Advice 9: Pelan-Pelan Kalau Makan

Berbeda saat mereka berangkat tadi, jalanan Jakarta sudah mulai padat. Mobil Harold meluncur ke kawasan Blok M, tepatnya menuju sebuah Rumah Makan Padang yang dinobatkan sebagai salah satu hidden gem di Jakarta. Mary yang kemarin mengusulkan dan tentu saja cara gadis itu bercerita berhasil membuat Harold ikut penasaran.

Mereka tiba saat restoran itu baru buka, tapi beberapa meja telah terisi oleh pelanggan. Seorang pemuda berkemeja merah cokelat menghampiri. Harold pun meminta pemuda itu menghidangkan pilihan lauk untuk mereka dan memesan khusus dua mangkuk gulai gajebo, mengabaikan saran Mary agar mereka memesan nasi dan beberapa lauk saja.

Mereka berdua memilih meja di dekat kipas angin. Sebuah televisi ukuran 27 inci terpasang di dinding belakang Harold, sedang menayangkan acara musik sebuah stasiun televisi lokal. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa beberapa piring sekaligus. Piring-piring itu bertumpuk rapi di kedua lengan si pelayan hingga sebatas siku. Dengan cekatan, si pelayan memindahkan piring-piring di tangannya ke meja, lalu mempersilakan mereka menyantap makanan.

Harold menyendok nasi ke piringnya, lantas menuangkan salah satu mangkuk berisi gulai gajebo serta mencomot telur barendo yang tersaji.

"Makan yang banyak, Mar. Biar cepet gede," celetuk Harold sambil cengar-cengir.

"Lu bisa, nggak, melihat gue sebagai wanita dewasa yang sudah besar, sekali aja?" Mary menggerutu sembari menyendok gulai gajebo. "Umur segini udah mentok badan gue mau makan kayak gimana juga!"

Andai Mary tahu, bahwa selama ini Harold memperlakukan gadis mungil itu seperti anak kecil justru untuk menutupi tatapan kagumnya. Entah sejak kapan tepatnya, Harold tak begitu ingat, dia melihat Mary sebagai perempuan dewasa yang mandiri, yang membuatnya tidak lagi menggubris perempuan-perempuan lain yang mendekatinya.

Untuk sejenak, Harold mengizinkan matanya menatap Mary dengan sungguh-sungguh tanpa menyembunyikan perasaan sukanya. Ekspresi lelaki itu melembut. "Kayak gini?" tanyanya dengan suara bariton yang begitu intens.

Mary tidak memberikan tanggapan, tidak juga pukulan atau cubitan seperti biasa. Dia justru mengalihkan pandangan ke layar televisi di belakang Harold sambil menikmati nasi gulainya. Sesekali gadis itu menyapu poni yang jatuh menutupi muka dengan punggung tangan.

Harold bangkit berdiri dan menghampiri salah satu pelayan, lalu tak lama kemudian kembali dengan mengulurkan sebuah karet gelang ke Mary.

"Ikat dulu, nih, rambutmu. Lama-lama bisa maskeran sambal ijo itu rambutmu kalau dibiarin gitu," sarannya.

Mary menatap Harold dan karet gelang bergantian. "Gue disuruh ngiket poni pakai karet gelang?"

"Daripada ngalangin mata. Dengan tingkat kecerobohan yang kamu punya, aku nggak bakal heran kalau tangan kamu yang penuh sambal itu nggak sengaja colek mata pas lagi benerin poni."

"Gue nggak separah itu—" Mary membela diri.

"It's your choice. Aku bakal ketawa paling keras kalau kamu sampai nangis-nangis keperihan." Tentu saja itu hanya ancaman kosong. Harold memang senang mengusili Mary, tapi tak mungkin hanya berdiam diri jika melihat gadis itu kesakitan.

"Nyebelin lu." Mary menggembungkan pipinya. Ia mengambil karet yang Harold ulurkan dengan tangan kirinya dan meletakkannya di samping piring.

Harold kembali menikmati makanannya. Pantas saja gulai gajebo itu sempat viral di internet, kuahnya yang gurih pedas menghasilkan cita rasa yang sempurna. Harold rela sore nanti harus kembali membakar kalori di gym karena makanan itu. Sementara itu, Mary menyimak acara berita sela di televisi yang menayangkan liputan kunjungan kerja beberapa wakil rakyat ke sebuah lokasi bencana longsor di daerah Banten.

"Saya harap ini jadi pelajaran kita bersama untuk menjaga lingkungan."

Air muka Harold berubah ketika dia mendengar suara seorang pria menjawab pertanyaan yang diajukan reporter. Tanpa perlu menoleh ke belakang, Harold langsung mengenali pria itu yang tak lain adalah Lukito Wijaya, ayahnya. Sudah lama Harold tidak bertemu sang ayah, tapi cara pria itu berbicara masih sama persis dengan yang diingatnya. Begitu percaya diri dan meyakinkan.

"Bencana banjir dan longsor makin banyak terjadi karena banyak lahan hijau yang beralih fungsi jadi pemukiman ......"

"Bullshit!"

Umpatan Mary berhasil mengalihkan pikiran Harold. Dia tidak lagi menyimak apa yang ayahnya katakan di televisi karena perhatiannya kini kembali tertuju pada Mary.

"Eh, sori." Mary mengemut jari-jarinya yang penuh sambal, lantas meneguk es teh pesanannya. "Sebel gue liat pejabat nggak bener. Lu tau dia, nggak, sih?" Gadis itu mengarahkan dagunya ke televisi.

Tentu saja Harold tahu, tapi dia belum ingin Mary tahu bahwa Lukito Wijaya adalah ayahnya. Dia tak ingin Mary menahan diri saat mengungkapkan pendapatnya. Selain penasaran pada pendapat Mary, dia juga tidak suka dikaitkan dengan sang ayah.

Harold menoleh ke televisi seakan hendak memastikan siapa yang Mary maksud, lalu balik bertanya, "Anggota DPR, kan?"

"Iya. Heran gue. Kenapa pejabat yang gue tau modelannya kayak dia semua, coba?" Mary mencibir, lalu menyinggung bisnis perkebunan sawit milik ayah Harold yang juga memperburuk kerusakan lingkungan. Gadis itu juga mengoceh tentang perilaku para wakil rakyat yang justru merugikan rakyat dengan berapi-api.

Harold mendengarkan Mary sambil mengangguk-angguk. Dia sama sekali tidak tersinggung karena apa yang dikatakan Mary memang adalah fakta yang dia malu akui. Harold lebih dari tahu bahwa kalimat yang diucapkan ayahnya memang hanya sekadar lip service. Lukito Wijaya yang dia kenal sama sekali tidak peduli pada pelestarian lingkungan. Yang pria itu pedulikan hanyalah kekuasaan dan jabatan.

"Kamu nggak suka banget sama politisi, ya?" tanya Harold penasaran.

"Gimana ya ngomongnya?" Mary tertawa pelan. "Walaupun ada juga yang baik-baik, berasanya malah mereka yang oknum di antara para curut. Kebanyakan aneh-aneh, tapi kalau dipikir-pikir kadang gue ditugasin buat ngeliput keanehan mereka, jadi mereka ngasih gue kerjaan. Gue suka kerja."

Sambil mengunyah perkedel, gadis itu lanjut berbicara, "Nih, ya, Rold. Andai wakil rakyat ini semuanya beneran ngewakilin rakyat—ohok!"

Melihat Mary tersedak, Harold buru-buru menuang air ke gelas Mary yang sudah kosong. "Pelan-pelan, Mar," katanya sembari mengulurkan gelas kepada gadis mungil itu.

"Thank you." Mary minum dengan rakus. Belum sempat Harold mengingatkan agar Mary minum dengan pelan, gadis itu keburu batuk-batuk.

"Kayaknya gue nggak direstuin gibah, deh, Rold," celetuk Mary setelah batuknya reda..

Harold menyodorkan tisu. "Gibahnya habis makan aja," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala..

"Jangan mancing lu," Mary menanggapi seraya membersihkan bibirnya. "Bisa jadi materi kuliah lima SKS itu bahan gibahnya."

Meskipun berkata seperti itu, Mary tetap melanjutkan ceramahnya dengan menggebu-gebu. Harold hanya menanggapi sesekali karena pada dasarnya selama ini dia memang lebih banyak jadi pihak yang mendengarkan. Dia senang mendengar suara Mary yang penuh semangat juga memandangi wajah gadis itu yang sangat ekspresif. Sangat menghibur dan memberi warna yang berbeda pada hidupnya yang begitu-begitu saja. Harold mulai merasa serakah. Rasanya bertemu seminggu sekali tidak cukup. Dia ingin bertemu Mary lebih sering. Dia ingin Mary menjadi bagian dari kesehariannya.

=0=

Mereka berdua meninggalkan rumah makan dengan perut penuh. Harold menyetir dengan santai. Dia tidak ingin terlalu cepat sampai, karena itu berarti pertemuannya dengan Mary akan berakhir dan dia harus menunggu kurang lebih seminggu lagi untuk punya alasan mengajak Mary jalan.

Di tengah perjalanan, ponsel Mary berdering. Mary kemudian berbicara di telepon. Dari apa yang Harold dengar, tampaknya ayah gadis itulah yang menelepon.

Sebenarnya, Harold tidak berniat menguping, tapi  Mary berbicara dengan suara lantang. Mau tak mau Harold jadi ikut mendengarkan obrolan Mary dengan ayahnya, yang beberapa waktu lalu baru Harold ketahui ternyata pemilik perusahaan media yang cukup terkenal di Surabaya.

Dari percakapan Mary tersebut, beberapa pertanyaan Harold terjawab sudah. Rupanya gadis itu sengaja memilih hidup mandiri di Jakarta tanpa campur tangan orang tua. Bertambah lagi hal yang membuat Harold kagum pada diri Mary, meski dia tetap saja tidak mengerti kenapa ada orang yang memilih hidup susah padahal punya kesempatan untuk hidup nyaman tanpa perlu bekerja keras.

Sepintas Harold juga mendengar Mary berencana pulang ke Surabaya akhir tahun nanti. Sebuah kebetulan yang tak terduga karena Harold juga berencana mudik di tanggal yang sama. Dia sudah mengajukan cuti agar dapat menghabiskan tahun baru di Surabaya, seperti yang selalu dia lakukan selama beberapa tahun terakhir.

"Lah, Pak, aku aja nggak punya—"

Sepertinya si penelepon memutus panggilan karena setelah itu Mary menurunkan ponsel dari telinganya sambil menggerutu. Harold melirik Mary sekilas. Wajah gadis itu ditekuk sedemikian rupa, mengingatkan Harold pada ras kucing spink yang selalu terlihat jutek dengan wajah penuh kerutan.

"Bapak kamu, Mar?" Harold memberanikan diri bertanya.

Mary sedikit tersentak, lalu cengengesan salah tingkah. "Sori, sori. Gue kenceng banget yak ngomongnya?"

"Nggak apa-apa. Tapi, ya, aku jadi denger sebagian, sih," ujar Harold. "Kamu bulan depan mau pulang ke Surabaya?"

Kepala Mary berayun ke depan, membuat poninya jatuh lagi menutupi muka. Mary kembali menyelipkan poni ke belakang telinga. "Kakak gue mau nikah akhir Desember. Kenapa?"

"Aku juga rencananya mudik tanggal segitu, sih." Harold merujuk ke tanggal yang tadi sempat disebutkan Mary saat menelepon.

"Oh ...." Mulut Mary membulat. Namun, sedetik kemudian kembali bergerak membentuk kata. Dia bertanya dengan raut heran. "Lah, orang Surabaya?"

Harold memutar bola mata. Seingatnya dia pernah sekilas bercerita pernah menghabiskan masa kecilnya di Kota Pahlawan kepada Mary. "Lah, aku bukannya pernah cerita pernah sekolah di Surabaya?" tanyanya sedikit kesal.

Mary mengerutkan dahi. "Pernah, ya?"

"Ah, mungkin aku cerita sama cewek lain." Harold berseloroh untuk menyembunyikan rasa kecewa yang menyambangi hatinya. Dia jarang bercerita tentang masa lalunya kepada orang lain, apalagi seorang gadis yang tidak dekat dengannya. Namun, dia juga paham jika Mary tidak ingat. Dalam hubungan mereka, Mary lebih banyak memegang kendali percakapan. Harold hanya sekadar mengikuti arah pembicaraan.

"Keluargaku memang sekarang di Jakarta, tapi kakek nenekku dari pihak Ibu masih di Bubutan," lanjut Harold.

"Kebanyakan tepe-tepe lu," gerutu Mary. "Gue di daerah Kertajaya, tuh. Agak jauh, sih, ya."

"Lumayan. Tapi masih bisa motoran nggak sih?" Harold diam sejenak. Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalanya. Mungkin dia bisa mengajak Mary bertemu Opa dan Omanya yang kerap mengingatkannya untuk mulai mencari pasangan.

Harold tidak tahu bagaimana hubungannya dengan Mary ke depan. Sampai detik ini, pria itu yakin, apa pun nama perasaan yang menyelimutinya sekarang, Mary tidak merasakannya. Akan tetapi, Harold pikir tidak ada salahnya memperkenalkan Mary pada orang-orang terdekatnya. Mungkin dengan begitu, dia bisa mendapat saran apa yang harus dia lakukan ke depannya.

"Kamu ada acara keluarga ya? Padet banget dong? Nggak bisa ya kalau kita nyelipin pemotretan satu hari gitu?" Harold memberondong Mary dengan rentetan pertanyaan.

"Lu doyan kerja apa gimana?" Mary mengangkat alis, tapi kemudian terkikik geli. "Ya paling sibuk ngurus nikahan sampai tanggal 31. Habis itu nontonin orang siap-siap honeymoon, kali?"

"Kerja sambil jalan-jalan. Kan, di Surabaya banyak spot outdoor bagus tuh. Tapi, kalau kamu sibuk, nggak usah deh."

"Nggak papa, sih. Emang lu balik kapan?" Nada bicara Mary sedikit berubah, mulai menunjukkan ketertarikan pada usulan Harold.

"Kalau nggak 30, 31. Kamu belum beli tiket, kan? Bareng aku aja yuk tanggal 30. Aku yang beliin tiket." Harold terus mendesak.

"Lu kata pesawat murah apa?"

"Anggap aja bayaran fotoin aku?" Harold malah bertanya balik.

"Lu sukanya ngomong gitu, tapi nanti ditransfer lagi. Nggak enak di guenya," gerutu Mary. "Nanti gue bisa beli sendiri, kok, kalau udah gajian!"

"Iya. Terserah kamu. Jadi deal, ya, pulang bareng aku tanggal 30. Kamu rencana balik ke Jakarta kapan?"

"Terserah gue tapi lu tentuin seenak jidat itu gimana konsepnya, Bambang?" Mary berdecak. "Balik tanggal tiga, sih. Harus kerja, kan?"

"Biar kamu nggak berubah pikiran." Harold tergelak. Dadanya terasa mengembang, penuh dengan rasa senang. "Tanggal duanya jalan-jalan sekalian pemotretan bisa? Kebetulan aku juga balik tanggal tiga."

"Iya dah, serah lu." Mary terdengar pasrah. "Boleh tanggal dua."

Senyum merekah di bibir Harold. "Oke. Deal. Kosongin jadwal kamu tanggal dua."

"Kakek-nenek lu nggak papa, tuh?" Keraguan kembali terdengar dalam suara Mary. "Cucunya pulang, jarang ketemu, malah ditinggal kerja pula!"

"Nggak apa-apa." Harold lekas menjawab, tak ingin Mary berubah pikiran. "Mereka malah bakal senang kalau aku menghabiskan waktu di luar."

"Oh, yaudah kalau gitu ... Nanti kabar-kabaran lagi, deh."

Harold mencatat dalam benak, dia harus segera memesan tiket begitu tiba di apartemen agar Mary tidak punya alasan untuk membatalkan janji.

=0=

Setelah semalam memesan tiket pulang-pergi ke Surabaya, pikiran Harold tak henti menyusun rencana apa saja yang ingin dia lakukan bersama Mary di sana. Harold tak lagi bisa menyangkal bahwa hatinya jelas telah tertawan dalam genggaman gadis itu. Jika tidak segera berbagi kegelisahannya pada orang lain, Harold khawatir hatinya akan meledak.

Meski sering bertingkah menyebalkan, Ario adalah satu-satunya orang yang Harold percaya. Dia rela menunggu Ario yang masih bertugas di ruang operasi walaupun jadwal jaganya sendiri telah berakhir dua jam lalu. Harold bahkan sempat melipir dulu ke kafe langganannya untuk membeli kopi dan sekotak donat sebagai sesaji untuk sahabatnya itu. Kini, dia menunggu dengan tak sabar di rooftop rumah sakit.

Akhirnya pesan yang dia kirimkan kepada Ario bercentang biru. Itu artinya Ario telah selesai operasi. Pria bertubuh gempal itu mengirimkan emotikon tanda jempol sebagai balasan.

Tak sampai lima belas menit kemudian, Ario datang.

"Tahu aja lo, gue dah kelaperan dari tadi," ucap Ario sambil mengempaskan bokong besarnya di kursi semen sebelah Harold. Tangannya gesit mengambil donat dengan topping selai stroberi dari kotak.

"Memangnya kapan lo nggak kelaperan?" Harold mendengkus.

"Porsi makan gue sekarang dijatah sama Rina." Ario malah mendahului curhat. "Mana sekarang lauknya ijo-ijo mulu."

"Kan demi kesehatan lo juga." Harold jadi sedikit merasa bersalah karena membelikan Ario donat. Harusnya dia membelikan salad saja, supaya tidak merusak program diet yang telah dirancang istri Ario.

Seperti bisa membaca pikiran Harold, Ario lanjut berbicara dengan mulut penuh. "No-no-no. Jangan sekali-kali mikir beliin gue salad. Cukup di rumah aja gue makan kayak sapi."

Harold hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya. Kalau saja sedang tidak butuh saran, dia pasti sudah meledek Ario. Dia mendengarkan keluh-kesah Ario dengan sabar dan menunggu tiba gilirannya bercerita. Kesempatan itu tiba ketika Ario menandaskan donat ketiga.

"Apa yang buat lo yakin kalau Rina itu jodoh lo?" tanya Harold to the point.

Ekspresi Ario berubah serius. Dia menatap tajam ke arah Harold. "Jadi lo beneran lagi dekat sama seseorang, ya?"

"Gue dulu yang tanya. Jangan balik tanya!" tukas Harold jengkel

Ario meneguk kopi, lalu berdeham pelan. "Gue juga nggak tahu jawabannya, Rold. Yang jelas, gue sadar kalau gue jadi lebih baik ketika bareng Rina dan gue rasa hidup jadi nggak pahit-pahit banget kalau Rina ada di samping gue."

Harold merenungkan penjelasan Ario. Dia juga merasa hidupnya jauh lebih berarti sejak kehadiran Mary. Apakah itu sudah menjadi alasan yang cukup?

"Jadi, siapa cewek itu?" Ario kembali bertanya. Karena Harold tak lekas merespons, Ario menambahkan, "Atau ... cowok?"

"Sialan lo!" Harold sontak mengumpat. Entah apa dosanya di masa lalu, bisa-bisanya dia mendapat sahabat bermulut laknat seperti Ario.

"Santai, Man. Gue cuma berusaha jadi sahabat yang pengertian."

Harold masih misuh-misuh melampiaskan kekesalannya. Barulah ketika Ario meminta maaf dengan serius, dia mau bercerita lagi. Mulai dari pertemuan pertamanya dengan Mary hingga saat gadis itu dengan berapi-api mengomentari sepak terjang ayah Harold di dunia politik.

"Tapi gue nggak yakin dia suka sama gue." Harold mengesah. Kedua matanya memandangi langit mendung di atas kepala mereka.

"Lo nggak akan pernah tahu kalau lo nggak tanya sama dia."

"Tapi, gue takut dia malah nggak mau ketemu lagi sama gue kalau gue bilang di waktu yang salah." Harold terdiam lagi. Lalu, sebuah ide melintas di benaknya. "Gimana kalau lo bantuin gue, lihatin apa dia juga ada perasaan ke gue."

"Lo pikir gue dukun, bisa baca pikiran anak orang?" Ario mendengkus kasar.

"Ya, lo kan bisa mengamati sikap dia ke gue kayak gimana. Lo kan lebih berpengalaman masalah cewek." Harold sengaja memuji agar Ario menyetujui permintaannya.

Sesuai dugaan Harold, cuping hidung Ario jadi mengembang. "Ya, udah. Nanti lo ajak aja dia ke ulang tahun Keisha."

"Apa nggak terlalu mencurigakan kalau gue tiba-tiba ngajak dia ke rumah lo?"

"Bilang aja gue butuh fotografer buat acara ultah Keisha." Wajah Ario selalu tampak berseri-seri saat menyebut nama anak semata wayangnya.

Ide Ario cukup masuk akal. Sepertinya Mary tidak akan curiga.

"Lo bayar sendiri, kan?" Harold bertanya memastikan.

"Iya-iya. Gue nggak sepelit itu kali. Rina memang nyuruh gue cari fotografer," jawab Ario dengan bersungut-sungut. "Tapi, jangan lupa beliin kado yang mahal buat anak gue. Kalau bisa PS 5."

Harold memutar bola mata. Bibirnya mengerut kesal. "Itu mah lo yang pingin!"

Ario hanya tergelak, sementara tangannya kembali mencomot donat.

===========

Ceritamela:

Haihai Halo. Semoga kalian sehat selalu.

Terima kasih sudah mengikuti perjalanan Harold dan Mary ini. Saya terharu tiap kali ada yang ngevote. I notice you all. Terima kasih selalu menunggu update cerita ini.

Jadi, saya dan izaddina sama-sama lagi ngerjain cerita lain buat lomba. Makanya, kami berniat buat pelan-pelan nurunin jumlah kata Harold dan Mary ini, jadi sekitar 2000-an gitu lah. Tapi, ternyata usaha kami gagal. Entah kenapa, tetap aja membengkak jadi lebih 2000 kata. huahahaha. 

Mana hari ini saya juga kembali buat Dina deg-degan karena nggak ngetik-ngetik Harold sampai Sabtu malam.  Saya menjadwalkan bab ini tayang pukul 21.22 AEST, alias 17.22 WIB, kurang dari 2 jam sebelum jadwal tayang. hehehe.

Oke, biar nggak tambah panjang, saya akhiri cuap2 ini di sini. Sampai jumpa hari Rabu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top