Advice 31 - Mintalah Restu Baik-Baik


Halo. Sudah mau tamat, nih. Yuk ramaikan dengan vote dan komentar.

=======

Dengan sekotak donat dan segelas kopi sebagai upeti, Harold berhasil menculik Ario di sela-sela jadwal operasi pria tambun itu.

"Lima belas menit aja. Gue janji," bujuk Harold agar Ario mau menyisihkan waktu untuknya. Apa yang ingin dia bicarakan adalah hal yang sangat penting dan Ario adalah satu-satunya orang yang dia percaya untuk mintai saran

Kedua lelaki berusia sepantaran itu pun naik ke rooftop, lantas mencari tempat yang sepi agar Harold dapat bercerita tanpa khawatir ada yang menguping. Mengingat dia hanya punya waktu yang terbatas, Harold to the point menjelaskan niatnya untuk melamar Mary saat ulang tahun gadis itu lusa nanti.

Di luar dugaan Harold, pria berbadan besar itu sama sekali tidak menyela ataupun mentertawakan.

"Kalau lo sudah seyakin ini, gue cuma bisa support lo," timpal Ario saat Harold menanyakan pendapatnya.

"Nggak kecepetan?" Harold menyuarakan keraguannya. "Kami, kan, belum ada setahun kenal."

"Nggak ada hubungannya lama kenal dengan kesiapan menikah. Yang pacaran bertahun-tahun aja belum tentu ujung-ujungnya berjodoh. Yang pada taaruf itu biasanya hitungan bulan sudah nikah, dan banyak juga di antara mereka yang langgeng hubungannya." Tumben-tumbenan Ario terdengar bijak.

Kalimat Ario seperti angin segar yang meniup pergi rasa ragu dari hati Harold.

"Lagian kemarin lo hampir khilaf cium Mary, kan. Daripada ntar khilaf lagi, mending cepet halalin aja, dah."

Harold langsung menyesal sudah menceritakan kejadian malam sebelumnya kepada Ario. Ingin sekali dia mengeluarkan umpatan, tapi masih dia tahan-tahan karena tidak ingin sesi curhat itu dihabiskan untuk berdebat.

"Tapi, kalau boleh saran. Habis nikah nanti, jangan buru-buru lo hamilin tuh Mary. Kasihan, masih muda dia. Siapa tahu masih punya banyak target yang ingin dicapai."

Muka Harold merah padam. Kali ini, kata umpatan berhasil lolos dari bibir Harold. Dia tahu nasihat itu ada benarnya, tapi pilihan kata yang digunakan Ario berhasil membuat Harold salah tingkah.

"Eh, dengerin dulu, Bro." Ario berusaha menenangkan Harold.

Meski masih bersungut-sungut, Harold mengatupkan mulut. Dia kembali memberikan Ario kesempatan untuk berbicara.

"Sama kayak nikah, kita nggak bakal pernah benar-benar siap jadi orang tua. Tapi, buat urusan anak, usaha kita harus lebih maksimal karena ini menyangkut hidup anak lo nantinya."

Ario berdeham pelan sebelum melanjutkan nasihatnya, "Ngerawat anak itu tanggung jawab berdua. Jangan sampai lo tanam benih doang, terus sibuk di rumah sakit, ninggalin Mary ngurus semuanya sendiri. Kalau kalian berdua belum siap dengan tanggung jawab itu, mending ditunda dulu. Pastikan kalian berdua punya pemikiran yang sama. Gue nggak mau kalian ngalamin apa yang gue dan Rina alamin waktu Rina kena baby blues."

Ekspresi Harold melunak. Perkatan Ario benar-benar merasuk ke sanubarinya. Dengan suara lirih, Harold berkata, "Gue juga belum kebayang, sih, kalau punya anak gimana."

"Pelan-pelan aja, Bro. Sekarang pikirin dulu itu lo mau ngelamar Mary gimana." Usai berkata begitu, Ario bangkit berdiri. "Yak, lima belas menit lo dah habis dari tadi. Gue beneran perlu merem sebentar sebelum jadwal operasi berikutnya."

=0=

Pesawat yang ditumpangi Harold mengudara sepuluh menit lalu. Saat masih di ruang tunggu bandara tadi, Harold berniat untuk tidur selama perjalanan. Akan tetapi, rasa kantuknya lenyap begitu saja karena teringat perjalanan udaranya yang terakhir. Waktu itu, ada Mary di sisinya. Waktu itu, hubungan mereka masih berada di ranah abu-abu dan Harold mengira cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Waktu itu, Harold masih ragu dengan apa yang diinginkannya di masa depan.

Hanya dalam hitungan bulan, banyak hal terjadi dalam hidupnya.

Kali ini, Harold duduk di pinggir jendela. Sepasang mata sipitnya menikmati pemandangan dari ketinggian, tetapi pikirannya justru berkelana kembali pada percakapannya dengan Ario kemarin. Sahabatnya itu jugalah yang mengantarkan ke bandara barusan. Harold sengaja tidak membawa mobil ke rumah sakit karena khawatir akan membuang waktu untuk memarkirkan mobilnya di bandara.

Harold hanya punya waktu kurang dari 24 jam untuk menjalankan segala rencananya di Surabaya. Sesampainya di Bandara Juanda, Harold langsung menuju ke rumah kakek dan neneknya. Namun, dia hanya singgah sebentar di sana. Sekadar untuk menjelaskan maksud kedatangannya serta membersihkan diri sebelum bertolak ke rumah orang tua Mary.

Sengaja Harold berangkat ke rumah Mary menggunakan taksi. Selain masih tersisa rasa letih akibat bertugas di rumah sakit seharian, pikirannya juga sulit fokus. Dari pertemuan terakhir mereka, Harold tahu bahwa orang tua Mary telah memberikan lampu hijau. Namun, tetap saja lelaki berkacamata itu merasa cemas. Keringat dingin membasahi tengkuk dan punggungnya sejak tadi. Bagaimana jika orang tua Mary tidak merestui niatnya? Bagaimana jika mereka berubah pikiran dan menganggap Harold bukanlah lelaki yang pantas bagi putri bungsu mereka?

Taksi yang Harold tumpangi berhenti di depan teras rumah keluarga Mulyabakti. Ayah Mary sudah menunggu di depan pintu, berdiri gagah dengan senyum lebar menghias wajah. Tiba-tiba, Harold merasa mulas. Seharusnya, tadi dia menerima tawaran Opa dan Oma untuk menemani. Kenapa pula dia sok-sokan berani menghadapi keluarga Mary sendiri.

"Apa kabar, Mas Harold? Ndak delay, toh, pesawatnya?" Faris Mulyabakti menyambut dengan ramah.

"Baik, Om. Maaf, saya ngabarinnya mendadak." Harold mengulurkan tangan untuk menjabat tangan sang calon mertua, tetapi malah disambut dengan pelukan hangat. Pria paruh baya itu menepuk-nepuk punggungnya dengan penuh semangat.

"Ndak apa-apa. Bapak malah seneng, kok," tanggap Faris usai mengurai pelukannya. "Ayo-ayo, masuk. Mas Harold belum makan malam, toh? Ibu sudah masak spesial, tuh, buat rame-rame. Kok ya ketepakan—kebetulan—ada Isabel sama Satya juga."

Harold menelan ludah. Kemarin, dia memang menghubungi Isabel melalui media sosial untuk meminta nomor ayah Mary, tetapi dia tidak menyangka calon kakak iparnya itu akan ikut berada di sana. Tampaknya, Isabel dapat menebak apa yang sedang Harold rencanakan. Alasan apa lagi yang dapat menjelaskan kenapa dirinya meminta Isabel merahasiakan rencananya menemui orang tua Mary dari Mary sendiri?

Faris menggiring Harold ke ruang makan. Satya sudah duduk manis di salah satu kursi, sementara Isabel dan ibunya mondar-mandir menata makanan.

"Selamat datang, Mas Harold." Ibu Mary menghentikan kegiatannya dan tersenyum anggun menyapa Harold.

Harold ingin kabur, tetapi sudah terlalu terlambat untuk mundur. Lagipula, cepat atau lambat, dia harus melalui semua ini.

Untungnya, orang tua Mary tidak langsung menanyakan alasan Harold menemui mereka. Pasangan itu lebih dulu mengajak Harold makan bersama. Kehadiran Satya selaku menantu keluarga Mulyabakti juga turut membantu mencairkan suasana.

Selama makan, mereka mengobrol santai tentang pekerjaan masing-masing. Kecuali saat Faris menanyakan kabar Mary pada awal makan malam, nama Mary tidak disebut-sebut lagi. Keluarga Mulyabakti seakan memberi Harold waktu untuk mempersiapkan diri sebelum membahas hubungan lelaki itu dengan si bungsu.

Setelah makan malam, Faris mengajak yang lain untuk pindah ke ruang keluarga.

"Ben ngobrol e lebih santai," kata pria paruh baya itu.

Sayangnya, meski sudah berpindah tempat, Harold tidak juga merasa lebih santai. Yang ada, dia justru menjadi lebih gugup. Harold merasa seperti hewan kurban yang sehabis diberi makan, sudah tiba waktunya dia dijagal–dalam kasus Harold, disidang ramai-ramai oleh seluruh anggota keluarga Mary.

Senyum yang mengembang di bibir Faris Mulyabakti masih sehangat tadi, tetapi aura serius kini terpancar dari wajahnya. Harold benar-benar tidak bisa mundur lagi. Terlihat jelas bahwa ayah Mary sudah memasang ekspektasi bahwa ada hal penting yang ingin Harold sampaikan kepadanya.

"Jadi, apa yang mau Mas Harold sampaikan ke kami?" tanya Faris dengan suara berwibawa.

Harold menelan ludah. Diusapnya keringat yang mengembun di kening. Padahal, ruangan tersebut dilengkapi pendingin udara, tetapi Harold merasa kepanasan.

"I-iya, Om. Anu ... itu, Om. Sa-saya ...," Harold berdeham untuk melegakan tenggorokannya yang terasa tersekat.

"Minum dulu, Mas Harold. Biar nggak tegang," tawar Isabel sembari cengengesan.

Saran yang cukup masuk akal. Harold meraih cangkir yang tersaji di hadapannya, lalu meminum isinya lamat-lamat. Teh hangat beraroma melati yang mengguyur kerongkongan ternyata cukup ampuh mengusir rasa gugupnya.

Harold tidak berniat menandaskan minumannya, tetapi tiba-tiba saja seluruh isi cangkir sudah berpindah ke dalam perutnya. Tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda. Dengan hati-hati, lelaki jangkung itu meletakkan kembali cangkirnya ke atas tatakan. Setelah itu, dia menarik napas dalam-dalam dan kembali melayangkan tatapan kepada kedua orang tua Mary.

Selama beberapa detik, Harold hanya terdiam, berusaha mengumpulkan keberanian. Lalu, dalam satu tarikan napas, lelaki itu akhirnya bersuara, "Saya ingin minta izin untuk melamar Mary, Om, Tante."

Embusan napas terdengar cukup keras dari bibir Harold. Sudah dia ucapkan, tidak bisa dia batalkan. Sekarang, dia hanya perlu menunggu respons orang tua Mary. Mungkin jeda yang terjadi hanya beberapa detik, tetapi bagi Harold rasanya begitu lama.

Faris tergelak, sedangkan anggota keluarganya yang lain tersenyum penuh arti.

"Mary-nya sudah setuju?" tanya Faris begitu tawanya reda.

"Err ... rencananya saya baru mau tanya Mary besok, Om."

"Lho, gimana, sih, Mas Harold ini? Yang mau Mas Harold ajak nikah, kan, Mary? Kok, tanyanya ke kami dulu?" Faris kembali terkekeh.

"Err. Anu, Om. Soalnya ..." Harold seakan kehilangan seluruh kemampuannya untuk memikat hati lawan bicara.

Ibu Mary menepuk lengan suaminya. "Sudah, toh, Mas. Kasihan calon mantumu, jangan dikerjain."

"Bapak ndak ngerjain ini. Bapak beneran penasaran. Kemarin, kan, Satya ngelamar Isabel dulu, baru ngajak keluarganya ke sini buat lamaran resmi. Dulu saya ya ngelamar kamu dulu di—" Ocehan ayah Mary kini berganti dengan seruan terkejut karena cubitan sang istri yang mendarat di lengannya.

"Yo, nek penasaran, didengerin jawaban Mas Harold. Jangan malah asyik cerita masa lalu," ujar ibu Mary dengan wajah tersipu. Ekspresinya mirip dengan Mary saat sedang salah tingkah.

Seluruh perhatian kini kembali tertuju pada Harold. Lelaki itu mengerjap beberapa kali. Dari kemarin, dia sudah menyiapkan jawaban jika ditanya alasannya ingin menikah dengan Mary. Ternyata, hal yang membuat ayah Mary penasaran justru alasannya meminta izin lebih dulu sebelum melamar Mary.

"Jadi jawabannya apa, Mas Harold?" Faris bertanya lagi.

Harold menatap kedua calon mertuanya secara bergantian. Wajah Mary mewujud di benaknya. Hatinya mendadak terasa hangat.

"Karena bagi Mary, restu keluarga itu penting. Dia beberapa kali menekankan bahwa pernikahan itu bukan cuma menyatukan saya dan dia dalam ikatan yang sakral, tapi juga menyatukan kedua keluarga kami." Harold mengambil jeda sebentar untuk menarik napas. "Waktu saya coba membahas masalah pernikahan dengan Mary, dia selalu menjawab 'bilang dulu sama Bapak'. Makanya, saya minta izin dulu sama Om dan Tante."

"Keluarga Mas Harold sendiri gimana? Setuju Mas Harold menikah sama Mary?"

Harold mengangguk mantap. "Setuju, Om"

Sepulang dari tempat Mary kemarin, Harold memang langsung menelepon ayahnya. Dia mengutarakan niatnya untuk meminang sang pujaan hati. Secara tersirat, ayah Harold memberikan persetujuan. Lukito Wijaya mengingatkan sang putra untuk mengambil cincin kawin milik mendiang istri pertamanya yang dititipkan kepada oma Harold.

Suasana berubah hening. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara, seakan sepakat untuk menunggu tanggapan Faris selaku kepala keluarga.

"Mas Harold, apa yang bisa membuat Mary bahagia pasti akan membuat kami juga bahagia. Kalau Mary memilih untuk menikah dengan Mas Harold, kami akan mendukung. Sejak awal Mas Harold datang ke rumah ini, Bapak sudah menganggap Mas Harold sebagai bagian dari keluarga Mulyabakti. Kalau Mas Harold memang berjodoh dengan Mary, Bapak akan senang sekali." Faris kemudian menoleh kepada istrinya. Dengan tatapan penuh cinta, dia bertanya, "Menurut Ibu gimana?"

Wanita berdarah blasteran yang masih terlihat awet muda itu akhirnya urun suara. "Sepanjang Mas Harold tetap berpegang teguh pada janji Mas Harold waktu itu untuk menjaga Mary, saya ndak ada alasan buat menghalangi."

Harold mengucapkan terima kasih dengan sepenuh hati. Matanya sedikit berkaca-kaca. Rasa haru menyeruak di dadanya.

"Rencana Mas Harold besok gimana?" Isabel yang sejak tadi terlihat menahan diri untuk tidak menyela akhirnya ikut bertanya.

"Rencananya saya akan ajak Mary makan malam buat merayakan ulang tahunnya. Setelah itu, baru saya ungkapkan niat saya."

Isabel terlihat berpikir sebentar, sebelum akhirnya berkomentar, "Agak klise, siiih. Tapi, nggak apa-apa. Kalau aneh-aneh, Mary malah bisa kabur nanti."

"Bel. Coba carikno tiket ke Jakarta. Gimana kalau besok kita sekalian kasih surprise buat Mary?" Tiba-tiba, ayah Mary memberi usulan. "Kamu dan Satya nggak ada agenda lain, kan?"

"Nggak ada. Sekalian pesen hotel, nggak, Pak?"

"Ya, iya, toh. Masak desek-desekan ndek kamar kos Mary yang cuma seuprit itu?"

Tanggapan keluarga Mary benar-benar di luar perkiraan, jauh melebih ekspektasi Harold. Mereka bukan hanya merestui niat Harold, melainkan juga ikut antusias memberi saran. Harold memang sedikit kewalahan, tetapi dalam konotasi positif. Dia tidak harus melewati semua ini sendirian.

Isabel mendaulat dirinya sendiri sebagai ketua panitia. Mulai dari tiket pesawat, hotel, hingga reservasi restoran, dia semua yang mengatur. Harold hanya perlu memastikan bahwa keluarga Wijaya juga dapat hadir dalam acara tersebut. Jadi, sambil menunggu keputusan Mary, kedua keluarga dapat membicarakan rencana pernikahan putra dan putri mereka.

Rencana yang disusun Isabel memang agak berbeda dengan yang sudah Harold pikirkan. Namun, seperti yang dia ungkapkan tadi, pernikahan adalah penyatuan dua keluarga. Jika untuk urusan sepele seperti ini saja dia tidak bisa menyesuaikan diri, mungkin perlu dia pikirkan kembali rencananya.

Sekarang, restu telah Harold kantongi. Semoga saja, besok mimpinya benar-benar terwujud. Dia memang 99% yakin Mary akan menerima lamarannya. Akan tetapi, tetap saja kemungkinan yang 1% itu menghantuinya hingga kehilangan selera makan dan nyaris tidak bisa tidur. Keesokan harinya, ketika Harold tiba di restoran, tubuhnya seperti setengah melayang.


=======

Ceritamela:

Halo semuanya.

Terima kasih banyak masih bertahan mengikuti perjalanan Harold dan Mary sampai sejauh ini. Sebentar lagi Love Shot dan Heart Shutter akan tamat. Sisa satu bab lagi. 

Pinginnya sih lanjut terus sampai pasangan bucin ini punya anak cucu. Tapi, Dina sekarang lagi menjalani kesibukan baru sebagai pekerja kantoran, saya juga sudah balik kuliah lagi.  Selain itu, masing-masing dari kami ada beberapa proyek lain yang harus dikerjakan.

Mungkin, suatu saat akan ada extra part, atau Harold dan Mary akan nongol jadi cameo di cerita lain. Kalau berkenan, jangan lupa tetap simpan cerita ini di library dan follow akun kami. Supaya bisa dapat notifikasi jika ada update baru.

Ending cerita ini sepertinya sudah tertebak. Tidak ada yang buat penasaran lagi, tapi semoga kalian masih mau mampir di hari Sabtu nanti.

Love u. Sekali lagi terima kasih. Jangan lupa tengok juga apa yang dialami Mary selama ditinggal Harold ke Surabaya di lapaknya izaddina.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top