Advice 3: Usahakan Jangan Telat Kalau Janjian

Setelah mengarungi derasnya kemacetan selama hampir satu jam, Harold akhirnya tiba juga di apartemennya. Siang itu, dokter anak yang harusnya praktik bersamanya tiba-tiba ada urusan lain, jadi dia harus menangani juga pasien anak di Klinik Dhuafa. Ditambah lagi, beberapa anak sudah menangis duluan ketika baru masuk ruang periksa. Mereka sudah telanjur ketakutan karena terlampau sering diancam akan disuntik dokter jika tidak menurut pada orang tua mereka. 

Kadang-kadang Harold ingin menggunakan media sosialnya untuk mengedukasi para orang tua agar tidak membuat dokter menjadi sosok yang menakutkan di benak anak-anak mereka. Sayangnya, dia masih tak nyaman untuk mengungkap identitas. Takutnya ada yang iseng mencari tahu tentang keluarganya. Harold tidak ingin ada yang tahu kalau dia putra sulung Lukito Wijaya, salah seorang anggota DPR yang sering berseliweran di berbagai media.

Harold berulang kali melirik arloji saat lift membawanya ke lantai delapan. Dia hanya punya 30–bukan–28 menit untuk bersiap-siap sebelum Mary, fotografer lepas yang disewanya, datang.

Begitu memasuki apartemen, Harold langsung menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Tak ada waktu untuk mandi, jadi dia hanya cuci muka, membersihkan diri ala kadarnya, dan menyemprotkan parfum banyak-banyak ke badannya. Kemudian, masih dengan bertelanjang dada, dia mulai menata rambut. 

Selain masker yang selalu menutupi wajahnya, Harold juga menggunakan gaya rambut yang berbeda saat menjalani peran sebagai Mashtama. Jika dalam keseharian dia selalu berpenampilan klimis dengan rambut disisir ke belakang, sebagai Mashtama, dia menggunakan curling iron dan hairspray untuk membuat rambutnya sedikit ikal. Bahkan, dia juga mengubah arah belahan rambutnya agar terlihat berbeda..

Baru separuh bagian rambut yang selesai Harold tata, tetapi bel pintu sudah keburu menyalak kencang. Harold melirik arloji yang dia letakkan di pinggiran wastafel. Memang sudah saatnya Mary datang. Lelaki jangkung itu pun segera meraih kemeja yang tergantung di belakang pintu dan buru-buru mengenakannya.

Kemeja biru yang membalut badannya belum terkancing sempurna, tetapi Harold sudah bergegas melintasi foyer. Sesosok gadis berperawakan mungil telah menunggunya di balik pintu. Kening Harold sempat mengernyit saat melihat wajah putih kemerahan yang menyapanya. 

Kayaknya kenal, pikir Harold. 

Harold memberi isyarat agar si gadis mengikutinya masuk ke area ruang tamu yang juga menyatu dengan dapur dan ruang makan.

"Sorry, tadi di klinik lumayan rame. Aku lanjut siap-siap, ya," kata Harold sopan, lalu mengedik ke arah kulkas dua pintu di sudut dapur. "Kalau haus ambil sendiri di kulkas." 

Harold kemudian meninggalkan gadis itu untuk merapikan pakaian dan lanjut menata rambutnya.

Sambil mengeriting rambut, Harold coba mengingat-ingat. "Aku pernah ketemu dia di mana, ya?"

Gadis itu benar-benar tampak familier. Rambut pendek sewarna tanah, sepasang alis yang tegas dan tajam, sorot mata yang terlihat berkobar penuh semangat, badan mungil seper–

"Jangan bilang dia pasien yang waktu itu." Mata sipitnya membelalak.

Harold lupa detail kejadiannya, tapi yang jelas pertemuan pertama mereka kurang mengenakkan. Harold sudah membuat gadis itu tersinggung karena mengiranya sebagai anak SMA yang terlibat tawuran.

Pria itu membuang napas beberapa kali, seperti akan tertawa tetapi tidak jadi. Kian lama, mukanya kian merah karena teringat betapa malunya dia waktu itu.

"Masak, sih, itu dia." Harold masih menolak percaya. Sayangnya dia tidak ingat nama si pasien, jadi dia tidak bisa mencocokkan dengan nama lengkap yang dikirimkan si fotografer untuk keperluan kontrak. 

Kepala Harold menggeleng beberapa kali. Berusaha dia enyahkan bayangan kejadian tempo hari. 

"Kalaupun iya, belum tentu dia ingat." Harold coba menghibur diri. Belum tentu juga gadis itu mengenalinya. Mereka, kan, hanya bertemu sebentar saja. 

Setelah memastikan ikal rambutnya telah sempurna dan tidak ada kerutan di pakaiannya, Harold keluar kamar mandi. Dia menyempatkan diri mengambil berkas kontrak kerja sama yang telah disiapkannya sejak pagi, baru kemudian kembali menemui Mary di ruang tamu.

"Seperti yang sudah kita diskusikan di WA, sebelum mulai, aku butuh kamu tanda tangan kontrak ini," kata Harold dengan setenang mungkin. "Aku perlu mastiin kamu nggak bakal bocorin identitasku. Kamu bisa baca dulu. Isinya nggak aneh-aneh, kok. Cuma terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak."

Gadis dengan mata serupa biji almond itu membaca kertas yang disodorkan Harold. Setelah membubuhkan tanda tangannya, dia mengangkat wajah dan mengembalikan berkas tersebut kepada Harold,

"Sudah, Dok."

Sial! Rupanya dia ingat.

Sudut bibir Harold sempat berkedut pelan, tetapi pria itu segera menguasai diri. Dia tidak boleh terlihat salah tingkah. Anggap saja kejadian memalukan waktu itu tidak pernah terjadi. 

"Kamu bisa bicara santai, kok, sama aku," tutur Harold sambil memasang senyum profesionalnya. Dia sempat memeriksa sebentar bekas luka di kening Mary, sebelum akhirnya menjalani sesi pemotretan seperti yang direncanakan.

Memang sempat ada sedikit kesalahpahaman lagi–gadis itu sensitif sekali jika tinggi badannya disinggung, tapi sesi pemotretan dapat diselesaikan tepat waktu.

Setelah mencoba berbagai pose, Harold sempat memeriksa foto-foto yang dijepret Mary. Menurutnya, foto-foto tersebut layak tayang sebagai konten endorse-nya. Namun, gadis itu berpendapat lain.

"Menurut saya, baju ini cakepnya kalau dipakai outdoor. Mau coba foto di luar nggak, Kak?" usul Mary.

Harold sangat tertarik dengan usulan Mary. Sayangnya, dia ada jadwal jaga malam nanti. Saat orang lain sibuk berkencan di malam Minggu, dia justru harus begadang menunggui IGD.

"Aku mesti siap-siap ke RS, sih." Harold kemudian mengusulkan agar Mary mengirimkaj konsep pemotretan outdoor yang dimaksud melalui email sebelum menggiring gadis itu pergi.

=0=

Entah kenapa, predikat 'wangi' yang biasa Harold sandang jadi tidak mempan lagi. Akhir-akhir ini, IGD selalu ramai setiap kali dia sedang berjaga. 

Kayaknya, sih, sejak kejadian tawuran waktu itu.

Tentu saja Harold hanya menyuarakannya dalam hati. Ruang istirahat malam itu cukup ramai karena ada beberapa operasi yang dijadwalkan mendadak. Pukul delapan tadi, IGD kedatangan beberapa pasien yang menjadi korban kecelakaan beruntun di jalan tol.

"Night is still young, but why you sudah letoi begini, Rold?" Ario yang baru datang menyapa sahabatnya. Pria itu memang sengaja dipanggil karena ada korban kecelakaan yang harus segera dioperasi.

Dengkusan kasar terdengar dari arah Harold. Jika tidak ada orang lain di ruangan itu, sudah pasti Harold akan merepet bahwa dia baru saja ikut menggotong seorang pasien obesitas yang tidak sadarkan diri. Belum lagi tadi dia harus melakukan resusitasi pada pasien yang sempat mengalami henti jantung. Tangannya terasa pegal dan kehilangan tenaga. Makanya, dia melipir dulu ke ruang istirahat untuk mengaso sebentar.

"Gue bakal balikin omongan itu ke lo kelar lo operasi nanti," ancam Harold sambil bersungut-sungut.

"Mood lo lagi jelek, ya?"

"Gara-gara lihat muka lo yang jelek," desis Harold dengan suara pelan agar yang lain tidak mendengar.

"Kayak cewek lagi PMS aja, lo." Ario terbahak. "Eh, besok sore lo kosong, kan? Temenin gue nonton sekuel The Exorcist, dong."

Harold memutar bola mata. Berkebalikan dengan Ario yang maniak film horor, istri Ario justru tidak suka film yang membuat jantungan itu. Makanya, Ario sering mengajak Harold untuk menemaninya, sekalian biar ada yang membelikannya popcorn dan minuman ringan. 

Ajakan Ario mengingatkan Harold rencananya mengulang sesi pemotretan bersama Mary..

"Gue udah ada janji."

"Hah? Sama siapa? Si Vanya beneran jadi ngajakin lo nge-date?"

"Vanya siapa?" Harold justru balik bertanya.

"Vanya, perawat di bangsal psikiatri." Karena Harold masih terlihat tak paham, Ario menambahkan, "Yang ada tahi lalat di atas bibir. Tempo hari, dia sempat tanya-tanya ke gue, lo suka kue apa. Gue tebak, sih, dia mau conf–"

"Bukan, gue ada janji sama orang lain," potong Harold.

"Cewek?"

"Kalau iya, memangnya kenapa?"

"Wuih, cewek mana, nih, yang berhasil bik–"

Lagi-lagi kalimat Ario tak selesai, tapi kali ini bukan Harold yang menyela, melainkan seorang residen yang memanggilnya untuk rapat dengan dokter bedah yang akan memimpin operasi. Pria itu tergesa pergi tanpa sempat berpamitan kepada Harold.

Harold bergegas kembali ke ruang jaga, tempat dia meninggalkan ponselnya untuk di-charge. Bisa-bisanya dia lupa membawa ponsel, padahal sebagai seorang dokter IGD harusnya benda pipih itu selalu dia bawa ke mana-mana, agar dapat mudah dihubungi jika ada pasien yang harus segera ditangani.

Benar saja dugaannya, pesan dari Mary telah masuk sejak beberapa jam lalu.

Mary Angelica:

Kak, ini foto-foto yang tadi. Terus, saya juga mau konfirmasi besok jadi apa nggak.

Kalau Kak Harold oke, besok kita foto di area rooftopnya mal ini, ya. Nggak usah dipikir mau pose gimana, anggap aja mau ketemu siapa gitu apa mau ngapain terserah, pokoknya yang cocok pakai baju itu. Nanti saya dokumentasi candid. Ini referensinya.

Mary juga melampirkan tautan sosial media yang mengarah pada foto salah satu proyek Mary dengan konsep candid dan latar jalanan kota. Harold terkesima melihat foto-foto itu. Tema serupa sudah sering digunakan fotografer lain, tetapi ada sesuatu yang berbeda dari cara Mary memilih sudut pengambilan foto.

Jadi. Aku dah kosongin jadwal buat sore besok. Ketemu jam 4 gmn?

Usulan Harold langsung disetujui Mary. Tanpa sadar, Harold menyimpul senyum tipis. Bukan jenis senyum profesional yang biasa tersungging di bibirnya, melainkan sebuah senyum geli yang terbit karena teringat tingkah lucu gadis itu sore tadi. Dengan ajaibnya, rasa penat yang Harold rasakan menguap begitu saja saat gerutuan Mary kembali terngiang di telinganya. Tidak seperti gadis-gadis yang dikenalnya, Mary sama sekali tidak berusaha jaga image di depannya.

=0=

Harold sengaja berangkat lebih awal dari apartemen. Kemarin, dia sudah memberi kesan buruk karena tak cepat membukakan pintu saat Mary datang. Jangan sampai hal serupa kembali terulang. Dia tidak ingin dicap sebagai tukang ngaret oleh Mary.

Hari ini, pria itu mengenakan kemeja berwarna hitam dan celana beige. Untung saja brand yang meng-endorse mengirimkan dua setel pakaian untuk dicoba. Jadi, dia tidak perlu mengenakan lagi pakaian kemarin. 

Begitu sampai di area rooftop, Harold melirik jam tangannya.

Sepuluh menit lebih awal. Harold tersenyum puas. Dia kemudian mengirimkan pesan kepada Mary. 

Hi. Aku dah d rooftop.

Ntar, kabari klo dah sampe, ya.

Harold sempat melihat tanda bahwa Mary sedang mengetik balasan, tetapi pesan itu tak sampai-sampai juga. Gadis itu justru tiba-tiba muncul di balik punggungnya.

"Kak Harold, mau langsung foto aja?" tanya Mary sambil sedikit mendongak agar mereka dapat saling tatap.

"Iya, yuk. Biar ga kemaleman," jawab Harold sambil mengeluarkan masker kain berwarna hitam dari saku kemejanya.

"Udah nggak Covid, Kak. Ngapain maskeran?" Ternyata, gadis itu penasaran juga.

Harold yang sedang memindai sekeliling untuk mencari posisi yang pas asal menjawab, "Takut makin banyak yang ngefans."

Tatapan sinis Mary tidak luput dari perhatian Harold. Gadis itu juga terdengar tak rela saat berkata, "Suka-suka Kak Harold, lah."

Panggilan 'Kak' yang diucapkan Mary terasa kagok di telinga Harold, membuatnya iseng menggoda gadis itu. "Kamu bisa panggil saya Harold aja. Kayaknya nggak cocok kamu manggil-manggil saya Kak, berasa anak baru lagi diospek aja."

"Maksudnya saya kayak anak baru diospek, gitu?"

Seperti yang sudah Harold perkirakan, gadis itu langsung mengeluarkan tanduknya. Namun bukannya seram, ekspresi Mary malah terlihat lucu. Untung saja masker Harold terpasang, jadi tawa tanpa suaranya tidak terlihat oleh Mary.

"Nah, ini lebih cocok, sih, sama image kamu. Nggak pakai sungkan-sungkanan manggil saya 'Kak' segala," lanjut Harold setelah berhasil mengendalikan tawanya.

"Maksudnya apa ya?" Mary kembali melayangkan bombastic side eye.

Meski masih mesam-mesem di balik maskernya, Harold berusaha mengalihkan pembicaraan. "Jadi, mau coba ambil foto di mana lagi ini?"

"Coba sandaran di tiang listrik, Kak. Kayak janjian nungguin gebetan gitu."

Harold bersandar ke dinding sambil memegangi kacamatanya dan pura-pura melihat ke arah lain. "Kayak gini?"

"Anggap aja Kakak lagi mau kencan atau jalan-jalan menikmati sore di sini, terserah dah mau ngapain juga," jawab Mary sambil mulai mengatur kameranya.

"Lho, bukannya ini kita memang lagi kencan, ya?" Wajah Mary yang sejak tadi berkerut-kerut serius membuat Harold iseng menggoda gadis mungil itu untuk mencairkan suasana.

"Mana ada kencan begini?" Mary memicingkan mata. Gadis itu benar-benar seperti buku yang terbuka, apa yang sedang dipikirkannya dapat terbaca dengan jelas.

"Memangnya kencan menurut kamu kayak apa?" tanya Harold sambil berganti pose. Kali ini dia berakting seakan-akan sedang merapikan kerah kemejanya.

"Nggak kayak gini yang jelas." Mary mendengkus. "Kakak fokus sama diri sendiri aja, tolong."

Harold menyimpan tawanya. Ekspresi judes Mary benar-benar terlihat imut dan menjadi hiburan tersendiri baginya. Rasa penatnya seakan menguap tiap kali dia melihat Mary bersungut-sungut menanggapi gurauannya. Alih-alih tersedot, energi Harold seakan terisi kembali saat dirinya menghabiskan waktu dengan Mary. Berbeda jauh dengan pengalamannya bersama gadis-gadis lain. Kadang-kadang Harold mengiakan tawaran kencan gadis-gadis yang mengejarnya, tetapi selalu berakhir dengan dirinya ingin segera buru-buru pulang.

Tanpa terasa, satu jam berlalu begitu saja. Mereka juga telah berpindah tempat beberapa kali untuk mencoba sudut yang berbeda. Langit sudah mulai gelap, jadi mereka pun sepakat untuk mengakhiri sesi pemotretan.

"Nah, udah Kak. Mau liat dulu di kamera gimana apa langsung saya pilah-pilahin?"

Alih-alih menjawab, Harold justru mendekati Mary. Karena tinggi Mary tak sampai sebahunya, Harold tak kesulitan untuk mengintip layar kamera dari belakang. Posisi mereka yang cukup dekat membuat Harold dapat mencium aroma parfum gadis itu dengan lebih jelas. Aroma lembut yang sama dengan kemarin.

Kayak bau bayi!

Mary tiba-tiba mendongakkan kepala. "Mau milih sendiri, Kak, foto yang buat diedit?"

Harold buru-buru mundur dan mengambil jarak. Entah kenapa, dia jadi salah tingkah sendiri saat tatapan mata mereka bertemu dalam jarak sedekat itu. 

"Bagus semua, bingung aku milihnya. Aku percaya sama kamu aja, deh," jawab Harold datar, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba menyambanginya. Dia membuka masker dan menyugar rambut seolah tak ada apa-apa.

"Dibuka juga tuh masker. Tapi nggak nambah cakep ah, sama aja," gumam Mary sambil ikut menjauh. "Yaudah deh kalau gitu, thanks for today, Kak. Nanti saya kirim sebelum jam tujuh ya!"

Harold berpura-pura tidak mendengar gumaman meledek Mary barusan dan mengucapkan terima kasih.

Gadis itu kemudian menggeloyor pergi. Harold masih belum beranjak dari area rooftop. Dia mengeluarkan ponsel dan memesan makanan secara online di salah satu kafe dalam mal tersebut. Dengan begitu, dia tidak perlu menunggu terlalu lama dan tinggal mengambil pesanan sekalian pulang.

Dengan langkah-langkah panjangnya, Harold tak kesulitan untuk menyusul Mary yang telah lebih dulu turun. Dia tidak berniat membuntuti Mary, tetapi gadis itu juga berjalan ke arah kafe yang dituju Harold.

"Nggak balik, Kak?" tanya Mary tiba-tiba. Rupanya dia menyadari bahwa Harold berjalan di belakangnya.

"Balik. Tapi mau sekalian takeaway buat makan malam."

"Harus sama banget gitu arah jalannya?"

"Lah, aku memang mau ke sini, kok. Kamu sendiri mau ke mana? Katanya tadi bawa motor, parkiran bukannya ke arah situ?" Harold menunjuk ke arah sebaliknya.

"Saya mau ngedit foto dulu, Kak. Nggak keburu kalau balik kos dulu." Mary mengangkat bahu. "Nanggung amat takeaway di sini. Kenapa nggak sekalian beli deket apartemenmu, Kak?"

Lah, ngatur-ngatur?! pikir Harold sedikit dongkol. Tapi, tentu saja dia tidak berani mengatakannya. Sudah cukup dia beberapa kali membuat Mary kesal selama pemotretan. Takutnya, mood gadis itu malah rusak dan hasil editan fotonya jadi jelek.

"Ya, sekalian. Biar nggak usah berhenti-henti nanti." Harold beralasan.

Mary tak berkata apa-apa lagi dan bersikap seolah Harold tidak ada di belakangnya ketika mereka mengantri di kasir.Setelah memesan segelas amerikano, gadis itu langsung menuju salah satu meja kosong. 

Melalui ekor mata, Harold terus memperhatikan Mary.

"Ada yang bisa dibantu, Kak?"

Harold mengalihkan pandangan dari Mary dan balas tersenyum kepada kasir yang menyapanya. Dia menunjukkan bukti pemesanan di ponselnya.

"Baik, Kak. Mohon ditunggu dulu. Pesanan Kakak sedang kami siapkan."

Harold mengangguk, lalu kembali mengerling ke arah Mary. Gadis itu tampak sangat serius menekuri layar laptop, seakan berada dalam gelembung tak kasat mata yang memisahkannya dengan dunia luar.

Sebentar lagi jam makan malam dan rasanya segelas amerikano tak mampu mengganjal lapar. Harold memperhatikan kue-kue cantik yang dipajang di etalase dekat meja kasir.

"Boleh tambah pesanan, nggak?" tanya Harold kepada kasir. Dia kemudian menunjuk ke arah Mary. "Saya mau pesenin cake buat cewek yang di sana."

Si kasir tersenyum lebar. "Tentu saja boleh, Kak. Mau kue yang mana?"

Harold tidak tahu kue apa yang disukai Mary, tapi rasanya tidak ada yang tidak suka perpaduan cokelat dan kopi. Telunjuk pria jangkung itu terarah pada sepotong opera cake di rak tengah etalase.

==========
==========
Ceritamela:
Hi semua. Terima kasih sudah mampir.
Alhamdulillah masih bisa post sesuai jadwal, soalnya saya ga punya tabungan naskah dan kemarin lagi pusing ngejar nulis cerita lain buat ikut lomba.

Jadi, supaya nggak banyak ngulang cerita yang sama di versi Harold dan Mary, ada beberapa interaksi yang cuma bisa dibaca masing-masing di tempat saya dan izaddina.

Khusus di bab 3 ini, sesi pemotretan pertama di apartemen lebih detail dibahas di tempat Dina, sedangkan sesi pemotretan kedua di mal lebih banyak diceritakan di sini.

Kalian tetap bisa baca salah satu cerita aja kok, tapi buat pengalaman lebih komplit saya sarankan cek juga pov mary.

Oke deh. Demikian dan sampai jumpa pekan depan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top