Advice 26: Mencintai Secukupnya Saja
Hi, teman-teman. Jangan lupa divote dulu yuk bab ini. Biar apa? Yak, betul. Biar saya senang. Hehehe.
=0=
Butuh waktu cukup lama sampai pesan Harold dibalas Mary. Itupun isinya singkat, padat, dan tidak sesuai harapan.
Mary Angelica Mulyabakti:
Sori, nggak bisa.
Raut wajah Harold berubah murung. Alih-alih kesal atau marah, dia sebenarnya lebih ke merasa sedih. Sudah dua minggu mereka tidak bertemu. Selama dua minggu itu juga komunikasi mereka tidak seintens yang lalu-lalu. Harold rindu mendengar suara tawa Mary. Dia kangen mengobrol banyak hal dengan Mary. Namun ternyata, Mary tidak merasakan hal yang sama.
"Kalau Mary nggak mau diajak ketemu, lo samperin aja langsung."
Saran Ario kembali terngiang di telinga Harold. Sepertinya memang tidak ada pilihan lain. Daripada terus-terusan berasumsi yang tidak-tidak, lebih baik dia menghampiri Mary dan bertanya langsung. Apa pun keputusan Mary, dia akan menerimanya. Setidaknya, dia mendapat kepastian.
Harold menyetir ke kantor Mary. Jantungnya berdebar kencang, sayangnya untuk alasan yang berbeda dari biasanya. Kali ini, debaran itu timbul karena rasa takut. Dia takut Mary bertambah marah jika dia mendatangi gadis itu tanpa izin. Namun, dia juga tidak tahan dihantui pikiran-pikiran buruk yang kerap menyelinap ke kepalanya.
Motor Mary tidak terlihat di parkiran MiniMasa, tetapi gadis itu kadang-kadang naik kendaraan umum. Harold memutuskan untuk turun dan memastikan sendiri. Sayangnya, satpam yang biasa berjaga di dekat pintu masuk tidak kelihatan batang hidungnya.
Harold celingak-celinguk memperhatikan sekeliling. Dia dapat mendengar riuh suara orang bercakap-cakap dari ruangan lain, tetapi merasa sungkan jika langsung menyelonong masuk tanpa permisi. Untungnya, seorang gadis dengan rambut ikal yang menjuntai hingga dada menuruni tangga. Harold buru-buru mencegat.
"Permisi, Mbak. Kenal Mary, nggak?" tanya lelaki itu sambil memasang senyum manis. Meski batinnya tengah tidak baik-baik saja, dia tetap berusaha untuk terlihat ramah di hadapan orang lain, terutama orang yang tidak dikenalnya.
"Kenal ...." Gadis itu menatap wajah Harold lekat-lekat. Lalu beberapa detik kemudian, matanya membelalak lebar. "Lho, ini Mashtama, ya?"
Rupanya, gadis itu mengenali Harold. Pasti salah satu pengikut setia akun Mashtama.
Untuk menyembunyikan rasa kagetnya, Harold pura-pura memperbaiki letak kacamata. "I-iya. Jadi, Mbaknya kenal Mary, nggak?"
Bukannya menjawab, gadis itu malah berteriak memanggil teman-temannya. "GUYS, ADA MASHTAMA REAL!"
Beberapa gadis lain melongokkan kepala dari ruangan di samping lobi. Ada juga yang mengintip dari lantai dua.
Si rambut ikal langsung menyeret teman-temannya untuk mendekat. Tiba-tiba saja Harold dikepung dari segala arah. Kalau dia tidak salah hitung, total ada lima gadis yang merapat kepadanya.
Dengan mata berkedip genit, gadis berambut ikal itu mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. "Kenalin, Gisel."
Tak ingin membuat suasana menjadi canggung, Harold balas menjabat tangan berkutek merah itu. Gadis-gadis lain pun tak mau kalah ikut menyebutkan nama masing-masing.
"Boleh foto bareng nggak, Mas?" tanya Gisel dengan nada kenes.
Tak punya pilihan lain, Harold pun melayani permintaan swafoto tersebut.
Sambil merangkul lengan kokoh Harold, Gisel menoleh ke belakang dan berceletuk, "Parah si Mary. Masa yang kayak gini dibilang nyebelin?"
Gisel memang sedang berbicara dengan temannya, tetapi karena posisi mereka yang dekat, Harold ikut mendengar. Senyum Harold perlahan memudar. Rasa kecewanya kian membesar. Tak dia sangka-sangka, ternyata Mary menganggapnya sebagai sosok menyebalkan. Apa karena dia kerap mengomel ketika Mary menganggap enteng luka dan lecet yang mencederainya?
Setelah beberapa kali berganti pose, Harold kembali menanyakan keberadaan Mary. "Mary-nya masih di kantor apa sudah pulang ya, Mbak Gisel?"
"Oh, sori-sori, Mas! Tadi anaknya langsung pulang kayaknya," jawab Gisel sambil terus mengambil swafoto dengan ponsel.
Gadis berambut pendek di samping Gisrl ikut menanggapi, "Iya. Akhir-akhir ini dia pulang cepet mulu. Mana pucet mukanya. Sakit apa ya?"
"Lebih pendiam juga," timpal gadis berkerudung merah yang juga ikut mengerumuni Harold. "Tumben loh. Biasanya itu lantai dua ada aja huru-haranya dia."
Obrolan mereka membuat Harold cemas. Lelaki itu pun buru-buru berpamitan. Tanpa pikir panjang, dia langsung mengemudikan mobil ke alamat kos Mary. Harold tahu, Mary mungkin akan bertambah marah jika dia datang ke kosan tanpa diundang. Namun, dia harus memastikan keadaan gadis bertubuh mungil itu.
=0=
Harold memarkir mobil agak jauh dari kosan Mary karena gang menuju tempat itu cukup sempit, apalagi ada beberapa motor diparkir sembarangan di sisi jalan.
Lelaki berlesung pipit itu berdiri cukup lama di depan gerbang kosan Mary untuk mengumpulkan keberanian. Dia berulang kali mengetik dan menghapus pesan sebelum akhirnya memantapkan diri menekan tombol kirim untuk mengabarkan kehadirannya melalui Whatsapp.
Seperti yang Harold khawatirkan, Mary tidak membalas meski telah membaca pesannya. Harold mengintip melalui celah pagar. Lampu kamar Mary menyala. Harusnya, gadis itu ada di dalam. Mary sangat hemat dan perhitungan. Mustahil Mary dengan sengaja membiarkan lampu kamarnya tetap menyala saat sedang keluar.
Harold mengetuk-ngetuk ponselnya. Setelah lima menit berlalu tanpa respons, akhirnya dia mencoba menelepon. Namun, Mary tidak mengangkat telepon. Bahkan di panggilan yang kedua, gadis itu me-reject teleponnya.
Beberapa saat kemudian, seorang gadis–sepertinya salah seorang teman sekos Mary–datang sambil membawa sebuah bungkusan plastik. Harold pun memanfaatkan kesempatan itu untuk menanyakan Mary.
"Oh. Tadi, saya lihat Mbak Mary-nya ada, kok, di kamarnya. Sebentar saya panggilin dulu." janji gadis itu sebelum membuka gerbang.
Karena belum dipersilakan masuk, Harold menunggu di luar. Dia mondar-mandir dengan hati harap-harap cemas. Semoga saja Mary mau menemuinya. Harold tidak terbayang jika harus terus menghadapi prasangka-prasangka buruk yang berseliweran di kepalanya.
Padahal Harold hanya menunggu hanya beberapa menit, tetapi detik demi detik yang terlewat rasanya begitu panjang. Gadis tadi tidak menggembok gerbang. Apa dia langsung merangsek masuk saja, ya? Dia, kan, sudah tahu posisi kamar Mary.
Sebelum Harold sempat melaksanakan niat gilanya itu, sosok Mary akhirnya muncul ke teras. Harold merasa lega. Senyuman yang mekar di wajahnya membuat lekukan lesung pipitnya terlihat makin jelas. Sayang, senyuman itu tidak bertahan lama.
Penampilan Mary terlihat kusut. Ketika gadis itu mendekat, Harold dapat melihat cekungan di kedua matanya. Tatapan Mary tampak kosong. Tidak ada binar ceria dan letupan semangat yang biasa Harold temui di dalam sana.
"Kamu sakit?" Harold langsung menodong Mary dengan pertanyaan. Tangannya berayun ke depan, berusaha menyentuh kening Mary, tetapi langsung ditepis begitu saja.
"Ngapain?" Suara Mary begitu dingin. Tidak ada kehangatan yang biasa Harold dengar dari suara Mary.
"Meriksa, lah. Temen kamu tadi juga bilang akhir-akhir ini kamu keliatan pucet." Harold kembali mencoba menyentuh dahi gadis di hadapannya. Dia tidak peduli jika Mary marah asalkan dapat memastikan kondisi gadis itu.
Kali ini, Mary tidak menepis tangan Harold. Namun, raut wajahnya menyiratkan perasaan tidak nyaman.
Harold buru-buru menarik lagi tangannya setelah memastikan bahwa suhu tubuh Mary masih dalam batas normal.
"Sudah makan?" tanya Harold penuh kekhawatiran. Entah perasaannya saja atau memang gadis itu terlihat lebih kurus dan ringkih dari biasanya.
Bukannya menjawab pertanyaan Harold, Mary justru balik bertanya. "Lu nggak paham kenapa gue ngehindar?"
Harold hanya bisa mematung di tempat. Tentu saja dia tidak paham. Justru karena itulah dia menemui Mary. Dia ingin tahu kesalahan apa yang telah diperbuatnya hingga Mary tak mau menemuinya. Kenapa Mary justru menanyakan hal itu kepadanya?
Mary memalingkan wajah. Suaranya terdengar lebih parau, seakan ada gumpalan kapas yang menyendat tenggorokannya. "Gue capek, jadi bisa nggak lu berhenti ganggu hidup gue?"
Capek? Ganggu? Harold tidak pernah menyangka akan mendengar nada sesinis itu meluncur dari mulut Mary.
Harold memang sudah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk. Namun, tetap saja rasanya begitu ngilu saat mendengar kehadirannya tidak diharapkan seperti itu. Dia pikir kata patah hati itu hanyalah suatu kiasan, tapi ternyata rasa sakitnya begitu nyata. Apalagi, saat sepintas dia lihat mata Mary memerah. Sebegitu besarkah amarah yang Mary rasakan terhadapnya?
Mary menarik pagar. Jelas sekali gadis itu ingin buru-buru mengakhiri perbincangan mereka. Akan tetapi, sebelum pagar tersebut tertutup sempurna, tangan Harold mengganjalkan kakinya dan buru-buru menggapai lengan Mary untuk mencegah gadis itu kabur ke dalam rumah, sementara tangan yang satunya menahan pagar.
Meski dapat mendengar dengan jelas perkataan Mary, lelaki itu merasa perlu memastikan lagi. "Ganggu? Selama ini kamu ngerasa keganggu?"
Harold menatap Mary dengan sorot sedih. Dia harap Mary akan tertawa, lalu berkata bahwa semua ini hanya prank untuk membalas keisengannya selama ini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Mary hanya membisu sambil terus memandang ke arah lain.
"Kenapa nggak jawab, Mar? Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau ada yang salah, kasih tahu?" cecar Harold. Dia masih menyimpan harapan Mary akan memberi penjelasan yang lebih masuk akal. "Masak setelah berbulan-bulan ngelewatin ini semua baru sekarang kamu ngerasa keganggunya?"
"Masalahnya bukan di lu." Mary menggigit bibir. Terdapat jeda sejenak sebelum gadis itu melanjutkan, "Udah, ya. Gue capek."
Capek. Harold tidak pernah mengira kata sederhana itu dapat terdengar sedemikian tajam. Ekspresi Mary menunjukkan bahwa gadis itu benar-benar muak melihatnya. Seakan dia adalah serangga menjijikkan yang harus segera disingkirkan.
Kenapa baru sekarang?
Kenapa tidak sejak awal Mary menarik batas yang jelas dalam hubungan mereka? Apakah momen-momen yang mereka lalui tidak ada artinya bagi Mary? Kenapa Mary meladeni permintaan-permintaannya jika kehadirannya begitu mengganggu?
Masih banyak pertanyaan yang berseliweran di benak Harold. Menggantung tak berdaya tanpa menemukan jawaban. Namun, demi melihat wajah Mary yang begitu muram, Harold tak berani melanjutkan. Mungkin memang sebaiknya dia mengabulkan keinginan Mary.
Harold melepas cengkeramannya pada lengan Mary. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan di depan Mary. Dengan kepala tertunduk, dia lirih berkata, "Oke. Aku nggak bakal ganggu kamu lagi."
Sejak kemarin, Harold sudah coba membayangkan menerima penolakan dari Mary. Namun, tetap saja ketika saat itu tiba, Harold tidak sanggup menyembunyikan kekecewaannya. Dunianya kembali gelap. Cahaya hangat yang beberapa bulan terakhir menerangi hidupnya kini terbang menjauh, tak tergapai lagi olehnya.
Mary menutup gerbang cepat-cepat, lalu masuk rumah tanpa menoleh sedikit pun.
Seperti orang linglung, Harold mematung di depan kos Mary. Hati kecilnya masih berharap Mary akan keluar lagi menemuinya, lalu hubungan mereka akan kembali baik-baik saja. Akan tetapi, lima belas menit berlalu tanpa ada tanda-tanda keinginan Harold itu akan terwujud.
Harold memutuskan pulang dan menyusun kembali puing-puing hatinya yang hancur berserakan. Entah perlu berapa lama hingga hatinya kembali utuh. Mungkin sebulan, setahun, atau butuh selamanya. Yang jelas, hidup Harold tak akan lagi sama.
=0=
Ceritamela:
Halo, semuanya. Sesuai janji di bab sebelumnya. Hari ini double update.
Karena apa? Karena vote Love Shot mencapai 1k.
Nggak juga sih, wkwkwk. Bahkan sebelum sampai 1k memang sudah kami rencanakan buat double update hari ini supaya saya dan izaddina nggak berlarut-larut dalam kesedihan ini.
Nggak tahu, sih, feel patah hatinya Harold berhasil sampai ke pembaca apa nggak. Tapi, yang jelas, saya nyesek pas nulis bab ini. Nyesek plus ingin mites Mary yang bikin semua runyam cuma gara-gara salah paham.
Akhir kata, saya mau ngucapin makasih yang banyaaaaak buat kalian yang selalu dukung Harold dan Mary selama ini. Jangan lupa mampir ke Heart Shutter - Mary biar bisa makin menghayati kesedihan dua bocah ini.
See you on Wednesday. Sehat-sehat selalu, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top