Baru awal tahun, tapi Harold sudah sibuk. Rumah sakit tempatnya bekerja sedang mengadakan rangkaian acara untuk merayakan ulang tahun kesepuluh. Harold didaulat untuk menjadi moderator dalam beberapa acara seminar kesehatan yang akan diselenggarakan akhir Januari nanti. Belum lagi, dia juga diminta bantuan untuk menjadi model dalam konten promosi rumah sakit.
Sebagai orang yang tidak bisa bilang tidak, dia pun menerima tugas itu meski itu artinya jadwalnya makin padat dengan berbagai persiapan acara. Dia perlu mengemas jadwalnya sedemikian rupa agar masih bisa menyelipkan agenda kencan bersama Mary, apalagi jadwal gadis itu pun tak kalah padat saat menjelang pemilu seperti sekarang.
Setelah beberapa kali penjadwalan ulang, mereka akhirnya sepakat untuk jalan-jalan di Pantai Indah Kapuk pada hari Sabtu, mumpung Mary hanya perlu bekerja setengah hari. Harold malas kembali ke apartemen, takutnya kalau telanjur lihat kasurnya yang empuk dia malah tergoda untuk tidur. Jadi, begitu rapat persiapan seminar selesai, dia langsung menyetir menuju kantor Mary.
Karena pernah ke sana, Harold sudah hafal jalan. Dia sampai lebih cepat dari perkiraan. Seharusnya sebentar lagi sudah jadwal Mary pulang, tetapi gadis itu belum juga membalas pesan. Akhirnya, Harold berinisiatif untuk bertanya kepada satpam.
"Mbak Mary yang kecil itu?" Si satpam justru balik bertanya sambil memosisikan tangannya untuk menggambarkan tinggi badan Mary yang tak seberapa. Ketika melihat Harold mengangguk, pria berkumis tebal itu lanjut bicara. "Saya, sih, belum lihat Mbak Mary lewat sini. Kemungkinan masih ada di dalam."
Tiba-tiba, satpam itu menunjuk ke arah tangga. Mengikuti arah telunjuk si satpam, Harold melihat seorang lelaki berambut cepak menuruni tangga dengan terburu-buru.
"Itu temannya Mbak Mary, coba tanya aja sama dia, Mas." Si satpam menyarankan.
Harold menuruti saran tersebut dan menghampiri lelaki berbadan ceking itu.
"Permisi, Mas." Harold memasang senyum profesionalnya. "Mary-nya masih ada di dalam nggak, ya?"
Yang diajak bicara mengerutkan kening. Tatapan matanya tampak mengintimidasi. "Mas ini siapa? Ada perlu apa sama Mary?"
Harold memahami kecurigaan yang diarahkan kepadanya. Jika berada di posisi lelaki itu, mungkin dia juga akan melakukan hal yang sama.
Masih mempertahankan senyumannya, Harold memperkenalkan diri, "Saya Harold, temannya Mary. Sudah janjian sama Mary kemarin, tapi Mary belum balas WA saya."
Raut wajah lelaki cepak itu berubah ramah. "Oh, oke, Mas. Bentar, yak, gue panggilin dulu bocahnya."
Belum sempat Harold mengucapkan terima kasih, lelaki itu keburu naik lagi ke lantai dua. Untuk mengisi waktu, Harold memeriksa ponsel. Dia masih belum menyalakan notifikasi Instagram sejak minggu lalu. Kebetulan dia memang belum menerima endorse lagi, jadi tidak ada kewajiban khusus untuk aktif berinteraksi dengan para pengikutnya.
Biasanya, hati Harold selalu dipenuhi letupan kebahagiaan setiap kali dia akan bertemu dengan Mary. Bibirnya tidak bisa berhenti tersenyum dan rasa penatnya akan menguap. Kehadiran Mary selalu membuat hari Harold menjadi berkali lipat lebih cerah. Dengan suasana hati sebaik itu, sangat jarang Harold merasakan emosi negatif.
Sore itu, untuk pertama kalinya, kehadiran Mary tidak mampu mengusir amarah yang tiba-tiba merangsek masuk ke dalam hati Harold. Instagramnya penuh dengan notifikasi, beberapa orang mengirimkan pesan berisi tautan sebuah utas Twitter yang membongkar identitasnya sebagai sosok di balik Mashtama.
Di unggahan paling atas, foto Harold saat acara makan malam bersama keluarganya dan keluarga Sanggabuana disandingkan dengan beberapa foto yang dia unggah di akun Mashtama. Akun itu membandingkan fitur-fitur wajah yang tak tertutup masker pada kedua foto. Makin ke bawah, makin banyak bukti yang disajikan, mulai dari almamater sekolahnya, pekerjaannya, hingga tempat-tempat yang dia kunjungi selama beberapa bulan terakhir.
Amarah Harold kian membesar ketika dia menemukan akun yang pertama kali membocorkan namanya. Dari nama orang-orang yang diikuti akun tersebut, Harold bisa langsung menebak untuk apa akun itu dibuat.
Harold tak pernah mempermasalahkan cara Ronald berusaha mengenalkan ayah mereka kepada para konstituen muda melalui media sosial. Banyak politikus yang menggunakan cara yang sama. Hanya saja, kenapa harus menyeret-nyeret dirinya? Padahal, tempo hari Harold sudah dengan tegas menolak ikut campur dalam program kampanye ayah mereka. Sang ayah pun sudah menyuruh Ronald berhenti merecokinya tentang masalah itu.
"Hei, Harold."
Sapaan Mary membuat Harold mengangkat wajah. Lelaki itu buru-buru menyimpan kembali ponselnya ke saku.
Mary tidak datang sendiri. Ada seorang lelaki mengintil di belakangnya. Mereka terdengar sedang membahas pekerjaan.
"Kamu masih ada kerjaan, Mar?" Harold menyela percakapan mereka.
"Harusnya udah kelar semua, dah ...," timpal Mary. Gadis itu kemudian memperkenalkan Harold dengan lelaki di belakangnya.
"Oh, iya. Harold, ini Mas Hiro, redaktur gue. Mas Hiro, ini Harold, temen gue."
"Senang berkenalan dengan Anda." Harold memaksakan diri tersenyum.
Lelaki bernama Hiro itu balas menjabat tangan Harold dan mengucapkan hal yang serupa.
Kulit sawo matang dan rambut gondrong yang digelung ke belakang milik Hiro membuat Harold teringat pada seorang travel influencer yang pernah bekerja sama dengannya. Harold kenal orang-orang seperti Hiro. Menyukai tantangan, mencintai kebebasan, dan tidak peduli omongan orang. Setipe dengan Ronald. Ah, hati Harold kembali panas. Apalagi saat dia melihat begitu akrabnya interaksi Mary dengan Hiro.
Bisa, ya, seakrab itu dengan atasan? Jujur saja, Harold cemburu. Namun, yang lebih membuatnya kesal, dia tahu bahwa dirinya tidak berhak untuk cemburu.
Hiro meminta Mary menghubungi seseorang bernama Nauval yang sepertinya adalah rekan kerja Mary. Setelah memberikan perintah, Hiro pergi begitu saja. Lelaki itu bahkan terlihat sengaja mengabaikan Harold yang juga berdiri di sana.
"Kamu mau nge-chat temenmu dulu? Aku nggak apa-apa nunggu, kok," usul Harold kepada Mary.
Gadis itu menggeleng. "Gampang, lah, itu. Di jalan juga bisa."
Harold mengesah. Seharusnya hari itu dia bersenang-senang dengan Mary, tetapi hatinya sedang tidak bisa diajak kompromi. Meski dia masih mematikan notifikasi media sosial, Harold seperti dapat merasakan ponselnya bergetar. Dia harus berusaha sekuat tenaga untuk meredam rasa penasaran yang menggelegak di hatinya agar tidak mengecek apa saja yang dibicarakan warganet tentang dirinya.
=0=
Suasana hati Harold tak kunjung membaik meski Mary tengah bersamanya. Pikiran lelaki itu masih disibukkan dengan masalah yang menimpanya. Apa yang harus dia lakukan? Menyangkal teori yang dikemukakan akun anonim itu? Atau mengakui identitasnya?
Untungnya, Harold sedang memakai masker dan topi. Ekspresi kesalnya justru terlihat seperti disengaja untuk berpose cool di depan kamera. Mary terus mengarahkan gaya tanpa curiga.
Tiba-tiba, gadis itu menyodorkan kamera kepada Harold, meminta Harold untuk mengambil fotonya. Ditodong seperti itu membuat Harold tidak bisa mengelak. Masalahnya, dalam kondisi normal saja, dia tidak terlalu mahir memotret, apalagi saat pikirannya tidak bisa fokus seperti sekarang.
Benar saja. Begitu Mary melihat hasil jepretan Harold, gadis itu langsung melontarkan protes. "Lu fotonya kagak bener, ah!"
Harold membalas tatapan Mary tanpa ekspresi. Sebisa mungkin dia menekan emosinya agar tidak tumpah sembarangan. "Ya, aku kan dokter, bukan fotografer."
"Ya minimal gimana kek, gue juga mau punya foto cakep!" Gadis itu masih tak terima.
Pada hari-hari lain, Harold akan menganggap tingkah Mary sekarang imut dan menggemaskan. Dia pasti akan balas meledek Mary hingga gadis itu memberengut kesal. Namun, sore itu, Harold sedang tidak mood untuk bercanda. Pikirannya terasa benar-benar penuh. Dia hanya ingin segera pulang agar bisa menelepon Ronald dan meminta penjelasan pada adiknya itu.
"Nih, foto pakai timer aja." Harold menyerahkan kembali kamera yang dipegangnya kepada Mary. Lalu, tanpa berkata apa pun, dia berbalik badan dan meninggalkan Mary sendiri.
"HEH, MALAH DITINGGAL!" teriak Mary. Kakinya berayun cepat berusaha mengejar Harold
"Ih lu mah, udah tua, ngambekan lagi!" ejek Mary. Gadis itu tampak kepayahan berusaha mengimbangi langkah Harold yang panjang.
Harold tak menyahut. Dia terus berjalan dengan ritme cepat. Sepertinya, Mary menyerah untuk mengejarnya. Langkah-langkah mungil Mary tak lagi berderap di sampingnya.
Gadis bertubuh mungil itu kembali berteriak. "Maafin gue dong, Rol! Janji deh nggak ngatain foto lu jelek!"
Kaki jenjang Harold berhenti bergerak. Lelaki jangkung itu menarik napas dalam-dalam. Perasaan bersalah kini ikut berdesakan di dadanya, berebut tempat dengan beragam emosi lain yang tengah melingkupinya. Mary tidak perlu minta maaf. Gadis itu tidak salah apa-apa. Tidak seharusnya Harold melampiaskan emosinya kepada Mary.
Harold berbalik badan, lalu berkata, "Ya udah, cabut yuk. Dah lapar, nih."
"Jadinya gue dimaafin nggak nih?" tanya Mary seraya berlari menghampiri Harold.
"Emang ada yang salah?"
"Lu gaje banget sih jadi orang?" tuduh Mary sambil melayangkan pukulan kepada bahu Harold.
Biasanya, Harold tidak pernah keberatan saat Mary mencubit atau memukulnya. Seringkali, hal itu memang terjadi karena ulahnya sendiri. Jadi, Harold menerima saja perlakuan Mary. Toh, cubitan dan pukulan itu tidak benar-benar menyakitinya.
Sekarang, suasana hati Harold di luar kebiasaan. Harold yang biasanya hanya mesam-mesem, kini balas memprotes. "Kamu yang gaje. Baru juga minta maaf, sudah main kekerasan."
"Ya lu—" Mary tak melanjutkan omongannya. Gadis itu malah melengos pergi. "Au ah!"
"Sekarang siapa yang ngambekan?" sindir Harold. Dia dengan mudah menyamai langkah Mary.
Mary mendadak mengerem langkah. Gadis itu berbalik badan sembari berkacak pinggang, lalu menyemburkan kekesalannya. "Lu tuh kalau sebel ama gue ngomong, Rol. Jangan main cabut gitu kayak tadi. Iya kalau gue langsung ngeh salahnya di mana, kalau kagak kan gue bukan cenayang. Ngeselin tau nggak?"
"Yang sebel siapa? Aku cuma lagi malas denger kamu ngomel. Yang minta foto, kan, kamu. Udah difotoin bukannya terima kasih malah ngele—"
Harold mengatupkan bibir. Bukan seperti ini yang dia inginkan. Harusnya dia membuat Mary tertawa, bukan kesal seperti ini. Harusnya dia bersenang-senang bersama Mary, bukan melampiaskan amarahnya kepada gadis itu.
"Maaf. Hari ini, aku lagi banyak pikiran. Nggak seharusnya aku marah-marah sama kamu," ucap Harold lirih.
"Oh ... Sori, gue nggak peka. Hari ini gue tunda dulu deh ngomel-ngomelnya." Ekspresi Mary melunak. "Mind to share?"
Bolehkah?
Untuk sejenak, Harold sempat berpikir berbagi masalahnya kepada Mary. Namun, dari mana dia harus bercerita? Pikirannya sedang kusut. Dia tidak bisa berpikir jernih. Khawatirnya, dia justru akan meledak di depan Mary yang sama sekali tidak ada kaitan dengan masalah itu.
"Bukan masalah besar. Ayo pulang aja. Nanti kita take away makan aja, aku lagi malas makan di luar," ujar Harold pada akhirnya. Dia memutuskan untuk menyimpan sendiri masalahnya.
"Bukan masalah besar, tapi sampai bikin lu sensi, ye." Mary mendengkus. Tatapan matanya menyiratkan perasaan cemas. "Terserah lu sih mau cerita apa nggak, tapi capek tau nyimpen semua sendiri."
Harold sadar bahwa apa yang dikatakan Mary benar. Hanya saja, dia sudah terlalu capek untuk berbicara. Kata-kata simpang siur di benaknya. Mendadak, Harold kehilangan kemampuan untuk menyusun kalimat. Daripada membuat salah paham, dia memutuskan untuk menunda ceritanya.
Malam Minggu yang harusnya menggembirakan itu justru berakhir lebih cepat dari yang direncanakan. Sepanjang perjalanan pulang, Harold dan Mary saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
=0=
Usai mengantarkan Mary, Harold tidak pulang ke apartemen. Dia tidak juga menjalankan niatnya mengonfrontasi Ronald karena belum siap beradu debat dengan adiknya itu. Lelaki berkacamata itu justru menyetir ke rumah Ario. Di depan sahabatnya itu, dia tidak perlu khawatir salah omong. Ario juga yang paling tahu sekompleks apa hubungan Harold dengan keluarganya.
Ario membukakan pintu dengan wajah kusut. Pria bertubuh gempal itu hanya menggunakan kaos singlet dan sarung. "Nggak bisa besok aja apa?" tanyanya sambil mengucek mata.
"Lo dah tidur jam segini?" Harold melirik jam di ponselnya.
"Dua malam kemarin gue begadang mulu, tahu!" Ario menyuruh Harold masuk.
Begitu sampai di taman belakang rumah Ario, Harold mengempaskan pantat di kursi rotan yang terletak di teras belakang. "Sepi banget rumah lo."
"Rina lagi dinas ke luar kota. Keisha gue titipin tempat mertua," kata Ario sambil menguap. "Dah, jangan banyak basa-basi. Langsung aja, Bro!"
Helaan napas Harold terdengar berat. "Lo udah baca thread yang gue kirim?" tanya lelaki itu datar. Pandangan matanya menyapu taman Ario yang terlihat kurang terawat. Ada beberapa bunga kamboja jepang yang terlihat mati segan hidup tak mau.
"Sudah. Terus?" tanya Ario cuek. "Gue sudah pernah bilang juga, cepat atau lambat bakal ketahuan. Lo nggak bakal bisa terus nyembunyiin identitas lo. Tahu sendiri netizen +62 canggih-canggih kalau masalah nge-doxing orang."
"Masalahnya itu bukan kerjaan netizen. Gue yakin itu kerjaan Ronald. Akun itu sering banget nge-RT tweet-nya Ronald."
"Ya, lo kan dah tahu dari lama kalau adek lo rese. Nggak usah kaget, lah."
"Memang salah gue cerita sama lo. Nggak ada solusi." Harold memberengut.
"Lah, lo kenapa nggak cerita sama Mary? Dia kan wartawan, tuh. Siapa tahu dia punya insight buat nge-handle masalah ini."
Tak lekas ada jawaban. Sebenarnya, hal itu telah Harold pikirkan sejak tadi. Namun, tanpa alasan yang jelas, dia masih berat hati melibatkan Mary dalam hal ini.
"Lagian, cepat atau lambat dia juga bakal tahu kali. Lo juga dah cerita masalah lo sama keluarga lo ke dia, kan?"
Harold mengangguk.
"Ya, apa lagi yang lo pikirin. Lagian, lo harus belajar lebih terbuka kali sama dia. Hubungan yang sehat itu intinya di komunikasi." Ario menasihati. " Kalau lo memang serius sama Mary, lo nggak boleh main rahasia-rahasian kayak gini."
"Mary lagi sibuk. Nggak enak gue ngerepotin dia sama masalah ini."
"Ck." Ario berdecak. "Emang susah ngomong lo mode mellow gini. Kalau dia juga suka sama lo, dia nggak bakal keberatan sama sekali. Percaya sama gue, deh."
"Kalau dia nggak suka gimana?" Harold teringat pada Hiro yang dia temui sore tadi. Mary dan Hiro terlihat sangat akrab untuk ukuran atasan dan bawahan. Jarak usia mereka juga kelihatannya tidak jauh, pasti lebih nyambung saat mengobrol.
Ario membuang napas dengan keras. "Lo itu takut kena karma karena keseringan bikin cewek patah hati atau gimana, sih? Takut banget ditolak Mary."
Pertanyaan yang sama kerap Harold tanyakan pada diri sendiri. Namun, sampai sekarang pun, dia tak kunjung menemukan jawabannya.
=0=
Ceritamela:
Halo, Hai, dari saya yang tidak sempat membaca ulang part ini.
Kalau nemu typo silakan colek saya, ya.
Kalau nemu alat yang bisa transfer isi kepala langsung ke laptop juga bilang ya.
Perasaan pas bayangin part ini tuh dah kebayang apa aja yang mau ditulis.
Giliran mau ngetik malah kedistract mulu.
Jangan lupa mampir ke tempat izaddina buat ngintip bagaimana kegalauan Mary menghadapi Harold yang tiba-tiba jelek moodnya ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top