BAB 16


Assalamualaikum....

Selamat malam, dan selamat menikmati malam Minggu bersama orang tercinta.

Semoga kalian menimati membaca StanStan bab 16 ini ya.


Love Love

Apa ini yang dinamakan keberuntungan atau nasib baik atau garis takdir? Oh, maaf semua memang mempunyai arti yang sama ... yeah, Stanley menggambarkan apa yang sekarang terjadi dalam hdiupnya seperti itu. Dia begitu beruntung walau awal yang ia lewati bisa dibilang tidak begitu mudah. Tetapi sekarang entahlah, Tuhan sangat berbaik hati dengan membuka jalan baginya dan Louisa untuk memulai sebuah hubungan pertemanan yang baru setelah tiga belas tahun.

Tiga belas tahun ....

Stanley begitu bersyukur meskipun Louisa sedikit bersikap seperti singa betina, tetapi wanita itu tetap saja masih menunjukkan sikap baiknya. Ah, Louisa dan hati Cinderella-nya. Hanya saja, dia terlalu baik ... sangat baik. Dan entah mengapa sifatnya itu membuat perasaan Stanley padanya semakin tumbuh tak terbendung.

Makan malam mereka yang seperti kencan itu menjadi jembatan pertama bagi Stanley untuk semakin gencar menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya pada wanita itu. Anggaplah, sedikit demi sedikit melangkah menuju gunung yang lebih tinggi. Dan anehnya, Louisa seolah tidak keberatan dengan sikap Stanley padanya. Kode alam nomor dua, mungkin Louisa masih menyimpan rasa yang sama terhadapnya. Kalau itu benar ... ya, setidaknya Stanley ingin mengaminkan prasangkanya itu.

Sama seperti ketika wanita itu setuju dengan ajakan Stanley untuk mengantarkannya ke tempat kerja dan menjemputnya lagi setelah itu. Ajakkan yang lebih seperti bujukkan ditambah rayuan. Membutuhkan waktu sekitar satu jam lamanya, setelah perdebatan kecil yang alot di mana menurut Louisa, gagasan itu sangat berlebihan. Namun, Stanley tetap memaksa dengan alasan hanya untuk beberapa hari saja sebelum ia kembali ke Charlotte. Entah kapan itu.

Tebak apa yang Jefferson katakan padanya setelah mengetahui perkembangan dua sejoli itu? Tentu saja, pak tua dengan semua kenarsisannya mengatakan kalau itu semua berjalan lancar karena restu yang ia berikan pada Stanley. Doa seorang ayah juga sangat manjur.

"Jadi, menurutmu kue apa yang ia sukai?" tanya Louisa.

"Entahlah, aku tidak tahu sebenarnya ..." Stanley mengamati beberapa kue manis yang terpajang di kotak kaca. "Mungkin blueberry muffin?"

"Menurutmu begitu?"

"Sepertinya enak." Stanley memberi kode pada seorang pelayan di dekatnya. "Aku pesan blueberry muffin semuanya."

Si pelayan yang mengenakan topi putih tadi bergegas mengambilkan pesanan Stanley dan menyusun enam buah blueberry muffin yang tersisa di etalase tadi ke dalam sebuah kotak berbentuk persegi berwarna putih.

"Lalu apalagi?" tanya Louisa sambil mengamati beberapa kue yang tampak menggiurkan.

"Entahlah, dia suka makan. Jadi, sepertinya nanti aku akan memasakkan makanan untuknya. Persediaan makanan di kulkas masih mencukupi ditambah dengan belanjaan kita yang tadi."

"Ide yang bagus."

Setelah membayar jumlah yang harus ia bayarkan, Stanley dan Louisa langsung keluar dari Batter Bakery dan melajukan mobil mereka kembali ke apartemen. Semoga kali ini, rencana Stanley untuk memberikan kejutan ulang tahun pada Jefferson bisa berjalan lancar. Meskipun bukan sesuatu yang mewah.

***

Tidak lebih dari tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di apartemen dan langsung naik menuju lantai lima. Terakhir Jefferson bilang ia akan mengunjungi seorang teman di Bay Area dan pria tua itu sudah berangkat sejak pagi.

Stanley pikir ayahnya akan pulang sebelum pukul 18:00, dan disisa waktu yang mereka miliki sekitar satu jam lagi, Stanley dan Louisa harus menyiapkan hidangan makan malam. Ia dengan cekatan mengeluarkan barang belanjaan dari kantong dan mengambil sayuran dalam kulkas.

"Jadi, ayahmu sekarang seorang vegertarian?" tanya Louisa begitu ia meletakkan kotak kue tadi di atas meja bar mini dan memindahkan enam muffin itu ke piring besar.

"Ya, itulah yang ia katakan padaku. Mengejutkan memang," jawab Stanley yang sudah memotong brokoli menjadi potongan kecil, mengiris wortel menjadi potongan tipis dan beberapa jenis sayuran lainnya. Mencampurkan semua bahan dalam mangkuk kaca besar, menambahkan cuka, sedikit garam, mayones, dan daun parsley.

"Kau ahli memasak juga." Louisa yang berdiri di samping Stanley mengambil sendok kecil dan mencicipi sedikit salad buatan pria itu. "Hmm, enak."

"Begitukah? Aku hanya mencoba menjadi seorang suami idaman."

"Ah, aku mengerti." Louisa tersenyum jenaka. "Jadi, apa yang bisa kubantu?"

"Oh, tidak apa. Aku bisa melakukan semuanya. Kau seorang tamu. Tidak baik untuk seorang tamu juga melakukan apa yang tuan rumah lakukan. Aku terkesan tidak sopan." Stanley memamerkan senyuman manisnya setelah ia meletakkan lima biji kentang berukuran besar ke dalam panci dan merebusnya sekitar lima sampai sepuluh menitlah.

"Tidak, tidak. Kau sendiri tahu aku tidak bisa membiarkan seseorang bekerja sendirian. Jadi, katakan padaku, apa yang bisa kubantu, Stanley. Jangan menjadi seorang yang menyebalkan, oke."

Pria itu menaikkan kedua alisnya. "Baiklah, kalau kau memaksa. Bisa tolong parutkan keju, dan memotong brokoli ini lagi?" Stanley menyodorkan sisa brokoli yang belum ia potong pada Louisa.

"Oke. Itu mudah."

"Kau yakin?"

Louisa mendaratkan lap kering ke wajah Stanley. "Kau pikir aku tidak fasih urusan dapur?"

"Bukan itu maksudku." Stanley tertawa kecil sembari mengecek kematangan kentangnya. "Aku takut kulit tanganmu yang mulus itu lecet atau terluka."

"Oh, ayolah. Jangan berlebihan, Stanley. Aku tidak akan termakan rayuan klasikmu, mengerti?"

"Aku tidak sedang merayumu, Lou. Aku bicara apa adanya."

Keduanya kemudian saling bertatapan untuk beberapa saat dengan perasaan yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Tentu saja, Stanley selalu serius dengan apa yang ia katakan. Tidak pernah ada kebohongan yang ia sisipkan di dalamnya. Tidak.

Kedua bola mata Louisa tampak bergerak gelisah ke kanan dan ke kiri, lalu memalingkan wajahnya pada potongan keju kotak yang masih terbungkus plastik bening.

"Sebaiknya, kita cepat menyelesaikan ini sebelum ayahmu datang."

Masih dengan posisi yang tidak berubah, Stanley mengangguk mengiyakan. "Kau benar. Ayo kita selesaikan."

***

Mungkin, Stanley harus menambahkan kalimat tidak pernah terbayangkan sekarang dalam kamus kehidupannya. Karena, sejak berada di dekat Jefferson, jujur saja Stanley selalu melakukan sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan akan ia lakukan sebelumnya. Seperti contohnya hari ini, ia tidak mengerti bisikkan dari setan mana yang membuatnya memikirkan sebuah ide untuk memberikan kejutan ulang tahun pada ayah menyebalkan itu.

Tetapi, sialnya ia malah seperti pria berhati hello kitty. Maksudnya, ia berubah menjadi seorang pria yang lebih peka dan entah sejak kapan rasa sayang itu mulai tumbuh dalam hati Stanley pada pak tua itu.

Jefferson sudah tiba di apartemen mereka sekitar pukul 19:15. Memang tidak sesuai prediksi Stanley, tetapi sejam yang terbuang itu tidak sia-sia karena ia bisa menyiapkan semua hidangan makan malam sesuai yang ia inginkan. Tadinya, Jefferson begitu kaget dengan banyaknya menu yang tersaji di atas meja. Lebih kagetnya lagi ketika melihat Stanley dan Louisa yang berjalan dari arah dapur dengan membawa sepiring kue muffin lengkap dengan lilin-lilin kecil berwarna-warni sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun.

Ia terharu dan tidak gengsi menumpahkan air matanya di depan anak dan wanita yang ia anggap sebagai calon menantu. Sebuah momen termanis yang tidak akan ia lupakan. Dengan senang hati, Jefferson meniup lilin-lilin yang masih menyala itu dengan sekali embus, tentu saja setelah ia memanjatkan beberapa doa dalam hatinya. Ah, tidak terasa kini ia bertambah tua dan memasuki umur lima puluh delapan tahun.

Selesai dengan acara tiup lilin, mereka bertiga duduk menikmati santapan makan malam bersama.

"Kau masih ingin menangis lagi?" Stanley melirik Jefferson yang sedang menyuapkan kentang terakhirnya.

Pria tua itu langsung menghapus sisa-sisa air mata yang menempel di pelupuk matanya sambil menggerutu. "Bisakah kau sedikit berempati dengan apa yang aku rasakan saat ini? Hah, kau lihat, Louisa sayang. Beginilah Stanley. Terkadang ia sangat tidak sabaran."

Louisa menahan tawanya yang hendak keluar. "Oh, ya? Tetapi, sepertinya kalian berdua memilki hubungan yang lucu, seperti cuaca."

"Terima kasih," tukas Stanley dengan sedikit kesal.

Lantunan lagu Lionel Richie yang berjudul Hello kembali terdengar. Jefferson sengaja memutar lagu lawasnya saat mereka mulai makan malam. Menurut pria tua itu, lagu romantis akan menambah suasana hangat.

Hello, is it me you're looking for?

I can see in your eyes, I can see it in your smile

You're all I've ever wanted and my arms are open wide

"Aku jadi merindukkan mantan istriku," ujar Jefferson.

Alis Louisa saling bertaut ketika ia mendengar kata mantan istri. "Maksud anda?"

"Ibunya Stanley."

Tatapan Louisa langsung beralih pada Stanley. Mungkin wanita itu tidak percaya kalau Stanley juga mengalami hal yang sama dengannya.

"Ayolah, jangan mulai membawa masa lalu, Jefferson," ketus Stanley yang sudah menegak habis air soda di dalam gelasnya.

"Terkadang kenangan masa lalu itu yang membuat kita merasa lebih hidup. Bukan begitu, Stanley?"

Stanley terdiam mendengar jawaban dari ayahnya. Damn, hidup memang rumit dan tidak mudah ditebak. Melaju lurus tanpa sempat berhenti seperti kereta api. Kalau pun harus berhenti, mungkin saja mati telah menghampiri.

"Stacey adalah wanita yang luar biasa. Sampai saat ini, aku masih merasakan betapa besarnya cinta yang ia berikan untukku dan anak-anakku." Jefferson tertunduk, menatap gelas wine yang berputar di tangannya. "Aku terkadang merindukkan sosoknya di sampingku setiap saat. Tetapi, aku tidak bisa berbuat apa pun sekarang. Semua sudah terlambat."

"Hidup membuat kita belajar, bukan?" bisik Louisa.

"Tetapi, aku tetap mencintainya dan juga mencintai anak-anakku tentu saja. Tidak ada yang lebih berarti dari mereka semua," ucap pria tua itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca kembali. "Aku mencintaimu, Stanley."

Garis rahang Stanley mengeras. Air mukanya berubah sendu begitu tatapan ayah dan anak itu bertemu. Ia merasakan perasaan yang campur aduk, antara senang, sedih dan kesal. Tetapi, ketika kata aku mencintaimu keluar dari mulut Jefferson, hatinya menghangat.

"Aku juga, Dad."

Mendengar jawaban Stanley, Jefferson pun kembali meneteskan air mata. "Ah, malam ini aku begitu banyak menangis. Astaga, sungguh aku bahagia sekali."

"Aku juga turut bahagia untuk anda, Sir," ucap Louisa.

"Aku selalu ingin menambah anak perempuan dalam keluargaku," balas Jefferson sambil menggamit jemari Louisa dan mengelus punggung tangan wanita itu lembut. "Kau baik sekali. Terima kasih atas waktu yang kau luangkan untuk pria tua ini."

"Tidak masalah, Sir."

Seandainya Louisa tahu apa makna dari kalimat Jefferson tadi.

"Baiklah, sepertinya aku mulai mengantuk. Terlalu banyak menangis membuat mataku berat dan merindukan kasurku yang empuk." Jefferson berdiri. "Kalian lanjutkan saja makan malamnya. Aku akan beristirahat."

Namun, tanpa Louisa sadari, Jefferson mengedipkan sebelah matanya pada Stanley sambil berkata nikmati waktumu.

"Selamat malam," ucap Louisa saat berdiri sejajar dengan Jefferson yang sudah merentangkan kedua tangannya untuk wanita itu. Memeluk Louisa seperti ia memeluk anaknya sendiri.

"Selamat malam."

"Selamat malam, Dad. Beristirahatlah." Stanley juga berdiri di samping Louisa.

Terdengar suara pintu yang berderit ketika Jefferson membuka pintu kamar pribadinya dan menutupnya kemudian.

"Aku tidak pernah tahu kalau mereka bercerai." Louisa membuka percakapan ketika ia melihat Jefferson sudah menutup pintunya.

"Ya, cerita yang panjang. Lagi pula semua sudah menjadi masa lalu dan mereka hidup pada dunianya masing-masing."

"Aku mengerti."

Mereka berdua terdiam dalam kecanggungan untuk beberapa saat.

"Kau ingin berdansa?" tanya Stanley ketika ia rasa tidak ada hal lain yang akan Louisa katakan.

"Oh, aku tidak pandai berdansa," erang Louisa dengan tatapan menolak.

"Ayolah, jangan berbohong padaku. Kau dulu jago berdansa." Stanley memaksa. "Lagi pula musiknya masih menyala."

Dengan tawa yang keluar dari mulutnya, Louisa tersenyum. "Baiklah kalau kau memaksa."

Pria itu mengulurkan satu tangannya pada Louisa dan wanita itu menerimanya dengan senang hati. Mereka mensejajarkan tinggi masing-masing, saling menggamit jari jemari mereka hingga menyatu dalam kehangatan yang menjalar sampai dalam aliran darah masing-masing.

Wanita itu meletakkan satu tangannya dengan nyaman pada bahu Stanley di mana pria itu dengan gentle merengkuh pinggang ramping Louisa. Mereka bahkan bisa merasakan embusan napas panas yang menguap ke udara saat tatapan intens mereka bertemu.

"Kau masih mahir berdansa," bisik Stanley tepat di telinga Louisa yang membuat wanita bersurai pirang itu tertawa kecil.

"Bakat itu tidak pernah bisa luntur termakan waktu."

"Kau masih tetap cantik seperti pertama kita bertemu."

Louisa mengangkat wajahnya dan mendapati Stanley yang menatapnya lekat seolah tak ingin beranjak satu detik pun dari tempat mereka berdiri sekarang. Manik biru yang dulu pernah mewarnai kehidupannya. Sekarang tatapan itu entah mengapa sama seperti kali pertama mereka berdansa di pentas seni sekolah dengan alunan lagu Bryan Adams.

Sialnya, di tengah momen penuh ke romantisan itu, ponsel Louisa kembali berdering. Stanley benar-benar mengumpat dalam hati dan mengutuk benda tidak berguna itu menjadi batu saja. Louisa sudah melepaskan pelukannya dari Stanley dan bergerak mengambil ponsel yang masih berbunyi di dalam tasnya. Namun, wanita itu tidak segera menjawab panggilan tadi dan malah mematikannya. Ia menggigit bibir bawahnya, sebelum menoleh pada Stanley dengan ragu.

"Sepertinya aku harus segera pulang. Ibuku menelpon. Jadi ...."

"Oh, oke. Baiklah kalau begitu," jawab Stanley dengan canggung. Tolong, hentikan debaran jantung yang sudah menggebu-gebu di dalam lapisan tulang, darah dan daging ini. Pria itu sungguh sangat tersiksa.

Louisa sudah menyampirkan tas slempang dibahunya dan kemudian berjalan pelan ke depan pintu diikuti oleh Stanley yang berjalan di belakangnya.

"Tolong sampaikan salamku pada ayahmu." Louisa berbalik menatap Stanley.

"Ya, tentu saja. Terima kasih sudah membantuku, Lou." Stanley tersenyum.

"Kapan pun kau butuh, Stanley."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top