*Jangan lupa klik dulu tanda bintang di bawah sebelum kelupaan*
=0=
Harold tahu, malam ini pertemuannya dengan Mary bukan dalam rangka pemotretan. Namun, waktu yang dia habiskan untuk bersiap-siap lebih lama dari biasanya. Mulai dari memilih pakaian yang akan dikenakan, menentukan gaya rambut, hingga bolak-balik becermin untuk memastikan tidak ada yang janggal dari penampilannya, Harold membutuhkan tak kurang dari 30 menit.
Sengaja Harold tiba sepuluh menit lebih awal dari waktu yang dijanjikan agar dapat menenangkan debar jantungnya. Harold deg-degan. Mary kemarin memang berkata ingin minta maaf dan menjelaskan duduk permasalahan yang membuat gadis itu menarik jarak. Akan tetapi, tetap saja Harold tidak bisa memastikan bahwa akhir pertemuan mereka akan sesuai harapan. Yang jelas, lelaki itu bertekad memanfaatkan momen ini untuk mengungkapkan perasaannya.
Take it or leave it. Jika titik yang Mary tuju berbeda dengan yang selama ini dibayangkannya, mungkin memang mereka tidak berjodoh. Walau perih, Harold akan menghargai keputusan itu.
"Vanilla flat white kayak biasanya, kan, Mas?" tanya Ragil saat melihat Harold memasuki kafe.
Harold mengangguk. "Tapi, kali ini, aku bayar, ya? Aku nggak lagi janjian sama Abigail."
Ragil hanya menjengkitkan bahu sebagai jawaban. Entah apakah itu maksudnya setuju atau justru sebaliknya.
Malam minggu, kafe itu cukup ramai. Akan tetapi, Harold berhasil mengamankan meja yang posisinya agak tersembunyi di sudut kafe. Lelaki itu memilih kursi yang menghadap pintu masuk agar dapat langsung menyadari saat Mary datang.
Sekitar lima menit kemudian, Mary muncul dengan diiringi denting pelan lonceng yang terletak di atas pintu. Gadis itu celingak-celinguk sebentar, sebelum akhirnya berhasil menemukan sosok jangkung yang dicarinya.
Saat melihat kedatangan Mary, ingin sekali Harold tersenyum lebar. Tadi, debaran jantungnya sempat kembali ke ritme normal. Namun sekarang, dadanya kembali berdentum kencang. Seutas rasa cemas kembali membelitnya dan menahan otot-otot wajahnya membentuk senyuman.
"Kupikir kamu bakal batalin janji mendadak dan tiba-tiba susah dihubungin." Harold tidak berniat menyindir. Kalimat itu spontan terucap oleh bibirnya dan langsung dia sesali saat itu juga.
"Nggak usah nyindir gitu, dong!" protes Mary, lantas gadis itu berdeham pelan, seakan sedang menahan diri untuk tidak mengomel lebih panjang.
"Ehem, sorry," lanjut Mary dengan nada lebih lembut.
"Nggak maksud nyindir, kok. Cuma khawatir kena PHP lagi." Lagi-lagi, Harold tidak dapat mengontrol lidahnya. Sungguh, dia benar-benar tidak bermaksud berkata dengan nada seketus itu. Namun, rasa kesal dan bingung yang selama beberapa minggu terakhir membebani pikirannya seakan berbondong-bondong menyeruak keluar.
Mary duduk di seberang Harold. Kepalanya kembali tertunduk. Beberapa menit terbuang begitu saja. Tidak ada yang berbicara. Harold sendiri bingung harus memulai dari mana. Bukankah Mary yang meminta bertemu? Seharusnya, Mary yang memulai pembicaraan, kan?
"Gue waktu itu udah—" Akhirnya, Mary mengangkat wajah. Sepasang mata berbentuk almon miliknya akhirnya menatap Harold. Alih-alih melanjutkan kalimat, gadis itu justru mengucapkan permintaan maaf dengan suara lirih.
"Udah apa?" Daripada permintaan maaf Mary, Harold justru lebih tertarik pada kalimat pertama Mary yang terpotong.
"Gue nggak bermaksud bilang lu ganggu di hidup gue." Mary tak mengindahkan pertanyaan Harold. "Gue kira lu udah sama Abigail. Gue nggak mau terlalu dekat sama cowok orang. Maaf."
Harold mengernyit, berpikir sejenak. Jadi, benar karena inilah kemarin Acha tiba-tiba menyinggung tentang Abigail? Lelaki itu ingin tertawa keras-keras, tetapi di sisi lain, ucapan Mary agak menyinggung harga dirinya.
"Kamu pikir aku cowok macam apa? Jadi, selama ini kamu ngira aku tipe cowok yang tetap deketin cewek lain ketika dah punya pacar?" Harold menuntut penjelasan.
"Sejak kapan lu pedekate ama gue?" Mary langsung mengatupkan mulut dan membelokkan pembicaraan. "Y-ya, intinya gue minta maaf!"
Mulut Harold terbuka selama beberapa detik, sebelum akhirnya menutup kembali. Lelaki bermata sipit itu tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan seberapa gemasnya dia pada Mary. Ingin protes, setelah dipikir-pikir lagi, salah sendiri dirinya tidak pernah mengutarakan dengan jelas perasaannya terhadap Mary.
"Mungkin memang salahku yang nggak bilang terang-terangan," gumam Harold sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
Sambil menghirup udara banyak-banyak, Harold berusaha memantapkan hati.
Now or never, Rold!
Dengan nada lembut yang menghanyutkan, Harold memulai pengakuannya. "It is not love at first sight. Tapi, aku juga nggak tahu sejak kapan aku suka sama kamu. Yang jelas, semua omonganku di Surabaya itu serius. Apa yang aku ceritain pas di Taman Literasi itu serius. Aku harap suatu saat kamu bakal mau jadi calon istriku, Mar."
Done! Gumpalan perasaan yang selama ini menyumbat dada Harold kini telah menggelincir keluar. Harold benar-benar merasa lega. Apa pun tanggapan Mary, dia tidak akan pernah menyesali apa yang telah dilakukannya.
"Ha?" Mulut Mary terbuka lebar, sementara kedua matanya membulat penasaran. Respons yang sedikit di luar prediksi Harold, tetapi setidaknya lebih baik dari kalimat penolakan.
Dengan muka merah padam, Harold kembali mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan penjelasannya. Sudah kepalang tanggung, tidak ada jalan untuk mundur.
"Aku mau ngomong ini di kafe waktu itu," terang Harold. "Sampai pesan kue edisi valentine ke Abigail. Sayang, kuenya sudah kukasih Ario gara-gara kupikir kamu beneran nggak mau ketemu aku lagi."
Karena Mary tak juga memberi tanggapan–gadis itu seperti sedang dalam mode loading berkepanjangan, Harold akhirnya bangkit dari kursi dan menghampiri Ragil yang tengah menggiling kopi.
"Sik, yo, Mas. Kopine lagi tak bikinin," ucap lelaki berambut jabrik dalam balutan apron berwarna merah itu dengan logat Jawa yang kental.
"Bukan itu." Harold mencondongkan kepalanya ke arah Ragil. Lalu, dengan suara pelan, dia berbisik, "Aku perlu jelasin sama Mary kalau aku dan Abigail nggak ada hubungan apa-apa. Kamu bisa ikut sebentar, buat kukenalin ke Mary, nggak?"
"Oh, bisa-bisa." Ragil kemudian mencolek salah satu rekannya dan memberikan beberapa arahan.
Kedua lelaki itu kemudian menghampiri Mary.
"Kenalin, Mar. Ini Ragil. Pacarnya Abigail," tutur Harold sambil menepuk punggung Ragil.
"Maaf, Mbak. Jadi salah paham, yo? Aku ndak suka jadi pusat perhatian, jadi memang minta Abi buat ndak ekspos hubungan kami di medsos," terang Ragil sambil cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk belakang kepala dengan canggung.
Mata Mary membulat dan mengerjap cepat. "Oh ... iya. Salam kenal, Mas." Mary buru-buru mengalihkan pandangan, terlihat begitu salah tingkah.
"Sebagai permintaan maaf, mbaknya saya kasih kopi gratis. Mau dibikinin latte, cappucino, apa mau cobain vanilla flat white andalan kami?" tawar Ragil
"Aduh, nggak usah repot-repot, Mas."
"Latte aja, Gil," kata Harold. Lelaki itu mengucapkan terima kasih sebelum Ragil kembali ke posnya di balik meja barista.
Harold kembali menoleh pada Mary. "Abigail lagi on the way ke sini. Nanti, kamu bisa pastiin lagi sama dia."
"Nggak usah!" ujar Mary sambil menutup muka dengan kedua tangan.
Harold kembali duduk. Tangannya gatal ingin menyentuh wajah Mary agar gadis itu menatapnya, tetapi segera dia urungkan. Masih ada satu hal lagi yang perlu dia pastikan.
"What about you and Hiro?" tanya lelaki itu dengan raut serius.
"Ha?" Sekali lagi, Mary hanya bisa melongo.
Tak bisa menahan diri lagi, Harold menepuk pelan puncak kepala Mary dua kali. Gelak tawanya berderai di udara. "Dari tadi, kamu cuma bisa hah-hoh terus. Katanya mau ngasih penjelasan yang masuk akal?"
Sejenak, Mary membeku di tempat. Kedua pipinya yang kini tak lagi tertutup tangan tampak semerah tomat. Perlu beberapa detik hingga gadis itu kembali berbicara.
"Ya, tadi kan gue udah bilang. Gue takut ganggu lu sama Abigail, jadi gue ngejauh! Lu pernah bilang demen sama cewek kalem. Lu pernah foto bareng keluarga Sanggabuana. Lu sering story berdua sama Abigail. Waktu itu juga lu ketemu berdua—" Mary mengatupkan bibir, lantas dengan suara lebih pelan melanjutkan, "Intinya, gue nggak mau ganggu."
Kini, tidak ada lagi yang mencegah Harold tersenyum. Otot-otot wajahnya tak lagi kaku. Jantungnya memang masih berdebar kencang, makin kencang malah, tetapi untuk alasan yang berbeda dari sebelumnya. Mary memang tidak mengakui secara terang-terangan, tetapi Harold rasa dia dapat berbesar kepala bahwa Mary cemburu pada Abigail.
"Tapi, gue nggak konfirmasi karena ngerasa hubungan kalian udah terlalu jelas," lanjut Mary. "Gue malah marah-marah pas lu ke kosan. Gue minta maaf karena itu."
"Dan aku nggak mau buat kesalahan yang sama kayak kamu." Harold kemudian mengulang lagi pertanyaannya. "Kamu dan Hiro ada hubungan apa?"
"Nggak ada, ih. Gue aja nggak pernah story berdua sama dia!"
"Tapi, aku bisa lihat kalau dia suka kamu. Di IG story MiniMasa, kalian juga keliatan akrab."
"Ya emang suka, sih—" Lagi-lagi, Mary tidak melanjutkan kalimatnya.
Harold memicingkan mata. "Kamu juga suka dia?"
"Nggak!" Mary langsung menyangkal. "Kesimpulan dari mana itu?"
"Ya, kamu yang tiba-tiba ngejauh bisa aja, kan, karena nggak mau bikin Hiro cemburu." Harold mendengkus. "Aku dan Abigail kan bisa aja alasan yang kamu karang biar nggak terlalu ngerasa bersalah mutusin pertemanan kita."
Ah, lagi-lagi Harold bicara tanpa berpikir dulu. Kenapa otaknya jadi ngadat begini saat berhadapan dengan Mary? Pilihan katanya sejak tadi terkesan cari ribut, padahal harusnya pertemuan mereka ini bertujuan untuk meluruskan segala kesalahpahaman yang terjadi.
"Gusti nu agung. Mana mau gue pacaran sama orang yang mengekang kayak gitu?" tegas Mary. Gadis itu kemudian menggembungkan pipi. "Jadi, gue dimaafin nggak, nih?"
"Asal kamu janji nggak bakal bikin asumsi sendiri tanpa konfirmasi lebih dulu."
"Iya, iyaa. Janjiii. Jangan diungkit terus gitu dong!" Mary berdecak kesal. "Oh, dan ada satu lagi ...."
Harold menaikkan sebelah alis, pertanda agar Mary melanjutkan omongannya.
Terdapat jeda selama beberapa detik. Mary kembali menghindari tatapan Harold. Dengan suara lirih yang nyaris tidak terdengar, dia bertanya, "Lu ... beneran suka sama gue?"
Harold terdiam sejenak. Sepertinya, Mary masih perlu diyakinkan. Salah Harold sendiri, sih, yang sempat menyangkal perasaannya dengan berkata Mary tidak sesuai dengan kriteria gadis idamannya. Lelaki itu coba mengingat-ingat lagi hal-hal apa saja yang mungkin menyebabkan Mary berprasangka terhadapnya.
"Soal kriteria cewek kalem, itu bohong. Waktu itu, aku panik karena belum siap ketahuan kalau suka sama kamu. Jadi, asal ngomong," ungkap Harold. "Foto bareng Abigail dan keluarganya itu terpaksa. Kebetulan pas aku anterin oleh-oleh titipan Oma, Bapak lagi ngejamu Keluarga Sanggabuana. Yang terakhir tadi apa, ya?"
"Story berdua?"
"Nggak benar-benar ketemu berdua juga, sih. Kami biasanya ketemu di sini. Pasti ada Ragil, cuma nggak masuk frame aja. Nggak semua yang kamu lihat di medsos itu seperti kenyataannya, Mar."
"Oh ...."
Tiba-tiba, perhatian Harold teralihkan pada sosok Abigail di pintu masuk. Gadis itu melambaikan tangan kepadanya dan bergegas mendekat.
"Hi, Mas Harold," sapa Abigail. Dia kemudian menoleh kepada Mary. "Yang ini pasti Mary, kan?"
Mary tersenyum canggung. "I-iya ...?"
Abigail setengah berbisik kepada Harold, tapi masih cukup keras untuk Mary dengar. "Masih butuh klarifikasi dariku nggak, Mas?"
"Udah clear. Thanks," ucap Harold.
Meja meraka makin ramai dengan kedatangan Ragil yang mengantarkan sendiri dua gelas kopi pesanan Harold dan Mary tadi. "Selamat dinikmati, Mas, Mbak."
Usai Ragil meletakkan kopi ke meja, Abigail langsung menyambar lengannya dan menyeret lelaki itu ke dapur.
Setelah mereka hanya tinggal berdua, Harold kembali bertanya kepada Mary. "Jadi, sekarang percaya aku dan Abigail nggak ada hubungan apa-apa?"
"Iya, iyaaaaa, Ya Allah. Maaf, dong. Kenapa lu kayak kesel banget, sih?" gerutu Mary.
Harold lega Mary kembali cerewet seperti biasa.
"Karena aku jadi stres banget sejak kamu nggak mau ketemu, Mar. Baru kali ini aku ngerasain patah hati dan aku ga mau ngulangin lagi," tutur Harold. Ekspresinya kembali serius. "Jadi, aku masih ada harapan apa nggak? Aku nggak minta kamu jadi pacarku sekarang, tapi seenggaknya kasih aku kepastian apa kamu punya end goal yang sama kayak aku."
"Nikah?"
Harold mengangguk.
"Gue juga kacau banget kemarin gara-gara lu. Gila, gue kedengeran cringe banget kalau gini." Mary mengalihkan pandangan ke arah lain. Hari ini, gadis itu sering sekali menghindari tatapan Harold. "Gimana ini gue jawabnya?"
"Ini yes-no question, bukan soal esai. Kamu cukup bilang iya atau nggak."
Untuk kesekian kalinya, Mary tak lekas menjawab. Wajah hingga telinganya memerah.
"... Iya," ucap Mary sambil menangkupkan tangan ke wajah.
Harold mengembuskan napas lega. Sekarang, dia bisa tersenyum lebar. "Makasih, Mar. I will cherish every moment I spend with you."
Entah apa maksudnya, Mary menggenggam tangan Harold sambil memejam. Hati Harold menghangat. Lelaki itu memang tidak memahami alasan Mary tiba-tiba berinisiatif menyentuh tangannya seperti sekarang, yang jelas, dia sama sekali tidak keberatan. Bagi Harold, itu sudah lebih dari cukup. Kini dia yakin, perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.
Harold mengaitkan jari-jemari mereka. Tangan Mary begitu mungil jika dibandingkan dengan tangannya yang lebar. "Besok Bapak ulang tahun. Kamu mau ikut, nggak?"
"Hah, dadakan amat?" protes Mary
"Ya, masalahnya dari kemarin kamu nggak mau diajak ketemu."
Andai Mary tahu bahwa sebenarnya Harold bersedia bertukar jadwal dengan rekannya agar tidak perlu menghadiri acara makan malam itu. Harold malas bertemu Ronald, tetapi mungkin acara tersebut bisa menjadi kesempatan yang tepat untuk memperkenalkan Mary kepada keluarganya.
Untuk kesekian kalinya, Mary meminta maaf. "Eh iya. Lu sama Ronald gimana jadinya kemarin?
"Dia nyamper k apartemen akhirnya. Minta maaf. Tapi, karena takut aku nggak dateng ke acara ultah Bapak. Jadi aku bilang belum kumaafin, walau, yah, aku sudah nggak mikirin itu lagi."
"Yah. Nggak baku hantam dulu?" Mary terlihat kecewa.
"Kamu aja yang wakilin besok gimana?"
"Boleh, tapi nanti bantu belain ya kalau dicecar sama ortu lu." Mary tergelak. "Yang bener aja. Nantu gue di-blacklist, dong!"
Harold ikut tertawa. "Seperti yang kubilang waktu di Surabaya. Aku nggak peduli. Kalau mereka nggak setuju, kita kawin lari aja."
"Ada gila-gilanya ini orang." Mary menggembungkan pipi, sebal.
"So, besok kujemput jam 4 sore?" Harold memastikan.
Pertanyaan tersebut Mary jawab dengan anggukan kepala. Itu artinya, Harold harus segera menghubungi rekannya untuk menyampaikan dia tidak bisa menggantikan berjaga IGD besok.
Entah dapat ide dari mana, Harold mengeluarkan plester dari saku kemejanya. Lalu, memasangnya di jari manis Mary tanpa berkata apa-apa.
Kening Mary berkerut. "Apa nih? Gue kan nggak luka?"
"Anggap aja penganti cincin. Nanti aku beliin yang beneran kalau kamu sudah mau dilamar."
Muka Mary langsung merah padam. Ia memukul tangan Harold. "Lu mah, bikin salting mulu!"
Harold tersenyum kian lebar hingga kedua matanya hanya membentuk garis. Membuat Mary salah tingkah sepertinya akan menjadi hobi barunya setelah ini.
=0=
END
Tapi ... bohong.. ^.^
Masih ada beberapa bab lagi insyaAllah.
Ditunggu, ya.
Makasih, lho, sudah ngikutin Harold dan Mary sampai sejauh ini.
Jangan lupa mampir juga di tempat izaddina buat baca seberapa saltingnya Mary.
Oke, deh. Gitu aja cuap-cuapnya.
See you later.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top