2a. Jomlo Pesaing



Sorot mata Janu yang bagai pejantan etawa super tengah birahi[1] mendadak meredup saat ponselnya berdering. Lelaki itu berdiri dan berjalan keluar ruangan sembari menjawab panggilan. Untuk sejenak, ganjalan dalam dada Rika sebagian terangkat. Suara lantang pria itu di balik pintu yang setengah terbuka membuat semua orang di dalam ruangan dapat mendengar pembicaraan mereka. Rika tak habis pikir buat apa pula Janu keluar bila tidak berusaha meredam kata-katanya.

"Oh, Bu Herlina tidak bisa hadir?" ucap Janu. "Ah, tidak masalah. Kami akan jadwalkan ulang."

....

"Tidak, tidak. Saya siap kapan saja buat mendampingi presentasi. Saya tidak akan mengecewakan Bapak!"

Mendengar nada suara Janu, Rika yakin yang menelepon itu Big Bos Bagus Harsono. Diam-diam ia mencibir. Dasar lebay!

Tak lama kemudian, Janu kembali ke ruangan dengan wajah kembali sok berwibawa. "Pak Bagus barusan telepon. Bu Herlina nggak bisa datang hari ini."

"Yah, padahal sudah begadang buat mempersiapkan presentasi ini," ujar Kimmy.

Begadang? Materi kamu kan dikerjakan Samsudin, gerutu Rika dalam hati.

Samsudin adalah pemuda periang berusia dua puluh tahun. Ia lulusan SMK yang sehari-hari membantu mereka mengerjakan segala hal. Istilahnya pembantu umum. Bukan hanya membuat presentasi, Samsudin juga piawai memasak mi dan nasi goreng untuk menemani mereka lembur. Andai saja ia menggenggam ijazah arsitek, barangkali nasibnya akan berbeda.

Janu kembali duduk di antara Rika dan Kimmy. "Jangan kecewa. Presentasi akan tetap jalan karena putra Bu Herlina akan menggantikan beliau."

Mata Kimmy kontan melebar. "O, si pemilik rumah! Dokter, kan? Ganteng nggak, Pak? Kalau lihat Bu Herlina secantik itu, seharusnya anaknya juga cakep."

"Kimmy, ingat kita sedang kerja!" tegur Janu.

Kontan saja Heru dan Rika saling melempar pandangan dan mengembuskan napas bersamaan. Janu memang serba bisa. Bisa memelintir situasi maksudnya. Lain di mulut lain pula yang dikerjakan.

"Bapak nggak adil. Bapak sendiri sedari tadi menggoda cewek. Kenapa saya nggak boleh melirik cowok?" Kimmy protes, dengan gaya manja-manja judes.

"Karena kaum wanita itu harus menjaga akhlak di depan umum," sahut Janu dengan senyum kemenangan seorang lelaki.

"Dasar patriark!" gumam Rika sambil melengos ke arah lain, mengira suaranya terlalu lirih untuk didengar Janu.

Ternyata perkiraannya meleset.

"Apa kamu bilang?" Janu menoleh dan mencondongkan wajah ke arah Rika. Tentu saja, saat gadis itu menoleh wajah mereka menjadi begitu dekat, sampai-sampai Rika dapat merasakan embusan napas lelaki itu di kulitnya.

"Mmm ...." Rika mendadak kehilangan kata-kata. Sementara Kimmy yang melihat adegan itu langsung merasakan tikaman bambu runcing di jantungnya.

Beruntung situasi canggung itu segera berakhir karena suara ketukan pintu. Detik berikutnya, Samsudin muncul dan mempersilakan seseorang untuk masuk. Lelaki yang datang bersama Samsudin itu jangkung, tegap, dan terkesan "wah" walau hanya mengenakan kemeja putih bergaris abu-abu dan celana kain abu-abu tua tanpa ikat pinggang. Sepasang sepatu pantofel bermodel moccasin menjadi alas kaki. Tidak ada apa pun di kedua tangannya. Bahkan jam tangan yang biasa digemari para pria pun tidak. Barangkali raut wajah yang terkesan dingin itulah yang membentuk aura kewibawaan.

Melihat siapa yang datang, Janu dengan sigap bangkit dan mendatanginya. "Oh, Dokter Damai? Silakan, Dok!"

Orang itu tersenyum tipis. "Terima kasih."

"Wah, Pak Janu dapat saingan berat," bisik Heru kepada Rika.

Gadis yang dibisiki kontan memelotot. "Apaan, sih?"

Heru meringis lebar sambil memberi isyarat dengan dagu ke arah Kimmy. Rika ikut menoleh ke arah yang ditunjukkan. Ternyata Kimmy seperti orang yang terkena hipnotis, duduk tegak dengan tatapan melekat erat pada tamu yang tengah berjalan mendekat ke meja oval.

Lelaki yang menyita perhatian seisi ruang itu duduk di ujung meja yang menghadap ke layar. Janu dengan sopan menempatkan diri di sisinya.

"Perjalanannya lancar, Dok?" tanya Janu untuk mencairkan suasana.

"Sedikit macet di Slipi, tapi selebihnya lancar. Oh, ya. Karena kita tidak di rumah sakit, mohon jangan memanggil Dok. Panggil nama saja. Saya kan lebih muda dari Bapak." Damai tersenyum seramah mungkin, sembari mencuri pandang ke semua yang hadir. Ada seseorang yang wajib ia amati secara saksama di sini, sayangnya, dengan berat hati.

Janu mengangguk setuju. "Wah, kalau begitu, jangan panggil saya Bapak. Usia kita mungkin tidak selisih jauh. Kalau tidak keberatan, panggil saya Abang."

"Boleh banget, Bang," sahut Damai. Ia sudah menemukan gadis yang sesuai dengan foto yang ditunjukkan sang ibu. Senyum tipis kembali terulas. Ternyata lebih jelek dari fotonya.

____________________

[1] Ini maksudnya si Togog, kambingnya Roy di cerita Gula Jawa, Cabe Rawit, Bawang Bombai


==Bersambung==

Coba tebak, siapa yang dijodohin sama Damai?
Segini dulu ya. 2b-nya ntar malem.
Beri bintang dan komen next dulu, donnk!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top