Advice 32 - Langsung Ucapkan Saja

Akhirnya sampai di bab terakhiiir. 

Boleh, dong, saya minta votenya. Yuk, diklik dulu tombol bintangnya sebelum kelupaan.

=0=

"Kamu tunggu Mary di ruangan aja. Nggak perlu temani Bapak di sini."

Suara berat sang ayah menyadarkan Harold dari lamunan. Tanpa Harold sadari, sudah beberapa menit berlalu sejak mereka sampai di meja yang telah dipesankan Isabel untuk kedua keluarga.

Sesuai rencana yang telah disepakati dengan Isabel, Harold dan Mary akan makan malam berdua saja di ruang VVIP. Anggota keluarga yang lain akan makan di meja yang berbeda sekalian membicarakan rencana pernikahan. Jika Mary menerima lamarannya, Harold akan menghampiri keluarga mereka untuk merayakan ulang tahun Mary sekaligus pertunangan mereka. Jika Mary menolaknya, entah apa yang akan Harold lakukan. Harold berusaha untuk tidak membayangkan kemungkinan tersebut.

Untungnya, kesibukan ayah Harold jadi jauh berkurang setelah pemilu berakhir. Tidak seperti Ronald yang uring-uringan selama beberapa hari gara-gara perolehan suara yang jauh dari harapan, ayah Harold justru terlihat santai saja.

Dari keluarga Wijaya, hanya Lukito Wijaya dan Santika yang mewakili. Ronald kebetulan sedang bepergian ke luar negeri. Sebuah kebetulan yang Harold syukuri. Meski telah berbaikan saat lebaran kemarin, hubungan kakak beradik itu masih canggung. Selain itu, Mary sepertinya masih menyimpan dendam kepada Ronald. Harold tidak ingin kehadiran Ronald justru mengacaukan acara pentingnya ini.

Pelayan menarikkan kursi untuk Lukito, tetapi pria itu masih berdiri mematung menatap si putra sulung. Tiba-tiba, Lukito melingkarkan lengannya ke badan Harold.

Dipeluk sedemikian rupa, Harold tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Gerakan sang ayah begitu kaku dan canggung. Dekapannya pun tidak seerat dan sehangat ayah Mary. Anggota keluarga Wijaya memang tidak terbiasa menunjukkan perhatian melalui sentuhan fisik.

"Ikuti saja kata hatimu, Har. Nggak perlu terlalu banyak dipikir. Langsung aja diomongin," bisik Lukito kepada putra sulungnya.

Setelah menepuk punggung Harold dua kali, Lukito melepas pelukannya. Kemudian pria itu duduk di samping istrinya. Harold yang tak tahu harus membalas apa akhirnya langsung pamit undur diri.

Dengan diantar pelayan, Harold memasuki ruang VVIP. Ruangan itu dikelilingi dinding kaca di keempat sisi. Salah satu sisinya menghadap langsung ke taman bunga. Sebuah lampu kristal antik menggantung di atas meja yang tampak terlalu besar untuk berdua.

Harold duduk menghadap pintu. Isabel benar-benar memikirkan semuanya. Dari kursinya, Harold dapat melihat meja tempat keluarganya duduk. Jika nanti dia kehilangan keberanian untuk bicara, dia bisa melirik ke meja tempat keluarganya menunggu.

Lelaki itu mengeluarkan sebuah kotak berlapis beludru dari saku jas. Dibukanya tutup kotak itu perlahan-lahan. Selingkar cincin emas putih bertahtakan batu safir berpendar di bawah siraman cahaya lampu. Seutas senyum terulas di bibir Harold kala dia membayangkan cincin itu melingkar di jari manis Mary.

Lamunan Harold terpecah oleh suara denting pelan yang berasal dari ponselnya. Satya baru saja mengabari bahwa keluarga Mulyabakti sudah tiba di restoran. Buru-buru, Harold menyimpan kembali kotak cincinnya ke dalam saku jas.

Harold sudah melatih diri berulang kali di depan cermin sebelum berangkat ke tempat itu. Namun, tetap saja dia khawatir kata-kata yang sudah disiapkan terbang dari pikirannya, meninggalkannya dalam kekosongan dan ketidaktahuan harus bicara apa.

Tak lama kemudian, sosok Mary dan keluarganya terlihat menghampiri meja tempat ayah dan ibu tiri Harold duduk. Namun, sebelum Mary sempat duduk, Isabel menarik gadis itu ke ruang VVIP.

Harold bangkit dari kursi, lalu berjalan ke arah pintu untuk menyambut sang kekasih. Bibirnya refleks membentuk senyuman, sementara debaran jantungnya kian kencang. Bukan hanya karena gugup, melainkan juga karena penampilan Mary yang begitu memukau. Mary terlihat begitu manis dalam balutan gaun bemotif bunga yang melekat sempurna di tubuh gadis itu.

Begitu jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah dari Harold, Isabel mendorong bahu Mary dan berkata, "Nah, Dek, have fun!"

Kontras dengan sang kakak yang tersenyum lebar, Mary justru terlihat kebingungan. Tampaknya gadis mungil itu masih belum memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Ketika manik matanya bertemu pandang dengan Harold, Mary otomatis menggembungkan pipi. "Lu kemana aja sampai kagak bisa dihubungin?" semprotnya.

Wajar saja kalau Mary kesal. Dua hari terakhir, Harold tidak membalas pesannya, tidak juga menghubunginya.

"Maaf. Isabel bilang aku harus cuekin kamu dulu biar surprise-nya berasa," jelas Harold dengan suara baritonnya yang lembut.

"Dih? Musyrik lu percaya sama Mbak Bel." Mary mendengkus. Mata almonnya kini bergerak memperhatikan sekeliling. "Mau surprise apa, sih?"

Harold menarikkan kursi untuk si gadis. "Hari ini kamu ulang tahun, kan? Anggap aja ini surprise party."

"Makasih, loh." Meski masih terdengar kesal, nada bicara Mary tidak seketus tadi. Sepintas, Harold juga dapat melihat pipi Mary bersemu merah. "Tapi effort bener, dah?"

"Karena hari ini hari yang spesial. Wajar, kan, kalau kami semua pingin kamu senang?" Harold balik bertanya. Sesuai rencana, dia akan melamar Mary setelah makan malam. Sampai saat itu tiba, dia harus pintar bermain kata agar tidak merusak kejutan yang telah disiapkan.

Mary tersenyum lebar. Kedua matanya terus mengikuti pergerakan Harold. "Ganteng."

Kelihatannya Mary menyadari bahwa gumamannya barusan cukup keras dan terdengar oleh Harold. Gadis itu buru-buru meralat perkataannya. "Maksud gue, setelannya ganteng! Jangan ge-er lu!"

Harold kembali duduk di kursinya. Setelah mendengar pujian Mary, rasa gugupnya perlahan memudar. Ditatapnya Mary lekat-lekat. Riasan yang Mary kenakan terlihat serasi dengan gaunnya.

"Baju kamu juga cantik." Harold balas memuji. "Tapi, kamu lebih cantik. Dandan sendiri apa didandani Isabel?"

"Diem lu!" Mary berseru ketus. Namun, wajahnya yang merah padam mengkhianati perkataannya. Jelas sekali bahwa gadis itu salah tingkah.

Pertengkaran kecil mereka harus terjeda oleh kehadiran pelayan yang mengantarkan makanan.

"Berantemnya nanti aja boleh? Kita makan dulu gimana? Aku lapar," ucap Harold begitu pelayan tadi pergi.

Mary memberengut. "Y-ya, gue juga laper, kok?" Lalu, gadis itu pun mengajak Harold mulai makan.

Biasanya, mereka akan makan sambil mengobrol. Namun, hari itu, keduanya lebih banyak diam. Mungkin karena suasana restoran itu terlampau berbeda dengan kafe dan warung makan yang biasa mereka kunjungi. Atau bisa juga, karena keduanya sadar bahwa makan malam kali ini memiliki makna yang berbeda dari biasanya.

Berkali-kali Harold mencuri pandang pada Mary yang sedang makan. Entah apakah efek sedang sibuk dimabuk cinta atau memang malam ini Mary tampak sangat manis. Yang jelas, Harold tidak ingin menunda-nunda lagi. Dia harus melaksanakan niatnya melamar Mary malam itu jgua.

Saat melihat saus menempel di sudut bibir Mary, Harold refleks meraih serbet. Tangan panjangnya menjangkau wajah Mary untuk menghapus noda saus.

Mary tampak terkejut. Gadis itu tertegun, nyaris tidak bergerak. Pipinya yang memang sudah merah sejak tadi, kini makin bersemu.

Harold pikir dia akan sama gugupnya dengan kemarin saat menemui keluarga Mary. Namun, demi melihat pipi Mary yang memerah, rasa gugup itu sirna begitu saja. Yang dia tahu, dia ingin dapat memeluk gadis kesayangannya itu kapan saja. Dia ingin mewujudkan angan-angan yang berseliweran di benaknya beberapa hari terakhir ini.

"Aku belum ngucapin selamat ulang tahun ke kamu," ucap Harold lembut. "Terima kasih sudah lahir ke dunia ini, Mar."

"Ngapain lu makasih ke gue, coba?" Mary lagi-lagi berujar dengan nada ketus, tetapi ekspresinya tidak menunjukkan rasa kesal. "Gue nggak sih yang harusnya makasih?"

"Ya, pingin aja. Soalnya, kalau kamu nggak lahir ke dunia, hidup aku nggak bakal sempurna."

Kata-kata Harold mungkin memang terdengar seperti rayuan murahan, tetapi dia benar-benar serius dengan ucapannya barusan. Kehadiran Mary benar-benar suatu berkah baginya. Hidupnya jadi lebih berwarna dan ceria. Harold pun juga bisa menjadi versi yang lebih baik dari dirinya.

"Jago banget, sih, gombalnya," ujar Mary sembari memalingkan wajah ke samping.

Setelah menjalani hubungan yang lebih serius selama dua bulan terakhir, Harold paham benar bahwa Mary sedang salah tingkah. Benar-benar imut dan menggemaskan. Harold tidak bisa menahan diri lagi. Dirogohnya saku jas untuk mengeluarkan kotak yang telah dia siapkan dari kemarin.

"Karena kamu kemarin nggak bilang mau kado apa, aku cuma ngasih ini." Harold meletakkan kota tersebut di atas meja.

Mary menatap kotak itu dengan sorot heran. "Apa, tuh?" tanyanya penasaran.

Harold menarik napas dalam-dalam. Ditepisnya rasa gugup yang berputar-putar di dada. Lelaki itu meraih kotak dan membuka tutupnya dengan penuh kehati-hatian. Kemudian, mata sipitnya kembali mengunci Mary dalam tatapan lembut penuh cinta.

"Kemarin, kamu bilang sudah mulai kebayang soal pernikahan. Gimana kalau kita nggak cuma ngebayangin, Mar? Kita langsung jalani dan belajar bersama," tutur Harold. Suaranya mendayu layaknya embusan angin di musim panas.

Mata Mary membelalak. "I-ini maksudnya gue dilamar, gitu?" tanya gadis itu memastikan.

Harold menghela napas panjang. Pertanyaan Mary sedikit mengacaukan suasana romantis yang berusaha dibangunnya, tetapi bukannya tidak dia perkirakan. Gadisnya itu memang seringkali tanpa sadar menyuarakan isi kepalanya begitu saja.

"Mungkin aku memang perlu nurutin saran Isabel," ujar Harold sembari bangkit berdiri.

Lelaki itu meraih kotak berisi cincin dan membawanya mengitari meja. Setelah tiba tepat di samping kursi Mary, Harold kemudian duduk dengan sebelah kaki berlutut di lantai, meniru pose para pemeran utama pria yang biasa dilihatnya di drama-drama romantis.

"Please, marry me, Mary," pinta Harold sepenuh hati.

Beberapa detik berlalu tanpa suara. Tampaknya, Mary masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.

"K-kalau orang ngelamar tuh, cincinnya dipakein nggak, sih?" Akhirnya Mary memecah keheningan yang memeluk mereka. Nada suara sedikit bergetar.

Lagi-lagi, Harold hanya bisa menghela napas panjang. Adegan romantis yang sudah dia rencanakan baik-baik jadi buyar oleh celetukan-celetukan konyol Mary. Untung saja dia sudah mafhum benar dengan sifat Mary.

"Biasanya lamarannya diterima dulu, sih, Mar. Baru cincinnya dipakein," timpal Harold dengan nada bicaranya yang biasa, tak lagi dibuat berat dan penuh penekanan seperti sebelumnya.

"Lu pikir gue bakal nolak?" Pipi Mary menggembung.

"Aku bukan paranormal, Mar. Aku nggak bisa baca pikiran kamu," ujar Harold dengan tampang serius. "Jadi ... kamu mau nikah nggak sama aku? Kalau nggak mau, aku simpan lagi nih cincinnya."

" ... Lu nggak pegel berlutut di bawah gitu?" Mary bangkit dari kursinya, lalu berjongkok di depan Harold. "Enaknya gue jawab mau, apa gimana, ya?"

Harold tahu Mary hanya mengisenginya. Karena itulah, dia tidak mau kalah. Lelaki itu menutup kotak di tangannya, lalu bangkit berdiri. "Capek, sih."

Dengan ekspresi tak bersalah, Harold kembali duduk di kursi. Dia bahkan mengisi lagi piringnya dengan lauk yang masih tersisa.

Mary ikut berdiri. "Dih, nggak jadi?" tanya gadis itu sembari berkacak pinggang.

"Lah, nggak dijawab-jawab, sih."

"Ih, lu mah gituu!" Mary menggerutu, lalu memeluk Harold dari belakang.

Gadis mungil itu menggelayuti bahu Harold hingga pipi mereka saling menempel. "Jangan ngambek, dong, Mas Harold," bujuknya.

Jantung Harold serasa copot setiap kali embusan napas Mary menyapa kulitnya. Jarak mereka terlalu dekat. Harold bahkan dapat mencium aroma parfum yang Mary kenakan. Perlu usaha yang sangat keras untuk dapat tetap bersikap cuek dan memasang ekspresi datar. Jauh di dalam lubuk hatinya, ingin sekali Harold balas memeluk Mary.

Sambil terus memotong-motong daging, Harold menjawab. "Aku nggak ngambek, kok, Mar. Buktinya aku masih di sini, nggak ngeloyor pergi. Aku cuma nunggu kamu bisa bersikap serius dan jawab pertanyaanku dengan jelas."

Mary mendekatkan wajahnya ke telinga Harold. "Iya, Mas Harold. Aku mau nikah sama kamu."

Saat jawaban yang Harold tunggu-tunggu akhirnya terdengar, jantung Harold seakan melewatkan satu detakan. Meski jawaban Mary dapat ditebak, mendengar gadis itu mengucapkan dengan tegas kesediaannya ternyata mampu membuat mata Harold berkaca-kaca. Rasa haru bergulung-gulung menerpa. Harold mengucap syukur dengan sepenuh jiwa. Momen itu akan selalu dia kenang seumur hidupnya.

Harold mengurai pelukan Mary, lalu berbalik badan. Berdiri dalam jarak sedekat itu membuat perbedaan tinggi badan mereka begitu kentara. Harold kembali berlutut, lantas mengeluarkan kotak cincinnya lagi. Kali ini, tanpa menunda-nunda, dia memasangkan cincin itu di jemari Mary. Lalu dengan penuh penghayatan, Harold mengecup punggung tangan Mary.


Air mata menitik dari sudut mata Mary. Harold segera mengusap air mata itu dengan ibu jarinya.

"Kenapa nangis? Belum-belum, sudah nyesel ngiyain tawaranku?" tanyanya sedikit berseloroh.

"Suujon bae lu!" Mary mencubit pipi Harold. "Emangnya gue—eh, aku nggak boleh terharu, apa?"

Dengan diiringi senyum yang tak surut-surut dari wajah, Harold berdiri dan memeluk Mary. Diusapnya belakang kepala gadis itu. "Boleh, sih, Mar. Tapi, kalau mata kamu bengkak nanti keluarga kamu mikir macam-macam," ucap Harold sambil menahan tawa.

"Biarin aja. Lu sekongkolan juga kan sama mereka malam ini?"

"Iya. Kemarin sudah habis aku disidang sama keluarga kamu."

"Hah, disidang gimana?" Mary melepaskan diri dari pelukan Harold. Rasa penasaran terpancar jelas dari sepasang mata berbentuk almonnya.

"Kemarin aku ke Surabaya. Minta izin orang tua kamu buat ngelamar kamu. Sekalian ambil cincin Ibu yang dititipin Bapak ke Oma."

"Ooo, pantes ngilang!" Pipi Mary menggembung. "Ngapain pakai acara sembunyi-sembunyi, sih?"

"Kalau nggak sembunyi-sembunyi bukan kejutan namanya." Harold melirik ke arah pintu kaca. Samar-samar, dilihatnya sang ayah menatap ke arahnya. Meski pandangannya agak buram, dia cukup yakin ayahnya tengah tersenyum kepadanya.

"By the way, Mar. Keluarga kita ngelihatin ke sini. Should we tell them that we want to get married as soon as possible?"

Mary mengikuti arah pandang Harold, lantas mengangguk.

Tangan Harold terulur meraih telempap Mary. Hangat. Dia ingin terus menggenggam tangan itu, memastikan Mary selalu ada di sisinya saat dia membutuhkan, dan begitu juga sebaliknya. Harold berjanji akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk membuat Mary bahagia.

Setelah mempererat genggamannya, Harold mengajak Mary beranjak dari ruangan itu. Dia tidak sabar untuk membagikan kebahagiaannya kepada keluarga mereka.

<= T A M A T =>


Ceritamela:

Tidak terasa sudah 3,5 bulan Harold dan Mary menemani hari Rabu dan Sabtu kita.

Jangan lupa buat mampir ke tempat izaddina buat tahu sebegimana saltingnya Mary pas dilamar Mas Harold.

Terima kasih, buat kalian yang selalu hadir, membaca setiap babnya, memberikan vote, meninggalkan komentar, dan juga membagikan cerita ini di media sosial.

Mohon maaf, kalau ada kekurangan dan hal-hal yang tidak sesuai harapan.

Semoga kita bisa berjumpa lagi di cerita yang lain, atau mungkin di extra part cerita ini yang entah kapan akan ditulis.

Untuk sementara, boleh kasih ide dulu buat extra partnya mau bahas apa. Siapa tahu bisa kami penuhi.

Atau kalau ada yang mau meninggalkan komentar, saran, reviu, atau apa pun itu bisa juga di sini.

See you around. Doa terbaik buat kalian semua.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top