Advice 8: Jangan Buka Baju Sembarangan
Sebulan terakhir, Harold selalu menunggu akhir pekan datang. Dia berhasil membujuk Kepala IGD untuk tidak memberinya jadwal jaga pada hari Minggu atau Jumat. Dengan begitu, dia bisa menyesuaikan dengan jadwal libur Mary. Tak heran jika rumor bahwa Harold telah punya pacar berembus makin kencang di rumah sakit, apalagi dia juga tidak pernah secara terang-terangan menyangkal rumor tersebut.
Setidaknya sekali dalam sepekan, Harold dan Mary bertemu. Kadang-kadang untuk pemotretan. Kadang-kadang mencoba kuliner baru. Seringnya hanya mengobrol tanpa arah sampai lelah.
Besok mereka berencana melakukan pemotretan di area Gelora Bung Karno (GBK). Kebetulan Harold sedang mendapat endorse produk sportwear. Mary juga bisa sekalian hunting foto di sana, sementara Harold dapat lari pagi setelah pemotretan. Win-win solution.
Hanya dengan memikirkan rencana bertemu Mary esok pagi, Harold jadi lebih bersemangat. Dia tidak merasa lelah meski harus pulang terlambat karena harus stand by sampai dokter yang menggantikannya jaga IGD tiba di rumah sakit, terjebak macet katanya. Dia juga tidak ikut emosi ketika ada keluarga pasien yang marah-marah dan sok tahu membandingkan pelayanan rumah sakit dengan drama Korea.
Sayangnya, kebahagiaan itu hanya berlangsung sementara.
Ketika Harold batu selesai salat Asar dan bersiap pulang, Ronald–adiknya–menelepon. Lelaki yang sembilan tahun lebih muda darinya itu mengabarkan sedang dalam perjalanan menuju apartemen Harold. Perasaan bungah yang memenuhi dada Harold seketika menyusut. Bukannya dia tidak suka, tapi kehadiran Ronald yang tiba-tiba membuatnya overthinking dan bertanya-tanya apa yang membuat Ronald ingin bertemu dengannya.
Ketika Harold membuka pintu apartemen, dia dapat mendengar suara televisi menggema kencang dari arah ruang tamu. Ronald memang tahu kode akses ke apartemennya. Benar saja. Harold menemukan pemuda itu tengah asyik menonton anime sambil mengemil keripik pedas. Kedua kakinya bertumpu ke meja. Gayanya benar-benar seperti sedang berada di rumah sendiri.
Mungkin karena lahir dari rahim yang berbeda, mereka tidak terlihat mirip. Kecuali postur jangkung keduanya yang diwarisi dari Lukito Wijaya, tidak ada lagi kesamaan di antara kakak-beradik itu. Kulit Ronald sawo matang, kedua matanya bulat lebar, dan hidungnya runcing. Sejak kecil, dia sudah ikut menemani ayah mereka kampanye dan mengikuti kegiatan partai. Harold tidak heran saat tahu Ronald langsung mendaftar menjadi anggota partai begitu lulus kuliah tahun lalu.
"Keripiknya enak, Mas. Beli di mana?" tanya Ronald setelah berbasa-basi menyapa.
Harold mengesah. Kedua matanya menyipit kala memandangi sofa dan karpetnya yang kini penuh remah-remah keripik.
"Di minimarket banyak, kok," jawab Harold ketus. Suasana hatinya memburuk dengan cepat.
Hubungan mereka memang tidak dekat, mungkin karena jarak usia keduanya yang cukup jauh. Ketika Ronald tumbuh remaja, Harold telah sibuk berkuliah, lalu bekerja di luar kota. Mereka tidak punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama. Minat dan lingkungan pergaulan mereka pun jauh berbeda.
Setelah Harold kembali tinggal di Jakarta, mereka tetap saja jarang bertemu. Ronald sibuk dengan kuliahnya, kini juga dengan aktivitasnya sebagai kader muda partai, sementara Harold dengan profesinya sebagai dokter. Selain itu, Harold memang menghindar sebisa mungkin agar tidak perlu sering-sering berkunjung ke rumah ayahnya. Ronald sendiri jarang menemuinya. Karena itulah, Harold heran kenapa si adik tiba-tiba mampir ke apartemennya.
"Tempo hari kenapa nggak datang pas acara makan malam Bapak, Mas?" Ronald kembali melempar pertanyaan.
"Sibuk. Banyak kerjaan." Harold menjawab singkat. Pria itu menuju dapur, lalu mengambil botol kaca berisi air dingin dari kulkas. Dia sempat melirik meja kecil di samping sofa yang diduduki Ronald. Telah ada sekaleng soda bertengger di sana, maka Harold merasa tidak perlu menawari adiknya minum.
"Bukannya Mas jalan-jalan ke Bogor hari itu?"
Tangan Harold yang hendak menuang air ke gelas kini terhenti di udara. Ekspresi kaget membayang di wajah pria berkacamata itu. Kerutan terbentuk di keningnya.
Dari mana dia tahu?
Pertanyaan Harold segera terjawab. Sambil meremas bungkus keripik yang telah kosong, Ronald lanjut bicara. "Mashtama itu Mas Hari, kan? Aku lihat story dan postingan Mas di Instagram."
Harold meletakkan botol yang dia pegang ke meja dapur. Dahaganya hilang begitu saja. Seharusnya, Ronald tidak tahu identitasnya sebagai Mashtama. Selama ini, dia menyimpan rapat-rapat rahasia itu dari keluarganya.
"Mashtama siapa?" Harold coba mengelak. Raut wajahnya kini terlihat lebih santai. Seuntai senyum terkembang di sana untuk menyamarkan kegelisahan yang dirasakan.
Ronald mengarahkan dagu ke sudut apartemen yang biasa Harold pakai sebagai studio mini. "Beberapa foto Mas diambil di situ, toh?"
Jantung Harold serasa mencelus. Pertanyaan barusan tidak membutuhkan jawaban. Ronald sudah memberikan bukti yang tidak bisa Harold sangkal lagi.
Ronald mengeluarkan ponselnya dari saku dan memeriksa sesuatu di sana. "Dua ratus tiga ribu followers. Banyak banget, lho, ini, Mas. Keren juga, Mas Hari."
Dari nada bicara dan ekspresinya, Ronald terdengar dan terlihat kagum dengan pencapaian Harold. Akan tetapi, Harold merasa ada yang janggal. Dia tidak menemukan ketulusan dalam kalimat Ronald barusan.
"Kalau kata tim cyber partai, banyak follower Mas Hari domisilinya di Jabodetabek, lho, bisa dipakai bantuin Bapak buat jaring pemilih muda ini."
"Kamu tahu sendiri, aku nggak pernah minat ikut-ikut kegiatan politik Bapak," tukas Harold tegas. Ekspresinya mengeras. Dia akhirnya bisa membaca ke mana arah pembicaraan mereka.
"Nggak perlu ikut kampanye, Mas. Bikin story atau reels bareng Bapak aja sekali-kali." Ronald mengusulkan.
"Sekali nggak, tetap nggak, Ron." Harold bersikukuh.
Harold tidak membenci ayahnya, tapi dia akan terus mengingat ketidakhadiran pria itu pada tahun-tahun terkelam dalam hidupnya. Bukannya tidak menerima takdir, Harold hanya tidak bisa melupakan bagaimana ibunya harus menjalani hari-hari berat sendirian setelah janin yang dikandungnya meninggal dalam kandungan.
Saat ibu Harold tenggelam dalam depresi, sang suami justru sibuk mengurus partai. Kian hari tubuh wanita itu kian kurus, sampai akhirnya harus dilarikan ke IGD karena organ-organ tubuhnya gagal berfungsi. Sayangnya segala tindakan medis yang diberikan dokter tidak dapat menyelamatkan wanita itu. Di usia tujuh tahun, Harold harus kehilangan ibunya.
"Aku cuma usul aja." Suara Ronald menyadarkan Harold dari lamunan.
"Terserah Mas Hari mau terima apa nggak," lanjut Ronald sembari mengangkat bahu. Dengan bibir sedikit mencebik, pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Apartemen segede ini, di lokasi strategis kayak gini, harganya berapa, ya?"
Dada Harold terasa panas. Ronald jelas sedang menyindirnya. Apartemen yang Harold huni itu memang bukan murni dia beli sendiri. Ayah mereka turut andil membayarkan uang muka yang hampir separuh harga apartemen.
"Maksud kamu, harusnya aku menggunakan follower-ku sebagai bentuk balas budi ke Bapak?"
"Nggak, kok. Aku nggak pernah bilang gitu." Ronald tersenyum lebar. "Tapi, ya, kalau Mas Hari ngerasa gitu, aku bisa apa?"
Seolah tidak menyadari bahwa ucapannya telah menyinggung perasaan sang kakak, Ronald bangkit berdiri dan berjalan ke dapur. Dia membuang bungkus keripik ke tempat sampah, lalu mengambil botol yang tadi Harold letakkan di kitchen island. Pemuda itu langsung meneguk air dari botol tanpa memedulikan tatapan sinis Harold.
Usai minum, Ronald melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. "Ah, bentar lagi, aku harus ikut meeting bareng timses, padahal aku masih pingin ngobrol-ngobrol bareng Mas Hari. Jarang-jarang kita bisa ketemu kayak, gini, kan?"
Harold tak menyahut. Dia hanya merespons sang adik dengan dehaman malas dan gerakan kepala. Bahkan ketika akhirnya Ronald berpamitan, Harold tidak berbasa-basi menitip salam untuk ayah mereka.
Setelah kepergian Ronald, Harold langsung mengunci pintu. Barulah setelah itu, dia dapat menurunkan pertahanannya. Kedua bahunya turun dan sebuah helaan napas panjang terdengar keras di ruangan yang sunyi itu.
Firasat Harold sungguh tidak enak. Rasa-rasanya dia mulai kehabisan tempat untuk lari. Bahkan ketika pria itu memikirkan rencananya bersama Mary besok, hatinya masih terasa berat. Andaikan bisa, ingin sekali dia menemui Mary sore itu juga. Sayangnya, meski sebulan terakhir hubungannya dengan Mary makin dekat, dirinya tetaplah bukan siapa-siapa di mata Mary. Dia tidak punya hak untuk menemui gadis itu secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan lebih dulu.
=0=
Saat bangun tidur pagi tadi, Harold masih merasa ada yang mengganjal di hatinya. Kedatangan Ronald kemarin berhasil membangkitkan kembali berbagai kenangan buruk yang Harold coba lupakan, apalagi tahun baru makin dekat. Ibu Harold meninggal pada tanggal 1 Januari, tepat satu hari sebelum ulang tahun Harold.
Untungnya, beban yang menghimpit dada Harold sedikit terangkat ketika pria itu melihat senyum Mary. Gadis itu berpakaian kasual seperti biasa, dengan bobby pin hitam tersemat di poni. Keceriaan Mary menular cepat kepada Harold. Tindak-tanduk gadis itu juga beberapa kali memancing tawa, pelan-pelan menyisihkan ingatan Harold akan percakapannya dengan Ronald ke sudut tersembunyi dalam benaknya.
Meski Harold tak menggunakan masker, Mary berhasil mengambil foto dari sudut yang membuat wajah Harold tak terlihat. Pemotretan hanya berlangsung tak sampai satu jam. Selain merasa foto-foto yang dijepret Mary sudah cukup, Harold juga tak tega melihat Mary ngos-ngosan membuntutinya saat hendak memotretnya dengan pose berlari. Jadi, Harold memutuskan segera mengakhiri sesi pemotretan.
"Aku lanjut lari beberapa putaran dulu. Kamu hunting foto aja dulu," usul Harold. "Hati-hati kalau jalan, jangan sampai nyusruk."
"Lu pikir gue bakal nyusruk tiap kali jalan?" Mary berkacak pinggang.
Harold tertawa keras, lalu berlari meninggalkan Mary. Dia kemudian bergabung dengan puluhan pengunjung lain yang berlari mengitari GBK.
Setelah berlari lima putaran, Harold menepi. Dia sengaja tidak segera menghampiri Mary karena dilihatnya gadis itu masih asyik memotret. Harold duduk sambil menyelonjorkan kaki sembari terus mengawasi Mary dari kejauhan, memastikan gadis itu tidak tersandung atau menabrak sesuatu.
Selama Harold duduk, banyak gadis yang mencuri pandang ke arahnya. Beberapa bahkan ada yang diam-diam mengarahkan kamera ponsel. Harold pura-pura tidak sadar dan membiarkan gadis-gadis itu memotretnya. Yang penting mereka tidak mengusiknya, lagipula perhatian Harold hanya tertuju pada Mary. Barulah ketika Mary berhenti mengambil foto dan celingak-celinguk mengedarkan pandang, Harold mendekat dan mengajak gadis itu kembali ke mobil.
Sesampainya di mobil, Harold membuka pintu bagasi tempat dia menyimpan sebuah tas bepergian berisi pakaian. Pria itu memang selalu menyimpan beberapa pakaian ganti untuk berjaga-jaga.
Kaos olahraga yang dikenakan Harold menempel ke badan karena basah kuyup oleh keringat. Gerah dan lengket. Lalu, dengan cueknya Harold melepas kaosnya, memamerkan barisan otot di perutnya yang berjajar rapi layaknya roti sobek. Masih dengan bertelanjang dada, dia mengaduk-aduk isi tas untuk mencari pakaian yang sesuai.
"Yang bener aja lu! Lepas bajunya harus di sini banget?" Gadis mungil di sampingnya melayangkan protes. Teriakannya justru membuat orang-orang menoleh.
Harold menoleh ke samping. Mary memalingkan wajah ke arah lain, tapi Harold masih dapat melihat semburat merah yang menyapa pipi gadis itu.
"Ribet kalau mesti ke toilet dulu." Harold mengelap badan dengan handuk kecil yang diambilnya dari dalam tas.
"Lagian lumayan, kan, kamu bisa cuci mata dikit," lanjutnya dengan tingkat kepedean setinggi langit. Seringai usil terbit di bibirnya.
"Cuci mata gundulmu." Mary merengut. Kini, dia juga berbalik badan. "Bilang kalau udah selesai!"
"Lebai, ah. Wong, aku nggak pamer aurat juga. Kalau buka celana juga tuh, baru eksibisionis." Harold terkekeh sambil meloloskan kedua lengan ke lubang kaos. Melalui ekor mata, dia melihat beberapa gadis lain masih mengamatinya diam-diam.
"Dah, yuk, berangkat. Biar kebagian gulai gajebonya," ajak Harold usai memastikan penampilannya cukup rapi.
"Anjir lu!" Mary langsung memukul lengan Harold begitu balik badan. Wajahnya masih merah padam.
Pukulan dari Mary sebenarnya tidak sakit, tapi Harold sengaja mengaduh dan memasang ekspresi kesakitan. Sayang aksinya itu tidak berhasil menarik simpati Mary. Gadis itu langsung pergi ke kursi penumpang tanpa menoleh sedikit pun.
Begitu duduk di kursi pengemudi, Harold membuka laci dan mengambil parfum. Kemudian, dia menyemprotkan parfum tersebut beberapa kali ke kaosnya.
"Aku nggak kecut, kan, Mar?" tanya Harold memastikan.
Masih menatap spion, Mary mendengkus. "Parfum lu wanginya nyebar semobil-mobil ye, Bambang."
Bukannya tersinggung, Harold justru terkekeh tanpa rasa bersalah. Dia malah dengan isengnya menyemprot parfum ke arah Mary.
Partikel parfum yang mendadak terhirup membuat Mary terbatuk. Gadis itu menoleh dan mendesis seperti kucing yang sedang siap-siap berkelahi. Matanya menyipit dan melirik Harold sekilas. "Iseng bet, dah, lu!"
Mary kembali menatap jalan, tapi tangannya sempat mampir ke lengan kiri Harold untuk menorehkan cubitan.
Harold mengaduh saat jemari kecil Mary menjawil lengannya. Kali ini, ekspresi kesakitannya bukan sekadar sandiwara. Lalu, keningnya mengernyit saat menyadari ada yang berbeda di wajah Mary. "Bukannya tadi kamu pakai jepit?"
"Hah?" Mary meraba rambutnya dengan panik. Saat tak menemukan bobby pin yang biasa tersemat di sana, dia bertanya heran, "Kok, hilang?"
"Nggak apa-apa. Gitu juga manis, kok," celetuk Harold ringan sambil menekan pedal gas. Seiring waktu, Harold tak lagi sungkan menyuarakan pendapatnya, meski pada akhirnya Mary hanya akan mengira bahwa pujian-pujian yang dia lontarkan hanya gombalan semata.
"Bukan masalah itunya ...." Mary berhenti sejenak, lalu membelokkan pembicaraan. "Hah, lu bilang apa tadi?"
"Ka-mu ma-nis," eja Harold sambil cengengesan.
Mary sedikit merona, tapi ia sembunyikan dengan wajah yang dibuat setenang mungkin. "Dasar udang galah."
Gadis itu berlagak tak peduli dan merogoh isi tasnya. "Ah, sial, itu jepit terakhir pula. Poninya jatuh-jatuh mulu, ih!"
Harold diam saja dan berkonsentrasi menyetir. Perutnya sudah menjerit minta diisi, apalagi sejak tadi dia sudah terbayang sedap dan gurihnya gulai gajebo yang sempat viral di internet. Menyantap makanan berlemak usai olahraga memang bukanlah hal yang patut dicontohkan seorang dokter karena bisa membuat organ pencernaan bekerja lebih keras. Yah, tapi dokter juga manusia. Kadang-kadang, Harold tidak bisa menahan hasrat menjalani gaya hidup tidak sehat, apalagi kemarin Mary yang mengusulkan untuk mampir ke Restoran Padang yang terletak di Blok M itu.
========
ceritamela.
Halo, Hai, Selamat Malam.
Keuntungan duet sama penulis yang juga ilustrator adalah dapat sketsa gratis. Gambar Harold buka baju di atas adalah karya izaddina (roti sobeknya harus disensor demi kemaslahatan bersama). Dia juga terima commis cover sama ilustrasi lho. Beberapa bulan lalu, saya sempat order ilustrasi buat hadiah anniversary dan hasilnya uwu banget. Kalau misal penasaran bisa cek aja portofolio Dina.
Tidak bosan juga saya mengingatkan, jangan lupa mampir ke tempat izaddina untuk membaca cerita dari sudut pandang Mary. Apalagi, ada scene Mary sedang di-pedekate-in cowok lain di sana lho. Untungnya Harold nggak tahu, kalau tahu bisa cemburu buta dia
Terima kasih banyak ya sudah bertahan sampai bab 8 ini dan selalu setia menunggu kedatangan Harold. Semoga part ini bisa menghibur. Sampai jumpa hari Sabtu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top