Bab 13
Assalamualaikum ....
Selamat Malam guys ....
StanStan dan papa Jefferson datang lagi dengan kisah mereka ....
Anyway, seharusnya lagunya itu Father and Son, kan? Tapi, aku suka lagu Fathers and Daughters sampe termewek-mewek dengan membayangkan si Jefferson yang sudah tobat dari semua perilaku kejamnya.
Huhuhuhuhu.....
Selamat membaca ya ...
Love Love
Jefferson menutup kembali pintu mobil dengan satu hentakkan keras, berlari kecil menuju pintu lobi sebelum kopi hangat yang ia bawa menjadi dingin. Sial memang ketika mereka seharusnya bisa menghabiskan lebih banyak waktu berdua dengan mengitari kawasan Pecinan, tetapi sesuatu yang tidak mereka sangka terjadi. Hujan mulai turun sehingga mereka memutuskan untuk pulang saja. Pria tua itu mengibas-ibaskan coat-nya yang sedikit basah terkena air hujan sembari menunggu Stanley yang sekarang berlari cepat memasuki bangunan apartemen.
"Kau tidak meninggalkan DVD-nya, kan?" tanya Jefferson saat Stanley sudah berjalan mendekati dirinya dengan rambut dan kaus yang sedikit basah.
"Tenang saja, aku sudah memasukkannya dalam kantong," jawab Stanley sambil memperlihatkan kantong belanjaan mereka yang tampak baik-baik saja dalam rengkuhan pria itu.
"Bagus." Sekarang mereka berdua berjalan beriringan menuju lift.
"Rasanya aku ingin sekali mandi," celetuk Stanley.
Ketika pintu lift terbuka, mereka berdua sama-sama masuk dan membiarkan alat berat itu mengantarkan mereka menuju ke lantai lima. Sesekali Jefferson melirik Stanley yang berdiri di sampingnya dengan wajah berseri-seri. Entah karena efek lampu dalam lift atau sesuatu yang lain?
Ide mengajak dirinya untuk makan malam bersama masih sangat terngiang di telinga Jefferson. Tidak dalam artian makan malam romantis ala pasangan kekasih, hanya makan malam biasa antar anak dan ayah. Awalnya, Jefferson sempat mencurigai sikap Stanley yang sedikit melunak. Sangat tidak biasanya putra bungsunya itu tersenyum ramah, dan membukakan pintu mobil untuknya. Demi Tuhan, Stanley malam itu sungguh berubah 180 derajat. Apa kepalanya terbentur sesuatu atau semacamnya?
Namun, ketika dirinya baru menghabiskan satu piring Shiitake Mushroom Tofu dengan campuran brokoli di restoran Enjoy Vegetarian, Jefferson mengetahui alasannya. Tentu saja, berita mengejutkan di mana Louisa menjadi hot topic mereka. Ikrar pertemanan itu ibarat sebuah lelucon di padang pasir bagi Jefferson.
"Hari yang melelahkan," ucap Stanley begitu mereka keluar dari lift dan berjalan menuju kamar. Membuka pintu dan menyalakan saklar lampu, meletakkan barang belanjaan tadi di atas meja bar kecil, kemudian melepaskan kausnya yang agak basah. "Aku ingin mandi dulu."
"Jangan lupa untuk membawa pakaian kotor ke tempat laundry besok, Stan," ingat Jefferson sambil menyeruput Caffe Americano yang syukurnya belum terlalu dingin untuk dinikmati. "Oh, atau apa kita bisa numpang mencuci pakaian di tempat calon menantuku?"
"Jangan coba-coba, Jefferson!" sahut Stanley sambil sedikit berteriak dari dalam kamar mandi.
"Oh ...." Jefferson mengerang panjang dengan perasaan kecewa. "Aku rindu wanita itu."
"Aku mendengarmu, Jeff."
"Baiklah-baiklah, dasar tidak seru."
***
Tiga puluh menit berlalu, tetapi sepertinya tidak ada tanda-tanda hujan akan segera reda. Bahkan di luar sana, hujan turun semakin deras sampai menciptakan bunyi percikan yang sedikit keras ketika menyentuh kaca jendela. Suhu dingin yang menyentuh angka 14 derajat celcius, membuat Jefferson sampai harus menutup jendela yang sedikit terbuka karena tak tahan dengan udara dingin yang menyelinap memasuki ruangan. Tirai yang tadinya menari-nari tertiup angin, mulai diam tak bergeming ditempatnya semula.
"Kau ingin cemilan?" tanya Stanley ketika ia melangkahkan kakinya ke sisi ranjang Jefferson sambil membawa sepiring Jiaozi. Jalan-jalan malam menelusuri kawasan Pecinan tadi, membuat Jefferson begitu tertarik untuk mencicipi makanan khas dari China. Terutama ketika banyak pilihan menu vegetarian. Tentu saja pria tua itu akan sangat gelap mata.
"Apa sudah dingin?" Jefferson melirik enam potong makanan berbentuk lonjong kecil berwarna putih di atas piring.
"Tenang saja, aku sudah menghangatkannya kembali." Stanley naik ke ranjang, duduk di sebelah Jefferson yang menenggelamkan setengah dari badannya dalam selimut.
"Terima kasih." Jefferson mengambil satu potong Jiaozi dan melahapnya rakus. "Bisa aku sebut ini dengan efek Louisa."
"Apa masih ada ruang di dalam sana sampai-sampai kau kelaparan lagi? God, sudah berapa piring kau habiskan selama kita makan di restoran tadi?"
"Karena aku sedang dalam suasana hati yang berbunga-bunga saat ini, dan makan adalah kegiatan yang sangat menyenangkan untuk menyalurkan kebahagiaanku."
"Oh, aku pikir makan hanya untuk orang-orang stres yang ingin melampiaskan frustasi."
"Sudah kubilang ini efek Louisa."
"Aku tidak tahu kalau dia juga akan memberikan efeknya padamu." Stanley berdecak.
"Bukan dia dalam artian, yeah ... hanya saja ia menyalurkannya padamu. Aku turut senang."
"Apa yang bisa aku katakan?" Stanley tersenyum simpul dan memilih untuk menonton DVD film yang tadi ayahnya beli.
"Jangan kira aku tidak bisa melihat raut wajah bahagiamu, bodoh. Walau kau berusaha menyembunyikan semuanya dariku, toh pada akhirnya aku akan tahu juga."
"Apa sebegitu terlihat?"
Jefferson menganga dengan dua alisnya yang terangkat. "Kau mau tahu apa yang tercetak jelas di wajahmu itu? Di sana tertulis aku sangat bahagia."
"Oh, tidak lagi, Jeff ...."
"Apanya?"
"Kau ingin membahasnya lagi?"
"Kalau itu akan membuatmu malu, tentu saja aku akan terus membicarakannya. Kapan lagi aku melihat putraku yang sedang kasmaran duduk di sebelahku dengan wajah tersipu seperti itu? Apa kau menunggu aku mati terlebih dahulu?"
"Apa aku harus meminta malaikat maut untuk mencabut nyawamu sekarang juga?"
"Astaga, kau jahat sekali. Aku masih ingin hidup untuk melihatmu berdiri di pelaminan dan memaksimalkan fungsi testosteronmu sehingga kau bisa memberikanku seorang cucu lagi."
"God! Bahasamu, Jefferson."
"Kenapa memangnya? Apa itu mengganggumu?"
"Ya."
"Anggap saja itu sebagai kalimat penyemangat supaya kau semakin percaya diri mendapatkan Louisa kembali. Aku mempunyai banyak kalimat motivasi lainnya kalau kau ingin tahu."
"Tidak, sudah cukup. Aku tidak ingin pendengaranku ternodai oleh kata-kata vulgarmu lagi."
Jefferson memutar kedua bola matanya sambil menatap Stanley yang sekarang sedang mengunyah makanan kenyal itu dalam mulutnya. "Aku hanya bersikap apa adanya dan sangat manusiawi."
"Tidak, kau seperti seorang pria hidung belang yang akan mempersentasikan bagaimana caranya bayi bisa tercipta."
"Oh, kau memang sangat mengerti diriku. Kau membuatku terharu, Stanley." Jefferson diam-diam menyandarkan kepalanya pada pundak Stanley. Tadinya pria itu berusaha mengelak, tetapi Jefferson mengatakan sesuatu yang membuat Stanley mengurungkan niatnya. Pasrah dengan tingkah manja seseorang yang ia sebut ayah. "Untuk lima menit saja, biarkan aku berada sedekat ini denganmu."
Apa yang bisa Stanley perbuat? Tidak ada. Ia hanya diam seperti anak penurut dan membiarkan Jefferson melakukan apa yang ia suka asalkan pria tua itu tidak meneteskan air liur pada bajunya.
"Dunia sudah terbalik," celetuk Stanley. Ia mengatakan itu sambil melirik arlojinya yang belum genap berada pada pukul 22:45. Lima menit yang lama sekali.
"Apanya?"
"Tidak, bukan apa-apa."
"Kau keber ..." Jefferson menggantung kalimatnya begitu ia melihat adegan yang dirasanya menggelitik perut. "Oh, ini adegan yang lucu."
"Ambil anjingnya. Aku butuh telpon itu." Margaret, si tokoh utama wanita sedang mengangkat Kevin (si anjing yang terus mengekorinya) ke udara seolah menawarkan hewan berbulu putih dan berkaki empat itu kepada seekor burung elang yang sialnya sudah membawa pergi ponsel miliknya. Ia berlarian mengejar burung elang tadi.
"Burung aneh mana yang akan membawa ponsel? Apa dia perlu benda itu untuk menghubungi kekasihnya atau memesan makanan online?" Stanley mengerutkan keningnya dengan wajah terheran-heran.
"Entahlah, mungkin menggantungnya sebagai suvenir?"
"Sudah lewat lima menit."
Jefferson kembali mengerang enggan untuk menarik kembali kepalanya dari pundak empuk Stanley. "Tidak mau. Beri aku waktu sepuluh menit lagi."
"Astaga! Tanganku hampir kesemutan, Jeff," protes Stanley.
"Aku senang bersandar seperti ini. Sejujurnya, tidak ada yang bisa menjadi tempatku bersandar dulu sebelum bertemu Stacey."
Sebuah kalimat yang tidak pernah Stanley pikir akan keluar dari ayahnya. Oh, jadi kali ini mereka akan sedikit ber-melow ria?
"Apa maksudmu?"
"Kadang kala aku merasa marah pada diriku sendiri karena terlalu hanyut ke dalam sisi tergelapku. Semua orang pasti mempunyai sisi itu, Stanley. Aku rasa kau mengerti maksudku."
"Tidak semuanya."
"Mungkin kau menganggapku diktator atau kejam atau sesuatu yang seperti itu. Ya, kau benar. Sikap ayahku dulu menurun padaku. Aku tumbuh tanpa sentuhan cinta, selalu dibombardir dengan kata-kata kasar, caci maki yang menusuk hati, dan pukulan-pukulan yang membuatku sulit untuk berbaring tidur. Ayahku dulu tidak menerima kegagalan, jadi aku berusaha keras untuk selalu menjadi nomor satu. Kau tahu, ketika aku mendapatkan prestasi di sekolah, barulah dia akan memujiku. Mungkin, semua itu yang membuatku tumbuh menjadi pria yang kejam." Jefferson mengangkat kepalanya, kembali menatap Stanley sambil mengusap ujung kepala putranya itu.
"Tanganmu pasti tidak kesemutan lagi," tambahnya kemudian.
Untuk beberapa saat Stanley mencoba menyelami manik biru laut milik Jefferson. Meneliti tiap-tiap kerutan yang tercetak jelas di keningnya, pinggiran mata, dua garis halus di pipinya, serta kantung mata yang sedikit membengkak. Pria itu sudah melewati hampir setengah abadnya di bumi dengan menorehkan begitu banyak luka bagi Stanley, Luke bahkan ibunya sendiri. Tetapi, Stanley pun tidak pernah tahu kalau ayahnya juga memendam luka yang begitu lama. Pola sebab akibat pikirnya.
Pria tua itu tersenyum simpul. "Mengapa kau menatapku seperti itu? Aku memang tampan, pesonaku tentu saja belum hilang."
"Aku tidak pernah tahu itu. Agak mengejutkan saat kau mengatakannya padaku."
Jefferson mendengus. "Aku tidak sedang menyalahkan ayahku, tidak. Hanya saja, aku menyalahkan diriku sendiri yang tidak segera mencari pertolongan supaya aku bisa terlepas dari sisi gelap itu. Jujur aku begitu tersiksa memang. Tiap aku melakukan hal yang sama padamu dan juga Luke, aku akan langsung mengurung diriku dalam kamar dan mulai menyakiti diriku sendiri karena tega melakukan hal yang sama pada kalian. Aku sakit, Stanley. Semua itu membuatku frustasi."
"Apa mom tahu?"
"Ya, tentu saja. Stacey memintaku untuk berobat, tetapi aku selalu menolaknya. Aku menjaga reputasi pekerjaanku. Aku tidak ingin kehilangan apa yang sudah aku perjuangankan. Dulu. seperti itulah yang aku pikirkan."
"Dan kau tetap menyakiti kami."
Sambil memperbaiki posisi duduknya, Stanley termenung mengenang masa mudanya dulu. Masa kecil yang ia pikir akan menjadi momen berkesan dalam hidupnya. Tetapi, itu hanyalah sebuah fatamorgana karena apa yang ia bayangkan tidaklah nyata dan hanya kesemuan belaka. Stanley pikir kematian Nicholas-lah pemicu utama perilaku kasar Jefferson.
Pria yang gemar sekali memukul atau sekedar memberikan cambukan ikat pinggang pada dirinya dan Luke bila mereka berdua berbuat kesalahan. Ah, benar juga ikat pinggang adalah benda favorit Jeffferson. Benda panjang berbahan kulit berwarna cokelat tua. Stanley ingat, ujung ikat pinggang itu sampai mengelupas diberbagai sisi karena sering bersentuhan dengan kulit mereka.
Dirinya sendiri akan berlari mengurung diri dalam kamar dengan kulit punggung kemerahan. Menyembunyikan tangisnya dalam celah bantal, menggigiti benda empuk kenyal itu karena menahan sakit yang menggelanyar di seluruh tubuhnya. Bahkan ia tidak bisa tidur dengan punggung menyentuh permukaan ranjang, rasanya akan sangat sakit bila kulitnya bergesekkan dengan kain sprei. Terkadang ibunya meyelinap masuk walau Jefferson mengatakan untuk jangan melakukan itu. Mengolesi punggung terluka Stanley dengan salep sambil mengucapkan kata maaf berulang kali.
"Menyakitkan, kau tahu itu?"
"Aku tahu," bisik Jefferson.
"Kami bukan objek pelampiasan masa kecilmu, Jeff."
Tatapan mereka kembali bertemu. Dalam pantulan sinar lampu, Stanley bisa melihat dengan jelas bulir cairan bening yang terjatuh dari pelupuk mata Jefferson. "Kau tahu, aku kehilangan ayahku ketika aku hendak melamar Stacey dan anehnya aku tidak merasakan kesedihan itu. Dia tidak pernah mengucapkan apa pun bahkan tidak untuk permintaan maaf. Jadi, aku berpikir aku tidak mau pergi dari dunia ini dengan masih menorehkan luka dalam hati anak-anakku ...."
"Apa kakekku menyukai mom?" Stanley menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Berusaha berandai-andai bagaimana reaksi kakek yang tidak pernah ia temui dalam hidupnya itu.
"Tidak begitu."
"Sudah kuduga."
"Aku tidak ingin menjadi orang yang sama seperti mendiang ayahku dulu. Aku selalu ingin hadir dalam hidup anak-anakku dengan penuh cinta."
"Ya, kah?" Stanley menatap Jefferson dengan tajam.
"Aku menyayangimu, Stanley. Sungguh ... amat ... menyayangimu." ucap Jefferson dengan suara lembut. "Tolong ingat nasihatku ini, Son. Bila kelak kau menjadi ayah, jadilah seseorang yang selalu ada disaat anakmu sedih dan bahagia. Jadilah panutan dan penuntunnya. Jadilah seseorang yang akan sangat ia rindukan ketika kau sudah tidak bersamanya lagi."
"Terdengar seperti pesan terakhir. Kau belum berniat mati, bukan?"
"Tentu saja belum. Aku ingin berada di sampingmu dan Luke lebih lama lagi."
"Baguslah, karena bila ya ... maka kau tidak akan pernah melihatku mengucapkan janji suci dan kau juga tidak bisa melihat cucumu terlahir ke dunia."
Manik biru Jefferson membulat sempurna mendengar Stanley mengucapkan kalimat itu. Matanya kembali berbinar-binar, mengangguk menyetujui apa yang diucapkan Stanley.
"Jadi, kau mencintai Louisa?"
"Sangat."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top