3a. Biasa Saja


Damai menghentikan mobil di depan gerbang sebuah rumah di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Hunian itu berupa bangunan tua berlantai dua yang merupakan peninggalan kakek buyut dari pihak ibu. Melihat jejak keanggunan arsitektur Belanda dan luas tanahnya, rumah itu pasti tergolong mewah di zamannya. Ia punya properti di tempat lain, namun selalu pulang ke bangunan penuh kenangan ini.

Seorang satpam membuka gerbang dan mobil pun bergerak memasuki halaman. Bagian depan rumah yang megah dengan tembok dan kolom-kolom yang tebal, berikut jendela dan pintu berkusen kayu jati tua nan eksotis menyambut Damai, menghadirkan suasana khusus yang tidak didapat di tempat lain. 

Damai menyukai gaya lama bangunan itu. Walau sudah direnovasi, namun tetap mempertahankan ciri khas arsitektur aslinya. Atapnya sudah diganti genting keramik mengilap berwarna abu-abu tua sehingga semakin menambah kesan mewah. Ada carport besar dan luas yang berada di depan pintu utama. Melihat desainnya, pasti rumah ini dulu digunakan pejabat tinggi kolonial Belanda. Karena selera rumah itulah ia kerap digoda teman-temannya. Kata mereka, gaya rumah mencerminkan kepribadian pemiliknya. Sepertinya mereka tidak asal menuduh. Buktinya ia memang susah beranjak dari masa lalu, termasuk soal wanita.

Mobil berhenti di carport. Tidak seperti biasa, ibunya telah menunggu di pintu depan. Wanita cantik yang sebentar lagi memasuki usia kepala enam itu tersenyum dan menatap putranya penuh harap.

"Bagaimana? Sudah ketemu Kimmy?" Herlina menggamit lengan sang putra dan langsung menyeretnya ke ruang tengah.

"Sudah," jawab Damai singkat. Ia membelokkan langkah menuju kamar tidur.

Herlina segera menahannya. "Eh, duduk dulu! Mama mau mendengar ceritanya!"

"Nanti saja, Ma! Badanku lengket oleh keringat."

Herlina menyeret Damai ke tempat duduk. Pemuda jangkung itu terduduk dengan keras. Tubuhnya memantul di sofa besar yang empuk. 

"Ayolah! Mama nggak sabar menunggu lebih lama lagi!" ucap Herlina tanpa melepaskan pegangan dari lengan putranya.

Damai terpaksa membalas tindakan sang ibu dengan tersenyum dan mengangguk. Sepasang lesung pipit tercetak di pipinya, menjadi pelengkap bibir yang kemerahan. "Mama mau tanya apa?"

"Cantik, kan?"

Damai menghela napas panjang. "Biasa," sahutnya datar.

Mendengar itu, Herlina merenggang untuk mengamati wajah Damai dengan lebih teliti. "Masa sih, biasa? Mama rasa cantik."

"Baiklah. Aku nggak akan mendebat pendapat Mama."

"Kalian sempat mengobrol? Kalau hati sudah klik, wajah seperti apa pun akan terlihat menawan."

Damai mengerutkan kening sembari menahan geli. "Tahi kucing pun kelihatan seperti kue cokelat. Begitukah maksud Mama?"

Herlina menepuk pundak Damai dengan keras. "Jangan kasar seperti itu. Masa anak gadis orang disamakan dengan tahi kucing?"

"Mama, aku boleh mandi dulu, ya?" Damai bergerak hendak bangkit. Namun, Herlina belum mau melepaskan lengannya.

"Mama sudah beberapa kali ketemu Kimmy. Mama rasa, dia pilihan yang terbaik di antara yang ada selama ini. Keluarganya terpandang. Ayahnya diplomat dan mempunyai kenalan luas. Ibunya dosen. Anaknya juga sangat profesional. Dia melayani permintaan Mama dengan sabar padahal Mama cerewet sekali."

Damai mengangguk kecil. "Lalu?"

"Lalu, Mama nggak habis pikir kenapa kamu nggak tertarik sedikitpun padanya."

"Kalau pikiran Mama belum habis, silahkan melanjutkan berpikir sampai habis." Damai terkekeh sambil memaksa bangkit. "Malam ini aku punya setumpuk jurnal yang harus dibaca." 

"Loh, kamu langsung masuk pendidikan?"

"Belum, masih tiga bulan lagi. Tapi aku mau mempersiapkan materi lebih awal supaya saat penelitian nanti, aku nggak bingung memilih topik."

"Ya ampun, Nak! Kamu baru lulus Master. Pendidikan spesialis pun masih belum dimulai. Cobalah santai sedikit tiga bulan ini."

Damai mengedikkan bahu. "Sayang waktunya cuma dipakai menganggur."

"Kalau sekolah terus, kapan kamu punya waktu untuk mencari istri?"

Damai mengurungkan niat untuk melangkah menuju kamar. "Mama, coba lihat anak Mama ini. Apa yang kurang?"

Herlina ikut berdiri, lalu dengan gemas mencubit pipi Damai. "Mana ada kurangnya? Anak Mama ganteng, pintar, karirnya bagus pula!"

"Nah itu Mama sudah tahu! Anak Mama ini husbandable, value-nya tinggi."

"Lalu?"

"Lalu, jangan pernah Mama memberi saran buat mencari istri. Itu sangat merendahkan aku. Sekarang ini aku dalam posisi menunggu cewek-cewek datang dan tinggal menyeleksinya."

☆Bersambung☆

Wkwkwk kesombongan yang hakiki.
Setuju?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top