Advice 4: Kalau Luka, ya, Diobati
Saat menyetir pulang, senyuman di bibir Harold tak juga surut. Setiap kali teringat pada wajah Mary yang merengut, tawa Harold terurai di udara. Menurutnya, gadis itu benar-benar unik.
Ekspresi merajuk Mary bukan kombinasi genit dan manja yang sering Harold lihat pada gadis-gadis lain–dan selalu sukses membuat pria itu ilfeel duluan, melainkan ekspresi kesal yang begitu murni tanpa lapisan kepura-puraan.
Harold baru membaca pesan Mary ketika dia telah duduk manis di sofa ruang tamu. Mary bertanya kenapa dirinya membelikan kue. Awalnya, Harold ingin memberi jawaban singkat saja, tetapi jemarinya justru mengetik pesan panjang untuk mencandai gadis itu.
Harold:
Biar nggak diusir dari kafe gara-gara cuma
pesan americano buat numpang wifi.
Tak lama kemudian, Mary menanggapi pesan Harold. Gadis itu beralasan bahwa sebagai anak kos dirinya harus berhemat. Sebuah jawaban yang cukup netral, tetapi Harold bisa membayangkan Mary sedang mengerucutkan bibir saat mengetik pesan. Untuk membuktikan deduksinya itu, Harold sengaja memprovokasi Mary.
Harold:
Jangan hemat-hemat
Nanti nggak tinggi-tinggi.
Benar saja, ketika tinggi badannya mulai diungkit-ungkit, gadis itu langsung berang. Mary bahkan mengirimkan kata umpatan. Entah keceplosan atau memang disengaja. Harold tebak yang kedua, karena tak sampai semenit kemudian Mary mengatainya seperti galah.
Bukannya tersinggung, Harold justru tergelak. Pria itu dapat membayangkan ekspresi Mary dengan begitu jelas dan tawanya pun jadi makin keras karenanya. Tawa itu pun dia kirimkan kepada Mary dalam bentuk deretan emotikon, yang kemudian dibalas Mary dengan pertanyaan apakah ada yang lucu. Harold tak lekas membalas pesan itu karena dia sedang sibuk menyantap pasta yang dibelinya tadi.
Pesan dari Mary kembali datang lima belas menit kemudian. Harold mengintip isi pesan itu melalui pop up notifikasi. Kali ini, Mary menanyakan apakah Harold sudah mengecek email.
Setelah makan malamnya tandas, barulah Harold kembali memegang ponsel. Dia berjanji akan segera mengecek email dan menjawab pertanyaan Mary sebelumnya dengan candaan lain. Dia bilang bahwa Mary-lah yang lucu, seperti pelawak. Tentu saja, gadis itu makin emosi.
Mary Angelica Mulyabakti:
Untung lu klien gue, Kak 😊
Harold:
Kalau bukan klien emangnya kenapa?
Mary Angelica Mulyabakti:
Gue tampol.
Harold kembali tergelak. Kali ini, lebih keras dari sebelumnya. Ancaman tersebut justru memancing keluar sifat usil yang selama ini Harold sembunyikan demi menjaga image.
Harold:
Memangnya tangan kamu nyampe?
Mary Angelica Mulyabakti:
Kurang ajar lu, Harold 😡
*Kak
Tawa Harold makin menjadi-jadi. Badan pria itu bahkan sampai berayun ke depan dan belakang.
Mary Angelica Mulyabakti:
Ih males banget tapi, lu nyebelin gitu
gue panggil Kak 😑
Harold menyarankan agar Mary tak perlu basa-basi menyematkan embel-embel "Kak" kepadanya. Dia tak keberatan dipanggil langsung nama oleh orang yang lebih muda darinya.
Balasan Mary selanjutnya nyaris membuat Harold tersedak. Gadis itu mengirimkan serangan balasan dengan menyebutnya tua. Untung saja mereka tidak sedang bertatap muka. Mary pasti akan tertawa senang jika sampai tahu bahwa serangan barusan telak menyenggol harga diri Harold.
Harold menarik napas dalam-dalam, kemudian mengetik jawaban seolah-olah dia tak peduli disebut tua dan kemudian membelokkan pembicaraan ke masalah pekerjaan.
Setelah membahas apakah akun Instagram Mary perlu dimention dalam postingannya, Harold teringat bahwa Mary belum juga memberitahukan nomor rekeningnya sejak kemarin.
Harold:
Nggak mau dibayar apa?
Mary Angelica Mulyabakti:
MAU LAH!
Pesan itu kemudian disusul dengan informasi nomor rekening Mary. Harold langsung mentransfer uang ke rekening tersebut. Sengaja dia lebihkan nominalnya karena Mary keukeuh minta dibayar satu sesi saja, padahal kalau dihitung dengan kemarin, mereka sudah menjalani dua sesi pemotretan.
Mary Angelica Mulyabakti:
Lah, lu kelebihan ini transfernya!
Seperti dugaan Harold, gadis itu langsung mengonfirmasi.
Harold:
Anggap aja ganti bensin.
Mary Angelica Mulyabakti:
Thank you! Gapapa deh lu sering-sering
foto ama gue kalo gini mah 🙏
Kedua sudut bibir Harold sontak tertarik ke atas. Entah kenapa, malam itu dia jadi sering tersenyum. Biasanya Harold hanya tersenyum untuk membangun kesan ramah di mata lawan bicaranya. Namun kini, dia tersenyum karena dirinya memang ingin, bukan untuk menyenangkan orang lain.
Harold:
Istirahat sana.
Anak kecil ga boleh bobok malam-malam.
Karena terbawa suasana, Harold kembali menggoda Mary. Dia sadar ledekannya barusan sedikit keterlaluan, tapi hasrat untuk mengisengi gadis mungil itu terlalu besar. Mungkin karena pertemuan pertama mereka sudah dimulai dengan kesan yang salah dan usahanya untuk memperbaiki image telah gagal, Harold rasa tidak ada gunanya berpura-pura. Mau seramah dan sebaik apa pun sikapnya, Mary sudah telanjur menandainya sebagai lelaki sok tahu yang menyebalkan. Ya, sudah sekalian saja dia manfaatkan kesempatan itu untuk mencari hiburan.
Mary hanya mengirimkan satu emotikon sebagai tanggapan. Harold menunggu, tetapi tidak ada pesan lanjutan. Gadis itu bahkan tidak terlihat online lagi.
Harold tiba-tiba merasa kecewa. Rasanya dia masih tidak relah percakapannya dengan Mary berakhir begitu saja, tapi tidak mungkin juga dia terus mengganggu gadis itu. Mary pasti juga punya kesibukan lain.
Untuk mengisi waktu, Harold coba menyibukkan diri dengan memilih foto dan mengunggahnya ke Instagram. Namun, hal itu hanya memakan waktu kurang dari sepuluh menit.
Instagram Harold langsung dipenuhi notifikasi. Foto yang baru dia unggah mendapat serbuan tanda suka dari para pengikutnya. Namun, lagi-lagi Harold diliputi kekecewaan. Mary belum memberikan respons, padahal dia telah menyebut akun gadis itu sesuai permintaan.
Sambil menelan rasa kecewanya, Harold memutuskan log out dari Instagram.
Sekarang apa?
Tiba-tiba saja Harold merasa kosong. Apartemennya terasa begitu lengang. Biasanya hal itu bukan masalah besar. Dia terbiasa sendirian. Namun saat melihat sudut apartemen yang sering dia fungsikan sebagai studio dadakan, Harold kembali teringat pada Mary yang begitu heboh mengambil foto. Situasi kemarin terasa begitu kontras dengan sekarang. Celetukan-celetukan yang keluar dari bibir Mary berhasil membuat apartemen Harold terasa lebih ramai.
"Apa-apaan, sih. Kenapa malah jadi kepikiran si bocil mulu." Harold segera bangkit dari kursi dan membereskan alat-alat makannya. Diusirnya bayangan Mary pergi. Dia tidak mau hidupnya yang nyaman jadi porak-poranda hanya karena satu sosok yang hanya singgah sebentar.
=0=
Foto-foto hasil jepretan Mary mendapat respons positif dari para pengikut Harold. Brand yang menyewa jasa Harold pun sangat senang dan mengirimkan sebuah tas selempang kecil sebagai bonus. Meski tidak di-endorse, Harold berniat untuk mempromosikan tas tersebut di akun Instagramnya, tetapi seminggu terakhir dia menjadi lebih sibuk karena baru saja menerima tawaran pekerjaan baru.
Semua ini gara-gara Mary. Harold menyalahkan gadis energik itu.
Setelah obrolan mereka di Whatsapp tempo hari, Harold tiba-tiba diselimuti rasa sepi. Dia ingin menghubungi Mary lagi, tapi dengan alasan apa? Kerja sama mereka sudah berakhir. Dia juga belum membutuhkan jasa fotografer lagi. Lalu, seperti biasa, Harold mencari pelarian. Tanpa pikir panjang, dia mengiakan tawaran teman Ario untuk bekerja di sebuah klinik kesehatan yang baru dibuka.
Kesibukan barunya memang membuat Harold tidak punya waktu untuk merasa kesepian, tapi di sisi lain, juga membuatnya mudah sekali merasa letih. Lama-lama, dia bosan juga mendahulukan kepentingan orang lain di atas dirinya. Sekali-kali, dia ingin bersikap egois ... seperti sekarang.
"Ada keperluan apa, ya?" tanya Harold tanpa basa-basi setelah Vanya mengajaknya bicara di tangga darurat.
"Teman saya kebetulan ada urusan mendadak nanti malam, jadi saya ada tiket lebih. Kata Dokter Ario, Dokter Harold suka film action." Gadis berseragam perawat itu memasang ekspresi malu-malu kucing. "Nanti malam, Dokter ada acara nggak? Kalau nggak, siapa tahu mau ikut nonton."
Ingin sekali Harold berkata bahwa trik yang dipakai Vanya sudah kedaluwarsa. Seorang mahasiswi koas pernah memakai trik yang sama kepadanya tahun kemarin. Lalu ternyata, teman-teman yang diceritakan gadis itu semuanya berhalangan datang dan mereka akhirnya hanya menonton bioskop berdua.
"Maaf, saya sudah ada janji." Meski masih menahan diri untuk tidak menyuarakan apa yang dia pikirkan, Harold memutuskan untuk menolak tawaran itu.
Harold tidak sepenuhnya berbohong. Dia memang telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak membuang waktu luangnya yang kian menepis itu bersama orang yang tidak berarti apa-apa baginya.
"Yah, sayang sekali." Vanya memberengut. Namun, di mata Harold, ekspresi itu terlihat seperti topeng yang diukir penuh rencana.
Entah kenapa, Harold merasa Vanya mengatur ekspresi cemberutnya sedemikian rupa agar tetap terlihat imut. Sangat berbeda dengan ...
Nama itu lagi, batin Harold saat raut kesal Mary kembali membayang di benaknya.
"Saya pulang dulu, ya, Vanya," pamit Harold sambil tersenyum tipis. Senyuman itu segera menghilang begitu dia berbalik badan dan terbebas dari tatapan sang lawan bicara. Hari ini, Harold terlalu letih untuk berlama-lama memasang wajah ramah.
Selama menyetir pulang, pikiran Harold dipenuhi perasaan khawatir. Apakah tadi sikapnya terlalu dingin? Bagaimana jika Vanya membencinya? Kenapa pula tadi dia tidak memilih kalimat penolakan yang lebih halus?
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti racun yang menggerogotinya dari dalam. Seperti ada gelembung-gelembung metana yang mengisi dadanya dan siap meledak kapan saja. Menjelang akhir tahun, segala sesuatu di sekitar Harold memang mendadak terlihat lebih suram. Dia juga lebih sering merasa gelisah saat tanggal itu kian dekat.
Seakan situasi yang dialami Harold belum cukup buruk, ponselnya berdering dan memunculkan nama yang paling tidak dia inginkan menghubunginya sekarang. Pria berkacamata bulat itu mengesah panjang, tapi akhirnya tetap menerima telepon dengan menyalakan mode pelantang.
"Apa kabar, Harry? Baik-baik saja, kan?" Sebuah suara lembut dengan nada keibuan terdengar menyapa. Suara itu milik Santika Wijaya, ibu tiri Harold.
"Baik, Tante," jawab Harold datar tanpa balas menanyakan kabar wanita itu.
"Harry sibuk banget, ya? Sejak ulang tahun Ronald, belum mampir ke Kalibata lagi."
"Iya, Tante."
Harold memang hanya mengunjungi keluarganya saat ada acara-acara khusus yang tidak bisa dia hindari, misalnya ulang tahun ke-22 adiknya bulan Agustus kemarin. Itu artinya, sudah lebih dua bulan dia tidak berkunjung.
"Weekend nanti, kamu ada waktu, nggak? Kebetulan Bapak mau bikin acara makan malam ngundang beberapa teman. Bapak pingin Harry juga datang, biar keluarga kita lengkap."
Harold tidak lekas menjawab pertanyaan Santika. Akhir pekan nanti, kebetulan dia hanya punya jadwal praktik di Minggu sore, di luar itu agendanya kosong. Namun, Harold sama sekali tak tertarik untuk ikut hadir. Dia yakin, makan malam itu bukan sekadar acara ramah-tamah biasa, tapi juga sengaja diselenggarakan ayahnya untuk mencari dukungan saat pemilihan umum tahun depan.
"Maaf. Saya ada jadwal jaga IGD, Tante," dusta Harold sambil bersiap menekan pedal gas.
"Nggak bisa tukar jadwal dengan yang lain? Atau mungkin, jadwalnya digeser ke pagi atau siangnya gitu?"
"Maaf, nggak bisa, Tante," tutur Harold. Begitu lampu lalu lintas kembali berubah hijau, pria itu langsung melajukan mobil.
Desahan kecewa terdengar dari ponsel Harold, tetapi Santika berkata dia akan coba menjelaskan kepada ayah Harold. Wanita itu berpesan agar Harold menjaga kesehatan, lalu menutup telepon setelah basa-basi singkat.
Telepon dari Santika membuat suasana hati Harold memburuk dengan cepat. Pria itu jadi tak ingin segera pulang ke apartemen. Langit masih terang. Dia tidak mau terperangkap sendiri di apartemen dan sibuk dengan pikiran-pikiran negatifnya, tapi juga tak ingin menghabiskan waktu bersama orang lain. Satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah menyetir tanpa arah sampai malam datang dan dia bisa langsung beristirahat saat pulang nanti.
Sempat beberapa kali Harold ingin menepi, lalu meraih ponsel dan mengetik pesan untuk menghubungi Mary. Namun, akal sehatnya masih bekerja. Alasan apa yang harus dia ungkapkan Mary? Menyewa jasa gadis itu lagi?
Semesta sepertinya telah diatur sedemikian rupa untuk memfasilitasi pertemuan Harold dengan Mary selanjutnya. Di sebuah perempatan, Harold melihat sosok mungil itu tengah menunggangi motor di depannya. Mereka sama-sama tertahan lampu merah, hanya dipisahkan oleh satu mobil. Harold dapat mengenali backpack abu-abu yang warnanya telah pudar itu. Tidak salah lagi.
Belum sempat Harold menyapa, lampu lalu lintas berubah hijau. Motor yang dikendarai Mary berbelok ke kanan. Harold yang sempat menyalakan sein terpaksa melaju lurus, baru kemudian putar balik untuk menyusul Mary.
Harold kira dia akan kehilangan jejak Mary, tapi ternyata gadis itu justru sedang bertengkar dengan seorang pedagang cilok di pinggir jalan.
"Cari ribut dengan siapa lagi dia?" Harold menggeleng-gelengkan kepala. Tawa kecil lolos dari bibirnya.
Pria itu segera menepi, lalu turun dari mobil untuk menghampiri Mary. Setelah posisi mereka cukup dekat, barulah dia melihat spion motor Mary yang patah dan juga lubang besar yang menganga di gerobak cilok.
"Buktinya, kan, sekarang motor Mbak yang nabrak gerobak saya! Tanggung jawab, dong!" Si pedagang cilok terdengar memaksa.
Harold yang berdiri di belakang Mary melihat luka lecet di siku gadis itu. Insting dokternya segera bekerja, tapi sebelum itu dia harus mengusir pedagang cilok itu pergi. Harold segera mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, lalu memberikannya kepada pria yang masih saja berteriak-teriak meminta pertanggungjawaban Mary.
"Ini uang ganti ruginya, ya, Pak. Maafkan teman saya," ujar Harold dengan nada berwibawa.
Si pedagang cilok tak lagi protes, lalu pergi begitu saja meninggalkan mereka. Mary yang tampaknya masih berusaha memahami apa yang terjadi, hanya bisa bengong saat Harold menyeretnya ke mobil untuk diobati.
"Orang luka dikit tuh emang harus diobatin, kah?" tanya Mary sinis saat Harold membersihkan lukanya.
"Ya namanya luka harus diobatin," jawab Harold tanpa menoleh. Pandangan matanya masih fokus memeriksa tangan Mary, memeriksa apakah ada bagian lain yang lecet.
"Ya kan bisa kering-kering sendiri!" cebik Mary.
Harold sudah menebak gadis itu tidak akan berterima kasih begitu saja atas aksi murah hatinya tadi. "Tapi nggak ada salahnya jaga-jaga, daripada infeksi," kata Harold tenang.
"Lagian, ngapain iya-iya aja sih dipalakin kang cilok? Orang jelas-jelas dia yang salah!"
"Ya nggak papa bantu orang." Harold tidak terprovokasi. "Belum tentu penghasilan dia hari ini cukup buat benerin gerobaknya."
Mary masih belum terima dengan penjelasan Harold, baik terkait penanganan luka maupun keputusan Harold memberi si tukang cilok uang. Anehnya, Harold justru senang-senang saja mendengar ocehan Mary, bahkan ketika gadis itu menyumpahinya karena mengungkit-ungkit masalah tinggi badan.
"Coba gulung celana kamu, biar aku periksa," pinta Harold setelah dia sekali lagi mengingatkan Mary untuk tidak perlu terlalu formal saat berbicara dengannya.
"Mau ngapain?" Mary menatapnya curiga.
"Ya dicek ada yang luka atau nggak." Harold tersenyum simpul. " Jangan teriak-teriak, dong. Nanti disangka aku mau ngapa-ngapain kamu."
"Gue kagak teriak-teriak, anjir. Emang suara gue sekenceng itu apa?" tanya Mary dengan pipi menggembung, mengingatkan Harold pada hamster yang suka menimbun makanan di mulut. Meskipun begitu, Mary tetap saja menggulung celananya.
Harold berlutut untuk memeriksa. Ternyata, luka di lutut Mary lebih parah dari yang di siku.
"Kan, beneran ada yang luka." Harold segera mengambil kapas bersih dan cairan antiseptik. "Permisi ya. Aku cuma mau obatin luka kamu, jangan mikir macem-macem."
"Yang mikir macem-macem juga siapa, heh?"
Harold tak menyahut. Selain menganggap pertanyaan itu tak perlu jawaban, Harold juga suka membiarkan Mary bersungut-sungut seperti sekarang. Wajah Mary yang begitu ekspresif sukses membuatnya lupa pada pikiran-pikiran buruk yang beberapa waktu lalu menghantuinya. Suasana hati Harold pun berangsur membaik.
Usai mengobati luka Mary dan memastikan kondisi gadis itu, Harold menawarkan diri untuk mengantarkan gadis itu pulang. Tawaran yang tentu saja langsung ditolak Mary mentah-mentah.
Harold tak membantah. Pria itu bangkit berdiri sambil mengamati wajah Mary. "Ya sudah. Hati-hati."
Lagi-lagi, dia ingin mengusili Mary, tapi sekarang gadis itu adalah pasiennya. Dia harus memastikan terlebih dulu bahwa Mary tahu apa yang harus dilakukan jika ada cedera yang baru dirasakan belakangan.
"Kalau ada yang sakit nanti ke klinik atau rumah sakit, jangan dibiarin sembuh-sembuh sendiri." Harold menasihati.
"Nggak janji kalau itu, Dok. Hehe." Mary justru menyengir usil.
Tangan Harold terentang ke samping dan memegangi pintu serta kap mobil, sengaja untuk memerangkap Mary agar tidak bisa kabur dari sana sebelum mematuhi sarannya. "Seenggaknya janji akan WA aku kalau misal nanti ada keluhan lain. Kalau nggak, aku bawa kamu ke rumah sakit sekarang," kata Harold dengan nada mengancam.
Mary membalas tatapannya dengan garang. Gadis itu mendesis kesal. "Iya, iya. Sekarang gue boleh cabut, nggak?"
Harold tersenyum lebar. Dia melangkah mundur untuk memberi Mary jalan. "Silakan. Hati-hati. Jangan ngebut."
"Ya. Thanks." Mary langsung memakai helm dan berjalan ke motornya.
Tiba-tiba saja, Harold tak ingin pertemuan mereka berakhir begitu saja. Dia perlu warna-warni cerah yang dimiliki Mary untuk mewarnai hidupnya yang suram. Dia ingin memastikan bahwa mereka akan bertemu lagi.
"Oh, Mar," panggil Harold sebelum Mary menyalakan mesin motornya.
"Ya?" Gadis itu menoleh dan menuntut penjelasan.
Harold tidak tahu apa yang harus dia katakan. Rasanya, ada yang menyumbat otaknya. Alasan apa yang harus dia karang agar bisa bertemu gadis itu lagi?
Berpikir, Harold! Berpikir!
"Weekend ini kamu kosong?" Harold menarik napas dalam-dalam. Tidak mungkin dia bilang terus terang ingin mengajak Mary kencan, maka dipilihnya alasan paling masuk akal yang melintas di kepalanya. "Mau fotoin aku lagi, nggak?"
"Mau, kalau dibayar."
Harold lega Mary tidak curiga. Pria itu tertawa lebar sampai kedua matanya hanya membentuk garis.
"Ya dibayar, lah."
"Nah, boleh kalau gitu." Mary menyeringai senang. "Kali ini foto apa?"
Harold belum tahu, jadi dia perlu sedikit mengulur waktu. "Nanti aku WA detailnya."
"Ooh, oke. Gue tunggu WA lu." Mary mengacungkan jempol sebelum memacu motornya pergi.
Harold pulang dengan semangat baru. Dia tidak sempat meratapi kesendiriannya karena sibuk memikirkan konsep foto untuk weekend nanti.
Sore itu, Harold masih belum menyadari bahwa sebenarnya dia sudah jatuh cinta kepada Mary. Namun, dia tahu bahwa Mary bukan seseorang yang tidak berarti apa-apa baginya. Dia sama sekali tidak keberatan menghabiskan waktu luangnya bersama gadis mungil yang hobi mengomel itu.
=======
Ceritamela:
Halo, dari saya yang ngetik bab ini menjelang injury time.
Sampai-sampai partner halu saya izaddina deg-degan takut saya gagal update on time wkwkwk.
Entah kenapa, part ini tuh memang agak berat ditulis karena harus menyelami sisi suram hidup Harold. Di balik senyum manis dan sifat ramahnya itu, sebenarnya Harold itu muram. Nanti, akan dijelaskan di part selanjutnya.
Ngomong-ngomong, part ini terasa panjang ga? ada yang bisa nebak berapa kata ini? wkwkwk
Sebetulnya saya kemarin sempat berniat nyelipin fake chat di narasi biar narasinya ga terlalu panjang. Eh, ternyata kalau baca offline, media gambar nggak ikut ke-load, ya. Jadi, biar yang baca offline (kalau ada) tetap bisa ngikutin cerita, ya chatnya di masukin ke narasi aja deh.
Kalau mau ngintip chat lengkap Mary dan Harold, terlampir yak
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top