6b. Damai Itu Sulit (2)

Kimmy dengan antusias menerangkan berbagai hal kepada Damai. Lelaki itu pun terlihat asyik mendengarkan penjelasan Kimmy.

"Nah, ini pemandangan dari arah kamar tidur utama," ucap Kimmy sambil berdiri di salah satu sisi ruang tidur. "Di sini nanti ada jendela besar supaya pemandangan danau di belakang sana terlihat tanpa halangan."

Damai ikut berdiri di samping gadis itu, memandang jauh ke telaga buatan dan hutan kecil yang membelah kompleks itu. "Saya suka suasana alami ini."

"Lokasi ini memang premium. Cocok untuk keluarga baru," timpal Janu.

Lagi-lagi Rika menangkap lirikan Damai ke arah Kimmy. Karena cuma melihat dari samping, ia tidak bisa menduga arti tatapan itu. Dan, ia pun tidak ingin mencari tahu. Karena itu, ia sengaja menjauh untuk mengecek perkembangan pembangunan di sisi lain.

Janu menjelaskan beberapa hal secara sekilas. Ia hanya sepuluh menit berada di situ dan langsung pamit karena ada pertemuan dengan klien lain.

"Nanti kalau ada yang belum pas, silakan disampaikan ke Kimmy dan Rika," ucapnya. Dicarinya keberadaan Rika. "Rik!" panggilnya.

Rika terpaksa mendekat. "Ya, Pak?"

"Desain interior yang baru tolong ditunjukkan ke Dik Damai. Kalau ada revisi, tolong diakomodasi semua, ya." Mata Janu menyorot lain, lebih tajam dari biasa. Rika yang telah terbiasa mendampingi Janu melayani klien tahu benar bahwa itu kode keras.

Sudah pasti, Rika merasa tengah ditegur. Memangnya selama ini ia tidak mengakomodasi semua kerewelan klien? Apa belum cukup pengorbanannya tidak tidur beberapa malam gara-gara instruksi mengganti total konsep desain interior tempo hari?

Janu cukup membalas kekesalan Rika dengan kedipan. Gadis itu segera tahu maksudnya. Dengan terpaksa, ia mengangguk. Janu pun berlalu setelah berbasa basi sok akrab dengan Damai.

"Bang Damai mau melihat apa lagi?" tanya Kimmy.

"Hmm, dapur barangkali?"

"Wah, Abang perhatian dengan dapur. Suka memasak, Bang?"

"Kadang-kadang, kalau bosan dengan masakan orang."

"Cocok, Bang. Dapurnya dirancang besar dan praktis, loh."

"Oh, ya?"

"Ayo kita ke sana!"

Kimmy dengan riang melangkah menuju tangga. Damai segera mengikuti. Kedua orang itu lalu terlibat obrolan akrab. Rika hanya mengekor mereka dalam diam.

"Oh, ya. Kemarin kalau nggak salah ada pohon kamboja di rancangan taman samping," ujar Damai.

"Iya, Bang. Itu jenis yang bagus, bukan kamboja makam, ya," sahut Kimmy dengan nada riang.

"Memangnya ada berapa macam kamboja?"

"Banyak. Yang Kimmy pakai itu kamboja elit, Bang, khusus buat hiasan dan banyak dipakai untuk taman gaya Bali. Bunganya banyak dan menggerombol. Bagus, banget."

"Oh, begitukah? Tapi saya tetap ngeri. Bisa diganti bunga lain saja?"

"Bisa! Sebentar, saya carikan gambar-gambarnya. Abang silakan memilih sendiri."

Kimmy mengeluarkan tablet dari dalam tas selempang, lalu menunjukkan gambar-gambar koleksinya. Kedua orang itu batal mendatangi area dapur. Sebagai gantinya, mereka berjalan beriringan menuju halaman samping sambil mengamati tablet. Di mata Rika, sangat nyata Damai sengaja mempertontonkan kebersamaan itu.

Rika hanya mengelus dada melihat keduanya. Begini amat rasanya ditolak. Buat apa coba lelaki itu sok akrab dengan Kimmy? Bilang saja terus terang tidak suka padanya, tidak perlu bertingkah membuat cemburu begini.

Eh, cemburu? Amit-amit! Siapa yang cemburu?

Rika malas berdekatan dengan keduanya sehingga bergerak ke arah lain untuk menemui mandor. Ada beberapa hal yang harus ia cek. Ia menemukan lelaki itu di dekat area dapur.

"Septic tank dan resapannya sudah mulai digali, Mbak," lapor Susilo, sang mandor yang telah berusia lima puluhan. "Coba Mbak Rika cek, sudah pas atau belum?"

Rika melongok ke lubang galian yang menganga di dekat dapur. Dua orang pekerja tengah berada di dalamnya. Setelah mengamati sejenak, ia menunjuk salah satu sudut galian. "Saya masih merevisi desain kamar mandinya. Kemungkinan septic tank-nya akan digeser ke situ."

"Jadi gimana, Mbak, distop dulu penggaliannya?"

"Iya, Pak. Ditunda sampai desain baru disetujui."

"Siap, Mbak." Susilo lalu memerintahkan pekerjanya naik dan menutup lubang galian dengan papan tripleks.

Wajah Kimmy tiba-tiba muncul di area itu. "Rik! Bang Damai mau melihat desain interiornya."

Rika memutar tubuh untuk keluar dari area dapur, tapi urung karena Damai datang menyusul Kimmy.

Melihat Kimmy datang, Susilo langsung mendekatinya. "Mbak Kimmy, bisa ke bagian kolam renang sebentar? Ada yang mau saya tanyakan." Susilo menunjukkan selembar kertas yang ternyata shop drawing kolam renang.

Kimmy mengangguk, lalu menoleh pada Damai. "Bang, aku tinggal sebentar, ya. Abang sama Rika dulu."

Damai mengangguk. Ia tetap tersenyum dan tak melepas pandangan walau punggung gadis itu telah menjauh. Diam-diam, Rika memutar mata ke atas karena jengah. Ternyata, Damai menangkap gerakan kecil itu.

"Ada yang salah?" tegurnya. Senyum manis berlesung pipitnya telah musnah digantikan wajah datar dan mata yang kelam.

"Tidak, sama sekali tidak ada, Dok. Kita membahas desain interiornya sekarang?" tanya Rika sambil mengalihkan topik pembicaraan.

Damai menatap gadis di depannya dalam-dalam. Sejak pertama berjumpa di ruang pertemuan Bagoes Contractor, wajah Rika selalu kecut. Bahkan bisa dikatakan memancarkan aura permusuhan. Entah mengapa pula, hatinya selalu kesal bila melihat raut bulat telur ini.

"Soal revisi tempo hari, saya sebenarnya asal komentar saja," ucap Damai. "Maaf sudah merepotkanmu. Tapi jujur, saya memang lebih suka desain minimalis."

Rika ingin mengelus dada. Asal komentar? Tahukah kamu, asal ngejeplakmu itu sudah menyiksaku berhari-hari?

—Bersambung—

Kalau nggak sabar, mampirlah ke Karya Karsa. Di sana udah bab 9, masih Gratis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top