Advice 22: Curhat aja, Nggak Apa-Apa.
Abigail Sanggabuana:
You do you! Tergantung Mas maunya gimana, sih.
Ini bukan rumor jelek, jadi Mas ga ada kewajiban klarifikasi.
Tungguin aja sampai netizen bosen sendiri.
Sebenarnya Harold tidak berniat curhat kepada Abigail. Kebetulan saja gadis itu yang menghubungi lebih dulu untuk mengonfirmasi apakah dia dan Mashtama benarlah orang yang sama. Berhubung Abigail juga influencer, Harold rasa tidak ada salahnya meminta saran.
Harold setuju dengan saran Abigail, tetapi ada hal lain yang membuatnya bimbang. Jika tidak segera dibereskan, takutnya masalah ini mengemuka lagi di masa depan. Namun, hal itu bisa dia pikirkan nanti. Ada satu orang lagi yang perlu dia mintai pendapat: Mary. Dia juga perlu meminta maaf kepada Mary atas sikapnya yang keterlaluan kemarin.
Setelah mengakhiri obrolan dengan Abigail, Harold segera mengetik nama Mary. Awalnya, dia ingin menelepon Mary langsung. Namun, Harold mengurungkan niatnya karena tidak ingin mengganggu waktu istirahat Mary. Mengirim pesan melalui Whatsapp lebih aman karena bisa dibalas kapan saja Mary senggang.
Harold Tanutama:
Mar. Sorry for yesterday. Kamu ada waktu ga hari ini?
Boleh ga aku jelasin alasan aku kemarin badmood?
Ternyata Mary sedang online. Jantung Harold berdebar kencang. Pesannya sudah terbaca, tetapi tidak ada tanda-tanda Mary sedang mengetik balasan. Bagaimana kalau Mary masih kesal dan tidak mau bicara dengannya?
Mary Angelica Mulyabakti:
Udah nggak bete?
Ketika akhirnya Mary membalas pesannya, Harold sontak tersenyum lega. Jemarinya langsung cepat-cepat mengetik balasan.
Harold Tanutama:
Masih. Makanya aku pingin ketemu kamu.
Saat membaca ulang pesan yang dia kirimkan, wajah Harold terasa panas. Kalimatnya terdengar seperti gombalan murahan, padahal dia sedang berusaha mencari cara untuk meyakinkan Mary bahwa dirinya bukan lelaki buaya yang suka tebar pesona. Karena itulah, mumpung Mary belum sempat membaca, Harold segera menghapus pesan tersebut dan mengetik ulang.
Harold Tanutama:
Masih. Makanya aku butuh temen ngobrol.
Mary Angelica Mulyabakti:
Oke. Mau ngobrol di mana lu?
Harold Tanutama:
I don't know. Any ideas?
Lagi-lagi Harold dibuat deg-degan karena Mary tak kunjung membalas pesannya. Semoga saja gadis itu tidak berubah pikiran. Harold tidak akan bisa tidur tenang jika belum meminta maaf secara langsung kepada Mary.
Untung saja penantian Harold tidak terlalu lama. Mary menyarankan untuk jalan-jalan di sekitar Blok M dengan syarat mereka berangkat dengan naik MRT.
Harold memang sempat melihat komentar orang-orang tentang betapa nyamannya moda transportasi umum yang satu itu, tetapi lelaki itu masih ragu. Naik mobil di belantara jalanan Jakarta memang sangat rawan terjebak macet, tetapi setidaknya duduk di mobil sendiri terasa lebih nyaman daripada berdesakan di transportasi umum.
Harold Tanutama:
MRT, ya?
Emang Minggu gini ga rame?
Mary Angelica Mulyabakti:
Jangan dibayangin kayak KRL, Rold.
Amaaan, kok
Daripada Mary berubah pikiran, Harold langsung menyetujui usulan tersebut. Lagipula, sepanjang bersama Mary, harusnya dia akan baik-baik saja. Kecil-kecil begitu, Mary jauh lebih tangguh darinya. Harold pun menanyakan jam berapa Mary punya waktu lowong untuk bertemu dengannya.
Mary Angelica Mulyabakti:
Jam berapa pun, kalau sama lu gue jabanin kok~
Harold tertegun. Apa maksud Mary berkata seperti itu? Apakah ...
Mary Angelica Mulyabakti:
Bercanda.
Tapi gue lagi kosong seharian, jadi kapan aja bisa
Lu bisanya kapan?
Rasa kecewa mengusir kupu-kupu yang sempat beterbangan di perut Harold. Padahal, kalau benar Mary bersedia meluangkan waktu kapan saja untuknya, Harold akan lebih percaya diri untuk mengungkapkan perasaannya. Kekecewaan yang dia rasakan begitu pekat, hingga Harold mengutarakannya dalam untaian pesan berikutnya.
Harold Tanutama:
Padahal aku sudah telanjur GR 😔
Sejam lagi bisa ga?
Mary tidak menanggapi pengakuan Harold barusan. Gadis itu justru lebih fokus mengingatkan Harold agar tidak lupa membawa uang elektronik. Harold berusaha menyimpan kembali rasa kecewanya rapat-rapat. Sepertinya jalannya untuk mendapatkan hati Mary masih panjang. Namun sekarang, yang terpenting adalah memastikan gadis itu tidak salah paham akan sikapnya kemarin.
=0=
Setelah turun dari MRT, Mary mengajak Harold berjalan kaki menuju Taman Literasi. Harold mengintil saja ke mana Mary pergi. Daerah ini bukan daerah mainnya, Mary lebih tahu tempat-tempat yang asyik dikunjungi.
"Hari ini kamu beneran lagi nggak ada kerjaan yang harus dikebut, kan, Mar?" Harold teringat percakapan Mary dengan bosnya kemarin.
"Dibilang, kemarin itu si Nopal yang belum. Gue mah rajin." Mary tiba-tiba terkikik dan mengomentari pakaian Harold yang seperti seragam pramuka.
Hari itu, Harold memang mengenakan oversized t-shirt berwarna putih dengan celana bahan berwarna cokelat tua. Setelah dia pikir-pikir lagi, perkataan Mary ada benarnya juga. Namun, tentu saja Harold tidak akan mengakuinya secara terang-terangan.
"Maksud kamu apa? Nggak ngaca apa, kamu yang lebih mirip bocil." Harold balas meledek. Dalam balutan kemeja kedodoran dan jumpsuit krem yang dikenakannya, Mary memang terlihat makin imut. Kalau Mary mengaku masih bocah SMP, rasanya orang akan percaya.
Mary mengeluarkan ponsel dan berkaca menggunakan kamera depan. "Udah nih, ngaca. Cantik." Gadis itu tersenyum bangga. "Nggak apa-apa kali. Masih kelihatan kayak anak sekolahan artinya awet muda."
"Iya. Cantik," gumam Harold sembari mengulum senyum. Suasana hatinya jadi jauh lebih baik saat melihat tingkat Mary yang menggemaskan.
"Ha?" Mary melongo. Entah apakah gadis itu hanya pura-pura atau memang tidak mendengar ucapan Harold barusan.
"Nggak. Nggak apa-apa." Harold tersenyum penuh arti, lantas beralih memperhatikan area hijau di sekelilingnya. Tanpa terasa, mereka telah sampai di Taman Literasi.
"Mau duduk di mana?" lanjut Harold.
Telunjuk Mary terarah pada kolam besar yang ada di taman tersebut. Harold lantas membuntuti Mary ke tempat yang tempat yang cukup teduh. Mereka duduk di undak-undak yang mengelilingi kolam. Selama beberapa saat, tidak ada yang bicara. Harold sendiri bingung harus mulai dari mana.
"Masih bete?" Untungnya Mary inisiatif bertanya. Kalau tidak, bisa-bisa mereka diam-diaman sampai sore dan niat Harold untuk bercerita gagal terlaksana.
"Nggak terlalu. Berkat kamu," jawab Harold. Entah apa yang membuatnya lebih berdebar. Posisi duduk mereka yang terlampau dekat, tatapan Mary yang begitu intens, atau rencananya untuk menunjukkan kepada Mary sisi dirinya yang tidak terlalu dia banggakan.
"Apaan. Kemarin ada gue juga lu bete gitu." Mary memberengut.
"Ya, kemarin lagi bete-betenya." Harold beralasan."Aku baru tahu kalau ada yang spill identitasku sebagai Mashtama."
"Haa? Gimana?"
"Kamu main twitter ga?"
"Main. Tapi lagi nggak sempet buka. Gue cuma ngecekin trending." Mary mengulik ponselnya, lalu menunjukkan layar ponselnya kepada Harold. "Nih, lihat. Trending-nya kagak ada yang ngarah ke Mashtama atau Harold."
"Ya nggak sampai trending juga kali. Aku bukan artis." Harold mendengkus. Namun, buru-buru dia menarik napas dalam-dalam. Tidak boleh emosi! Dia bukan sedang cari ribut dengan Mary, melainkan ingin meminta saran gadis itu.
"Coba kamu search mashtama183," sambung Harold dengan intonasi lebih tenang.
"Ya maap. Kali aja, kan." Mary kembali sibuk dengan ponselnya. Tampaknya gadis itu menemukan postingan yang Harold maksud karena tak lama kemudian kedua mata almond Mary membelalak lebar. "Ih, gila. Ada masalah apa sih dia? Kenapa tiba-tiba dia main spill gini, dah?"
"Aku bisa nebak, sih, siapa yang spill."
Mary mengangkat alis. "Siapa?"
"Akun itu baru dibuat tahun lalu. Coba lihat followingnya." Harold mengedikkan dagu ke arah ponsel di tangan Mary.
Menuruti perintah Harold, Mary kembali sibuk menggulir layar ponselnya. Perlu beberapa waktu bagi gadis itu untuk menemukan sosok yang Harold maksud.
"Adek lu?"
"Tempo hari si Ronald emang sempat propose aku bantu Bapak kampanye lewat akun Mashtama." Harold menghela napas panjang. Membayangkan wajah sok sang adik membuat amarahnya terbit lagi. "Aku sudah pernah bilang kan kalau Ronald nyebelin?"
Mary mengangguk sebagai jawaban.
"Makanya kemarin aku badmood. Pas aku konfirmasi ke Ronald, bukannya ngelak, dia malah kirim emotikon ketawa." Harold menatap Mary penuh rasa bersalah. "Tapi, aku juga salah. Harusnya aku nggak melampiaskan kekesalanku sama kamu. I'm so sorry for that."
"Lah, nyebelin. Kurang ajar, lho, itu. Lu nggak kepikiran buat geplak dia sekali-kali? Kalau nggak tega, biar gue aja, dah!"
Emosi Mary yang meluap-luap menjadi hiburan sendiri bagi Harold. Rasa kesal yang dua hari terakhir bercokol di hatinya perlahan memudar. Harusnya kemarin dia langsung saja curhat kepada Mary, bukannya marah-marah lalu mogok bicara.
Harold mempertimbangkan usulan Mary. Tampaknya seru juga jika Mary mewakili dirinya melabrak Ronald, tapi tentu saja itu tidak mungkin dilakukan. Dia tidak ingin citra Mary jadi tercoreng di hadapan keluarganya.
"Aku harap suatu saat kalian ketemu, sih," ujar Harold. "Tapi, nggak sekarang. Aku yang lagi malas ketemu dia."
Lelaki bertubuh atletis itu kemudian mengalihkan pembicaraan dan bertanya tentang kedekatan Mary dengan Isabel.
"Deket bangeet. Daripada kakak-adik, kami lebih kayak partner in crime, kalau kata Ibu." Wajah Mary tampak bercahaya saat sedang membahas keluarganya. "Walaupun kami kuliah di tempat berbeda, kalau ada apa-apa juga gue ngadunya tetep ke dia."
"I envy you." Harold tersenyum getir. Andai dia dan Ronald bisa sedekat itu, tapi salahnya juga, sih, yang membuat jarak dengan keluarga. Selama ini, dia terlalu sibuk dalam dunianya sendiri dan tidak pernah berusaha dekat dengan sang adik.
"Ngapain iri?" Mary tersenyum lebar. "Kami juga banyak tengkarnya kali. Sebelum dia nikah aja kami sempet hampir gelut!"
"Gelut kenapa?"
"Kepo lu," sergah Mary sambil memalingkan muka.
Karena melihat muka Mary yang memerah, Harold jadi makin penasaran. "Kalian juga sering curhat-curhatan masalah cowok?"
"Mbak Bel yang sering. Mas Satya gini, Mas Satya gitu." Mary tergelak. "Jadi perantara pas mereka lagi musuhan juga pernah. Heran gue juga."
"Kalau kamu sendiri? Sering curhat juga sama Isabel?"
Wajah Mary kian merona. Gadis itu lagi-lagi menoleh ke arah lain. "Rahasia."
Tatapan Harold tak bergeser sedikit pun dari Mary. Diamatinya gadis pujaannya itu. Mungkinkah Mary pernah membahas tentang dirinya dengan Isabel?
Jangan kegeeran, Rold! Harold menegur diri sendiri.
"Sayang kemarin aku nggak sempat ngobrol lama bareng Isabel. Padahal seru kayaknya ngobrolin aib percintaanmu bareng Isabel."
Candaan Harold barusan langsung dibalas dengan tinjuan pelan di pundak.
"Heh, maksud lu apa?" tanya Mary.
"Ya, kan, kamu dah ngorek-ngorek aibku dari Ario. Boleh dong aku ngelakuin hal yang sama?"
"Mana bisa gitu?" Mary memasang tampang jutek. "Untung Mbak Bel sama Acha nggak di Jakarta semua!"
Harold menahan tawa. Dia hampir sepenuhnya lupa pada masalah yang menimpanya. "Oh, iya. Bisa tanya ke Acha juga, ya"
"Yah, gue malah ngasih ide tambahan." Mary menepuk dahi. "Nggak, nggak boleh! Lagian gue mah gini-gini aja orangnya, apa yang mau dikorek coba?"
Tentu saja banyak hal yang ingin Harold ketahui tentang Mary. Salah satunya ...
"Aku penasaran apa ada cowok yang lagi kamu suka sekarang."
"Terus lu mau ngapain kalau udah tau?" sindir Mary. "Lu sendiri gimana? Ada?"
Harold menatap kolam di depannya. Pandangannya menerawang jauh. Bibirnya tanpa sadar tersenyum.
"Ada," jawab lelaki itu singkat.
"Wih. Gue kenal nggak tuh sama orangnya?"
Harold mengangkat bahu. "Terus kamu mau ngapain kalau kenal?"
"Ih, lu mah!" Mary mengerucutkan bibir.
Harold tersenyum penuh arti. Seiring suasana hatinya yang membaik, pikirannya juga menjadi makin jernih. Dia kembali ke mode serius.
"Balik lagi ke masalah tadi. Baiknya aku apain, ya, akun Mashtama?" tanya Harold. "Kenalanku yang sama-sama influencer sih bilang, aku nggak ada kewajiban klarifikasi, tapi mengingat ini Ronald, kayaknya dia ga bakal nyerah sebelum dapat yang dia mau."
"Batu, ya, anaknya? Dia pengennya lu ikutan kampanye?"
"Iya. Dia baru gabung partai dan ini pertama kalinya terjun langsung jadi timses Bapak. Kupikir pas Bapak bilang nggak perlu ngajakin aku kampanye dia bakal berhenti ganggu. Ternyata tetap cari masalah tuh anak."
"Lu bisa bilang kalau nggak ada afiliasi ke partai atau calon mana pun, sih. Tapi itu sama aja ngakuin kalau Mashtama dan Harold orang yang sama. At least di mata netijen. Pertanyaannya, lu nggak papa?"
Harold berpikir sejenak. Setelah curhat dengan Ario semalam, dia sudah mempertimbangkan baik-baik pilihannya. Seperti kata sahabatnya itu, cepat atau lambat identitasnya akan terbongkar. Sebenarnya, tidak masalah juga kalau orang-orang tahu siapa dirinya, hanya saja dia belum membayangkan apa yang terjadi selanjutnya.
"Aku nggak tahu. Itu hal yang belum pernah aku bayangin sebelumnya," tutur Harold. "Tapi, biarin netizen berspekulasi juga bisa kasih bahan buat mereka terus ngomongin Bapak nggak, sih? Aku agak nggak rela juga Ronald manfaatin hal ini."
"Ya udah. Coba bikin pro dan kontranya. Konsekuensi yang paling bisa lu handle, lu ambil." Mary menjengkitkan bahu. "Kalau gue sih, udah terlanjur, sekalian tantangin bae orang-orang. Tapi, kan, itu gue, bukan lu."
Harold terdiam. Pikirannya berkelana makin jauh Jika kelak, dia menikah dengan Mary dan ada netizen iseng yang mengungkit-ungkit masalah ini, bukankah Mary juga yang akan kena imbasnya? Apalagi para pengikutnya tahu kalau selama ini dia sering bekerja sama dengan Mary.
"Kalau aku biarin masalah ini reda sendiri, bakal jadi bom waktu nggak sih? Misal nanti aku mau nikah, dan ada netizen kelewat kurang kerjaan yang angkat lagi isu ini. Calon istriku bakal kebawa-bawa nggak ya? Apa mending aku clear-in aja sekarang, ya?"
"Ya nggak tau. Tanya calonnya langsung, lah, dia masalah apa nggak sama itu?" Entah kenapa Mary justru menggerutu. "Punya calon istri lu emangnya?"
"Kan, tadi aku dah bilang. Ada cewek yang lagi aku suka. Kata kamu di umur segini, bukan waktunya lagi main-main. Ya, aku positive thinking dia bakal jadi calon istriku, dong," jelas Harold sambil menatap Mary intens.
Gadis itu lagi-lagi menghindari tatapan Harold. "Tapi kata gue mah clear-in sekarang aja mumpung belum segede itu. Iya kalau cuma calon istri yang kena, masih bisa kabur dia. Karir lu gimana? Keluarga ke depannya?"
"Hmm. Gitu ya?" Harold jadi senyum-senyum sendiri saat membayangkan menikah dengan Mary. "Kalau lihat background keluarganya, sih, kayaknya nggak mungkin nyembunyiin pernikahan kami kalau kami jadi nikah."
"Ya udah. Ngaku aja, sih. Jangan lupa konfirmasi kalau lu nggak ada hubungan politik. Suruh Pak Lukito ikutan ngomong juga kalau perlu." Mary mengusulkan. "Perlu PR team buat nyusun kata-kata, nggak?"
"Hmm. Kalau ada yang bantuin kayaknya bakal lebih baik, sih." Harold mengusap dagu.
"Hire tim gih, nanti gue daftar." Mary tersenyum kecil. "Bercanda. Tapi gue bisa bantu kalau emang lu beneran butuh."
"Mahal nggak tarifnya? Aku kayaknya perlu hold terima endorse dulu nih selama beberapa waktu. Biar nggak dianggap aji mumpung."
"Gue semata duitan itukah di mata lu?" protes Mary sembari memukul lengan Harold. "Namanya bantu, ya, nggak dibayar, lah, Bambang!"
Bukannya menjawab Mary, Harold justru bangkit berdiri. Diulurkannya tangan kepada Mary. Perutnya sudah mulai keroncongan. "Makan, yuk."
Mary menepuk telapak tangan Harold keras-keras. "Sebel gue," keluhnya.
Meskipun tampak kesal, Mary menyetujui usulan Harold. Mereka berjalan kaki meninggalkan taman.
"Calon istri lu dari keluarga berpengaruh, ya?" celetuk Mary tiba-tiba.
Harold hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Semogaaa dia beneran mau nikah sama aku," gumamnya penuh harap.
"Pengaruh keluarganya gede banget, ya?" Mary lanjut bertanya. "Sering masuk berita?"
Harold menatap Mary. Masak,sih, Mary tidak sadar bahwa gadis yang sedang dia bicarakan itu dirinya?
"Bapaknya pengusaha yang cukup berpengaruh di Indonesia. Bahkan, bapakku aja segan sama beliau." Harold memberikan petunjuk tambahan.
"Oh ...," ucap Mary lirih.
Mary tampak tidak tertarik lagi membahas gadis yang disukai Harold. Tampaknya Mary tak terlalu memedulikan hal itu. Harold jadi kecil hati. Kalau Mary ada rasa juga kepadanya, bukankah gadis itu akan terus mencecar untuk mencari tahu? Apakah selama ini Harold hanya kegeeran?
=================
Ceritamela:
Untung aja part ini kelar saya tulis sebelum kena flu. Kemarin sempat demam dan kerjaannya cuma rebahan di atas kasur seharian.
Kalian jaga kesehatan ya, jangan lupa minum air putih.
Kalian dah mulai bosan ga? Sabar ya, ini dah mulai masuk ke konflik utama, kok.
Biar ga bosan, coba deh baca dari PoV Mary juga di tempat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top