BAB 11

Hai Hai ..... Emak StanStan kembali....

Assalamualaikum

Selamat Malam, semuanya.

Part ini lebih ke pembicaraan ayah dan anak sih, karena emak Stan sayang banget sama mereka berdua. Hehehe


Jangan lupa kritik dan sarannya dikolom komentar ya, guys.

Akhir kata, selamat membaca

Jadi, kesimpulan dari apa yang terjadi hari ini adalah wanita itu tidak menyukai kehadirannya sama sekali. Ya, satu benang merah pertama yang terpikirkan oleh Stanley ketika ia melangkah masuk ke dalam apartemennya, dan membiarkan Jefferson mengecek apakah ada memar atau luka yang tertinggal di wajahnya.

Mirisnya lagi, Jefferson sama sekali tidak membantu mencairkan suasana hati Stanley yang gelap gulita. Pria tua itu malah membuat Stanley semakin merasa sangat menyedihkan. Siapa yang kuat berada dalam perjalanan pulang dengan lagu Bryan Adams berjudul Please Forgive Me menggema keras ditambah Jefferson ikut-ikutan menyanyikan part yang begitu menohok.

Please believe me, every word I say is true ... Please forgive me, I can't stop loving you.

Bagian lirik lagu ini, entahlah Stanley tidak bisa untuk tidak merasa tertembak tepat di dada, menembus jantung, dan membuatnya tewas berdarah-darah.

Oh My God, bunuh aku sekarang juga.

Tidak berhenti sampai disitu saja. Malam harinya, mereka berdua membicarakan kejadian tadi sambil memandangi langit-langit kamar. Jefferson memaksa untuk tidur bersebelahan dengan Stanley walau bukan bersebelahan dalam artian pada satu sofa yang sama. Ia meletakkan kasur portable yang baru dibelinya kemarin hanya untuk berjaga-jaga. Stanley sama sekali tidak mengerti apa maksud dari berjaga-jaga, namun sekarang ia paham.

Langkah awal berbaikan yang bagus memang untuk Jefferson. Mereka tidak pernah mengobrol selama ini sebelumnya, tidak sebelum Jefferson muncul kembali. Perbincangan mereka hanya akan bertahan sepuluh atau dua puluh menit saja, dan akan berakhir dengan Stanley yang akan mengamuk atau melempar wajah masam.

"Seharusnya kau tidak langsung meminta maaf," ucap Jefferson sambil melirik Stanley dari sudut ekor matanya. Ia bisa mendengar putranya mendengus kasar lalu berbalik memunggungi Jefferson.

"Lalu apa yang harus aku katakan? Rambut yang indah? Kau masih tetap cantik seperti dulu? Atau kau terlihat cantik dengan pakaian itu, boleh aku bertanya siapa perancangnya?" ketus Stanley.

"Mungkin, kau seharusnya mengatakan, 'Hai apa kabar, Louisa? Lama tak bertemu'."

"Tetap saja dia akan menghajarku tepat dimuka."

"Kalian berdua lucu sekali. Aku harus berkata jujur, dia memilki bakat sebagai petinju wanita. Kekuatan pukulannya patut untuk diacungi jempol."

"Apa kau mengejekku?"

"Astaga, bukan begitu. Hanya saja, sepertinya semua wanita punya bakat menghajar seseorang yang kebanyakan pria. Mengerikan."

"Apa dulu mom juga melakukan hal yang sama?

"Um, aku ...."

"Sudahlah katakan saja, tidak perlu sungkan. Aku tidak akan tertawa."

Jefferson menyembunyikan tawa dibalik punggung tangannya. "Ya, Stacey pernah melakukannya dulu, dan jika kau pikir aku juga melakukan hal yang sama, kau salah. Aku memang pantas mendapatkannya."

"Sayangnya itu bukan sesuatu yang patut untuk aku tertawakan. Padahal aku ingin sekali mengejekmu."

"Tidak perlu sungkan melakukannya. Aku pantas menerima caci maki kalian."

Stanley tidak mengerti bagaimana seseorang bisa tersenyum, tertawa, dan menangis diwaktu yang bersamaan. Dirinya sendiri tidak pernah melakukan itu. Hanya bila ia ingin tersenyum, maka ia akan tersenyum. Bila ingin menangis, maka ia akan menangis. Tetapi, melakukan semua itu dalam satu waktu rasanya seperti kau sudah selasai dengan hidupmu. Dan hari ini ia sendiri melihat Jefferson seperti itu.

"Kau ingin tisu?"

"Aku tidak menangis," ucap Jefferson sambil membuang muka.

Stanley mengembuskan napas. Jefferson dan gengsinya, Ia menyadari darimana sifat keras kepala, egois, dan gengsi itu berasal. Dan ia bertanya sekarang pada Tuhan, Mengapa selalu aku?

"Jangan menjadi menyedihkan," lanjut Jeffersoan kemudian. Suaranya agak bergetar, Stanley bisa mendengarnya. "Aku tidak ingin kau sepertiku."

Sialnya, entah mengapa Stanley tertarik untuk mendengar kelanjutan dari kata-kata Jefferson barusan. Ia sendiri tidak tahu, dari mana asal rasa ingin tahu itu, tetapi rasanya sedikit lega karena Jefferson menyadari kesalahannya, mengungkapkan penyesalannya tepat disaat Stanley sendiri sekarang merasa kecewa. Ia tidak bisa berbohong, penolakan Louisa sungguh sangat melukai hatinya, dan membuat pria itu berpikir kalau ia tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Louisa lagi.

Ayolah, Louisa pasti membencinya.

"Tapi, kelihatannya dia membenciku."

"Louisa?"

"Siapa lagi? Astaga kau sendiri yang menjadi saksi hidupnya, dan jangan bilang padaku kalau kau juga merekam kejadian memalukan tadi."

"Oh, tenang saja aku tidak melakukannya. Pertunjukan tadi cukup seru untuk dilewatkan."

"Aku merusak momennya."

"Itu wajar, tidak ada yang akan berhasil semulus pantat bayi. Mungkin satu berbanding seratus pria."

"Sama saja, artinya aku memang menyedihkan."

"Tidak, tidak, Stanley. Walau pun itu memang benar kau memang menyedihkan, tetapi kau putraku. Tidak ada kata menyedihkan dalam kamus seorang Clifford. Kau hebat, kau seorang pria yang mampu membuktikan bahkan padaku kalau kau bisa mewujudkan mimpimu. Dan maafkan kalau dulu aku meragukanmu, Stanley. Tapi, lihatlah kau sekarang. Kau sukses."

"Itu sama sekali tidak berhasil."

"Dengar Stanley. Ketika kau berada dititik di mana kau berpikir kalau menyerah adalah jalan keluar terbaik, maka aku katakan padamu kalau itu bukan pilihan yang tepat. Kau memiliki banyak pilihan dalam hidupmu yang bisa kau ambil, bahkan sesuatu yang lebih baik. Jangan pernah berpikir aku tidak bisa, aku tidak mampu, dan aku tidak layak. Bangkit, mencoba, dan berusaha. Apa pun itu hasilnya nanti, setidaknya kau sudah berusaha."

"Wow."

"Ya, kau mendengarnya langsung, dan ekslusif dari seorang mantan pengecut."

Stanley terkikik. Menyebut dirinya sendiri sebagai seorang mantan pengecut terdengar lucu, dan ironi. "Oh, jadi kau sadar dirimu pengecut."

"Aku tidak berniat untuk membantah. Ya, seperti itulah."

"Jujur sekali."

"Jujur itu lebih baik daripada membohongi diri sendiri, dan orang lain, Stanley. Aku pikir dulu berkata jujur adalah aib. Orang lebih suka sesuatu yang berlebihan, dan bualan semata. Tetapi, ketika aku mulai menghadapi sesuatu masalah dalam hidupku, aku mulai berpikir ... berkata jujur bukanlah sebuah dosa. Jujur itu membuat dirimu menjadi lebih tenang."

"Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Apa pun itu, Stan."

"Jika mom tidak pernah menikah dengan Bryan, apa kau akan memperjuangkannya?"

Mereka berdua saling berpandangan beberapa detik. Sebuah pertanyaan yang lebih seperti tantangan sebenarnya. Dulu memang Jefferson sempat berandai-andai seperti itu. Kalau saja Bryan mati mendadak terkena serangan jantung atau tertembak peluru nyasar, maka dengan senang hati ia akan menggantikan posisi pria itu di pelaminan.

"Demi Tuhan, dan demi apa pun di dunia ini. Tentu saja aku akan melakukan itu."

"Kenapa?"

"Karena aku sungguh masih sangat mencintai Stacey."

Stanley mengangguk paham. "Mengapa begitu?"

Jefferson tersenyum, dan sesuatu dibalik senyuman itu membuat Stanley tanpa sadar juga ikut tersenyum. "Karena menurutku, dia wanita terbaik dari semua yang pernah aku kenal. Dia wanita pertama yang tidak termakan gombalanku, maksudku dulu aku pemuda populer di sekolah, dan semua gadis tertarik padaku. Ini bukan berlebihan, tetapi manusiawi, wajar. Gadis tertarik dengan pemuda ganteng, dan pintar."

"Oh, dan kau menyebut dirimu sendiri populer?"

"Ya, tentu saja. Kau belum pernah melihat foto masa mudaku? Astaga, siap-siap untuk terkejut karena aku setampan Leonardo DiCaprio."

"Oh, tidak ... tidak, aku tidak percaya itu."

"Astaga apa ibumu tidak pernah memperlihatkan album foto kami tempo dulu?" Jefferson merogoh sakunya, mendapati ponsel itu masih menyala walau dengan baterai yang tersisa sepuluh persen lagi. Ia mencari-cari foto di dalam koleksi galeri, lalu memperlihatkan pada Stanley foto dirinya yang memakai topi baret abu dengan kaus putih berbalut jaket kulit berwarna hitam, dan bawahan jeans biru. Berpose layaknya seorang model pria di sampul majalah fashion.

Bukan Stanley namanya kalau tidak memberikan komentar pedas diawal begitu ia menyambar ponsel Jefferson. Ia memperbesar ukuran gambarnya, sampai-sampai keningnya berkerut dalam. Sedetik kemudian ia tertawa. "Ini benar kau?"

"Astaga, tentu saja. Ibumu pasti menyembunyikan foto-foto itu disuatu tempat."

"Atau dia sudah membakar semuanya, atau tikus sudah menggigiti foto-foto itu sebagai makan siang mereka."

Jefferson cemberut, dan memilih mengambil ponselnya kembali. "Kau harus berterima kasih padaku karena aku sudah membagi semua aura ketampananku padamu. Poin lebih dalam mencari pasangan hidup, setidaknya wajah gantengmu bisa enak dipandang, atau wanitamu akan merasa bangga memajang foto kalian berdua sebagai wallpaper handphone. Bayangkan bila ia membagikannya di laman Facebook. Aku yakin banyak yang akan menyuarakan segala bentuk kedengkian mereka."

"Mom pasti sedang mabuk ketika memilihmu sebagai pasangan hidup."

"Oh, tidak. Dia bahkan mengatakan yes dengan berlinang air mata."

"Oh, ya? Mom, jarang menceritakan hal semacam itu."

"Aku pernah ditolak olehnya enam kali."

Stanley terbelalak. "Yang benar saja."

"Apa wajahku ini tampak seperti mengatakan kebohongan?"

"Memang seperti itu."

"Kau memang anak kurang ajar." Jefferso memutar bola matanya.

"Aku belajar darimu. Jadi?

"Apanya?"

"Bagaimana kau bisa merebut hati mom?" tanya Stanley. Jujur, ia tergelitik ingin tahu.

"Tentu saja aku berusaha. Dulu aku pemuda populer dengan predikat terbaik, memenangkan kejuaran science, dan juga lomba debat antar sekolah. Dan yang perlu kau tahu, aku ini pemain rugby sekolah."

"Terlalu berkilau."

"Ya, kan? Definisi populer dalam kamusku seperti itu. Jadi, sejak itu banyak sekali rumor yang mengatakan aku ini playboy ...."

"Kau memang mata keranjang," potong Stanley.

"Para gadis yang mencari-cariku, Stan. Mereka datang tanpa permisi dan mulai bersikap genit. Apa itu salahku? Tampan itu memiliki banyak keuntungan. Tetapi, ibumu tidak melihat keuntungan yang seharusnya bisa ia dapatkan kalau saja ia tidak menolakku dulu."

"Enam kali."

"Ya, enam kali. Aku harus berjuang untuk merebut hatinya. Jatuh cinta itu seperti rumus matematika yang kadang kala sangat susah untuk diketahui hasil akhirnya bila kau tidak mencoba mencari dan menghitung angkanya. Ibumu seperti itu. Dulu, aku rajin menempelkan stiker kata-kata motivasi, lalu beralih ke surat cinta, dan terakhir memberikan sebuket bunga tulip putih. Dia sangat suka tulip."

"Usaha yang bagus untuk penolakan cinta yang bertubi-tubi."

Jefferson tertawa. "Ya, apalagi banyak rumor kalau aku suka borganti ganti pasangan tidur."

"Apa itu benar? Kalau itu benar, kau memang pria brengsek laknat yang tidak pantas untuk mom."

"Tentu saja aku tidak pernah. Aku masih perjaka tulen. Anggap saja aku ini pria berprinsip."

"Lalu apa yang kau katakan padanya?"

"Coba kuingat dulu." Jeda sejenak. "Kau gadis teraneh yang dapat membuat hidupku seperti berada di Jurassic Park. Adrenalinku terpacu hanya untuk mengejarmu, mencari tahu apa makanan favoritmu, buku yang kau suka, ukuran sepatumu, film yang ingin kau tonton selagi aku berusaha mengumpulkan uang hanya untuk bisa mendapatkan dua kursi terdepan bersamamu. Kau mungkin tidak sadar kalau dirimu telah membuatku terperangkap seperti serangga yang tersangkut di jaring laba-laba, dan bila laba-laba itu kau, maka aku dengan senang hati menyerahkan diriku padamu ... Stacey, I love you."

Tidak ada pernyataan cinta yang seaneh dan selucu itu menurut Stanley. Bahkan ia sampai ternganga begitu mendengar bagian sarang laba-laba. Ayolah, apa itu hanya karangan sepintas saja atau benar adanya?

"Aku tahu itu kalimat yang romantis."

"Sulit untuk dijelaskan. Aku tidak yakin apa mom senang mendengarnya."

"Dia sangat menyukainya," ucap Jefferson. "Jadi, Stanley yang harus kau tahu dari kisahku adalah cinta itu tidak selalu sempurna, percaya padaku. Jack harus mengikis rintangan yang ada antara ia dan Rose agar mereka bisa bersama. Jack mencintainya, amat mencintainya. Pria mana yang mau mengorbankan hidupnya untuk seorang wanita yang bahkan baru dikenal beberapa hari? Tapi, Jack melakukannya. Maksudku, ketuk hatinya dengan kegigihanmu, dan kau akan melihat tembok es itu akan mencair."

"Aku akan mencatat yang barusan itu. Sepertinya bagus untuk penggalan cerita baruku."

"Jangan lupa berikan aku credit." Jefferson mengayunkan jari telunjuknya ke depan wajah Stanley, namun pria itu menampiknya. "Lalu apa yang kau pikirkan sekarang? Tentang Louisamu? Kau tidak akan menyerahkan?"

"Entahlah, sepertinya akan sedikit sulit. Aku tidak tahu."

"Cinta itu tidak akan terasa sempurna ketika kau hanya melenggang di atas jalan tol bebas hambatan, Stanley. Kau pasti akan menemukan kerikil tajam yang bisa menggoyahkan pertahananmu, maksudku kalian. Hidup memang seperti itu, hidup tanpa masalah ibarat kau sudah mati, dan berada di surga. Begitu pun dengan cinta. Ingat, semua pria selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Bila kau ingin, perjuangkan, Bila tidak, maka tinggalkan saja. Sederhana. Kau cinta dia atau tidak? Aku tahu kau masih mencintainya."

"Oh, dan kau mulai menebak-nebak?" Stanley mulai merasa kurang nyaman.

"Apa salahnya menebak kalau memang itu kenyataan yang mudah sekali terbaca olehku. Jangan menjadi pecundang, Stanley. Atau kau akan menyesal bila tidak mencobanya."

"Nasihat bijak dari mantan pengecut."

"Pengalaman yang membuatku begitu filosofis. Bagaimana kalau kau mengajaknya makan malam, atau sekedar jalan-jalan? Nonton di bioskop, memberikannya bunga, atau hadiah sesuatu yang ia sukai? Tetapi, jangan menuntutnya untuk berkata ya, maksudku jangan terlalu terburu-buru. Buat dia merasa spesial, dan berharga. Kau mengerti maksudku?"

Stanley mengangguk dengan senyum mengembang di wajahnya. Kini ia terlihat lebih bersinar dibandingkan beberapa jam yang lalu. "Aku mengerti."

"Itu baru anakku. Jangan menyerah, oke. Go get her."

Stanley menatap Jefferson dengan penuh arti. Sudut bibirnya terangkat, membentuk garis kecil yang bahkan tidak Jefferson sadari. "Terima kasih sarannya, Jeff."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top