BAB 1
Assalamualaikum ...
Selamat malam guys ...
Tunggu, ini sangat mendebarkan dan saya tidak bisa berkata banyak selain "astaga akhirnya saya bisa berada dibagian ini. Saya benar-benar tidak percaya."
Oke guys, saya tahu karya saya ini masih jauh dari kata sempurna. Saya hanyalah penulis pemula yang sedang mencoba peruntungan. I'm totally serius.
Jadi, tolong berikan banyak cinta untuk Stanley dan emak Stanley ini ya.
Jangan lupa vote cerita ini bila kalian berkenan dan tinggalkan komen di bawah ini ya. Terima kasih banyak.
===========
BAB 1
There is only one happiness in this life, to love and be loved (George Sand)
30 Maret 2017
Charlotte, 20:00 P.M.
"Berapa banyak yang kita butuhkan?"
"Cukup untuk mengisi perut kelaparan tamu-tamu kita nanti. Bagaimana menurutmu, Tom?"
Pria bernama Tom tampak kebingungan memilih daging mana yang akan mereka bawa pulang malam ini. Ia bahkan sampai mengusap bulu halus yang tumbuh di sekitar rahangnya. "Kalau kau bertanya padaku, tentu saja aku akan mengambil semuanya tanpa perlu banyak berpikir sepertimu, Stanley. Hah, para wanita pasti tidak akan melewatkan malam ini dan melupakan jadwal diet mereka. Jangan lupakan Talia yang sedang mengandung. Biasanya wanita hamil mempunyai nafsu makan yang tinggi."
"Tentu saja." Stanley Clifford mencoba melihat daftar belanjaan yang memang sudah disiapkan oleh istri Tom, Amelia. Ia merogoh sakunya dan menemukan kertas putih yang ia lipat menjadi dua bagian. Dengan melihat betapa banyaknya keperluan yang akan mereka beli, Stanley mendengus dan memilih memberikan kertas itu pada Tom.
"Setidaknya otot lenganmu yang kuat itu sanggup mendorong trolinya, Tom." Stanley menarik ujung bibirnya. Cengiran jenaka yang sudah bisa langsung diterjemahkan oleh Tom sebagai sesuatu yang pasti seratus persen tidak dia sukai. Bagaimana Tom tahu semua itu? Tentu sudah jelas karena mereka sudah bersahabat lama sejak Senior High School. Perbedaannya hanyalah soal status. Tom yang sudah menikah dan berencana memiliki momongan tahun ini, sedangkan Stanley masih nyaman dengan kesendiriannya.
Ketika Tom melihat daftarnya dan mulai menghitung berapa banyak barang yang akan mereka beli, pria yang sudah memasuki usia kepala tiga itu pun menepuk jidat dan mengerang pasrah. "Setidaknya Harris Teeter punya banyak troli kosong yang tidak terpakai."
"Oh, tidak terima kasih. Bersikap baiklah padaku karena malam ini adalah hari ulang tahunku. Jadi, setidaknya kau menunjukan kemurahan hatimu. Oke." Stanley kembali tersenyum jenaka sambil memasukkan sepuluh bungkusan potongan daging tenderloin.
"Aku rasa sebaiknya ini." Tom mengangkat satu bungkusan potongan daging tadi. "Kita tambah lebih banyak lagi." Tangannya mulai mengisi kembali troli dengan lebih banyak tenderloin, top sirloin dan T-Bone, tidak peduli dengan Stanley yang menatapnya tajam seperti sudah siap menelan Tom bulat-bulat.
"Kau bilang kita butuh banyak untuk para tamu, bukan? Jadi, apa salahnya? Lagi pula kau yang bayar." Skakmat. Tom sangat puas tertawa dalam hati melihat tatapan bodoh sahabatnya itu. Ya memang begitulah faktanya. Pesta dadakan mereka ini hanya untuk merayakan ulang tahun Stanley dan kedatangan Stanley kembali ke Charlotte walaupun hanya untuk sementara setelah tinggal selama dua tahun di Manhattan. Mereka telah melewatkan banyak tahun berarti masing-masing dan sekarang adalah kesempatan reuni yang tepat. "Sudah cukup banyak. Nah, ayo kita lanjutkan berbelanjanya. Sepertinya kita butuh sayuran, buah-buahan, dan makanan ringan. Ah, aku hampir lupa beberapa botol bir dingin membuat acara kita semakin sempurna."
Stanley memutar bola matanya dengan malas, tetapi ia tidak bisa berkata banyak karena memang ini adalah acara yang ia buat sendiri. Menghabiskan beberapa dollar dalam dompetnya mungkin tidak akan masalah bagi Stanley. Karena momen inilah yang ia tunggu dan paling ia nantikan. Berkumpul kembali dengan sahabat lama, bernostalgia dengan masa lalu dan curhat tentang masa kini.
Sudah hampir tiga puluh menit mereka berada di supermarket itu tapi masih saja rasanya ada yang kurang. Stanley dan Tom bahkan sedikit berdebat tentang belanjaan mereka. Apalagi sekarang mereka sudah menambah satu troli lagi di tangan Stanley yang terisi dengan snack dan juga bir. Sekarang mereka memilih sayuran mana yang akan masuk ke dalam troli selanjutnya.
"Aku benci selada," ucap Tom ketika ia melihat kembali daftar belanja mereka untuk kesekian kalinya. "Tapi kenapa daun berwarna hijau itu harus masuk ada di dalam daftar ini?"
"Amelia yang menulisnya," terang Stanley.
"Aku tahu." Tom berdecak kesal namun ia meletakkan selada itu lagi. "Bagaimana kalau kita bilang padanya kalau seladanya habis."
"Sejak kapan di supermarket besar kehabisan selada? Kau bercanda." Stanley malah memasukan lebih banyak selada sampai-sampai Tom hampir protes karenanya. "Aku suka selada."
Sekali lagi Tom mendengus dan lebih memilih meninggalkan Stanley untuk mengambil kentang dan buah-buahan. Stanley yang melihat tingkah Tom hanya bisa tersenyum simpul. Ia bahkan mengeluarkan beberapa selada dari troli dan meletakkan mereka pada tempatnya semula karena kasihan melihat Tom yang menggerutu seperti anak kecil yang tidak suka sayuran.
Tiba-tiba dua orang gadis menghampiri Stanley dengan malu-malu. Mereka berdua saling berbisik sebelum memberanikan diri menyapa pria itu.
"Hai," sapa gadis bersurai pirang pendek dengan bola mata berwarna hijau.
Stanley menoleh dan menghentikan aktivitas memilih sayurannya begitu mendengar suara seorang gadis yang menyapanya dan mencoba bersikap ramah. "Hai?"
"Kau Stanley C, kan?" Gadis satunya yang berambut brunette langsung bertanya secara spontan yang membuat Stanley mengangkat sebelah alisnya. Sepertinya Stanley mengerti mungkin dua gadis muda ini adalah salah satu fans bukunya. Siapa tahu.
Stanley mengangguk membenarkan lalu kedua gadis itu bersorak gembira walaupun tidak sampai membuat pelanggan lain menjadi terganggu atau melemparkan tatapan heran.
"Oh Tuhan, benarkah itu? Oh astaga aku tidak percaya aku bisa bertemu langsung denganmu, Sir." Mereka berdua begitu senang lalu mengeluarkan dua buah novel tebal bersampul hijau dan tidak lupa sebuah pena.
"Maaf kalau kami sedikit lancang, Sir," ucap gadis berambut brunette dengan kegugupan yang jelas sekali terdengar. Sesekali ia mencuri pandang pada temannya lalu melirik kembali pada Stanley. "Maukah anda memberi tangan di buku ini, Sir?"
"Tentu saja," jawab Stanley yang kemudian mengambil dua buku yang tadi di sodorkan oleh kedua gadis itu. "Siapa namamu?" Stanley menatap gadis berambut pirang yang tersenyum sumringah.
"Jennifer."
"Dan kau?
"Louisa."
Stanley hampir menjatuhkan penanya kalau saja ia tidak memiliki reflek yang bagus. Lidahnya mendadak kelu dan ia menatap gadis berambut brunette itu untuk beberapa saat sebelum ia mendapatkan kembali kesadarannya. Bahkan Louisa sudah salah tingkah, wajahnya saja memerah menahan malu karena mendapatkan tatapan intens dari seorang pria. Perlu di garis bawahi, ya pria dewasa seperti Stanley Clifford. Pria yang menguarkan aura dominan, maskulin dan seksi. Mereka berdua bertaruh banyak wanita di luar sana atau setidaknya para ibu-ibu dengan anak gadis yang belum menikah, pasti sangat ingin menjodohkan anak perempuan mereka dengan Stanley. Mereka seratus persen yakin itu.
Tak perlu menunggu terlalu lama, Stanley sudah selesai menanda tangani buku tadi dan memberikannya kembali pada Jennifer dan Louisa.
"Terima kasih banyak, Sir," ucap Louisa dan Jennifer bersamaan.
"Um, bisakah kita berfoto bersama, Sir?" tanya Jennifer dengan malu-malu. "Itu pun kalau anda tidak keberatan."
"Oke, tentu saja." Stanley mengambil posisi di samping Louisa dan Jennifer begitu salah seorang di antara mereka mengeluarkan ponsel. Cukup dua foto dengan pose yang sama sudah membuat kedua gadis remaja itu senang.
Setelah kegiatan temu fans dadakan itu selesai dan kedua gadis itu pergi, Stanley segera menghampiri Tom yang sudah menunggunya dengan wajah bosan.
"Aku lupa aku membawa seorang bintang," celetuk Tom dengan memberi penekanan pada kata seorang bintang dengan agak dilebih-lebihkan. "Superstar."
"Oh ayolah, kau terlalu berlebihan," ujar Stanley yang seakan tahu kemana arah pembicaraan Tom. Mereka berbelok menuju meja kasir membawa dua troli belanjaan yang sudah terisi penuh dan langsung memindahkan beberapa di antaranya ke meja pembayaran. Kasir perempuan yang bertugas malam itu seolah tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutannya begitu melihat siapa pria yang ada di depannya sekarang.
"Itu kenyataannya. Kau tahu bahkan para istri juga mengoleksi semua koleksi bukumu dan selalu memaksa kami, para suami untuk menelponmu, meminta tanda tangan dan fotomu," jelas Tom. Para istri juga tergabung dalam geng mereka secara tidak sengaja. Amelia, istri Jonah, Talia dan terakhir istri Jack, Elle. "Beruntungnya bagi kami memiliki sahabat terkenal seperti kau, kalau boleh aku katakan begitu."
"Begitu? Baiklah, lain kali aku akan mengajak kalian berlibur. Tinggal tentu kan kapan dan di mana."
Tom menoleh kearah Stanley dengan kening berkerutnya dan tatapan tak percaya. "Wow, terdengar seperti rencana yang hebat. Mari kita pikirkan itu nanti dengan mereka. So, bagaimana rasanya menjadi terkenal?"
Stanley mendengus. "Entahlah, rasanya semua mata tertuju padamu bahkan aku seperti tidak memiliki privasi. Padahal aku hanya seorang penulis."
"Seperti wanita di depan kita ini," bisik Tom yang sedari tadi memperhatikan si kasir yang tersipu malu sambil sesekali melirik Stanley. "C'mon, kau bukan hanya seorang penulis biasa. Kau sudah menjadi penulis yang terkenal dan semua orang cinta karyamu. Jangan terlalu merendah. Nikmati saja."
Stanley menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan sahabatnya itu. Kalau Stanley memikirkannya lagi, semua yang ia raih sekarang memang tidak mudah dan ia anggap sangat mustahil. Kembali lagi ke pada usianya yang akan menginjak delapan belas tahun, Stanley harus mengikuti keinginan ayahnya untuk bergabung di kemiliteran walau pun sebenarnya Stanley remaja memiliki mimpi lain di atas kertas putih yang sekarang ia bisa banggakan bernama novel miliknya sendiri.
Tentu saja ada pengorbanan besar yang ia lakukan di masa lalu dan sungguh Stanley menyesal karenanya.
"Ayo, kita harus bergegas sebelum wanita-wanita itu mengamuk," ujar Tom yang sudah meletakkan barang belanjaan mereka dibagasi belakang sebelum masuk ke dalam mobil Ford C-Max biru miliknya dan menyetir kembali ke rumah.
***
Tiga keluarga bahagia dan satu jomblo akut sedang menikmati malam dengan bau daging bakar yang menguar di udara. Kali ini giliran Jonah yang membolak balikan daging. Stanley dan Tom bersyukur karena mereka membeli lebih banyak daging dari yang seharusnya Amelia minta. Tom benar para istri itu mengabaikan apa yang mereka sebut dengan diet dan mengunyah apa saja yang ada di depan mata mereka, diselingi obrolan ringan dan sedikit gosip. Wanita dan gosip, siapa bisa tahan.
Jack dan Elle duduk agak sedikit jauh dari para perkumpulan, tampaknya mereka tengah berdebat. Jonah memberi bocoran kalau Jack akan dipindah tugaskan ke Jepang. Sekolah cabang tempat Jack bekerja yang ada di Jepang membutuhkan guru bahasa Inggris baru karena guru sebelumnya mengundurkan diri dan sebelum guru itu pergi harus ada yang sudah akan menggantikannya. Tentu saja mereka harus memutar otak dan jalan keluar satu-satunya adalah mengirim Jack kesana.
Elle tampaknya tidak setuju setelah sebelumnya mereka berencana untuk memiliki momongan. Mereka juga sudah berencana untuk membeli rumah yang agak luas dari yang sebelumnya. Ya, Elle dan Amelia merencanakan hal yang sama. Setelah dua tahun pernikahan, keduanya mulai merindukan kehadiran seorang bayi.
"Sepertinya Jack harus bisa mengambil keputusan yang tepat. Ia harus meyakinkan Elle." Stanley membuka percakapan setelah melihat kedua pasangan itu dari jauh. Elle sepertinya sedikit gusar sedangkan Jack mencoba menenangkannya.
"Yang kutahu biaya hidup di Jepang itu tinggi," sahut Jonah sambil meletakan daging yang sudah matang ke piring. "Sedangkan Elle sudah sangat nyaman dengan apa yang ada di sini."
"Elle pasti akan susah beradaptasi di sana. Aku jamin," sambung Amelia kemudian yang datang kembali membawa dua botol bir dingin ditangannya. "Siapa yang bisa berbicara dengan bahasa kita di sana? Tidak ada, jarang."
"Setidaknya kau harus menyemangatinya, Amel." Tom menerima bir itu dan mengulurkan tangannya untuk memeluk istri tercintanya. Memberikan tempat untuk Amelia di samping Tom.
"Aku tentu saja sudah mengatakan banyak hal padanya, positif dan juga negatifnya," tukas Amelia.
"Istri harus selalu ikut suaminya kemana pun suami pergi. Bukan begitu, Jonah?" Tom melempar kalimat itu pada Jonah.
"Oh tentu saja, siapa yang akan tahan hidup berjauhan? Apalagi kau sudah punya tempat sendiri untuk dimasuki," lontar Jonah yang disambut dengan gelak tawa oleh Tom dan Amelia juga Talia yang tampak mengerti dengan apa yang Jonah ucapkan.
"Ke mana lagi testosteron akan berlayar? Tisu basah?" Jonah dengan wajah tanpa dosanya melirik kearah Stanley yang sudah menahan napas dan memperbaiki posisi duduknya mendengar sedikit pembicaraan tentang biologi.
"Sepertinya kau harus mengontrol mulutmu itu, Jonah. Kau tahu ada pria jomblo di sini. Jangan sampai kau membuatnya menangis memeluk guling malam ini," canda Talia.
Amelia sudah terkikik. Sepertinya mereka hobi sekali mengganggu Stanley yang memang hanya dirinya satu-satunya yang belum memiliki pasangan sehidup semati.
"Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa mendengar celotehan tidak bermakna seperti itu dan oh, aku sama sekali tidak akan terpengaruh jadi kalian tidak perlu khawatir," jelas Stanley. "Apa aku terlihat begitu menyedihkan?"
Amelia, Tom, Jonah dan Talia saling melempar tatapan satu sama lain.
"Tidak dalam artian yang yah, bagaimana aku harus mengatakannya ya Stan. Tapi kau sudah tiga puluh tahun beberapa menit lagi dan kau duduk sendirian di sini dan kami khawatir tahun depan atau tahun yang akan datang kami juga akan melihatmu dengan keadaan yang sama seperti sekarang."
"Um wow, aku menghargai perhatian kalian. Sungguh aku hampir ingin menangis mendengarnya. Tapi apa yang bisa aku lakukan. Aku senang dengan hidupku seperti ini. Menjalin komitmen agaknya belum masuk dalam daftar keinginanku." Stanley tersenyum kaku. "Mungkin nanti aku akan meminta saran Luke tentang itu. Dia sudah sangat berpengalaman."
Belum sempat Tom menimpali Stanley, Jack dan Elle bergabung kembali dengan mereka.
"Sudah lebih baik?" tanya Stanley melihat raut wajah lelah Jack yang duduk di sampingnya dengan Elle yang berada di samping Amelia.
"Aku harap begitu, dude," bisik Jack. "Begitulah hidup, terkadang ketika kau memiliki rencana besar dalam hidupmu tiba-tiba bum bum bum semua berubah secepat kau mengedipkan mata. Selalu saja ada masalah yang datang dan mengacaukan semuanya. Di situlah keputusan yang tepat harus kau pilih. Hidup bro hidup."
"Wow, aku sedikit terinsipirasi dari kata-katamu."
"Jadi apa yang sudah aku lewati?" tanya Jack.
"Hanya obrolan kecil tentang biologi," jawab Jonah asal. Talia menepuk pundak suaminya yang tidak peka itu.
"Oh aku baru ingat satu hal." Tom terlihat bersemangat. "Stanley merencakan liburan."
Mereka semua langsung melempar pandangan penasaran pada Stanley.
"Ya seperti yang baru saja Tom katakan."
"Jangan tahun ini, please. Tunggu sampai kami kembali dari Jepang," rengek Elle.
"Aku belum memikirkan detailnya jadi ..."
Tom memotong perkataan Stanley sebelum pria itu menyelesaikan kalimatnya. "Sudahlah, kita bicarakan lagi nanti. Inilah waktunya." Tom berdiri dan mengisi satu persatu gelas dengan bir. Setelahnya memberikannya pada mereka semua yang ada di sana kecuali Talia tentunya yang lebih memilih meminum jus jeruk. "C'mon, kita semua harus berdiri, untuk hitungan mundur."
Mereka yang ada di sana mengerti. Sudah hampir jam dua belas tengah malam dan itu artinya Stanley akan memasuki usia kepala tiganya hanya dalam hitungan detik.
"Lima, empat, tiga, dua, satu," ucap mereka dengan serempak. "Happy birthday, Stanley."
***
11:00 A.M
Stanley tidak biasanya bangun dalam keadaan mabuk berat seperti semalam. Setelah sahabat-sahabatnya pulang, ia kembali melewatkan malam itu sendirian. Menghabiskan kue spons buatan Elle, terima kasih kepada mereka yang sudah bersusah payah melakukan semua ini untuknya. Stanley merasa lebih baik daripada kehidupannya di Manhattan walaupun ia punya segalanya di sana tetapi rasanya tidak cukup.
Di sinilah ia melewati masa-masa remajanya sebelum berada di tanah antah berantah dengan benda besi besar bernama tank dan senjata-senjata yang penuh dengan peluru. Bertemu dengan orang-orang baru yang sama sekali tidak ia kenal, logat yang berbeda, dan bahasa yang berbeda. Ia menghabiskan waktu muda beranjak dewasanya di kemiliteran. Pergi mempertaruhkan nyawa ke tanah peperangan dengan orang-orang yang mungkin saja sekarang sudah mati atau sama sepertinya mengundurkan diri dari kemiliteran dan memilih menjalani kehidupan normalnya kembali.
Kalau saja bukan karena cedera kakinya dan gangguan stres pascatrauma yang ia alami, mungkin sampai sekarang ia masih berada di tempat mengerikan itu. Setidaknya berada di sana bisa membuatnya melupakan kehidupan mudanya di Charlotte, melupakan keluarganya, melupakan sahabat-sahabatnya, melupakan mimpinya, melupakan ...
Ah, tidak. Ia tidak bisa mengucapkan satu kata terakhir itu. Tidak bisa.
Stanley tidak ingin memikirkan hal yang sudah berlalu. Ia harus berusaha melupakan semua. Toh, dirinya juga sudah berjanji pada psikiaternya kalau ia tidak akan pernah lagi menyebutkan satu kata terlarang itu untuk selamanya. Ya selamanya.
Dengan mata yang masih mengantuk, Stanley bangkit dari ranjangnya, mengamati pantulan dirinya yang terlihat berantakan dan sangat suram. Ingin sekali ia tertawa untuk dirinya sendiri yang terlihat menyedihkan. Tiga puluh tahun, ternyata ia sudah setua itu. Mungkin suatu saat nanti ia akan memikirkan lagi tentang memiliki pasangan seperti yang dibicarakan Tom, memiliki anak seperti Jonah, membeli rumah baru seperti Jack. Ide yang bagus. Benarkah? Tidak salah?
Pria itu mulai melakukan aktifitas paginya, membersihkan diri dan memakai pakaian santai. Ia teringat janjinya yang akan bertemu dengan seorang editor di sebuah cafe siang ini. Stanley sudah keluar dari kamar dalam keadaan lapar luar biasa. Ia berharap Daisy, orang yang merawat rumahnya ini sudah menyiapkan sarapan yang enak.
"Kau terlambat, Dude. Terlambat bukanlah hal yang baik untuk seorang pekerja. Kau bisa saja dipecat." Seseorang tiba-tiba muncul dari arah dapur dengan membawa secangkir kopi. Tampaknya masih begitu hangat terlihat dari uap yang mengepul menari-nari di udara. Dari perawakannya, pria itu berumur sekitar lima puluh tuhuh tahun dengan jambang menutupi rahangnya, tidak terlalu lebat memang. Kepala botak plontosnya mengingatkan Stanley pada sosok Jason Statham.
Stanley dengan semua keterkejutan yang jelas ia tampakan dari raut wajahnya. Bagaimana di pagi hari yang sangat cerah ini, ia bisa kedatangan dewa pembawa malapetaka. Tubuhnya serasa kaku bahkan matanya pun tak berkedip. Otak Stanley seolah masih memproses apa yang baru saja ia lihat.
"Apa yang kau lakukan di sini?
"Happy birthday, son."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top