Advice 5: Jangan Lupa Sarapan

Malam itu, Harold tidak bisa tidur, padahal besok dia berniat jogging mumpung sedang tidak ada jadwal shift pagi di IGD. Seharusnya dia sudah tidur dua jam lalu supaya bisa bangun lebih awal keesokan harinya. Namun, pria itu justru sibuk scrolling sosial media dan menjelajah internet demi mencari inspirasi untuk konsep pemotretan bersama Mary weekend nanti.

Lelaki itu tidak menyadari bibirnya selalu otomatis tersenyum setiap ekspresi manyun Mary melintas di benaknya, pun tidak sadar bahwa tingkahnya sekarang menunjukkan ciri-ciri orang yang sedang kasmaran. Yang dia tahu, hidupnya akhir-akhir ini terasa membosankan, kecuali saat dia sedang bersama Mary.

Jemari Harold terus menggulir layar ponsel untuk mencari tahu spot-spot foto yang sedang populer di Jakarta. Sebenarnya, tidak ada deadline endorse yang mendesak. Stok fotonya masih cukup untuk dua minggu ke depan. Dia tidak butuh jasa fotografer. Dia hanya ingin bertemu Mary lagi.

"Ke mana, ya?" Harold merebahkan punggung ke kasur. Pelupuk matanya mulai terasa berat, tapi dia masih enggan tidur sebelum menemukan tempat yang tepat.

Di kota metropolitan itu, banyak lokasi menarik yang bisa dikunjungi, tapi Harold khawatir pertemuannya dengan Mary hanya akan berlangsung satu atau dua jam saja. Kalau masih bisa ditempuh dengan motor, kemungkinan besar Mary akan mengusulkan langsung bertemu di lokasi tujuan. Tampaknya mustahil mengajak gadis itu nongkrong lebih lama jika datang dengan kendaraan masing-masing.

"Mungkin ke luar kota sekalian."

Harold kembali berkutat dengan ponselnya dan memperluas daerah pencarian. Tempat yang dituju harus cukup jauh supaya Mary mau berangkat bersamanya, tapi juga cukup dekat untuk dijangkau dalam satu-dua jam perjalanan menggunakan mobil. Dia sampai membuat daftar berisi kandidat lokasi yang dapat dikunjungi, lalu menuliskan pro dan kontra masing-masing lokasi. Harold sendiri bingung kenapa dia mau repot-repot seperti itu, tapi tetap saja dia melakukannya hingga ketiduran.

=0=

Akhirnya setelah pertimbangan panjang sejak semalam, Harold tahu harus mengajak Mary ke mana.

Kebun Raya Bogor!

Ide itu muncul ketika Harold sedang lari di treadmill–dia tidak jadi jogging karena kesiangan. Harold yakin Bogor adalah pilihan yang sempurna. Jika jalanan lancar, perjalanan ke sana hanya butuh sekitar tiga jam untuk pulang pergi. Mereka bisa sekalian piknik di sana dan mengobrol hingga bosan.

Usai menentukan pilihan, Harold mulai merancang tema yang akan digunakan. Dia juga menyiapkan konsep foto yang cukup masuk akal agar Mary tidak berpikiran macam-macam. Jangan sampai Mary salah paham. Harold hanya ingin menghabiskan waktunya dengan gadis itu, tidak ada maksud lain, yah setidaknya untuk saat ini.

Saking asyiknya mempersiapkan semua itu, Harold sampai lupa waktu. Dia baru sempat mengabari Mary tentang rencananya usai salat Jumat. Tentu saja, Mary langsung mengomelinya.

Mary Angelica Mulyabakti:
Buset, dadakan beut kek tahu bulat 😀

Harold:
Sorry. Semalem ketiduran. Lupa mau WA.Ga bisa ya? Kalau Minggu pagi?


Harold menunggu balasan Mary dengan harap-harap cemas. Kalau gadis itu tidak bisa juga, siapa yang akan menghabiskan aneka camilan yang sudah telanjur dibelinya? Sepulang dari gym tadi, dia kalap berbelanja di supermarket, sampai tidak ingat kalau harusnya dia menghubungi Mary lebih dulu. Karena tidak tahu camilan apa yang Mary gemari, Harold membeli berbagai jenis camilan.

Mary Angelica Mulyabakti:
Capek bet keknya lu jadi dokter ...
Harusnya lu ngomong semalem biar guenya bisa geser jadwal kerja,
soalnya gue harusnya libur hari ini. Tapi Minggu pagi bisa, sih 🤔

Harold:

Hehehe. Iya. Kemarin pasienku galak dan ngeyelan soalnya.

Mary
Oke. Paginya jam berapa?

Entah Mary memang tidak sadar atau sengaja mengabaikan curhatan Harold barusan. Pasien galak dan ngeyelan yang Harold maksud tentu saja adalah Mary. Pria itu sengaja memancing karena ... yah ... karena ingin saja. Dia sedikit kangen mengusili Mary.

Ah, membayangkan Mary manyun sambil mengomel saja sudah berhasil membuat Harold senyum-senyum sendiri. Untung saja dia sedang sendirian di apartemen. Kalau tidak, bisa-bisa orang yang melihat akan mengiranya sudah gila.

Adegan senyum-senyum sendiri itu harus terpotong karena alarm ponsel Harold berbunyi. Pria itu mendesah malas. Dia harus segera siap-siap berangkat ke rumah sakit kalau tidak ingin telat. Shift sore akan dimulai satu setengah jam lagi.

"Ah, iya. Jadwal praktik." Harold menggerutu saat teringat bahwa dia harus praktik di Klinik Dhuafa pada Minggu sore.

Saat Harold sedang galau apakah harus membatalkan janji dengan Mary atau izin tidak praktik, jawaban justru datang lewat ponselnya. Sekali lagi, Tuhan berbaik hati kepadanya. Salah satu rekannya bertanya apakah mereka bisa bertukar jadwal. Tentu saja, Harold langsung menyetujui tawaran itu. Dia bahkan tidak masalah harus membatalkan rencana lari pagi di GBK hari Sabtu besok, yang penting rencana hari Minggunya bersama Mary tetap dapat terlaksana.

=0=

Baru lewat beberapa menit setelah pukul tujuh, tapi Harold sudah berdandan rapi. Dia bahkan sempat berganti baju beberapa kali. Ingin sekali rasanya dia menghubungi Mary untuk memastikan bahwa gadis itu tidak lupa janji. Namun, Harold menahan diri. Dia tidak ingin terkesan terlalu antusias.

Pukul tujuh lewat lima puluh, Harold sudah berganti pakaian lagi. Dia akhirnya memutuskan menggunakan pakaian kasual bernuansa gelap. Kaos lengan panjang, jeans, topi bisbol, dan tas selempang yang dia kenakan, semuanya berwarna hitam. Menurut Harold, dia jadi berkali lipat lebih tampan dalam balutan warna hitam.

Entah untuk ke berapa kalinya, Harold mengecek jam di dinding. Biasanya Mary datang lebih awal, tapi belum ada tanda-tanda kehadiran gadis itu. Harold mulai khawatir. Jangan-jangan Mary tiba-tiba ada urusan mendadak.

Baru saja Harold meraih ponsel untuk menghubungi Mary, bel pintunya memekik. Harold melompat turun dari kursi dan langsung memelesat membukakan pintu. Senyumnya langsung merekah saat wajah Mary menyapa. Layaknya anjing golden retriever yang kegirangan saat tuannya pulang, Harold merasakan ledakan energi yang membuatnya bersemangat.

"Halo, Mar!" Wajah Harold berseri-seri. Pria itu gagal menyembunyikan perasaan bahagianya saat melihat pakaian Mary yang juga serba hitam. Mereka jadi terlihat seperti pasangan yang akan pergi kencan.

Ini bukan kencan, Harold! Pria itu membatin. Namun, rasa senang tetap saja membuncah di dadanya.

"Masuk dulu," ajak Harold ketika dia sudah berhasil menenangkan jantungnya yang berdetak lebih kencang tanpa alasan jelas.

"Udah siap?" tanya Mary sambil mendongakkan kepala. Perbedaan tinggi mereka memang cukup jauh. Kalau ingin saling tatap, Mary harus mengangkat wajah dan Harold mesti menunduk sedikit.

"Udah. Tapi, aku bingung mau bawa camilan apa, soalnya aku nggak tahu kamu sukanya apa." Harold mempersilakan Mary masuk lebih dulu, sementara dia menutup pintu.

"Oh, ya. Lu doyan brownies, nggak?" Mary kembali bertanya dari ruang tamu.

Harold yang sedang mengatur posisi sepatu Mary agar menghadap pintu, mengernyit heran. "Suka. Kenapa memangnya?"

"Gue bawa brownies. Tanda ...." Ada jeda yang cukup panjang. Gadis itu terdengar ragu melanjutkan kalimatnya, membuat Harold makin penasaran. "Ya pokoknya gue bawa brownies, lah, buat lu. Biar perut gue nggak ada utang budi."

Tawa Harold seketika pecah di udara. Ternyata suara Mary yang sedang salah tingkah terdengar lebih menggemaskan dari Mary yang sedang marah-marah. Benar-benar sebuah hiburan yang menyenangkan bagi Harold di Minggu pagi yang cerah itu.

"Utang budi apaan? Aku nggak ngerasa pernah ngutangin kamu," timpal Harold yang kini telah menyusul Mary di ruang tamu. Dia tidak sedang sok dermawan, pada dasarnya dia memang suka berbagi makanan. Meski tidak setiap hari, dia sering membawakan kopi dan camilan untuk orang-orang yang berjaga di shift yang sama dengannya.

Mary mengempaskan diri ke atas sofa. Di sela kuapnya, gadis itu lanjut menjelaskan, "Lu, kan, kemarin ngasih gue susu sama opera cake. Kalau beli cake mahal, jadi gue bawa brownies."

"Mana browniesnya?" tagih Harold. Karena Mary sudah susah-susah membawakannya hadiah, tentu dia akan dengan senang hati menerimanya.

Mary melepas tas yang menggantung di pundaknya, lalu mengeluarkan sebuah wadah makanan dari plastik. Terdapat sedikit embun yang membayang di tutup kotak tersebut. "Sorry dingin. Gue bikin semalam, terus di kosan gue nggak ada microwave, jadi nggak bisa diangetin."

"Bikin sendiri?" tanya Harold penasaran. Satu alisnya terangkat lebih tinggi, menggambarkan perasaan herannya. Tanpa bermaksud meremehkan, dia tidak menyangka Marry bisa memasak.

"Kalau rasanya aneh nggak usah dimakan," kata Mary ketus. Bibirnya mengerucut maju, pertanda bahwa pertanyaan Harold barusan telah membuatnya tersinggung. "Tapi brownies gue enak, kok! Gue pernah bawa ke kantor, pada doyan!"

Harold terkekeh sembari mencomot sepotong brownies dari kotak yang disodorkan Mary. Akhirnya, setelah beberapa hari tidak bertemu, dia berhasil melihat ekspresi itu lagi secara langsung, bukan hanya melalui kilasan memori. Muka cemberut Mary benar-benar seperti candu baginya, selalu berhasil meniupkan gelombang kebahagiaan ke dadanya.

Sifat usil Harold mulai mengambil alih. Sebelum menggigit brownies yang diambilnya, pria itu sempat-sempatnya bergurau, "Nggak pakai jampi-jampi, kan, ini?"

"Mau gue kasih jampi-jampi?" sindir Mary. Lagi-lagi, gadis itu menguap. Sepertinya bukan hanya Harold yang tidak bisa tidur cepat semalam.

Harold tak menanggapi pertanyaan itu. Mulutnya sibuk mengunyah brownies buatan Mary. Aroma dan rasa khas cokelat memenuhi mulutnya. Brownies itu tidak terlalu manis, pas sesuai selera Harold. Impresinya terhadap Mary makin baik. Gadis itu berhasil menambahkan satu poin dalam daftar hal-hal yang membuat Harold kagum.

"Enak, kok. Sungguh di luar dugaan," puji Harold tulus. Dia melihat Mary menguap lagi.

"Kamu mau latte apa espresso sekalian?" Harold bertanya kepada Mary sembari mengayunkan kaki ke kitchen island minimalis yang memisahkan dapur dengan ruang tamu, tempat sebuah mesin kopi yang didapatnya dari endorse bertengger manis.

"Maksudnya di luar dugaan itu apa, ya?" Mary merengut.

"Di luar dugaan ternyata kamu jago masak. Aku pikir kamu cewek tomboi yang ogah masuk dapur." Harold berkata sejujurnya. Tangannya meraih tumbler stainless steel di rak atas, lalu meletakkan benda itu bawah tempat keluarnya kopi.

"Jadi mau kopi apa?" Harold bertanya sekali lagi.

"Espresso boleh."

"Kamu sudah sarapan, kan?" Harold memastikan. Lambung kosong dan kopi bukanlah kombinasi yang baik. Pria itu tidak ingin Mary sakit perut gara-gara minum kopi sebelum sarapan.

"He-he." Mary hanya tertawa canggung sebagai jawaban.

Pasti belum sarapan. Harold langsung menyimpulkan. Dia kemudian membuka kulkas dan mengeluarkan sepotong sandwich yang semalam dibelinya karena sedang ada promo beli satu gratis satu. Sambil menunggu mesin kopi bekerja, Harold menghangatkan roti lapis itu di microwave.

"Kamu pilih aja itu camilan mana yang mau dibawa. Takutnya kita nggak sempat mampir-mampir lagi." Harold menunjuk meja di depan Mary yang penuh dengan beragam kudapan. Mulai biskuit, aneka keripik, hingga berbagai minuman ringan.

"Mau foto apa piknik lu?" Mary menyindir.

"Dua-duanya, lah. Mumpung hari ini cuacanya cerah," tanggap Harold sambil mengeluarkan roti lapis dari microwave. Pria itu menoleh kepada Mary. "Kemarin kamu bilang free seharian, kan?"

"Wow. Niat bener lu nyetok makanan." Mary geleng-geleng kepala. Kedua matanya masih menatap takjub pada tumpukan makanan di hadapannya. "Jadinya mau ke mana aja, deh?"

"Aku, sih, kepikirannya baru Kebun Raya. Terus palingan ke Suryakencana nyobain soto mi. Kamu ada ide lain, nggak?" Harold kembali menghampiri Mary. Aroma daging asap menguar dari roti lapis yang dibawanya, sementara tumbler berisi kopi di tangan satunya telah ditutup rapat agar panasnya terjaga.

Mary menggeleng. "Sori nih, gue lagi suntuk bener sama kantor, otak gue nggak jalan jadinya. Ngikut lu aja, dah."

"Ini buat sarapan di mobil." Harold menyerahkan kopi dan sandwich kepada Mary. "Browniesnya juga kita bawa aja. Yuk berangkat sebelum macet."

Karena Mary tak juga memisahkan camilan mana yang akan dibawa, Harold memasukkan hampir semua camilan itu ke tas kain. Biar nanti Mary bisa memilih mana yang disuka saat sudah tiba di Bogor saja.

"Mau ke toilet dulu ga?" tanya Harold.

Mary menggeleng lagi. Dia melirik tangan Harold yang menjinjing tas penuh berisi camilan. "Mau dibantu bawain?" Gadis itu menawarkan bantuan.

"Kamu bawa kopi itu aja biar ga tumpah. Kalau segini doang mah enteng." Harold sedikit pamer. Dia sudah terbiasa mengangkat beban berat.

"Oke ...." Dari nada bicaranya, Mary masih terdengar heran. Dia lanjut berkomentar, "Udah kayak mau trip sekampung, dah, bawaan lu."

Harold tidak menimpali. Untung saja dia berjalan memimpin di depan. Mary tidak bisa melihat pipinya yang sedikit merona. Setelah dipikir-pikir lagi, Harold menyadari persiapannya agak berlebihan, tapi tak mungkin juga dia mengakui hal itu secara terus terang.

=0=

Suasana mobil mendadak sepi, padahal tidak sampai sepuluh menit lalu Mary masih berkicau nyaring, mengomentari satu mobil yang ugal-ugalan menyetir di jalan tol. Sebelum itu, Mary sibuk menikmati roti lapis. Bahkan, suara kunyahannya pun terdengar menggemaskan, sampai membuat Harold tergoda meledeknya, yang kemudian tentu saja dibalas dengan dengkusan keras dan tatapan sinis oleh si gadis.

Kata orang, jangan membangunkan macan yang sedang tidur. Harold mematikan radio agar Mary tidak terusik. Saat sedang segar saja, Mary sudah galak seperti macan, entah apa yang terjadi kalau gadis itu terbangun saat sedang lelap-lelapnya. Harold memang terhibur saat melihat Mary sedang mencak-mencak, tapi dia tidak mau ambil risiko mengacaukan perjalanan mereka. Biarlah Mary tidur nyenyak sampai mereka tiba di tempat tujuan.

Ponsel Harold diatur dalam mode senyap, tapi pria itu langsung menyadari ada telepon masuk ketika benda itu bergetar pelan di atas dasbor. Dengan sekali lirik, Harold langsung dapat membaca nama penelepon. Santika Wijaya. Istri ayahnya itu menelepon lagi. Harold tebak, Santika ingin memastikan sekali lagi apakah Harold benar-benar tidak bisa pulang ke Kalibata hari itu.

Harold membiarkan telepon itu mati sendiri. Jelas-jelas dia akan memilih menghabiskan waktu bersama Mary daripada terjebak bersama orang-orang asing di rumah ayahnya.

"Ayam goreng ... err ... ganteng ... seneng." Bibir Mary mengoceh tidak jelas. Gadis itu mengigau. Entah apa yang sedang terjadi dalam mimpinya.

Pria itu tertawa pelan. Hatinya kembali melunak. Racauan Mary berhasil mengembalikan mood-nya yang sempat drop gara-gara telepon Santika barusan.

"Thank you, Mar." Harold berbisik lirih. Entah untuk apa dia berterima kasih. Yang jelas, dia bersyukur Tuhan mempertemukannya dengan Mary.

==============

Ceritamela:

Halo. Hari ini cuap2nya nggak panjang deh. 

Hanya mau bilang terima kasih sudah mampir.

Dan, saya tidak akan bosan menghimbau untuk mampir juga ke tempa izaddina karena bab 5 ini lagi-lagi banyak part yang beda antara PoV Harold dan Mary.

See you next week.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top