Advice 19: Jangan Hujan-Hujanan
Tidak terasa malam telah menjelang. Sudah waktunya mengantarkan Mary pulang. Dari interaksinya dengan keluarga Mary, Harold langsung dapat melihat bahwa orang tua Mary cukup protektif. Harold tentu saja tidak mau mendapat nilai buruk dari ayah Mary dengan memulangkan gadis itu terlalu larut.
Karena tak ingin Mary masuk angin, Harold meminjamkan jaketnya kepada Mary. Tentu saja tubuh si mungil tenggelam dalam hoodie biru dongker ukuran XL itu. Harold sampai harus menahan tawa agar Mary tidak meledak dan menolak niat baiknya.
Angin malam mengusap lembut kulit Harold. Pria itu mulai menemukan keberanian untuk perlahan membuka diri tentang latar belakangnya. Sambil menyetir motor dengan kecepatan sedang, Harold mulai bercerita. "Kemarin hari peringatan kematian ibuku, Mar. Makanya aku nggak pernah rayain ulang tahun."
"Kenapa nggak cerita? Lu main ngilang aja kan gue panik—" Mary mendadak terdiam. "Maksudnya, gue jadi nggak bisa ngertiin sikon lu—ah, udahlah!"
Panik, ya? Harold agak kegeeran.
"Awalnya aku mau ajak kamu kemarin. Tapi, nggak nemu momen yang pas. Dan kamu pastinya masih sibuk sama urusan keluarga."
"Kayaknya gue banyak nggak taunya ya tentang keluarga lu." Helaan napas Mary terdengar cukup keras. "Gue mulu yang curcol. Lu cerita juga, lah, biar gue bisa mahamin lu."
Rasa bersalah menyelinap di hati Harold. Dia tidak bermaksud menutup-nutupi fakta tentang keluarganya. Hanya saja, dia memang tidak terbiasa membahas tentang mereka.
"Memangnya apa yang mau kamu tahu? Kamu bisa googling nama bapakku dan bakal tahu semua tentang dia. Kalau tentang ibuku, sudah banyak yang tadi kamu dengar dari Opa dan Oma."
"Nggak semua hal ada di Google ye, Bambang!" Mary memukul bahu Harold. "Maksud gue tuh kayak interaksinya kek, apa yang nyebelin, apa gimana. Yang kayak gitu mana bisa di-googling?"
Sebenarnya Harold berbicara dengan nada biasa. Namun, mungkin karena dia sedikit mengeraskan suara agar tetap terdengar di tengah embusan angin, Mary sedikit salah paham.
"Aku bingung juga jelasinnya. Aku jarang interaksi sama Bapak dan keluarga barunya. Keluargaku nggak kayak keluargamu yang hangat dan akrab."
"Sering-sering ngobrol sama Bapak gue aja berarti. Biar nggak direcokin mulu guenya." Mary terkekeh.
Kalau memang bisa begitu, tentu Harold tidak akan keberatan. Ayah Mary sangat menyenangkan diajak bicara, berbeda dengan ayahnya sendiri. Harold benar-benar merasa nyaman saat sedang bersama keluarga Mary.
"Ih, bau hujan!" celetuk Mary tiba-tiba.
Harold menghirup udara banyak-banyak. Benar saja. Dia dapat mencium aroma tanah yang cukup kuat. Menenangkan, tetapi juga membuat deg-degan. Dia tidak ingin Mary sampai kehujanan. Harold mulai menyesal kenapa tidak meminjam mobil Ayi' Fen lagi.
"Aku sih nggak masalah. Tapi kalau bapak kamu nodong aku biar cepat ngelamar kamu gimana?" Harold coba bergurau untuk menyingkirkan kekhawatirannya.
Candaan barusan dibalas dengan cubitan di lengan. Lelaki itu sedikit mengibaskan tangannya. "Hoi! Kalau aku nabrak gimana?"
"Ya jangan nabrak!" tukas Mary, lalu gadis itu kembali membahas gurauan Harold. "Ya ngeles aja! Emangnya lu beneran mau ama gue?"
"Mau-mau aja," jawab Harold spontan. Tidak perlu pikir panjang. Hal itu memang yang dia inginkan sejak beberapa minggu lalu. "Kenapa nggak mau?"
Kini, lengan Harold jadi korban pukulan Mary. Harold tidak bisa melihat ekspresi gadis itu, tetapi dia cukup yakin Mary sedang memberengut kesal.
"Lihat kakak kamu nikah, kamu nggak kepikiran buat nikah juga, Mar?" tanya Harold hati-hati.
"Belum." Mary membalas cepat. "Nikah itu a whole new world. Gue masih nyaman sendiri."
Mungkin aku harus menunggu lebih lama.
Sesungguhnya, Harold tidak masalah dengan hal itu. Toh, sebelum bertemu Mary, dia sendiri belum pernah berpikir tentang pernikahan. Hanya saja, yah, tetap saja ada sedikit kecewa yang menyelip. Harold ingin meresmikan hubungan mereka untuk memastikan mana saja rencana-rencananya di masa depan yang harus dia sesuaikan agar dapat selaras dengan rencana-rencana Mary.
Seperti prediksi Mary barusan, hujan mengguyur Kota Pahlawan malam itu. Hanya saja, datangnya begitu tiba-tiba dan langsung deras tanpa aba-aba. Seperti ada yang menumpahkan berliter-liter air dari langit.
Harold segera menepikan motor ke deretan ruko yang telah tutup dan menyuruh Mary untuk berteduh. Lelaki itu memeriksa kantong kulit yang menempel pada stang motor. Benar kecurigaannya, hanya ada satu jas hujan model ponco. Dia lupa membeli satu lagi jas hujan. Karena beberapa hari terakhir cuaca Surabaya panas dan kering, dia pikir hujan tidak akan turun selama mereka di sana.
Harold menunjukkan jas hujan itu pada Mary. "Cuma ada ini. Mau lanjut apa tunggu reda dulu?"
Mary melirik jam tangan. "Lanjut aja deh, nggak apa-apa."
"Tapi janji kamu mesti masuk ke dalam jas hujan?" Mata Harold menyipit. Hujan malam itu lumayan deras. Mary bisa basah kuyup jika tidak ikut berlindung di dalam jas hujan. "Kalau kamu sampai sakit, aku bisa dicoret dari daftar calon mantu sama bapak kamu nanti."
"Kayaknya lu seneng banget jadi calon mantu bapak gue?" Mary mendelik.
"Bapak kamu nyenengin. Bapakku nggak gitu soalnya. Kaku banget, jadi aku sungkan ajak ngobrol." Harold terkekeh. Dia sedang tidak ingin mendapat cubitan atau pukulan, yang pasti akan dilayangkan Mary jika Harold terang-terangan berkata ingin menjadikan Mary pasangan hidupnya.
"Ya udah, ngobrol lah! Kalian klop juga ini." Mary melempar tatapan tajam. "Asal bukan lamaran!"
Harold akhirnya selesai mengenakan jas hujan. Dia menoleh kepada Mary dan melontarkan ancaman, "Ayo lanjut. Tapi awas kalau kamu keluar dari jas hujan, aku langsung nepi."
"Iyaaa, nggak bakaaaaal," ujar Mary setengah berteriak.
=0=
Setelah dua kali terbang bersama Mary, Harold menarik kesimpulan bahwa Mary tipe penumpang yang mudah terlelap setelah pesawat lepas landas. Gadis itu awalnya masih sibuk mengabadikan pemandangan dari jendela pesawat menggunakan ponselnya yang telah di-setting dalam airplane mode. Namun, baru saja Harold berpaling sejenak, tiba-tiba kepala Mary telah terkulai ke samping.
Mary baru terbangun ketika pesawat telah mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Awalnya gadis itu menolak ketika Harold menawarkan tumpangan pulang. Untungnya, Harold sudah tahu trik bernegosiasi dengan Mary, yaitu dia tidak boleh kalah keras kepala. Sudah dua kali Harold praktikkan dan dua-duanya berhasil. Yang pertama saat mereka harus berkendara di tengah hujan kemarin. Yang kedua, tentu saja sedang terjadi sekarang.
Dengan senyum penuh kemenangan, Harold membukakan pintu mobil untuk Mary ketika mereka telah tiba di tempat parkir inap bandara. Mary masuk tanpa protes. Tampaknya, nyawa gadis itu belum sepenuhnya terkumpul.
Ketika mobil yang mereka tumpangi telah meninggalkan area bandara, Harold melirik ke arah Mary.
Semalam Harold memikirkan kembali percakapannya dengan Mary. Beberapa kali Mary menyinggung tentang dirinya yang jarang bercerita tentang keluarga. Harold rasa, sekaranglah saat yang paling tepat untuk membicarakannya.
Lelaki itu kemudian berdeham pelan. "Ehm, Mar. Ada yang mau kamu tanyain tentang keluargaku nggak?"
Entah kenapa, Harold merasa gugup. Padahal, dia sudah memantapkan diri untuk menjawab setiap pertanyaan Mary dengan sejujur-jujurnya.
"Banyak sih, aslinya," jawab Mary. "Tapi gue nggak tau mana yang nyaman buat lu ceritain lebih dulu. Ada do and dont's nya, nggak?"
Pertanyaan Mary berhasil memancing tawa Harold. Rasa tegang yang pria itu rasakan perlahan mencair. Senyuman khasnya pun kembali terbit di wajah. "Sampai kita tiba di kosan kamu, kamu boleh tanya apa aja. Anggap aja sebagai ucapan terima kasih karena sudah nemenin aku kemarin."
"Hmm." Mary berpikir sejenak. Muncul beberapa garis kerutan di dahinya, menandakan bahwa gadis itu sedang serius berpikir. "Kemarin, pas di rumah Oma-Opa, beliau sempat bahas tentang makam ibu ..."
Harold sudah menduga Mary akan menanyakan tentang ibunya. Kebetulan, Harold juga beranggapan bahwa paling mudah untuk memulai cerita dari ibunya.
"Gue mau dengar cerita tentang ... Ibu?" lanjut Mary dengan nada bicara yang mengesankan keraguan. Gadis itu juga buru-buru meralat. "Itu juga kalau lu nggak masalah buat cerita!"
Harold menarik napas dalam-dalam. Dia memang sudah mempersiapkan diri, tetapi tetap saja berat baginya.
"Ibuku sudah meninggal 24 tahun lalu, tepat sehari sebelum ulang tahunku." Akhirnya Harold berhasil bersuara. "Sejak saat itu, aku nggak pernah ngerayain ulang tahun lagi, karena merasa nggak pantas. Waktu aku ngilang tanggal 1 itu, aku ziarah ke makam Mama dan mengunjungi lagi tempat-tempat yang biasa kami kunjungi."
Harold mengembuskan napas lega. Sulit memang menceritakan kenangan menyakitkan yang dia pendam selama bertahun-tahun. Namun, ada perasaan sejuk yang membasuh dadanya ketika kalimat pertama meluncur dari mulutnya.
"Kenapa nggak pantas?" tanya Mary. "Orang tua itu, yang gue yakini, pasti mengharapkan kebahagiaan anak mereka—eh, sori, gue nggak bermaksud lancang!" Mary mengkhawatirkan perasaan lawan bicaranya, sesuatu yang sangat tidak Mary. "Lu lanjut dulu deh ceritanya!"
"Mungkin karena aku masih belum sepenuhnya menerima apa yang terjadi. Di saat orang lain ngerayain pergantian milenium. Aku justru harus lihat ibuku yang sekarat. Cuma ada aku di rumah. Pengasuhku lagi pergi karena ngira aku lagi tidur siang. Bapak nggak angkat telepon karena lagi sibuk ngurusin acara partai."
Harold kembali menarik napas panjang. Dia berusaha tetap fokus ke jalanan di depannya meski hatinya kini terasa diremas-remas. Mereka baru saja melintasi gerbang tol. Jalan tol yang lancar tanpa hambatan kini berganti dengan jalan umum yang lebih padat dengan kendaraan.
"Ketika akhirnya ibuku dibawa ke rumah sakit–aku minta bantuan tetangga buat telepon ambulans, aku cuma bisa nangis sendirian di rumah sampai Ayi' datang nemenin. Besoknya, pas ulang tahunku, rumahku penuh dengan orang-orang yang melayat. Sejak saat itu, aku nggak mau ngerayain ulang tahunku karena jadi teringat hal itu."
"Mau ke tepi dulu?" Mary terdengar cemas.
Sebenarnya, Harold yakin dia tetap dapat lanjut menyetir. Matanya kering, dan pikirannya masih cukup jernih. Namun, demi tak membuat Mary bertambah khawatir, dia akhirnya menepikan mobil setelah menemukan bahu jalan yang cukup lebar untuk menepi. Lagipula, dia masih belum ingin berpisah dari Mary.
Setelah mematikan mesin mobil, Harold menoleh ke samping. Ditatapnya Mary dengan sorot lembut. "Ada lagi yang pingin kamu tahu?"
"Lu nggak papa?"
Selama ada Mary di sampingnya, Harold yakin dia akan selalu merasa baik-baik saja. Namun, alih-alih menjawab pertanyaan Mary, Harold justru mengangkat bahu dan berkata, "Kita belum sampai kosan kamu."
"Berarti, hubungan lu sama keluarga yang sekarang ... hm ... gimana gue bilangnya ya?" Mary membalas tatapan Harold dengan tak kalah intens. "Tolong ceritain, biar kalau suatu hari gue ke rumah lu, gue nggak salah sikap."
"Complicated. Aku merasa bukan bagian dari mereka. Tante Santika bukan ibu tiri jahat kayak di film-film. Tapi, dia tetap saja bukan ibuku. Sama Bapak, aku juga berjarak. Waktu kecil aku cenderung nyalahin beliau. Kayak, what if Bapak lebih perhatiin Mama, what if Bapak cepat angkat telepon." Harold mendengkus cukup keras. "Aku sudah berhenti mempertanyakan hal itu ketika dah dewasa, sih. Tapi, jarak aku dan Bapak sudah telanjur jauh. Dengan Ronald ..."
Terdapat jeda cukup panjang. "Dulu, dia adik yang cukup menyenangkan. Tapi, jarak usia kami cukup jauh. Terus sejak aku kuliah kedokteran kami jadi jarang ketemu. Sekarang, well, dia jadi tambah menyebalkan akhir-akhir ini."
"Adik tiri lu sama gue beda umurnya jauh, nggak?" Mary tertawa kecil. "Kalau deketan, emang umurnya kali. Soalnya gue juga nyebelin kadang-kadang."
Harold baru sadar, dia tidak tahu pasti umur Mary. Selama ini, dia hanya menebak-nebak berdasarkan cerita Mary tentang pengalaman masa sekolah dan kuliahnya.
"Seumuran sih, kayaknya. Adikku kelahiran 2001," tutur Harold.
"Ih, iya. Nggak beda jauh. Bentar, umur gue berapa sih?" Mary berhitung dengan jarinya, yang tentu saja langsung memancing tawa Harold. "Tahun ini gue 25, berarti sekarang ... Masih 24. Iya, nggak beda jauh. Pantes nyebelin."
Mary ikut tertawa. "Kenalin, gih. Siapa tau kami bisa duet buat gangguin lu sekali-kali."
"Nope. Aku nggak mau kamu jadi lebih dekat sama Ronald daripada aku." Harold langsung merengut. Hanya membayangkan Mary dan Ronald jadi akrab sudah cukup membuat hati Harold panas. "Nanti aja, aku kenalin kalian kalau kita sudah ... err ... yah nanti aja lah pokoknya."
"Anyway, ulang tahun kamu kapan?" Harold buru-buru mengubah topik pembicaraan. Dia tidak mau Mary menyadari wajahnya yang memerah.
"Dih, gitu ye lu!" Mary mencebik. "Ultah gue? Kapan ya?"
"Jangan curang. Kamu sudah tahu kapan ulang tahunku. Atau ...," Harold menyeringai jahil dan mengeluarkan jurus andalannya beberapa hari terakhir, "perlu aku tanya ke Om Faris?"
"Heh, gitu mainnya sekarang? Mentang-mentang cocok kalian. Gue beneran lupa ini!" !" Mary mengerucutkan bibir, lalu terlihat berpikir sejenak. "Oh, gue ulang tahun bareng Ibu Kita Kartini. Masih lama kok. Masih muda gue."
Derai tawa kembali lolos dari bibir Harold. Padahal, dia belum sempat bertukar nomor dengan kedua orang tua Mary, tetapi rupanya Mary percaya saja dengan ancamannya.
"Oke. Aku akan ingat-ingat." Harold kembali menyalakan kembali mobilnya, tetapi dia tidak langsung menekan pedal gas. "Ngomong-ngomong, makasih kemarin sudah nemenin aku seharian. Sekarang aku punya hal baru yang dapat dikenang saat ulang tahun. Dan ternyata merayakannya bareng kamu nggak buruk juga."
"Harusnya lu bilang kalau ulang tahun. Nanti gue surprise-in kepiting hidup buat nyaplok lu." Seperti teringat sesuatu, gadis itu kemudian menambahkan, "Oh ya. Lu boleh nganggep Bapak sama Ibu gue jadi orang tua lu juga kok kalau mau. Gue udah biasa berbagi orang tua sama Acha, kayaknya mereka nggak keberatan juga nambah satu lagi anak modelan lu. Nanti lu jadi kakak pertama, soalnya tuaan lu daripada Mbak Bel!"
Harold kembali menatap Mary sembari cengar-cengir. "Tapi, kalau aku nikah ma kamu, bukannya Isabel bakal jadi kakak ipar aku ya?"
Mary langsung melayankan pukulan ke lengan Harold. "Lu nyetir lagi aja sana!"
"Ya kalau kamu pukul-pukul gini bisa oleng aku." Harold menginjak pedal gas dan kembali meluncurkan mobil di atas jalan.
Dia melewati apartemennya yang memang terletak dekat gerbang tol karena hendak mengantarkan Mary lebih dulu. "Tapi, on a serious note, nih, Mar. Kamu ngerasa jarak umur kita terlalu jauh nggak?"
"Biasa aja, kok. Kenapa?"
Harold tersenyum lega. "Nggak apa-apa. Cuma penasaran aja."
"Dasar orang aneh."
Meski kemarin dia sudah menghabiskan waktu seharian bersama Mary, Harold tetap saja merasa kurang. Ingin sekali Harold mengajak Mary berputar-putar supaya mereka memiliki lebih banyak waktu untuk mengobrol. Dia masih tidak ingin berpisah dengan Mary. Akan tetapi, Harold juga sadar bahwa Mary perlu beristirahat. Dia sendiri juga masih harus mengantarkan oleh-oleh titipan Oma kepada ayah dan ibu tirinya.
Dengan berat hati, Harold menghentikan mobil di tempat dia biasanya menjemput Mary. "Aku bantuin bawa barang-barang kamu ke kosan, ya?"
"Gue bisa bawa sendiri, kok. Lu ribet nanti naik turun mobil."
Harold sedikit kecewa, tetapi dia menghargai keinginan Mary. "Okay. Sampai ketemu lagi, Mar."
Selepas Mary turun dari mobil, Harold tetap menunggu sampai gadis itu menghilang dari pandangan. Kesunyian mendadak menyelimutinya. Baru beberapa menit berpisah, Harold sudah merindukan kehadiran Mary di sisinya.
======
Ceritamela:
Hai. Nggak terasa bulan Januari mau berakhir, itu artinya, target saya namatin cerita sebelah makin dekat. Mulai panik karena sebulan ini progress saya sangat lambat. Tapi, untungnya masih bisa update Harold sesuai jadwal.
Kemarin sempat bahas sama Dina tentang sebutan atau julukan yang pas buat nyebut couple Harold-Mary ini. Biar kayak drakor gitu, kayak Binjin Couple ama Sempat ada yang usul jadi Hamar atau Mahar. Ada juga yang kasih ide nyebut mereka sebagai Pasangan Seafood.
Kalian ada ide lain nggak?
Seperti yang sudah-sudah. Makasih banyak sudah setia ngikutin perjalanan Harold dan Mary. Semoga kalian belum bosen ama tarik - ulur hubungan mereka ini ya.
Jangan lupa, mampir juga ke tempat izaddina buat lihat seberapa saltingnya Mary pas boncengan ma Harold.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top