan tunangan yang tidak ia cintai," celotehnya.
"Sayang sekali," sahut wanita tadi dengan ragu.
"Kami berpisah tiga belas tahun. Apa seseorag bisa melupakan perasaannya secepat itu?"
Wanita tadi tampak berpikir sebelum menjawab. "Tentu saja, kecuali kalau kau berada di dalam film romansa percintaan. Mungkin saja dia memang mencintai pria itu. Tidak ada salahnya untuk move on."
Air muka Stanley berubah lebih sendu dibandingkan pertama kali ia mendaratkan bokongnya di kursi bar itu. "Wow, kau membuatku merasa bertambah buruk."
"Maaf, aku hanya mencoba mencari jawaban yang lebih realistis."
Stanley kembali menatap gelas wine-nya. Perkataan wanita tadi memang ada benarnya juga. Tidak ada salahnya berpikir realistis, tetapi setengah dari dirinya menyangkal hal itu. Oh...Tuhan. "Kau pikir aku harus melupakannya?" Stanley bertanya lagi sambil menoleh kepada wanita yang sudah mengalihkan pandangannya kembali ke para gadis penggosip.
"Oke, setidaknya kau tidak mencampakkanku dengan berpaling ke mulut yang lain," bisiknya pelan pada gelas wine-nya sendiri.
Ia kembali berpikir, kalau saja Jefferson tidak menyembunyikkan surat itu dulu. Kalau saja, dirinya tidak memutuskan hubungan yang sudah terjalin indah dengan Louisa, semua ini tidak akan pernah terjadi. Bisa saja sekarang mereka sudah hidup bahagia. Mungkin menikah, tinggal di sebuah rumah di dekat danau dengan pemandangan gunung dan pepohonan. Lalu ada tiga sampai lima orang anak kecil yang akan bermain di pekarangan belakang, berlarian mengejar anjing peliharaan mereka yang membawa kabur sebelah sepatu Stanley.
Pria itu terkekeh lagi membayangkan imajinasi liarnya yang mulai beradu.
Entah ia mulai berhalusinasi atau semacamnya, Stanley bisa mendengar suara Louisa menggema di sekitar tempat ia duduk sekarang. Suara manis yang mirip seperti sebuah bisikkan. Ia sampai memejamkan kedua matanya, menyesapi tiap kata yang mengalun pada suara yang mirip dengan Louisa itu.
Tanpa sadar, Stanley menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari-cari sosok yang ia anggap Louisa, yang entah mengapa semua wanita berada di dalam ruangan bar itu berwajah mirip Louisa. Stanley bahkan harus menggeleng-gelengkan wajahnya, mengucek matanya berkali-kali dan berdoa pada Tuhan kalau apa yang dilihatnya kali ini bukanlah sekedar mimpi dan halusinasi.
Ia berjalan sempoyongan mendekati salah seorang wanita yang anehnya juga berambut pirang pendek dengan mini dress selutut berwarna merah menyala. Louisa terlihat begitu cantik dan mempesona, ketika ia harus menyembunyikan tawanya di balik punggung tangannya.
"Lou ..." ujar Stanley lirih.
Wanita berdress merah tadi menoleh dengan ragu. Tentu saja ia bingung ketika ada pria aneh yang menyebut dirinya dengan nama yang berbeda. Jelas, pria itu sedang berada di bawah pengaruh alkohol.
Sayangnya, wanita tadi bersikap tak acuh pada Stanley dan memilih melanjutkan obrolannya dengan beberapa orang yang ia kenal.
"Louisa!" Stanley kini sedikit meninggikan suaranya yang membuat wanita tadi terhenyak. "Aku sedang bicara padamu."
"Kau salah orang, Tuan," ujar wanita itu dengan tatapan tak nyaman.
" Louisa, please. Aku mohon berikan aku kesempatan lagi." Stanley menarik tangan wanita tadi dengan sedikit memaksa yang membuat wanita yang entah siapa namanya sedikit oleng ke kanan apalagi dengan kakinya yang terbalut high heels.
Kejadian itu sontak membuat suasana sedikit tegang dan beberapa orang teman dari si wanita tadi berteriak protes pada Stanley.
"Hei, Dude. Lepaskan pacarku," ketus seorang dengan setelan jas hitam langsung berdiri menghadang tubuh Stanley yang sepertinya akan membawa wanita tadi keluar dari sana.
"Pacar?" Stanley terkekeh geli mendengar perkataan pria tadi. "Yang benar saja. Dia ini kekasihku, mengerti."
Wanita tadi berontak dan berusaha melepaskan cengkraman tangan Stanley yang meninggalkan bekas kemerahan pada pergelangan tangan putih mulus si wanita malang.
Tak terima dengan perlakuan Stanley, pria tadi langsung menarik wanitanya mendekat kembali ke dalam pelukannya. Hal itu membuat Stanley marah dan menggeram kesal. Dengan tubuhnya yang limbung dan kesadarannya yang hampir menyentuh batas, Stanley mencoba melayangkan tinjunya pada pria tadi, tetapi tentu saja pukulan Stanley sama sekali tidak tepat sasaran yang menjadikannya balik terkena serangan balasan dari pria berjas hitam itu.
Satu pukulan yang mendarat tepat di perut Stanley dan membuat pria itu terbatuk-batuk. Namun, bukannya menyerah, Stanley malah balas mendaratkan pukulan yang kali ini tepat menghantam wajah si pria.
Semua orang mulai berkerumun melihat perkelahian itu. Si wanita tadi memilih untuk menghindar dari perkelahian dengan teman wanitanya yang menenangkannya. Serangan balasan dari si pria tadi sukses membuat Stanley akhirnya terkapar di lantai dengan wajah berdarah-darah, sebelum akhirnya pihak keamanan bar datang dan melerai perkelahian. Agak lamban memang, tetapi yang terjadi sudah terlanjur terjadi.
Sayup-sayup, Stanley merasa dunia kembali berputar tiga ratus enam puluh derajat dengan suara-suara yang lebih seperti bisikkan daripada suara nyata yang sesungguhnya. Ia mulai berada dalam dunia ilusi yang membuatnya seolah terkapar di sana dengan Louisa yang memandanginya cemas. Ia tersenyum miris, sebelum ia mendengar suara lagi yang tidak asing di telinganya sedang menyebut-nyebut namanya dengan keras.
Sepertinya ia mengenali suara itu.
Ya, tidak salah lagi. Itu suara Jefferson.
Ingin sekali Stanley berdiri dan menyahuti teriakkan Jefferson, namun sayangnya kegelapan mulai melingkupi dirinya sampai ia terjerembab masuk dalam pusaran hitam itu.
***
Semburat sinar matahari menyeruak memasuki ruangan dengan cahayanya yang membuat Stanley menyipitkan matanya. Berusaha untuk beradaptasi dengan sinar menyilaukan yang tanpa permisi mengganggu ketenangan tidurnya. Ia mengerang dengan gelisah dan memilih mengangkat selimut putih itu sampai menenggelamkan dirinya dalam kain halus tebal berbau stroberi.
Tunggu dulu. Ia tidak pernah memakai pengharum berbau stroberi atau buah-buahan lainnya. Tidak pernah. Rasanya sungguh memuakkan dan membuat Stanley akhirnya melempar gumpalan tebal tadi sampai terjuntai ke lantai. Dengan kepala pening yang begitu sangat, Stanley menoleh ke sekitarnya. Ia melenguh ketika tersadar kalau ia sekarang sudah berada di kamar Jefferson.
"Kau sudah bangun, tampan," ujar Jefferson yang muncul dari balik pintu dengan membawa nampan berisi segelas air dan juga segelas susu. Tidak lupa senyum selamat pagi yang tersungging di wajah pria tua itu. "Aku membawakanmu apa yang dibutuhkan oleh orang mabuk yang teler."
Stanley meringis ketika merasakan sakit pada tubuhnya terutama pada lengan dan wajah. Ia mengangkat kedua tangannya dan mendapati buku-buku jarinya dihiasi banyak luka yang tampaknya sudah mengering. Meninggalkan jejak merah kebiruan di permukaan kulitnya. Tidak jauh berbeda dengan penampakkan wajahnya yang juga bernasib sama dengan tangannya itu.
"Apa yang terjadi?"
Jefferson mengela napas panjang sambil menatap Stanley dengan wajah lelahnya. "Minum sajalah dulu, Stanley. Itu yang kau butuhkan. Aku sudah menaruh obat pusing di sana." Tunjuk Jefferson pada nampan yang sudah ia letakkan di samping meja ranjang sebelum ia keluar dari kamar dan mengambil sesuatu.
Tampak pasrah dengan keadaannya sekarang, Stanley memilih untuk mengikuti saran dari Jefferson. Kemudian, menyandarkan bahunya pada punggung kasur dengan tatapan menerawang jauh. Tak berapa lama, Jefferson kembali memasuki ruangan itu. Kali ini dengan membawa sepiring bubur hangat dengan sayap ayam pedas kesukaan Stanley.
"Kau butuh asupan untuk mengisi perut kosongmu itu," ujar Jefferson dengan wajah lembut. Ia mengaduk-aduk bubur yang masih tampak menyembulkan uap panas ke udara. "Aku berusaha membuat yang terbaik versi diriku. Jadi, aku harap kau suka."
"Tidak. Aku tidak lapar," tolak Stanley tanpa menatap Jefferson.
"Aku tahu kau lapar. Perut keronconganmu itu tidak bisa membohongi indra pendengaranku, Stanley."
Stanley bergeming. Ia hanya mengela napas.
"Baiklah." Jefferson meletakkan piring bubur ke atas nampan. "Dengar, Stanley. Aku tahu apa yang terjadi padamu hari itu dengan Louisa. Lalu, kekacauan yang kau perbuat dalam bar ... aku tahu. Dan aku sangat sangat ingin meminta maaf padamu atas apa yang terjadi. Semua itu di luar kendaliku."
"Oh, jangan lagi ...."
"Tidak ... tidak, aku belum selesai bicara."
"..."
"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Stanley ...."
"Dan kau bersikap seperti seorang cenayang sekarang, huh?" ketus Stanley dengan wajah masam dan dingin yang tidak bersahabat.
"Bisa kau biarkan aku bicara? Please?"
Stanley berdecak kesal sambil membuang muka sebal.
"Terima kasih." Jefferson mengerjapkan matanya sebelum kembali bicara. "Aku tahu semua ini kesalahanku dan kalau kau pikir aku senang melihatmu menderita seperti sekarang, maka jawabanku adalah tidak. Aku yang paling menderita melihat kesakitanmu seperti ini, Stanley. Semua karena keegoisanku. Aku sudah menghancurkan kebahagiaan anakku sendiri."
"Kau puas sekarang?"
"Tidak," bisik Jefferson dengan wajah nanar menatap Stanley. "Kalau aku bisa, aku ingin menangggung semua rasa sakitmu ini. Aku bersungguh-sungguh."
"Dia akan segera menikah tiga hari lagi dari sekarang dan tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku tidak ingin menjadi seorang lelaki brengsek yang merusak kebahagiaan orang lain. Aku sudah gagal."
"Enyahkan kata-kata gagal dari dalam pikiranmu, Stanley. Apa pun hasilnya tidak masalah karena kau sudah berusaha untuk menggapainya. Hanya saja, mungkin Tuhan sedang mengujimu."
"Apa bedanya? Sama saja, bukan?"
Kali ini Jefferson terdiam. Ia merasa sangat bersalah.
"Tidak ada gunanya lagi berada di sini. Lebih baik kita pulang saja," bisik Stanley.
"Kau ingin kita kembali ke Charlotte?"
"Tidak. Aku ingin kembali ke Manhattan."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top