Advice 25: Bersikap Tegaslah Sesekali

Vote dulu, yuk, sebelum kelupaan.

=0=


Harold Tanutama:

Mar. Dah pulang? Besok free ga?

Mary Angelica Mulyabakti:

Sori, udah janjian sama komunitas fotografi.

Harold Tanutama:

Kapan kamu freenya?

Mary Angelica Mulyabakti:

Gue sibuk. Udah dulu ya.


Harold membaca lagi rentetan percakapannya dengan Mary di Whatsapp. Setiap kali dia mengajak bertemu, Mary selalu punya alasan untuk menolak. Harold pikir Mary hanya sedang sibuk. Mengingat masa kampanye sedang berlangsung, gadis itu pasti sibuk meliput kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh para calon presiden dan calon legislatif. Namun, setelah Harold pikir-pikir lagi, sepertinya bukan itu saja alasan Mary. Mary terasa sengaja menghindarinya. Entah karena apa.

Hari ini, usai memberikan pelayanan di klinik dhuafa, Harold tidak punya agenda lain. Mulanya, dia ingin mengunjungi Mary. Mengantarkan makan siang mungkin, atau menyerahkan kukis yang dipesannya dari Abigail tempo hari. Akan tetapi, ada seorang tamu tak diundang berkunjung ke apartemennya.

Harold mendengar suara bip pelan dari arah pintu saat dia sedang membersihkan ruang tamu. Seseorang baru saja salah memasukkan kode akses pada panel pintu depan. Dari layar CCTV yang terpasang di dinding ruang tamu, Harold dapat melihat wajah Ronald yang terlihat kebingungan karena gagal membuka kunci apartemen. Harold memang sudah mengganti kode akses apartemennya sejak terakhir kali Ronald singgah.

Setelah tiga kali percobaan yang gagal, akhirnya Ronald menelepon Harold.

"Mas Harry lagi di apartemen, nggak? Aku sudah di depan." Tanpa berbasa-basi mengucapkan salam, Ronald bertanya. Sangat khas Ronald.

Setelah beberapa minggu, Harold sebenarnya sudah tidak terlalu kesal lagi pada adiknya itu. Namun, tetap saja kehadiran Ronald memantik lagi amarah Harold. Lelaki berkacamata itu mengesah panjang. Ingin sekali dia mengusir Ronald pergi agar tidak makin merusak harinya, tetapi rasanya tindakan itu terlalu kekanak-kanakan.

"Ada. Sebentar," kata Harold datar. Sebagai kakak, dia harus bersikap lebih bijak. Terus mendiamkan Ronald ketika pemuda itu datang sendiri menemuinya tentu saja bukan pilihan bijak. Toh, masalah yang ditimbulkan Ronald sudah dapat diselesaikan dengan baik.

Ronald memutus sambungan telepon. Harold sengaja tidak segera membukakan pintu. Lelaki bermata sipit itu tersenyum senang saat melihat wajah adiknya yang memberengut di luar. Anggaplah ini hukuman bagi Ronald yang telah dengan seenaknya membocorkan identitasnya di media sosial.

Meski sudah berhasil mengatasi kekacauan yang disebabkan Ronald, Harold merasa tetap perlu menunjukkan bahwa tindakan sang adik telah merugikannya. Lagipula, Harold curiga bahwa kedatangan Ronald bukan murni karena keinginan pemuda itu sendiri. Kemungkinan ayah merekalah yang menyuruh.

Sekitar tiga menit kemudian, lengkungan senyum di bibir Harold digantikan satu tarikan garis lurus. Harold sengaja memasang ekspresi serius saat membukakan pintu.

"Ada perlu apa?" tanya Harold dengan nada ketus.

Sambil menggaruk belakang telinga, Ronald menimpali, "Bisa bicara di dalam aja, nggak, Mas?"

Harold melayangkan tatapan dingin kepada sang adik. "Memangnya nggak bisa dibicarakan di sini?"

Ronald terlihat kaget. Ekspresinya persis seperti yang biasa dia pasang kala ayah mereka menegur dan memarahinya. Sebelum ini, Harold memang lebih banyak mengalah atau pura-pura tidak ada masalah. Dia berusaha menghindari konflik karena malas ribut. Mungkin karena itulah, Ronald jadi tidak menyeganinya dan bertingkah sesuka hati.

Harold akhirnya membuka pintu lebih lebar. Malu juga kalau keributan mereka sampai dilihat tetangga.

"Jangan lupa tutup pintunya." Harold mengingatkan sebelum mendahului ke ruang tamu.

Ronald tidak membantah ataupun mengeluh. Setelah menutup pintu seperti yang diperintahkan, dia menyusul Harold. Biasanya, pemuda itu akan langsung mengoceh seenaknya. Namun, sore itu, Ronald tampak tak berani memulai pembicaraan lebih dulu.

Harold duduk di sofa sambil menyilangkan kaki. Tangannya bersedekap di depan dada, membuat aura tegasnya kian kentara. Lelaki itu mengulang kembali pertanyaannya tadi. "Ada perlu apa kamu ke sini?"

"Mauuu minta maaf." Suara kekehan Ronald yang menyusul setelahnyaterdengar canggung.

"Karena?"

"Thread di Twitter. Yang bongkar identitas Mas Harry."

"Kenapa baru sekarang?"

Tak lekas ada jawaban. Mimik muka Ronald kini menyiratkan ketegangan. Sepertinya, dia tidak menyangka Harold akan bereaksi sekeras itu.

Kalau tahu dengan bersikap tegas seperti sekarang bisa membuat Ronald bersikap lebih sopan, sudah dari dulu Harold akan melakukannya. Ternyata cara ini lebih efektif daripada sekadar mendiamkan atau mengabaikan Ronald.

"Kita sudah sama-sama dewasa, Ron," ujar Harold dengan nada bicara lebih lunak. "Aku sudah dengan tegas bilang nggak mau ikut-ikut program kampanye yang kamu buat. Bapak juga sudah ngingetin kamu. Kenapa masih maksain?"

"Elektabilitas Bapak tahun ini jelek, Mas. Kalah sama caleg-caleg baru yang lebih muda. Aku cuma pingin bantuin Bapak."

"Dengan mengorbankan aku?"

"Bukan gitu, Mas. Aku pikir, kan ... nggak ada salahnya manfaatin momen buat–"

"Kamu nggak tulus minta maaf itu, Ron. Dari tadi, kamu masih alasan ini itu. Nggak bener-bener ngerasa bersalah," potong Harold. Lelaki itu berusaha meredam emosinya agar mereka tidak terus berdebat kusir. "Pasti Bapak yang nyuruh, ya?" tuduhnya.

Ronald menggaruk dagu dan terlihat menghindari tatapan Harold. "Ibu yang nyuruh," katanya lirih.

"Jadi, kamu beneran nggak ngerasa yang kamu lakuin itu salah?" Harold berdecak, tidak berusaha menyembunyikan kekecewaannya.

"Ngerasa, kok. Cuma kupikir Mas Harry nggak masalah. Kemarin, juga akhirnya bikin klarifikasi membenarkan gosip itu, kan?" Ronald masih berusaha membela diri.

Harold membuang napas dengan kasar. Menghadapi orang seperti Ronald benar-benar melelahkan. Biasanya, dia akan memilih pergi dan mendiamkan sampai amarahnya reda. Namun, Harold teringat saran Mary untuk dapat lebih terbuka agar orang lain bisa memahami apa yang sedang dia rasakan.

"Kamu sama sekali nggak tanya gimana perasaanku. Nggak inisiatif minta maaf atau sekadar menghubungi lebih dulu. Aku tahu kita nggak dekat, Ron. Tapi, apa kamu cuma ngelihat aku as another tool to reach your goal instead of as your brother?"

"Bu-bukan gitu." Mulut Ronald beberapa kali membuka dan menutup, seperti hendak mengatakan sesuatu. Jakunnya naik turun pertanda bahwa pemuda itu beberapa kali menelan ludah.

"Aku tahu selama ini kamu biasa ngedapetin yang kamu mau. Tapi, sekarang, aku belum bisa maafin kamu sampai kamu benar-benar bisa nunjukin kalau kamu ngerasa bersalah." Harold mendengkus. Makin lama melihat wajah sang adik, makin buruk suasana hatinya. "Sekarang kamu bisa pulang. Aku mau istirahat."

"Ta-tapi, Mas." Wajah Ronald tampak memelas. "Mas Harry tetap bakal datang pas ulang tahun Bapak, kan?"

Ah, rupanya begitu. Sekarang, Harold tahu kenapa ibu tirinya menyuruh Ronald meminta maaf. Mereka khawatir dia tidak akan menghadiri perayaan ulang tahun Bapak. Kalau itu sampai terjadi, Bapak pasti akan bertanya-tanya dan Harold sangat mungkin akan memberi tahunya bahwa Ronald lah dalang dari keributan di internet itu.

"Aku akan pikirkan. Yang jelas, kalau kamu nggak cepat pergi, kemungkinan aku nggak datang bakal lebih besar." Harold setengah mengancam.

Akhirnya, Ronald berpamitan. Pemuda itu bahkan menutup pintu depan dengan sangat hati-hati, seakan takut Harold akan makin berang jika dia terlalu keras menutup pintu.

Dasar bocah! Mungkin benar kata Mary, sesekali Ronald perlu digeplak biar tahu rasa. Selama ini Harold bersikap terlalu lembek dan berusaha memaklumi perilaku Ronald. Rupanya, hal itu justru membuat Ronald jadi kurang menghargainya.

Harold mengeluarkan ponselnya dan kembali membaca pesan terakhir yang dikirimkan Mary. Padahal, dia sempat berencana mengajak Mary ke acara ulang tahun ayahnya. Namun, kalau gadis itu masih menghindarinya, Harold merasa perlu menunda rencana memperkenalkan Mary kepada keluarganya. Setidaknya sampai Harold dapat memastikan kelanjutan hubungan mereka.

=0=

Jadwal jaganya telah berakhir, tetapi Harold masih bertahan di rumah sakit. Dia masih malas pulang, sekalian juga menunggu Ario datang. Berdasarkan jadwal yang dipajang di ruang istirahat dokter, siang itu Ario ada jadwal operasi. Seharusnya sebentar lagi, sahabatnya itu tiba di rumah sakit.

Sambil menunggu Ario, Harold kembali membaca histori percakapannya bersama Mary.

Jika sebelum-sebelumnya Mary masih membalas pesannya. Sekarang, gadis itu kerap kali hanya membaca pesannya tanpa memberikan tanggapan apa-apa. Harold jadi tambah yakin bahwa Mary benar-benar sedang menjauhinya.

Aku salah apa? Harold bertanya-tanya. Coba dirunutnya pertemuan-pertemuan terakhir mereka.

Harold coba memutar pertemuan terakhir mereka. Waktu itu, Harold berkunjung ke kosan Mary. Apakah Mary kesal karena dirinya memaksakan kehendak mendatangi kamar kos Mary? Ataukah tersinggung karena Harold menganggap Mary tidak becus membersihkan pecahan lampu? Sepertinya, waktu itu Mary sempat membanting pintu.

Tapi, kalau kesal karena itu, harusnya dia nggak bakal mau ketemuan di kafe, kan?

Terakhir kali janjian bertemu, Mary tiba-tiba membatalkan janji. Waktu itu, Mary bilang ada kerjaan mendadak yang harus segera diselesaikan. Seingat Harold, sebelum itu, chat Mary masih ceria seperti biasa. Gadis itu malah terkesan bersemangat.

Makin dipikirkan, makin pusing kepala Harold. Dia benar-benar tidak tahu kenapa Mary tiba-tiba kesal kepadanya.

"Jangan ngelamun. Tar, kesambet, lho!" tegur Ario sambil menepuk bahu Harold dari belakang.

Harold tersentak. Dengan bersungut-sungut, dia mengumpat. "Kalau gue jantungan gimana?"

"Ya, tinggal dibawa ke stase jantung, lah."

Harold memutar bola mata. Ingin sekali dia kembali mengumpat, tetapi ada beberapa dokter koas baru memasuki ruangan. Harold tidak ingin memberikan contoh buruk kepada para juniornya.

"Muka lo suntuk banget, sih, dari kemarin-kemarin. Mary masih nggak mau diajak ketemu?" Tebakan Ario langsung mengenai sasaran.

"Menurut lo, gue salah apa, ya?"

"Ya, mana gue tahu. Tanya langsung, lah, sama anaknya." Ario malah ngegas. Anak-anak koas yang sedang bercengkerama di dekat mereka jadi pada menoleh penasaran.

"Jangan keras-keras kali, Yo," tegur Harold dengan suara mendesis.

"Sorry-sorry. Habisnya gue geregetan sama kalian berdua." Ario menurunkan volume suaranya.

Harold mendecakkan lidah. Kalau saja dia punya sahabat lain, mungkin sudah dia putuskan hubungannya dengan Ario.

Pikiran itu memang hanya sekadar candaan. Tidak mungkin dia memutuskan tali pertemanan dengan Ario yang walau sering membuat kesal tapi juga sering membantunya. Namun, Harold menjadi tersadar. Jangan-jangan, hal itulah yang tengah dilakukan Mary. Apakah Mary sengaja menghindarinya karena sudah ada pria lain yang mengisi hati gadis itu?

Wajah Hiro kembali terbayang di benak Harold. Ketika mereka bertemu di kantor Mary, Harold dapat menangkap aura permusuhan yang dikobarkan Hiro kepadanya. Bahkan saat Harold terakhir bertemu Mary, Hiro juga ada di sana meski mereka tidak bertemu muka. Lelaki berambut gondrong itu sempat berkunjung untuk mengantarkan makanan bagi Mary.

Tanpa sadar, Harold mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Dadanya terasa panas, seakan ada yang menyalakan api unggun di dalam sana. Harold cemburu. Masalahnya dia tahu, dia tidak punya hak untuk cemburu.

"Apa mungkin Mary sudah punya cowok terus cowoknya nggak suka dia temenan sama gue, ya?"

Harold sebenarnya tengah bermonolog di benaknya, tetapi ternyata pertanyaan itu ikut tercetus oleh bibirnya.

Mendengar gumaman Harold, Ario pun berkomentar, "Tanya langsung sama Mary, lah. Jangan seenaknya bikin asumsi sendiri."

Benar juga kata Ario. Harold berusaha menyisihkan kecurigaannya. Dia tidak boleh sembarangan menyimpulkan sebelum Mary sendiri yang memberi tahunya.

"Gue siap-siap operasi dulu." Ario menepuk pelan pundak Harold. "Jangan dibiarin berlarut-larut. Ntar jadi bisul, lho. Kalau Mary nggak mau diajak ketemu, lo samperin aja langsung."

Sepeninggal Ario, Harold segera mengirimkan pesan kepada Mary.

Harold Tanutama:

Mar. Masih di kantor atau dah di kos? 

Ketemu, yuk. Bentar jg gpp.


=0=




Ceritamela:

Cuap-cuapnya gabung ke bab selanjutnya ya.

Yes. Hari ini Love Shot double update.

Jangan lupa, cek lagi, tanda bintangnya sudah diklik belum... 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top