6c. Damai Itu Sulit (3)
Kalau tidak ingat pesan omnya, Rika memilih mundur dari proyek ini. Ia terpaksa memanjangkan usus agar tidak emosi di tempat.
"Tidak apa-apa. Ini rumah Dokter. Sudah pasti harus sesuai selera Dokter. Silakan Dokter melihat desain barunya." Rika menyerahkan tablet yang sudah menampilkan gambar-gambar interior.
Damai menolak menerima benda itu. "Kamu saja yang pegang. Dan, jangan panggil saya Dok di sini."
"Maaf, saya tidak nyaman memanggil Bang atau Kakak," sahut Rika tanpa menatap lawan bicara.
Melihat sikap dingin itu, alis Damai terangkat. "Oh, begitukah?"
"Iya, begitu!"
Sekali lagi, Damai terpukau dengan sikap ketus itu. Ia ikut melengos.
"Ini desain dapurnya. Sesuai konsep minimalis dan futuristik, maka pilihan warnamya dual tone, hitam dan putih, dengan aksen metalik dari bahan stainless steel."
Damai mengamati gambar dapur itu. "Hm, apa nggak terlalu suram kalau banyak warna hitamnya?"
"Bisa dikurangi warna hitamnya. Ini ada contoh yang diberi aksen warna merah." Rika menggeser layar.
"Saya tidak suka warna merah. Coba lihat gambar awal tadi."
Rika kembali menggeser layar. Damai menunjuk lemari kabinet di atas meja dapur.
"Nah, yang ini jangan hitam. Diganti putih atau abu-abu saja. Yang ini ... lebih bagus memakai warna alami kayu."
"Kayu, ya," ucap Rika datar. "Itu rancangan awal saya. Kalau kabinetnya putih dengan aksen warna kayu, nanti kesan simpel modern futuristiknya kacau dengan American Style. Dokter mau style rumahnya campur aduk?"
Mendengar balasan tidak bersahabat itu, Damai sangat keheranan, sampai menoleh untuk mengamati wajah Rika dengan saksama. "Saya kok merasa kamu sedang marah pada saya."
"Saya marah? Sama sekali tidak, Dok!" bantah Rika, walau dalam hati mengamini tuduhan Damai.
"Oh, begitukah?"
Rika sebal dengan pertanyaan itu. "Baik, Dok. Saya akan mengganti warna hitam dengan warna kayu. Tapi jangan salahkan saya kalau nanti jadi aneh."
"Hm, begitukah?"
Rika tidak menjawab, tapi langsung bekerja dengan tabletnya. Beberapa saat kemudian, ia menunjukkan gambar yang telah direvisi. "Jadinya seperti ini. Bagaimana, Dok?"
Damai mendekat untuk mengamati hasil revisi. Keningnya berkerut. "Hm, lebih bagus desain awal tadi."
Rika mengembuskan napas panjang. Dasar klien rewel!
Damai pun merasakan ungkapan kekesalan itu, namun ia memilih diam. Kalau arsiteknya sejutek ini, lebih baik ia serahkan semua proses pembangunan ke ibunya saja.
Rika kembali menunjukkan desain ruangan lain. "Yang lain gimana, Dok?"
Damai malas menanggapi. "Saya serahkan ke kamu saja."
Akhirnya nggak dilihat juga. Coba dari kemarin pasrah aja begitu! jerit hati Rika. "Dilihat dulu, Dok. Nanti menyesal di belakang."
"Saya tidak mau membuatmu semakin kesal."
"Saya tidak kesal!" bantah Rika.
"Oh, begitukah?" sahut Damai dingin.
Rika kini alergi dengan pertanyaan "Oh, begitukah?" itu. Sinis sekali.
Mendapat tatapan tajam Rika, Damai terpancing juga emosinya. Selain itu, ia kesal terus-menerus dipanggil Dok. Memangnya ia dogi-dogi gukguk?
"Loh, kamu tadi meminta pendapat saya dan saya menjawabnya baik-baik. Tapi sepertinya kamu tidak suka dengan jawaban saya."
Diprotes seperti itu, Rika hanya bisa menatap nanar. Damai tidak mau memperpanjang masalah. Mungkin Rika sedang PMS sehingga emosinya labil. "Kita melihat kamar mandi saja. Sudah selesaikah desainnya?"
"Kurang sedikit, Dok. Ini masih desain kasar."
Damai mengamati layar tablet kembali. "Kalau warna hitam di sekeliling cermin ini dihilangkan, merusak style-kah?" tanyanya dengan hati-hati, takut gadis PMS di sampingnya meledak.
"Saya ganti sebentar, nanti Dokter lihat." Rika segera sibuk mengerjakan revisi di tabletnya.
"Di mana letak kamar mandinya?"
"Dokter mau ke sana?" tanya Rika tanpa menoleh.
"Iya. Di mana?"
"Di sebelah sana," jawab Rika sambil memberi arah dengan tangan.
Tanpa prasangka, Damai berjalan menuju arah yang ditunjukkan Rika. Terdengar suara krek-krek saat kakinya menapak pada tripleks yang tergeletak di tanah. Rika mendadak sadar bahaya yang mengancam.
"Dokter! Jangan menginjak bagian itu!" pekiknya sambil menghambur ke arah Damai.
Malangnya, Damai tidak sempat mendengar peringatan. Kakinya telanjur menginjak papan tripleks penutup lubang galian yang terlupa tidak diberi penyangga kayu. Papan tipis yang lentur itu tidak sanggup menahan berat tubuhnya. Detik berikutnya sosok kekar itu terhuyung, lalu terguling ke dalam lubang.
Rika sempat meraih lengan Damai. Apa daya, badannya terlalu kecil dan tenaganya terlalu lemah untuk menahan tubuh Damai. Akibatnya, ia malah tertarik masuk ke dalam lubang, jatuh menimpa Damai.
"Ouch!" erang Damai. Lengan kanannya mendarat di batang kayu, lalu tertimpa tubuhnya, dan terakhir mendapat tambahan beban tubuh Rika pula. Rasa ngilu pun tak terhindarkan.
Rika segera tersadar dari kekagetan dan berguling ke samping agar tidak membebani Damai. Lelaki itu berusaha duduk sambil memegangi lengan kanannya. Raut wajahnya jelas menunjukkan kesakitan tingkat dewa.
"Dok, ada yang luka?"
Damai tidak menjawab. Tatapan amarah terhunjam ke gadis di depannya. Rika kontan menelan liur. Kesialan apa lagi yang harus ia hadapi setelah ini?
Ternyata, untuk hidup damai itu sulit.
***
Kasihan ya Rika.
Vote dan komen, pleasee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top