4a. Tekanan Hidup

Pagi itu, Rika termangu memandangi data-data di layar laptop. Pikirannya melayang pada sosok seniornya, Wahyu. Lelaki bertubuh gempal dan berusia 45 tahun itu sudah lama menangani kontrak dengan pihak ketiga. Ia juga kepala bagian pengadaan dan pembelian atau yang dikenal dengan istilah procurement. Sejak dipindahkan ke kantor ini dari proyek pembangunan pabrik CPO di Kalimantan, Rika sudah menaruh rasa kurang suka pada lelaki itu. Barangkali kepribadian melankolis telah membuat otaknya lebih gesit mendeteksi masalah dibandingkan orang lain.

Konsentrasi Rika teralihkan saat ponselnya berdering. Nama Om Bagus tertera di layar. Rika bisa menduga apa yang akan mereka bicarakan.

"Pagi, Om?" sapa Rika.

"Ah, kenapa pagi-pagi lemas?" canda Bagus.

"Habis lembur, Om. Ada klien minta revisi desain," jawab Rika, sengaja tidak mengatakan nama sang klien.

"Oh, begitu. Om mengganggu sebentar boleh, kan?"

Tentu saja boleh, batin Rika. Mana ada anak buah kelas teri berani menolak telepon owner perusahaan sekalipun saudara sendiri?

"Silakan, Om."

"Bagaimana di kondisi di kantor? Kamu nyaman di situ?"

Ah, pamannya ini sangat pengertian. Tahu ia tidak nyaman sering bertemu dengan pria yang menolak perjodohannya, sang paman memindahkannya ke Jakarta agar lebih tenang. "Nyaman, Om. Senior-senior di sini baik-baik."

"Nah, Om nggak salah memutasi kamu ke situ. Gimana dengan Janu?"

Rika tidak langsung menjawab karena tidak bisa menduga arah pertanyaan Bagus. Apakah soal pekerjaan atau hal lain? Lagi-lagi otak melankolisnya terlalu sensitif.

"Bagus, Om. Pak Janu sangat menginspirasi dan memotivasi karyawan." Rika ingin meludah setelah mengatakan itu. Bukan karena Janu adalah pimpinan yang berengsek atau tidak kompeten, melainkan karena pandangan intens lelaki itu setiap kali mereka bertemu.

"Oh, benarkah? Syukurlah. Bantu Om ya, Rika. Bagoes Contractor adalah perusahaan pertama Om yang akan selalu Om pertahankan."

Pertahankan? Ada yang aneh dalam kalimat itu. "Apa ... ada yang kurang beres di sini?" tanya Rika dengan hati-hati.

"Seharusnya Om yang bertanya seperti itu padamu," ucap Bagus dengan nada ringan dan diakhiri tawa kecil.

Mendengar jawaban ambigu itu, Rika justru semakin yakin ada sesuatu di perusahaan ini.

"Rik, gimana pendapatmu soal pesan Om kemarin?"

Rika terpaksa menghela napas panjang sebelum menjawab, "Biasa saja, Om."

"Loh, masa sih? Seganteng itu kamu bilang biasa?"

Soal wajah, Rika tidak menampik bahwa Damai sangat tampan. Namun apa dayanya bila lelaki itu tidak tertarik dan malah memandang dengan merendahkan? 

"Om juga, sih, kenapa repot-repot menjodohkan saya? Saya kan sudah berkali-kali bilang nggak mau menikah."

Terdengar desahan panjang dari seberang. "Saya bisa dibikin pecel oleh ibumu."

"Jangan takut, Om. Saya akan menjelaskan ke Ibu."

"Ya, sudah. Maafkan Om. Tapi Om minta tolong proyeknya diselesaikan dengan baik. Bu Herlina itu klien penting Om."

"Siap, Om."

Rika meletakkan ponsel di meja. Saat itu, ia baru sadar Kimmy yang duduk di meja sebelah memandang padanya.

"Widih, ada yang dijodohin!" goda Kimmy. Sepasang mata yang hari ini dihiasi lensa kontak berwarna abu-abu mengedip genit.

Rika malas membalas dan memilih kembali menekuni laptopnya. Tentu saja, Kimmy merasa dikacangi.

"Kamu kenapa sih, Rik? Diajak ngomong malah pura-pura tuli."

"Sudah, jangan mengganggu Rika. Dia harus ngebut revisi desain kemarin," bela Heru yang duduk di seberang Rika dan Kimmy.

Namun, Kimmy adalah Kimmy, perempuan yang pantang menyerah. Ia malah menyeret kursinya ke meja Rika. "Rik, menurutmu lebih baik pilih mana, dokter kemarin atau Bos Janu?"

Telinga Rika mendadak mendenging mendengar pertanyaan absurd itu. Ternyata ada orang yang sangat percaya diri. Ah, ia harus mengakui bahwa Kimmy memang sangat, sangat atraktif bagi mata lelaki mana pun.

Berbanding terbalik dengan dirinya. Cinta pertamanya bertepuk sebelah tangan. Iyud, nama lelaki itu tidak sanggup berpindah hati dari Clary walau mereka telah putus. Yang kedua, seorang duda. Ganteng, baik, dan berwibawa. Rika langsung jatuh hati pada pandangan pertama ketika mereka berjumpa dalam jamuan makan malam yang sengaja diatur oleh kedua keluarga. Namun sayang, perasaannya tidak dibalas oleh sang duda. Tak lama kemudian, terdengar kabar bahwa duda itu telah menikah. Harapannya menguap tanpa sisa, bagai embun yang lenyap bersama datangnya siang. Sialnya, selama empat tahun bekerja di Kalimantan, ia kerap menjumpai rekanan Bagus itu di kantor mereka. Bisakah dibayangkan betapa irinya melihat lelaki itu menggendong anak pertama, lalu kedua, dan terakhir mengajak istrinya yang cantik jelita ke kantor?

"Jangan tanyakan itu ke Rika. Aku sudah tahu jawabannya," cetus Heru.

"Apa? Jangan ikut campur, Her!" balas Kimmy.

"Jawabannya jangan menikah!" seru Heru, disambung tawa kecil.

Kimmy mencibir ke arah Heru. Dalam hati, ia sependapat dengan lelaki berkulit sawo matang itu sehingga kembali ke mejanya tanpa mengusik Rika. Lagi pula, aksi diam Rika membuat nyalinya menciut. Orang pendiam memang menakutkan bila tengah melancarkan aksi mogok bicara.

---Bersambung---

Jangan lupa follow IG Fura: furadantin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top