6a. Damai Itu Sulit
Kimmy sudah lebih dulu sampai di lokasi pembangunan. Gadis itu terlihat bersemangat ketika melihat mobil Janu datang. Namun, saat tahu Rika pun turun dari Pajero Sport abu-abu itu, senyumnya langsung menguncup.
"Yah, Bos ternyata ke sini juga. Tahu begitu saya nebeng," ucapnya sambil melirik Rika sekilas.
"Saya cuma mampir sebentar buat menyapa Dokter Damai."
"Loh, nanti Rika pulang sama siapa?" tanya Kimmy lagi.
Janu berpaling ke Rika sambil tersenyum mesra. "Perlu saya jemput?" ucapnya, lembut sekali sampai Kimmy bergidik mendengarnya.
Rika cepat-cepat berlagak tuli. "Dokter itu sudah datang?" tanyanya ke Kimmy.
"Belum. Masih otw katanya."
Saat kalimat Kimmy selesai, sebuah mobil putih berhenti di seberang jalan. Damai turun dari mobil, lalu dengan gaya khasnya—yaitu wajah datar tanpa senyum—berjalan tegap mendatangi mereka. Mengingat kekayaan keluarganya, Rika menyangka lelaki itu akan menggunakan Ferrari, Lamborghini, Audi, atau merek premium lain. Ternyata pilihannya cukup Honda Civic RS model hatchback yang jauh lebih "murah".
"Selamat siang," salamnya sambil menjabat tangan Janu, lalu Kimmy. Senyum berlesung pipit terulas di wajahnya. Saat pandangannya sampai pada Rika, tangan lelaki itu malah ditarik. Rika cuma diberi anggukan kecil. Sudah bisa ditebak apa yang mendadak menggumpal di dada Rika.
"Selamat siang! Apa kabar Bu Herlina?" sapa Janu untuk berbasa-basi.
"Mama sehat dan masih seperti biasa," Damai tertawa kecil dan mengerling penuh arti ke Kimmy.
Sudah pasti, gadis itu terkesiap dan nyaris linglung. Demi apa orang seganteng dan sekaya Damai mengerling padanya? Sedangkan Rika keheranan dengan gerakan kecil itu dan mulai bertanya-tanya apa maksud Damai melakukannya. Apakah sengaja ingin membuatnya panas dan memastikan bahwa dirinya tidak dipilih?
Kaka Sulau yang jauuuh lebih kaya dari kamu saja tahu cara elegan untuk menolak perjodohan. [1]
"Biasa gimana, nih?" tanya Janu sambil mengiringi langkah Damai memasuki halaman rumah. Rika dan Kimmy segera membuntuti keduanya.
"Bang Janu pasti paham."
"Aha! Pasti soal siapa nyonya rumah ini nantinya."
"Nah! Mama nggak sabar menghabisi masa perjombloan saya, Bang."
Mendengar itu, secara refleks Rika melirik Kimmy. Wajah gadis itu terlihat sumringah. Lebih tepatnya berbunga-bunga. Perutnya kini ikut nelangsa, bergolak memberikan rasa mual.
Mereka memasuki bangunan setengah jadi yang baru berdiri kolom-kolom dan dak betonnya. Mereka harus berhati-hati saat melangkah di antara tumpukan bata, batang-batang besi kolom, gundukan pasir pasang, dan tanah galian.
"Ini nanti ruang tamu dan yang di sana ruang tengah, Bang," ucap Kimmy sambil mendahului mereka menuju ke bagian dalam. Walau masih seperempat jadi, rumah itu sudah terlihat megah. Mereka bisa merancang ruangan-ruangan yang besar karena tanahnya luas. Sampai di belakang, Kimmy menunjuk sebuah bidang. Beberapa pekerja mengusung tanah keluar dari lokasi itu. "Yang sedang digali itu kolam renang."
Damai berdiri di pinggir bakal kolam sambil memasukkan kedua tangan di saku celana. Pandangannya beredar ke sudut-sudut. "Hm, ternyata rumah ini lebih besar dari yang saya bayangkan."
"Apanya yang lebih besar, rumah atau kolamnya?" tanya Janu.
"Dua-duanya."
"Oh." Janu mengangguk kecil sambil terlihat berpikir. Mungkin menduga-duga maksud di balik kata-kata klien penting ini.
Rika kontan mendengar alarm tanda bahaya berdering. Pernyataan Damai itu pujian atau ungkapan ketidakpuasan? Jangan-jangan lelaki itu akan meminta perubahan desain rumah juga. Atau seandainya Damai tidak meminta perubahan, sifat menjilat Janu kemungkinan akan mendorong lelaki itu mengusulkan revisi desain seperti tempo hari.
Oh, tidak! Pondasi, kolom-kolom, dan dak beton sudah dikerjakan. Bahkan sebagian dinding sudah berdiri. Masa mau diubah lagi?
"Semua ukuran sudah sesuai rancangan, Dok," sahut Rika cepat-cepat. "Dan semuanya sudah disetujui Bu Herlina."
Ketiga orang itu menoleh padanya. Tampak jelas mereka keheranan dengan nada membela diri itu. Terutama Damai. Alis tebalnya langsung terangkat.
"Saya tidak mempermasalahkan rancangan," ujarnya dengan nada dingin yang menusuk ke jantung.
Rika melongo saat menyadari betapa sinisnya lelaki itu padanya. Janu yang telah terlatih menghadapi klien kelas kakap segera bertindak.
"Dik, mau melihat calon kamar tidur?" ucapnya untuk mengalihkan perhatian Damai.
Senyum Damai terkembang. "Ah! Kamar tidur, ya!"
"Jantungnya rumah itu kamar tidur. Saya tidak salah, kan?" Janu membalas dengan senyum simpul penuh arti, lalu mengajak klien mahapenting itu menaiki tangga.
"Setuju banget! Kita benar-benar satu frekuensi," sahut Damai sambil mengikuti Janu. Sesaat, langkahnya terhenti di depan anak tangga. "Tangganya aman, Bang?"
"Aman!" Janu menjejak anak tangga yang masih polos tanpa ubin itu beberapa kali. "Betonnya sudah mengeras. Ayo! Pemandangan dari lantai dua bagus, lho!"
Begitu kedua lelaki itu bergerak menaiki tangga, Kimmy mencolek lengan Rika sambil mengerutkan kening. "Kamu kenapa, sih?"
Tentu saja, Rika pura-pura tolol. "Kenapa gimana?"
Kimmy tidak menjawab dan malah berdecak keras. Gadis tinggi ramping itu berlari kecil menyusul bos dan kliennya. Mau tak mau Rika membuntuti rombongan kecil itu sambil membawa gundukan besar di hati.
—Bersambung—
Rika terlalu sensi nggak, sih?
Ngeselin juga lama-lama ya
Mau up lagi besok? Spam komen dulu donk. Klo ada 30 komenan, ntar Fura up lagi.
Buat yang nggak sabar, silakan mampir ke Karya Karsa. Mumpung masih GRATIS!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top