Advice 23: Jangan Sungkan Minta Tolong
"Terima kasih sudah menghadiri acara seminar ini. Sampai jumpa di lain kesempatan. Jangan lupa jaga kesehatan," pungkas Harold sambil menyajikan senyum andalannya.
Setelah menyalami para pembicara, Harold turun dari panggung. Beberapa perempuan muda menghampirinya dengan membawa ponsel masing-masing, meminta izin untuk foto bersama.
Selama beberapa hari terakhir, hal itu sudah menjadi makanan Harold sehari-hari. Sejak dia mengumumkan identitasnya di akun Mashtama, ada saja orang yang mengenali dan mengajaknya berfoto. Yah, hal itu juga membawa dampak baik, sih. Acara seminar yang diselenggarakan rumah sakit tempatnya bekerja jadi penuh. Mereka sampai harus membuka ruang daring bagi para pendaftar yang tidak kebagian kursi.
"Saya permisi dulu, ya." Harold menangkupkan kedua tangan di depan dada. Masih ada beberapa penggemar yang belum kebagian jatah berfoto, tetapi tidak mungkin juga dia turuti semua.
Begitu berhasil menyibak kerumunan, Harold langsung kabur ke ruang istirahat dokter yang hanya bisa dimasuki pegawai rumah sakit. Sesampai di sana, Harold langsung mengempaskan bokong di sofa buluk di sudut ruangan.
Ario yang sedang menyeduh kopi menyapa Harold dengan ledekan. "Ciyee ... yang jadi artis sekarang, nih, yeee."
Harold memutar bola mata. "Yang nyaranin gue ngaku siapa?" Lelaki itu mendengkus kesal.
Omelan Harold dibalas Ario dengan gelak tawa. Sambil mengaduk kopinya, pria tambun itu duduk di samping Harold dan berkata, "Sekarang tinggal satu lagi rahasia yang perlu lo akuin."
"Apaan? Gue nggak punya rahasia-rahasia lagi."
"Perasaan lo sama Mary."
Harold terdiam sejenak. Bukannya dia tidak mau mengungkapkan perasaan, hanya saja sinyal yang diberikan Mary sulit diterjemahkan. Kadang-kadang, dia cukup yakin Mary juga ada rasa terhadapnya. Namun, lebih seringnya, dia merasa Mary hanya menganggapnya sebagai teman.
"Belum nemu momen yang pas," kilah Harold.
"Ronald belum minta maaf sama lo?"
Mengobrol dengan Ario memang harus siap dengan perpindahan topik yang sangat cepat. Harold sudah terbiasa, bahkan sifat Ario ini agak menular kepadanya.
"Dia berapa kali telepon, tapi sengaja nggak gue angkat. Masih kesel gue."
"Lo ada jadwal jaga habis ini?" Ario kembali mengalihkan pembicaraan.
"Masih nanti malam."
"Anterin gue pulang, dong. Gue lagi nggak bawa mobil."
Mata sipit Harold memicing. Pria itu menipiskan bibir. "Naik ojol aja sana. Gue ada janji sama Mary."
Harold melompat berdiri. Tanpa menoleh kepada Ario, dia melambaikan tangan sebagai tanda berpamitan. Energinya cukup tersita karena harus menghadapi para penggemarnya secara langsung hari itu. Belum lagi, dia masih harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan rekan-rekan kerjanya. Sudah hampir seminggu, tetapi masih ada saja yang penasaran tentang pekerjaan sampingannya sebagai seorang pemengaruh.
Terus tersenyum sepanjang hari melelahkan juga. Hanya ada satu obat yang dapat meredakan rasa penat Harold: Mary. Karena itulah, Harold rela menghampiri Mary meski malam nanti harus kembali ke rumah sakit untuk bertugas di IGD.
=0=
Sehabis jumatan, Harold dan Mary janjian bertemu di sebuah kafe kekinian untuk nongkrong sekaligus pemotretan. Menurut Mary, karena Harold sudah mengungkap identitasnya, mereka bisa mencoba berbagai pose baru tanpa perlu menyembunyikan wajah Harold di balik masker.
Mary sudah lebih dulu tiba di sana dan memesankan secangkir espresso untuk Harold. Awalnya, Harold tidak menyadari ada yang aneh pada diri Mary, sampai dia melihat cara Mary memegang cangkir kopi yang tidak biasa. Telunjuk gadis itu mencuat, seperti sengaja menghindar agar ujungnya tidak menyentuh cangkir. Refleks yang umum dilakukan orang saat jarinya terluka.
"Kenapa lagi kamu?" Harold menarik tangan Mary untuk memastikan kecurigaannya.
Benar saja, ada goresan memanjang di ujung telunjuk Mary. Luka tersebut sudah tertutup darah kering, tetapi tetap saja terlihat mengkhawatirkan. Sepertinya cukup dalam. Refleks Harold mengangkat wajah dan melayangkan tatapan sinis untuk meminta penjelasan.
Mary menarik tangannya dan beralasan bahwa itu hanyalah luka kecil. Tadi pagi, dia berusaha mengganti lampu kamar dengan tongkat pengganti lampu, tetapi karena terlalu kuat memutar, lampu tersebut justru pecah. Jarinya terluka saat membersihkan pecahan lampu yang berserakan di lantai.
"Kenapa nggak minta bantuan bapak kosmu, sih?" Harold mulai mengomel. Dia masih tidak habis pikir kenapa Mary kerap mencari jalan keluar yang sulit untuk masalahnya.
"Kelamaan. Mending ganti sendiri. Ini namanya latihan berdikari. Gue, kan, hidup sendiri. Jadi harus bisa ngelakuin semuanya sendiri," kilah Mary sambil menyesap kembali kopinya.
Harold berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau gitu, hidup berdua aja sama aku."
Diberi kode sejelas ini masak Mary tidak sadar juga?
Celetukan Harold sepertinya sukses mengagetkan Mary. Gadis itu hampir tersedak kopi, lalu misuh-misuh menyalahkan Harold. "Lu ngapa aneh-aneh mulu sih ngomongnya?"
Harold tak mengindahkan omelan Mary. Dia masih kesal dengan kecerobohan Mary, padahal kalau meminta tolong orang lain, Mary tidak perlu terluka.
"Bahaya tahu. Kenapa kamu nggak minta tolong aku aja?" Harold masih lanjut mengomel.
"Biasanya juga bisa sendiri, kok."
"Biasanya ... biasanya. Kalau pecahan kacanya sampai kena mata kamu, bahaya. Kamu bisa minta bantuanku kapan aja, Mary. Selama aku lagi nggak jaga IGD, aku pasti datang bantuin."
"Lo ngedoain gue luka kena mata?" Mary mendelik.
"Ya nggak, lah. Jangan sampai." Harold ikut emosi. Lelaki itu memang sudah berjanji untuk tidak marah-marah kepada Mary, tetapi kalau urusan keselamatan, tidak bisa ditawar lagi. "Itu lukanya sudah diobatin?"
"Udah gue bersihin."
"Kapan-kapan bilang aku. Aku bantuin." Harold kembali menekankan.
"Iya, iya, maap. Lagian lu lebay, sih. Masih bisa kerja normal juga. Kalau gue lumpuh gara-gara benerin lampu, baru dah lu boleh ngomel."
Harold kembali menarik tangan Mary untuk mengecek luka. Sepertinya memang sudah dibersihkan dan tidak ada pecahan kaca yang tertinggal.
"Aish. Dibilang udah nggak papa juga!" Lagi-lagi, Mary buru-buru menarik tangannya.
Harold memelototi Mary. Omongan Mary barusan yang menyingung-nyinggung kelumpuhan makin membuatnya kesal. "Aku tahu mulut kamu memang nyablak. Tapi, jangan becanda hal begini."
"Minta tolong orang bukan berarti kamu lemah. Itu artinya kamu tahu kapasitas kamu."
"Ih, gue nggak maksud gitu. Amit-amit, lah!" Mary bersedekap. "Biasanya juga gue bisa lakuin hal-hal kayak gitu sendirian. Itu namanya mandiri, Harold. Lagian gue kemarin-kemarin minta tolong bapak kos gegara gue lembur, kagak dinotis tuh!"
Luka Mary memang terlihat baik-baik saja, tidak ada tanda-tanda infeksi, tetapi Harold masih belum lepas dari kekhawatiran. Pecahan lampu biasanya sangat tipis. Dia agak meragukan ketelitian Mary membersihkan serakan kaca di kamarnya. Apalagi berdasarkan penuturan Mary, lampu tersebut pecah saat masih di langit-langit. Pecahannya pasti tersebar ke mana-mana.
"Ya kamu bisa minta tolong aku. Itu pecahan kacanya sudah kamu vacuum belum?"
"Dah disapu. All good. Udah sih, kok, jadi lu yang ribet? Ini nggak mulai-mulai foto jadinya!"
Benar, kan, dugaannya. Harold dapat membayangkan gadis itu hanya menyapu pecahan kaca yang terlihat mata.
"Pecahan lampu gitu kan halus banget, Mar. Habis ini kita balik ke apartemenku buat ambil vacuum cleaner, terus kita vacuum kamar kamu buat mastiin ga ada pecahan kaca yang ketinggalan."
"Ribet, ih. Nggak usah, Harold. Aman beneran. Percaya sama gue!"
"Nggak," bantah Harold tegas. "Mana bisa aku percaya sama cewek yang hampir tiap hari kalau nggak kebaret, ya, kesandung. Sekarang aja, deh, kita balik. Aku sudah nggak mood foto gara-gara berantem sama kamu."
"Gusti nu agung ...." Mary mengesah. "Moody-an lu. Heran gue."
"Ya gara-gara siapa?"
"Lu sendiri yang ribet!" Meski bersungut-sungut, gadis itu tetap saja berdiri dan mengikuti kemauan Harold. "Lagian lebay. Gue nggak tiap hari kesandung, ye!"
Belum sempat Harold melontarkan sanggahan, Mary telah lebih dulu tersandung kaki meja dan membuktikan sendiri bahwa tuduhan Harold tidak mengada-ada. Untung saja refleks Harold cukup bagus. Lengan atletisnya dengan sigap menyambar tubuh Mary agar gadis itu tidak terjerembab ke lantai.
"Nggak tiap hari ya?" sindir Harold sambil melayangkan tatapan sinis.
"Kebetulan doang, ya Gusti." Mary masih berusaha mengelak. "Kayaknya gue cuma kenapa-kenapa tiap mau ketemu lu, dah. Orang biasanya gapapa-gapapa aja."
"Jadi sekarang gara-gara aku?"
"Aduh, nggak gitu. Dahlah. Jadinya gimana ini kita?" Bibir Mary mengerucut maksimal.
"Ya ayuk pulang. Aku mau pastiin sendiri kamar kamu sudah bersih. Lagian kamu itu meditnya kebangetan. Nggak semuanya harus kamu lakuin sendiri, Mar." Harold melanjutkan ceramahnya sementara mereka berjalan ke parkiran. "Kamu bisa aja suruh tukang ojek depan kos kamu, kasih aja duit sepuluh ribu dah seneng kali."
"Itu ngerepotin orang namanya!" Mary tampak tak terima. "Terus, gue nggak medit, ya. Itu namanya belajar mengatur kebutuhan dan pengeluaran!"
"Sok kere kamu," ledek Harold.
"Lu diem!"
"Lah. Bapak kamu lho orang terkaya nomor berapa itu di Indonesia. Kamu kok, ya, milih hidup susah kayak gini." Harold membukakan pintu mobil untuk Mary. Untung saja, sore itu Mary tidak membawa motor. Jadi, mereka bisa langsung pulang bersama.
"Itu uang Bapak. Bukan uang gue." Mary menatap Harold sinis. "Udah ah, nggak jadi kan fotonya? Gue pulang sendiri aja!"
Harold menghela napas panjang. Sepertinya, dia memang sedikit melewati batas. Buru-buru dia mengejar Mary.
"Bareng aja. Kan mau ambil vacum cleaner di apartemenku," bujuk Harold dengan tampang memelas.
"Ya Gusti. Nggak usah, Harold. Serius deh. Ini buktinya luka gue cuma di tangan, nggak di kaki. Lantai gue udah bersih!"
"Nggak. Aku masih nggak percaya. Kalau kamu masih ngeyel, aku laporin ibu kamu ini nanti." Karena Mary masih keras kepala, Harold terpaksa mengeluarkan jurus terakhirnya. Setelah bertemu dengan keluarga Mary, Harold sudah tahu siapa yang paling gadis itu segani.
"Oooh. Mainnya lapor-laporan sekarang?" Muka Mary kian ditekuk, tapi dia akhirnya setuju dengan saran Harold. "Ya udah, iya. Nggak percayaan amat sih. Awas lu kalau lapor-lapor!"
"Ya, biar ibu kamu tahu kalau bahaya banget biarin kamu tinggal sendiri di Jakarta. Biar sekalian ibu kamu nyuruh kita cepetan nikah biar ada yang ngawasin kamu tiap hari."
Candaan Harold langsung berbuah cubitan kecil di lengan. Lelaki itu sampai mengaduh cukup keras.
"Lambemu!" umpat Mary dengan muka merah padam. "Gombalin aja sono fansnya mashtama! Sama gue sih gak mempan!"
Seakan belum kapok, Harold masih lanjut menggoda Mary. Melihat Mary memberengut selalu berhasil memberikan kesenangan tersendiri baginya. "Yakin nggak mempan? Muka kamu sudah kayak udang rebus."
"DIEM!"
Pipi Mary makin merah. Itu pertanda baik, kan?
Mary terlihat sengaja membuat jarak, tetapi Harold tidak tinggal diam. Lelaki berlesung pipi itu makin sengaja memepet Mary.
Si mungil berusaha mendorong Harold menjauh, tetapi tentu saja usahanya itu sia-sia. Tenaganya kalah kuat.
"Iya-iya. Yuk dah cepat pulang, biar sempat bersih-bersih sebelum aku ke RS." Akhirnya, Harold menghentikan aksi isengnya. Ekspresi salah tingkah Mary memang menggemaskan, tetapi kalau dilanjutkan, Harold takut gadis itu benar-benar marah. Mereka baru saja berbaikan, jangan sampai bertengkar lagi. Nanti, dia tidak punya hiburan untuk melepaskan penat.
"Astaga. Mau ke rumah sakit? Ya, nggak usah nganter gue lah kalau gitu!"
"Masih jam delapan nanti, kok." Harold memeriksa jamnya. "Masih sempat mah bersih-bersih terus makan bentar. Nggak usah banyak alasan. Aku laporin ibu kamu beneran, nih."
"Males banget lu bawa-bawa Ibu." Mary memonyongkan bibir, tetapi tetap menurut saat Harold giring ke mobil.
=0=
Sudah benar keputusan Harold untuk tidak mempercayai Mary begitu saja. Saat membersihkan kamar Mary, dia menemukan pecahan kaca yang cukup besar di bawah tempat tidur dan meja belajar.
"Ini apa? Sudah disapu katanya," sindir Harold sembari menunjukkan pecahan beling di pengki.
Mary hanya bisa mencebikkan bibir di bawah bingkai pintu. Harold memang sengaja menyuruh Mary mengawasi melalui pintu kamar. Meski jendela dan pintu kamar dibuka lebar-lebar, tetap saja kurang elok rasanya kalau mereka berdua berada di kamar. Lagipula, Harold tidak suka diganggu jika sedang bersih-bersih. Yang ada malah tidak selesai-selesai nantinya.
Setelah memastikan tidak ada potongan kaca yang tertinggal, Harold mulai menyalakan vacuum cleaner yang dibawanya dari apartemen untuk menyedot serbuk kaca yang tertinggal di celah-celah ubin. Sepintas Harold mendengar Mary pamit ke depan. Katanya, ada teman yang mencari. Entah siapa. Suara Mary tenggelam di tengah dengungan mesin penyedot debu.
Kamar kos Mary tidak terlalu besar, juga tidak memiliki banyak perabotan. Tidak butuh waktu lama bagi Harold untuk membersihkannya. Dia bahkan sempat merapikan meja belajar Mary yang berantakan, sekadar menata buku dan kertas-kertas yang berserakan, tidak sampai memindahkan barang-barang.
Tidak punya kegiatan lain, Harold pun menuntaskan rasa penasarannya dengan mengintip ke depan. Mary terlihat berbicara dengan seseorang. Dari suaranya, sepertinya laki-laki. Akan tetapi, Harold tidak dapat melihat sosok lawan bicara Mary karena terhalang tiang.
Samar-samar Harold mendengar Mary mengucap terima kasih. Pria jangkung itu buru-buru menyingkir dari dekat jendela.
"Aw." Harold mengaduh saat jempol kakinya kepentok kaki kursi, tetapi buru-buru bersikap biasa saat Mary muncul dari balik pintu.
"Lihat, sudah bersih, kan?" Harold memamerkan hasil kerjanya. Berusaha dia abaikan jempol kakinya yang nyut-nyutan.
Mary masuk ke kamar dengan membawa sebuah bungkusan plastik. Hal itu jelas memancing rasa ingin tahu Harold. Kalau dari hasil mengupingnya tadi, tampaknya lelaki yang menemui bukan kurir atau tukang ojek daring.
"Memangnya yang tadi siapa, Mar?" tanya Harold sembari menggulung kabel vacuum cleaner. Sebenarnya, dia ingin bersikap biasa saja, tetapi tanpa bisa dicegah, nada bicaranya jadi terdengar sinis.
"Redaktur gue. Lu kan pernah ketemu sama dia." Mary meletakkan kantong plastik yang dibawanya ke atas meja belajar.
Harold mengernyit, berusaha mengingat-ingat. Sosok laki-laki berkulit sawo matang yang pernah dia temui di kantor Mary langsung membayang. Api cemburu pun tersulut di dada Harold. Dia masih ingat betapa akrabnya Mary dengan laki-laki beraura bad boy itu.
"Ooh. Baru tahu aku, mastiin anak buah makan tepat waktu sampai anterin makanan ke kosan termasuk job desk redaktur." Lagi-lagi Harold tidak bisa mengendalikan nada bicaranya. Kalimatnya barusan terdengar sangat ketus di telinga yang mendengar.
"Kemarin habis ada sesuatu, jadi ya ... gitu deh." Mary meringis. "Sori, kayaknya gue nggak jadi makan bareng, deh. Gue nggak ngira Mas Hiro bawain makanan gini."
"Simpen aja di kulkas. Atau kasihin ke teman kos kamu."
"Nggak enak, lah. Nggak bisa diangetin lagi. Anak-anak kos juga pada belum balik." Mary menggigit bibir. "Maaf, ya ...."
"Spesial banget ya kayaknya Mas Hiro ini." Muka Harold merengut. Gerakannya sedikit kasar saat dia membereskan barang-barangnya. "Kalau gitu aku langsung pulang aja, deh."
Harold ngambek, seperti anak kecil yang mainannya direbut. Padahal belum sampai sejam lalu dia cukup yakin Mary juga menyukainya. Kenapa sekarang perasaan rendah diri kembali menyerangnya?
"Ya namanya pemberian orang harus diterima, Rold." Mary mendengkus. Tampaknya, gadis itu ikut terpancing emosinya. "Nggak jadi fotonya?"
"Nggak jadi. Aku ada janji lain habis ini," kata Harol mencari alasan. Tentu saja dia berbohong. Sore itu, dia sudah mengosongkan jadwal khusus untuk Mary.
Saking terburu-burunya, Harold tidak sadar bahwa ponselnya masih tertinggal di kamar Mary. Tadi, dia memang numpang mengecas ponsel di sana. Sebelum Harold masuk ke mobil, Mary mengejar dan memanggil namanya.
"Hape lu ketinggalan." Mary menyerahkan ponsel Harold dengan ekspresi datar. "Udah ditungguin, tuh. Bilang dong kalau ada janji lain. Lu kan nggak usah repot-repot ke sini jadinya."
"Ditungguin siapa?" Harold mengernyit. Janji yang disebutnya tadi cuma alasan yang dia karang-karang saja.
Harold mengecek ponsel. Ternyata Abigail baru saja mengirimkan pesan, mengajaknya bertemu sebelum jadwal shift malam.
"Oh," gumam Harold. Lelaki itu tidak menyangka dusta karangannya benar menjadi kenyataan. Baguslah, jadi Mary tidak perlu tahu bahwa dia sengaja mengarang alasan karena cemburu pada Hiro.
"Selamat bersenang-senang," ucap Mary sebelum kembali menghilang ke dalam rumah kosnya.
Entah perasaan Harold saja atau memang Mary baru saja membanting pintu kamar keras-keras?
=0=0=0=0=0
Ceritamela:
Halo, semua. Semoga kalian sehat terus, ya.
Saya berapa hari terakhir masih batuk-batuk. Tapi, alhamdulillah udah nggak demam dan pilek.
Untungnya part ini sudah saya draft sejak sebelum sakit, jadi masih bisa update ontime.
Selain itu, saya lagi ngebut ngejar target nulis buat event di platform sebelah. Mohon maaf kalau belum sempat bertegur sapa membalas komentar. Tapi, setiap vote dan komentar yang masuk benar-benar jadi moodbooster buat saya. Makasih, yaaaa ...
Jangan lupa mampir ke tempat izaddina buat menyimak kebaperan Mary.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top