BAB 15


Assalamualaikum ....

Selamat malam, semuanya ....

Semoga sehat selalu ya. Malam ini StanStan hadir lagi menemani hari Rabu kalian. Semoga kalian suka ....


Love Love

Jefferson melihat Stanley yang baru saja muncul dari balik pintu kamar dengan raut kecewa begitu ia mendaratkan bokongnya di sisi ranjang.

"Jadi, bagaimana? Jangan bilang kau mendengar suara berisik yang memuakkan atau sebaliknya?" tanya Jefferson sambil mengunyah kacang polong rebus.

"Tidak terlalu buruk dari apa yang kau katakan itu. Hanya saja sepertinya dia belum pulang."

"Lalu?"

"Apanya?"

"Kenapa kau masih berada di sini? Pergi sana. Bersikaplah seperti seorang pangeran yang akan mengajak seorang putri kerajaan bertamasya ke suatu tempat."

"Maksudmu, aku harus menjemputnya?"

"Apalagi kalau tidak begitu, bodoh. Astaga, kau ini bebal sekali. Seperti itulah seorang pria bersikap. Jemput dia sekarang, bawakan sebuket bunga yang ia sukai, lalu katakan padanya apa kau ingin makan malam denganku?"

Stanley yang tadinya membenamkan wajahnya dalam bantal, langsung melempar benda itu ke lantai lalu menoleh pada ayahnya. "Benar, ucapanmu ada benarnya juga."

"See? Aku memang pintar. Otak jeniusku ini tidak pernah salah memberi saran percintaan. Aku jadi penasaran, berapa banyak wanita yang pernah kau kencani selama ini sehingga membuat otak cemerlangmu itu membeku."

Tidak mendengar dan bahkan tidak berniat membalas sindiran Jefferson, Stanley sudah melompat terlebih dahulu dari ranjang lalu mengambil jaket dan kaca matanya.

"Kau mau pergi lagi?" Jefferson setengah berteriak begitu Stanley menghilang dari pandangannya.

"Doakan semua berjalan lancar." Stanley kembali masuk ke dalam kamar ayahnya, melakukan sesuatu yang tidak terduga dengan mencium kening pria tua itu yang kini sukses dibuat melongo olehnya. Mulut Jefferson tidak mau terkatup dan tetap menganga membentuk huruf O bulat dengan mata yang membelalak. Pria itu melempar senyum simpul sebelum akhirnya keluar dari sana.

"Oh Tuhan," bisik Jefferson masih dengan wajah terkejutnya.

***

Stanley tidak mengerti bagaimana dirinya bisa bergerak secepat itu setelah mendengar ucapan Jefferson. Sulit dipercaya memang, apalagi setelah ia mencium kening ayahnya sendiri ... oh tolong diingat, itu tindakan yang tidak pernah sama sekali ia lakukan kepada siapa pun, tidak juga pada Stacey. Ia sendiri tidak mengerti, oh ... semua terjadi begitu saja dan oh my God, sulit dipercaya.

Apa memang benar ini efek Louisa?

Ban mobilnya berdecit begitu ia sampai di depan gerbang bangunan yang bertuliskan SM Preschool. Sedikit merapikan rambutnya yang terbilang sudah sangat rapi. Percayalah, Stanley sudah mengecek penampilannya setidaknya tiga kali. Pertama, saat ia bertemu dengan salah satu tetangga apartemennya. Kedua, ketika ia membeli sebuket bunga ranunculus berwarna merah muda. Salahkah ia bertanya pada pramuniaga yang melayani pesanannya dengan berkata, bagaimana penampilanku? Tentu saja wanita muda berusia sekitar dua puluh tahunan itu mengatakan ia terlihat tampan tanpa cela.

Ketiga, ia bertanya pada spion mobilnya sendiri, apa aku sudah terlihat rapi, keren, ahh ... apa aku harus mencukur rambutku lagi? Dan benda mati yang tidak tahu apa-apa itu hanya bisa terdiam tanpa bisa memberikan saran. Damn, mengapa jatuh cinta dan melakukan hal romantis sungguh membuat dirinya seperti orang gila?

Kakinya melangkah dengan penuh percaya diri memasuki gedung sekolah itu. Beruntung bagi Stanley, ia bertemu dengan seseorang dan bertanya tentang keberadaan Louisa. Wanita berparas oriental dengan rambut hitam sebahu itu pun dengan senang hati mengantarkan Stanley ke sebuah ruang kelas di mana terdengar gelak tawa dari ruangan itu. Wanita tadi membuka pintu.

"Louisa, ada seseorang yang mencarimu," ucap wanita itu.

"Mencariku? Tidak biasanya, siapa dia Lisa?"

Wanita bernama Lisa tadi mengerling pada Stanley, mempersilahkan pria itu masuk. Lisa melempar kode oke ke udara pada Louisa begitu wanita itu melirik sekilas pada Stanley.

"Dia tampan," ucap Lisa tanpa bersuara. Hanya gerakan mulut yang disadari oleh Louisa sambil tersenyum sumringah.

"Hai," sapa Stanley sambil berdiri menyembunyikan buket bunga yang tadi ia bawa di balik punggungnya. Manik biru Stanley tertarik dengan seorang anak kecil kira-kira berumur lima tahun yang sedang asyik menyusun balok-balok beraneka warna menjadi bentuk rumah.

"Hai?" Louisa masih terkejut dengan keberadaan Stanley sampai lupa Lisa mengatakan, baiklah aku harus mengurusi beberapa hal dulu, jadi aku akan meninggalkan kalian berdua. "Apa yang kau lakukan di sini, Stanley?"

Tidak perlu bertanya lagi apa yang dirasakan oleh pria itu karena ia sekarang sudah gugup setengah mati. Stanley berjalan pelan menghampiri Louisa sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Dengan mengerahkan semua keberaniannya, pria itu memberikan buket bunga tadi ia sembunyikan. "Aku ...."

"Aku?"

"Aku ingin memberikanmu ini." Stanley mengulurkan buket bunga itu ketika Louisa hanya terpaku melihatnya di sana.

"Kau tidak sedang merayuku atau semacamnya, kan?"

Stanley mengerjap, mencoba mencari alasan yang tepat dalam otak cemerlangnya. Namun, sayang sekali tidak ada satu kosakata yang bisa membantunya lepas dari situasi penuh kecanggungan ini. Seandainya Jefferson ada di sampingnya. Pak tua itu pasti punya seribu satu alasan terbaik.

"Tidak, tentu saja. Aku ... aku hanya berpikir mungkin kau masih marah padaku soal mesin cuci itu, jadi aku mencari ke kamarmu, tetapi kau tidak ada di sana. Jadi, aku berinisiatif mencarimu kemari."

Sambil menahan tawanya, Louisa menerima bunga ranunculus itu. "Aku sudah tidak marah lagi soal mesin cuci itu, Stanley. Kau tahu sendiri, kan? Tapi, terima kasih untuk bunganya."

"Oke, baiklah." Stanley tersenyum, sambil sesekali mengamati ruangan yang terbilang cukup luas untuk ukuran sebuah kelas. Jendela-jendela besar bercat putih pada pinggiran kayunya. Ada juga sebuah papan tulis besar yang digantung di depan kelas, berbagai macam gambar buah dan bunga yang tertempel di papan mading kelas, lalu meja dan kursi berukuran mini yang tertata rapi berjejer dari depan ke belakang.

"Apa dia pacarmu, Ma'am?" tanya anak laki-laki itu sambil mengamati Stanley yang berdiri gagah dari ujung kaki sampai atas kepala. Alisnya saling bertaut lalu beralih menatap Louisa dengan penuh rasa ingin tahu.

"Tidak, Mailo. Tentu saja, tidak," jawab Louisa santai.

Sial bagi Stanley, ucapan Louisa tadi bagai panah tajam yang melesat cepat menembus dadanya dan menghentikkan kerja jantung pria itu. Untuk sesaat ia bahkan menahan napas seperti orang konyol yang mematung di tempat. Tentu saja, mereka bukan lagi sepasang kekasih. Cerita itu sudah lama berakhir. Apa yang bisa Stanley harap Louisa katakan?

"Pertanyaanmu benar-benar tidak sesuai umur, Kid." Stanley yang tersadar dari lamunannya lalu duduk di sebelah anak laki-laki bernama Mailo itu. Ia mencoba mensejajarkan tingginya dengan Mailo sambil melihat tumpukkan balok yang ada di atas meja. "Hai, Mailo. Namaku Stanley."

"Hai, paman Stanley."

Keduanya beradu pandang. "Aku kira jam pulang sekolah sudah tiba?"

"Ya, memang. Tetapi, ornag tua Mailo sedikit terlambat untuk menjemput si kecil ini. Jadi, aku harus menemaninya sampai mereka datang."

Pria itu mengangguk mengerti. "Baiklah, kalau begitu aku juga akan menemanimu."

Louisa melongo. "Tidak, tidak. Bagaimana kalau kau ada kesibukan lain?"

"Tenang saja, aku mempunyai banyak waktu luang. Jadi, santai saja."

Wanita itu tersenyum lembut. "Hei, Mailo, apa kau ingin menggambar?"

"Yes, Mai mau menggambar." Anak laki-laki itu bertepuk tangan setelah menyelesaikan rangkaian mainan baloknya. Secara mandiri, Mailo meletakkan kembali mainan balok ke dalam kotak penyimpanan. Tentu saja, Stanley mencoba membantu bocah itu dan tidak sampai lima menit, semua beres. Kemudian, Louisa memberikan beberapa lembar kertas dan juga sekotak kecil crayon.

"Dia bersemangat sekali," ucap Stanley begitu melihat Mailo yang sekarang membuat garis panjang yang tidak begitu jelas.

"Yeah, setidaknya aku bisa membuatnya tidak merasa bosan," timpal Louisa. "Anak kecil biasanya akan melakukan banyak hal yang tidak terduga. Dan Mailo anak yang sangat aktif. Aku pikir memberikannya beberapa kegiatan lagi akan sangat membantu dari pada melihatnya duduk melamun menunggu kedua orang tuanya."

"Bagus," Stanley mengatakan itu sambil menatap Louisa dengan tatapan lembut dan sayang yang sangat tersirat dari binar-binar matanya. "Kau seorang guru yang hebat, dan calon ibu yang baik bila kau berpikir untuk segera berumah tangga."

Louisa hampir menggigit lidahnya sendiri begitu mendengar kalimat terakhir Stanley. Ia mengerjapkan matanya sambil menenangkan debaran hebat pada jantungnya. "Kau bicara apa? Astaga."

"Aku hanya berandai-andai."

"Terima kasih atas sanjunganmu kalau begitu," Louisa menggamit beberapa helai rambutnya ke belakang telinga.

"Apa yang kau gambar, Mai?" tanya Stanley.

"Ini Papa," jawab Mailo ketika ia menjetikkan jarinya pada gambar orang yang sedikit kurang sempurna parasnya. Tentu saja coretan gambar bocah lima tahun tidak sama dengan orang dewasa. "Ini Mama, dan ini Hana."

"Jadi, kau mempunyai saudara perempuan?" Stanley kembali bertanya.

"Ya."

"Keluarga yang bahagia dan lengkap. Kau memang pintar menggambar, Mai." Louisa mengusap rambut bocah itu dan mencium pucuk kepala Mailo.

"Terima kasih, Ma'am."

Wanita itu termenung untuk beberapa saat dengan mata yang masih mengamati gambar Mailo tadi. Tentu saja, hal itu tidak luput dari pengamatan Stanley. Ia yakin, Louisa pasti sedang mengingat keluarganya saat ini. Keluarganya yang dulu pernah bersama dan utuh dalam kebahagiaan. Sama seperti dirinya.

"Akan menyenangkan sepertinya memiliki keluarga yang lengkap dan harmonis," ucap Louisa kemudian.

"Maksudmu?"

"Yeah, keluarga yang kau sebut rumah tempatmu pulang."

"Sepertinya menyenangkan dan mengerikan bila memikirkan hal-hal yang berbau masa depan."

"Kenapa harus mengerikan? Kau bisa saja menyingkirkan sesuatu yang tidak penting."

"Begitukah? Kalau begitu, masa depan yang seperti apa yang kau impikan?"

"Apa aku benar-benar harus menceritakannya? Karena sepertinya aku merasa diriku sedang diinterogasi sekarang."

Stanley terkikik. "Tidak, aku hanya ingin tahu. Lagi pula aku senang bisa mengobrol seperti ini denganmu. Ocehan ayahku tidak lepas dari percakapan orang tua dengan semua nasihat hidupnya. Jadi, aku ingin mendengar sesuatu yang berbeda. Mungkin darimu? Oh, dan aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu pertemanan ini."

"Well, kalau kau memaksa. Keluarga bagiku adalah rumah tempatku pulang. Tempatku melepas penat, mungkin nanti akan ada anak-anak yang menyambutku, dua atau tiga, entahlah ... kembar mungkin. Dua laki-laki dan satu perempuan, atau semuanya laki-laki atau perempuan, tidak masalah. Lalu, suami yang bisa menjadi teman berkeluh kesah yang setia mendengar semua ocehan absurd-ku. Setidaknya seorang family man. Mencintaiku dan anak-anak kelak. Menua bersama hingga akhir hayat. Apa semua itu terdengar terlalu sempurna?"

"Sempurna memang ... sangat," bisik Stanley. "Pria bodoh macam mana yang akan bosan dengan ocehanmu. Astaga, kau terlalu merendah."

"Terlalu banyak tipe pria, Stanley."

"Apa kau sudah menemukan salah satunya? Yang kau impikan?"

Louisa mengangkat wajahnya dengan sedikit terkejut. "Entahlah. Aku harap Tuhan segera memberi jawaban ... lalu bagaimana denganmu? Masa depan seperti apa yang kau impikan?"

"Aku? Aku belum memikirkan detail pastinya, tetapi aku ingin yang terbaik."

"Apa kau tidak ingin membangun rumah tangga?"

"Aku ...." Stanley menggantung kata-katanya sebelum ponsel Louisa akhirnya berdering. Wanita itu beranjak dari tempat duduknya dan mengambil benda pipih yang masih berbunyi nyaring dengan suara saxophone mengalun merdu. "Maaf aku harus mengangkat telpon ini."

Stanley mengangguk setuju begitu Louisa menoleh padanya. Ia menatap punggung wanita itu yang kini berjalan keluar dari kelas dengan terburu-buru. Ingin rasanya ia mengetahui siapa yang sedang berbicara dengan Louisa di seberang telpon sana. Wanita itu juga tampak sesekali menatap Stanley dari kejauhan sebelum akhirnya memilih bergerak ke sisi lain yang tidak terlihat.

Pria itu hanya bisa menghela napas. Matanya tidak lagi fokus dengan Mailo yang sekarang sedang asyik menggambar pohon dengan buah apel yang menggantung di ranting-rantingnya. Bocah itu menggoreskan warna hijau pada gambar daun yang ia buat.

"Hei, Mailo, boleh aku bertanya sesuatu?" ucap Stanley. Bocah itu menoleh.

"Paman ingin menanyakan apa?"

"Louisa, maksudku Ma'am Louisa ... entah kau memanggilnya apa, gurumu yang tadi, apa kau pernah melihatnya diantar atau dijemput oleh seseorang? Pria mungkin seperti Paman?"

Mailo menaikkan sebelah alisnya. "Aku tidak tahu, Paman. Kenapa kau tidak bertanya saja langsung pada ibu guru?"

Bagus, jawaban yang seharusnya sudah Stanley duga. Ia memang bodoh bertanya sesuatu seperti itu pada anak kecil berumur lima tahun. Sambil menggaruk keningnya, Stanley akhirnya mengatakan, kau benar juga.

Shit, rasa penasaran ini membuatnya gila.

***

Tepat ketika jam sudah menunjuk pukul 19:15, akhirnya ibu Mailo datang menjemput bocah itu. Wanita paruh baya yang masih mengenakan pakaian perawatnya tampak tergesa-gesa berjalan ke arah ruang kelas, mengucapkan permintaan maafnya karena terlambat menjemput Mailo dan juga menyampaikan rasa terima kasihnya karena sudah menemani anak laki-lakinya itu. Ibu Mailo yang Stanley tahu bernama Elysia itu pun berlalu dengan Mailo yang sudah berada dalam gendongannya.

Stanley melambaikan tangannya ketika Mailo mengucapkan terima kasih.

"Oh, maafkan aku karena sudah merepotkanmu untuk menemani kami," ucap Louisa kemudian setelah ia mengambil tas selempang berwarna hitam miliknya yang tadi ia letakkan di atas meja guru.

"Tidak masalah, Lou. Aku senang bisa menemanimu, lagi pula Mailo anak yang baik dan sangat menyenangkan bermain dengannya."

"Kau sudah cocok menjadi seorang ayah kalau begitu. Nalurimu sebagai orang tua sudah terlihat."

"Ya, kah? Aku tidak merasa seperti itu. Aneh sekali. Entahlah."

"Oh, ayolah. Itu pasti karena kau memiliki kekasih, bukan? Jawab ya kalau tebakkanku benar. Dia pasti wanita yang sangat beruntung."

Pria itu melempar senyum, menatap Louisa seolah menyiratkan rasa cintanya pada wanita itu. Tapi, sayangnya Louisa tidak menangkap kode alam yang Stanley berikan padanya. "Tidak, aku tidak memiliki kekasih."

"Kau? Ayolah, kau pasti berbohong. Jujurlah padaku, tidak akan ada yang tahu tentang hal itu. Aku jamin. Kau bisa memegang kata-kataku."

"Aku tidak bisa berbohong." Stanley tertawa pelan. "Bagaimana denganmu?"

"Aku? Aku sekarang sedang berdua bersamamu."

Stanley mengerang merasa dipermainkan oleh Louisa yang kini tertawa melihat ekspresinya. "Kau jahat."

"Sudahlah, itu tidak penting. Bagaimana kalau aku traktir kopi atau sesuatu yang lain? Anggap saja bentuk terima kasih dariku."

Pria itu terdiam.

"Baiklah, traktir seperti kencan?"

"Tidak, tidak ..." Louisa tertawa melihat waut wajah memelas Stanley. Sungguh pria itu memiliki tampang memelas yang sangat lucu yang selalu sukses membuat dirinya tertawa dari dulu. Ya, dulu. "Baiklah, seperti kencan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top