BAB 14
Hai, Assalamualaikum.....
Selamat malam semuanya....
Hari ini StanStan, papa Jefferson dan calon menantu, Louisa balik lagi ....
Walau kondisi lagi gak memungkinkan sebenarnya, tapi the show must go on dan saya harap kalian suka dengan part ini.
Akhir kata, selamat membaca. Jangan lupa saran dan kritiknya ya ....
Terima kasih banyak.
Love Love
Terakhir kali, Stanley membuka pintu dengan handuk yang masih membelit pinggangnya, ia mendapati Louisa yang berdiri dengan wajah lembut tanpa ada tanda-tanda emosi yang meletup-letup di air muka wanita itu. Kini ketika Stanley kembali membuka pintu, ia melihat Louisa yang berdiri dengan wajah sama seperti pertama kali mereka bertemu. Damn, apa ia berbuat kesalahan lagi?
"Hai ...." sapa Stanley begitu ia membuka pintu dan bertemu mata dengan Louisa yang sudah memasang wajah masam. Sepertinya wanita itu tidak ada niatan untuk membalas sapaan Stanley. Jadi, langkah awal yang Stanley lakukan adalah tersenyum, memamerkan deretan giginya yang tertapi rapi. Tolong dicatat, semuanya putih bersih dan tidak ada karang gigi.
"Apa yang kau lakukan?" ketus Louisa dengan berkacak pinggang.
"Aku?" Stanley mengangkat sebelah alisnya, sedikit kaget dengan pertanyaan wanita itu. Tetapi, karena ia sedang dalam suasana hati yang baik dan berbunga-bunga ... oke baiklah ... dengan senang hati akan ia jawab. "Aku baru saja kembali dari mengunjungi suatu tempat lalu mampir ke toko buku, membakar lemak dengan ayahku ...."
"Bukan itu maksudku, Stanley." Louisa sedikit menggeram. "Demi Tuhan, apa yang kali ini kau perbuat?"
"Bukankah aku sudah menjelaskan apa yang baru saja aku lakukan? Atau kau ingin mengetahui apa kegiatanku lima menit yang lalu? Oke, baiklah, kau baru saja selesai ma ...."
"Kau pengirim mesin cuci itu, bukan?" tanya Louisa dengan mata menyipit menyelidik. Ya, benar. Semua karena mesin cuci sialan itu yang membuat Louisa bergegas pulang saat jam istirahatnya tiba. Ia menerima telpon dari seorang kurir yang menanyakan harus diletakkan di mana mesin cuci yang masih terbungkus rapi dalam kardus.
"Oh, apa kau suka?" Baiklah jadi mesin cucilah topik mereka sekarang.
"Aku minta kau mengembalikan benda itu karena aku tidak membutuhkannya, dan aku tidak ingin kau melakukan sesuatu tanpa persetujuan dariku."
"Aku pikir kita teman."
"Ya ... ya memang seperti itu, maksudku aku tidak ingin berhutang apa pun darimu dan kau terlalu berlebihan menyikapi apa itu arti pertemanan kita."
Stanley tersenyum. "Jadi, sebenarnya apa arti pertemanan kita ini? Bisa kau jelaskan padaku?"
Louisa kembali menggeram, seolah mulai lelah dengan percakapannya kali ini dengan pria itu. Tetapi, sebelum ia melontarkan kalimat balasan, Jefferson muncul dari belakang Stanley dengan sikap sok akrabnya.
"Maaf, aku mendengar sedikit keributan di depan sini, jadi aku penasaran siapa yang beradu argumen dengan siapa," ucap Jefferson sambil melempar senyum pada Stanley lalu menatap Louisa dengan tatapan lembut. "Hai."
"Bisakah kau menunggu saja di dalam?" pinta Stanley dengan memberikan kode mata yang ia harapkan Jefferson bisa menangkap artinya.
"Aku hanya ingin menyapa tamu kita. Astaga mengapa kau tidak menyuruhnya masuk? Di mana sopan santunmu sebagai pria?" Jefferson memutar bola matanya.. "Ayo, silahkan masuk cal ...."
Sepertinya Jefferson tidak mengerti kode yang ia berikan atau pria tua itu pura-pura bodoh. Keduanya memiliki rasio jawaban yang sama.
"Jefferson!" ucap Stanley dengan mata yang sedikit membulat. Jelas-jelas wajahnya menampakkan sebuah kalimat yang bisa diartikan begini, apa kau baru saja akan memanggilnya sebagai calon menantu?Apa kau gila?
"Apa? Astaga, Stanley, aku hanya mencoba beramah tamah pada wanita cantik di depanku ini. Benar begitu, kan? Um, Louisa?"
Louisa mendelik lalu mengembuskan napas frustasi melihat perdebatan kecil ayah dan anak yang sedang dipertontonkan di depan matanya sendiri. "Ya?"
Jefferson menjetikkan tangannya tepat di wajah Stanley dengan tatapan tanpa dosa. "Kau dengar? Dia saja membenarkan apa yang aku katakan."
"Tidak, dia tidak membenarkan apa pun. Oke! Jadi, kenapa kau tidak masuk saja dan menghabiskan kentang gorengmu? Bukankah kau juga harus menelpon Matilda?" Stanley mendorong bahu Jefferson masuk ke dalam kamar.
Namun, bukan Jefferson namanya kalau tidak mengelak. Setidaknya pria tua itu memberikan perlawanan sengit sambil tertawa puas. "Siapa Matilda? Bahkan aku tidak mengenalnya?"
"Astaga, Jefferson! Wanita yang suka kau goda di tempat gym. Oh, ayolah. Masuk saja, please."
"Bukankah dia yang suka menggodamu?" sanggah Jefferson. "Matilda yang suka menggoda Stanley, Louisa!" Setelahnya Jefferson terkikik menatap Stanley yang sudah memasang wajah seperti singa yang siap menerkam mangsa kapan saja.
"Seriously? Jefferson?!" Stanley mengerutkan keningnya dengan sedikit menggeram. Lalu meninggalkan Jefferson di ruang tamu setelah pria itu melayangkan jari telunjuknya ke udara tepat di depan wajah Jefferson. "Jangan mengatakan hal yang aneh lagi. Atau kau akan menyesalinya."
Jefferson masih tertawa sampai wajahnya memerah. "Got it."
Dengan mengambil langkah cepat kembali ke depan pintu, Stanley bertatap muka kembali dengan Louisa yang masih memasang wajah masam. Ia memilih menutup pintunya saja dari pada Jefferson kembali mengacaukan perbincangannya dengan Louisa.
"Maafkan aku, hanya saja Jefferson terkadang mengatakan bualan-bualan yang tidak masuk akal. Oh, dan aku tidak mengeal Matilda kalau kau bertanya-tanya dalam hati siapa wanita itu," jelas Stanley.
"Arrghh, Stanley. Bahkan aku tidak ingin tahu siapa yang kalian bicarakan. Dan kalau kau mengira aku akan bertanya-tanya dalam hati siapa dia ... maaf, aku tidak melakukannya." Louisa melempar tatapan dingin mengintimidasi. "Enyahkan saja mesin cuci yang baru saja kau beli itu. Aku tidak membutuhkannya."
Wanita itu kemudian melangkah berlalu dari depan pintu Stanley, tetapi pria itu mencekal lengannya yang membuat Louisa berbalik.
"Oke, maafkan aku, Lou. Bukan itu maksudku. Hanya saja Jefferson agak melebih-lebihkan sesuatu, jadi aku tidak ingin kau salah paham ... dan ...."
"Tidak akan ada yang salah paham, Stanley. Kau tidak perlu mencemaskan sesuatu yang tidak pernah terjadi. Jadi, bisa kau lepaskan tanganku sekarang?"
Stanley terdiam, menatap manik biru wanita itu lekat-lekat. Mengamati garis wajahnya yang begitu sempurna dimata pria itu. Sungguh Louisa Morez dengan semua kesempurnaannya yang tidak pernah berubah.
"Maafkan aku," bisik Stanley.
"Terima kasih," balas Louisa yang langsung megambil langkah seribu meninggalkan Stanley yang termangu di tempatnya berdiri. Berbelok ke kiri ketika ia hendak memasuki lift. Namun, seketika ia terperanjat kaget begitu sosok pria yang mencekal lengannya itu kembali muncul dan masuk ke dalam lift yang sama dengan dirinya.
"Apa yang kau lakukan?" Mulut wanita itu membulat sempurna dengan alis mata yang saling bertaut.
"Masuk lift," sahut Stanley dengan melempar senyum yang tentu saja bagi Louisa senyuman itu demi Tuhan, sungguh sangat memuakkan. "Aku ingin mengecek mesin cucinya."
***
Di dalam ruang tamu yang beraroma vanilla itu, Stanley bisa melihat benda besar yang seingatnya tiga jam yang lalu baru ia pesan dari salah satu toko perlengkapan rumah tangga. Entahlah, sebenarnya ia tidak pernah berpikir untuk melakukan hal seperti itu. Oh, ayolah, terkadang pria memang mesti memberikan kejutan seperti bunga atau benda berkilauan dengan banyak angka nol di belakangnya. Tetapi, anggaplah ia bukan pria yang akan dengan mudahnya memikirkan hal-hal romantis seperti itu.
"Jadi?" Louisa membuka percakapan ketika mereka berdua baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu.
"Ya, seperti yang kau bilang. Benda ini memang terlalu besar untuk berada di sini," ucap Stanley santai. "Bisa aku pinjam kamar mandinya?"
Louisa menatap Stanley dengan sedikit bingung. "Oke, tentu saja."
"Terima kasih."
Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Stanley langsung masuk ke dalam ruangan berukuran dua kali dua meter itu. Kemudian, mengeluarkan mesin cuci lama Louisa dan meletakkannya di luar kamar mandi. Ia tersenyum puas dengan apa yang baru saja ia lakukan. Sekarang tinggal memasukkan mesin cuci baru ke dalam sana dan masalah mereka selesai. Hanya saja ia butuh usaha untuk meyakinkan Louisa kalau apa yang ia lakukan sekarang bukan hal besar baginya. Stanley hanya mencoba bersikap layaknya teman. Yeah, teman?
Teman yang sangat mengerti bagaimana keadaan temannya? Begitukah?
Stanley kembali bergabung dengan Louisa di ruang tamu yang masih mengamati dirinya dan apa yang akan pria itu lakukan setelah ini.
"Apa yang kau lakukan?" Louisa sedikit meninggikan suaranya satu oktaf begitu Stanley melepaskan kotak penutup kardus mesin cuci baru itu sampai memperlihatkan benda berbentuk balok dengan warna permukaan putih serta satu tabung kaca bening di depannya. Shit, bahkan mesin cuci yang ini kelihatan lebih bagus dari miliknya sendiri.
"Tentu saja meletakkan benda ini ke tempat seharusnya," ucap Stanley. Tenang saja, Stanley memiliki tenaga seperti Superman. Mengangkat benda seberat 33kg seperti ini, tidak seberapa bagi pria itu. Karena pelatihan militernya dulu bahkan tidak lebih berat dari beban perasaan yang ia pendam selama ini. Ironis memang.
"Tapi, Stanley ... God!" Louisa berjalan di belakang Stanley ketika pria itu sekarang menginjakkan kakinya pada ubin berwarna putih berukuran sedang. Ia melihat mesin cuci lamanya teronggok di luar kamar mandi.
"Nah, sekarang semua beres," ucap Stanley begitu ia selesai meletakkan benda besar itu di sudut ruangan, tepat diposisi mesin cuci lama berada. "Kau bisa memakainya."
"Tunggu. Stanley, kita benar-benar harus bicara."
"Oke, aku mendengarkan."
Louisa mengembuskan napasnya yang lelah. "Aku benar-benar tidak membutuhkan apa yang baru saja kau berikan padaku. Sungguh, aku tidak membutuhkannya. Aku cukup terbantu dengan apa yang aku miliki sekarang, dan bila kau menganggapku tidak mampu untuk mengurus diriku sendiri, maka kau salah besar. Aku tidak meminta rasa belas kasihmu dengan keadaanku sekarang, Stanley."
Bukannya Louisa tidak menyadari seperti apa bentuk asli dari benda reot miliknya. Ia membeli mesin cuci itu dengan harga murah mengingat kondisinya yang tidak lagi baru. Dengan beberapa karat yang menghiasi bagian bawah mesin cuci, tidak salah Franky tua meminta Louisa membeli barang rongsokkan itu. Dan Louisa dengan beberapa dollar yang ia simpan dalam toples kaca bekas dengan tulisan uang simpanan, mau tidak mau membeli barang itu.
Lagi pula dulu ia memang sangat membutuhkan mesin cuci. Mengeluarkan uang lagi hanya untuk membawa beberapa potong baju kotor ke tempat laundry akan menambah beban pengeluaran bulanannya. Setidaknya ia harus berhemat dan menyisihkan uangnya untuk kebutuhan yang lain. Gaji guru memang tidak seberapa sih. Tapi, bagi Louisa, semua cukup.
Itulah resiko hidup mandiri, lepas dari bagan keuangan orang tuanya. Louisa sendiri yang memilih pergi dan berusaha menghidupi dirinya sendiri. Berada satu rumah dengan ibunya dan juga ayah tirinya bukanlah hal yang Louisa sukai. Bukan ia tidak menyukai ayah sambungnya saat ini, hanya saja ... ayolah ia wanita dewasa yang menginginkan kebebasan. Sungguh suatu hal yang wajar bagi wanita-wanita seumuran dirinya yang sebentar lagi akan menginjak kepala tiga untuk tidak tinggal lagi bersama orang tua. Hidup mandiri, dan mencari jati dirinya.
"Kau terlalu jauh memikirkan kalau aku mengasihini kehidupanmu saat ini, Lou. Dan kalau memang itu yang kau pikirkan, maka aku harus mengoreksinya sekarang juga. Aku tidak pernah melihatmu seperti itu, Louisa. Tidak pernah," ucap Stanley. Ucapannya selembut tatapannya kali ini. Hatinya pun meronta ingin mengucapkan satu kalimat yang selalu ingin ia utarakan, aku melakukan ini semua karena aku mencintaimu Lou, aku selalu mencintaimu. Tetapi, sialnya kalimat itu seolah masih tersangkut di tenggorokkan Stanley sampai pria itu enggan untuk berterus terang. Belum saatnya ... mungkin.
"Aku akan mengganti uang yang kau keluarkan untuk membeli benda itu. God, Stanley, aku tidak ingin berhutang apa pun padamu. Katakan berapa nominalnya, aku akan segera mengambil uangku di ATM saat ini juga."
"Tidak perlu, Lou. Astaga, apa kau tidak mengerti apa yang baru saja aku katakan?"
Louisa terdiam sambil menggigit bibir bawahnya. Menatap Stanley dengan enggan.
"Hanya saja, ini terlalu berlebihan. Kau tahu itu?"
"Tidak, ini tidak seberapa dibandingkan ...." Stanley menelan salivanya dengan susah payah sambil menatap Louisa lekat.
"Dibandingkan?"
"Anggap saja ini hadiah pertemanan dariku. Lagi pula, mesin cuci lamamu itu sudah tidak layak untuk dipakai. Kau tahu itu, bukan? Dan demi Tuhan, Louisa, kau tidak berhutang apapun padaku. Justru akulah yang berhutang banyak padamu." Jeda sejenak sebelum Stanley melanjutkan. "Kau ... kau wanita yang hebat, kau selalu luar biasa dimataku. Kalau ada orang lain yang memandang kau sebelah mata, kau bisa mengadukannya padaku. Tentu saja dengan senang hati aku akan mematahkan hidungnya."
Louisa tersenyum samar. "Mematahkan hidung termasuk salah satu tindak kekerasan."
"Aku belajar darimu, yeah ... setidaknya itu bentuk pembelaan diri atau pelampiasan dendam."
Kembali Louisa tersenyum diiringi dengan gelak tawa renyahnya. "Oh, sepertinya aku sudah memberikan kesan pertama yang buruk padamu setelah pertemuan pertama kita."
"Tidak buruk sebenarnya, tetapi patut untuk dikenang. Aku akan selalu ingat padamu ketika aku memegang hidungku. Itu bagus."
"Begitukah?"
"Ya, seperti itu tepatnya. Jadi, bagaimana?"
Wanita itu mengatupkan bibirnya ke dalam dengan mata jauh menatap langit-langit. Tampak berpikir dengan keputusan apa yang harus ia ambil. "Baiklah kalau begitu. Aku tidak memiliki pilihan lain. Terima kasih banyak, Stanley."
"Tidak perlu sungkan, Lou." Stanley menyunggingkan senyum paling manis yang ia miliki pada Louisa.
God, apa ini pertanda baik untukku?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top