Advice 16: Bersedih Secukupnya Saja
“Mary nggak mau terus-terusan ada di bawah bayang-bayang nama besar Bapak. Mary cuma mau buktiin kalau Mary bisa kerja bagus di bidang media karena memang Mary mampu, bukan karena Mary anaknya direktur Jawamulya.”
Selama mengenal Mary, Harold tahu bahwa gadis itu tidak pernah main-main dalam urusan pekerjaan. Namun, belum pernah dia melihat Mary seserius sekarang.
Aku jatuh cinta kepada gadis yang tepat. Tanpa sadar, senyuman Harold kembali terkembang. Hatinya ikut merasa bangga. Kekagumnya kepada Mary makin bertambah-tambah.
“Ini gara-gara cowok yang waktu itu selingkuh gara-gara minder sama Bapak? Atau pernah ada yang bilang kamu ndak kompeten gara-gara nama Mulyabakti?” tanya ayah Mary.
Pernyataan ayah Mary cukup menarik perhatian Harold. Selingkuh? Karena minder? Lelaki berkacamata itu tidak habis pikir, siapa pria yang berani-beraninya menyelingkuhi Mary. Benar-benar tidak tahu diuntung! Namun, tentu saja, Harold tidak menyuarakan isi kepalanya itu. Momennya sedang tidak pas. Percakapan Mary dan ayahnya terlalu serius untuk disela. Jadi, Harold menyimpan dulu rasa penasarannya.
“Aku cuma ingin hidup dan berbakti dengan caraku sendiri,” tutur Mary dengan raut wajah yang sedikit meredup. Setelah itu, keheningan memenuhi udara.
Harold mengedarkan pandangan. Wajah-wajah di sekelilingnya tampak termenung, sibuk dengan pikiran masing-masing. Harold yang merasa tidak punya hak untuk ikut bersuara, memutuskan untuk meneruskan aksi diamnya. Di meja makan itu, dia hanyalah seorang tamu. Jadi, yang bisa dilakukannya hanyalah berdoa semoga orang tua Mary dapat memahami keinginan gadis itu. Hubungan Mary dengan kedua orang tuanya tampak akrab dan hangat. Harold tidak ingin Mary kehilangan kehangatan itu karena perbedaan pendapat yang terjadi.
“Kok ndak ket mbiyen tho—nggak dari dulu—ngomongnya?” Faris Mulyabakti jadi yang pertama bicara. Senyuman lembut turut mengiringi ketika dia lanjut berkata, “Tahu gitu kan Bapak ndak maksa-maksa kamu, Dek.”
“Yang penting kamu bisa tanggung jawab sama pilihanmu sendiri wes, Nduk. Ya tho, Pak?” Ibu Mary ikut menanggapi.
Aura serius yang memberati udara perlahan tersingkap seiring dengan candaan yang kembali terdengar. Bibir Harold pun ikut menyunggingkan senyum lega.
Tampaknya sang nyonya rumah menyadari kecanggungan yang Harold rasakan ketika harus menyaksikan perdebatan tadi. Wanita itu menatap Harold lembut seakan memohon pemakluman. “Maaf ya, Mas Harold. Bapak-anak ini kalau tengkar senengane ndak tau tempat.”
"Nggak apa-apa, Tante. Itu juga yang buat saya suka sama Mary.” Harold menatap lurus ke depan dengan binar-binar kekaguman yang begitu kentara. Malam itu, Harold menanggalkan seluruh topeng yang dia kenakan. Tanpa keraguan sedikit pun, Harold mengungkapkan, “Dia tahu apa yang dia mau dan nggak ragu buat menyuarakan pendapatnya.”
Harold tidak sedang menggombal, tidak juga sedang bersandiwara. Sepertinya diskusi dari hati ke hati yang Mary lakukan bersama kedua orang tuanya berhasil memantik keberanian Harold untuk menunjukkan perasaan sebenarnya. Memang dia belum berani mengatakan dengan gamblang bahwa perasaannya kepada Mary bukan sekadar suka sebagai teman, tapi setidaknya itu adalah sebuah kemajuan.
Sembari kembali berpaling kepada ibu Mary, Harold lanjut berbicara, "Saya suka sama Mary termasuk dengan sifat keras kepala dan ngeyelannya ini. Mungkin saya nggak selalu bisa mengiyakan keinginan Mary, tapi saya janji untuk mendengarkan pendapat Mary dan berdiskusi dengannya."
"Mas Harold, putri kami tolong dijaga ya. Saya percaya sama kamu,” pesan ayah Mary.
Harold mengangguk mantap. Tanpa diminta pun, Harold bertekad untuk melakukannya. “Saya akan berusaha semampu saya, Om.”
Setelah itu, sang tuan rumah kembali melempar kelakar. Atmosfer meja makan kembali terasa ringan. Untungnya Harold sudah terbiasa menghadapi Ario, jadi dia bisa memahami jokes bapak-bapak yang dilontarkan ayah Mary dan memberikan respons yang tepat.
Sadar bahwa malam kian larut, Harold memutuskan untuk pamit pulang. Dia lihat kedua orang tua Mary sudah lelah. Sebagai empunya hajat, pasti pasangan suami istri itu telah sibuk sejak berhari-hari lalu. Harold tak ingin menyita jadwal istirahat mereka.
Mary menemani Harold ke luar rumah. Anehnya, ketika hanya berdua bersama Mary seperti ini, keberanian yang tadi sempat Harold genggam menguap perlahan-lahan. Tanpa orang tua Mary yang menunjukkan dukungan kepadanya, Harold kembali khawatir kehilangan Mary. Bagaimana kalau Mary menganggap kata-katanya di meja makan tadi lancang?
“Eh, Rold. Selama ini gue ngatain bapak lu depan anaknya langsung, dong?” celetuk Mary ketika mereka telah sampai di halaman depan, tempat mobil Harold terparkir.
Tak tahu harus menjawab apa, Harold hanya bisa cengar-cengir. Dia menghinari tatapan Mary dengan memeriksa ponsel yang selama makan malam tadi dalam mode senyap.
Sebenarnya Harold ingin menjelaskan alasannya tidak pernah menyebutkan nama sang ayah, tapi konsentrasinya justru teralihkan oleh banyaknya notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab dari Ayi’ Fen. Harold ingin menelepon balik wanita itu, tapi ponselnya hampir kehabisan daya. Semalam, dia lupa mencolokkan charger ponselnya ke soket listrik.
“Duh, maaf yak, gue nyablak gini juga bakal mikir-mikir kok kalau mau ngejelekin bapak orang!” sambung Mary terdengar memelas.
Harold mendengarkan Mary sembari mengecek pesan yang dikirimkan oleh tantenya sejam lalu.
Ayi’ Fenny:
Har. Mobile ndak rewel toh?
Acarane kelar jam piro?
Kalau sempat, ambilno kue
ndek omahe Cik Lina.
Ayi’ Fen kebetulan sedang online. Tampaknya wanita itu menyadari bahwa Harold telah membaca pesannya. Di layar ponsel Harold, muncul simbol yang menunjukkan bahwa sang tante sedang mengetik sesuatu.
“Mohon maaf nih, ngapa lu nggak bilang sih dari awal? Tau gitu kan gue bisa ngerem dikit maki-makinya!” lanjut Mary.
Karena sedang serius menantikan pesan dari Ayi’ Fen, Harold menjawab pertanyaan Mary dengan ala kadarnya. “Kamu nggak pernah tanya.”
Akhirnya pesan terbaru dari Ayi’ Fen masuk ke ponsel Harold.
Ayi’ Fenny:
Nek isih ono acara, ndak popo Har.
Sesuk tak mampir tempate Cik Lina sekalian budal nang–berangkat ke–Malang.
Langsung balik ae. Soale mesti macet tahun baruan.
Harold mengecek jam. Sekarang sudah lewat pukul sembilan. Namun jika bergegas, sepertinya dia masih bisa memenuhi permintaan Ayi’ Fen.
“Maafin gue yak.” Mary mengulangi permintaan maafnya, sayang Harold tak terlalu memperhatikan. “Nggak maksud menghina ortu lu, sumpah. Lagian—”
“Bisa nggak, sih, Mar, kita bahas ini lain kali aja?” potong Harold. Dia tidak punya waktu untuk meladeni Mary bicara. Baterai ponselnya hanya tersisa 5% dan dia tidak membawa kabel untuk mengecas benda itu di mobil. Selain itu, sebagai seorang laki-laki, multitasking bukanlah keahliannya. Dia sedang sibuk mengetik balasan pesan kepada tantenya.
Setelah mendapatkan informasi alamat yang harus dituju, Harold segera mencari rute tercepat menuju alamat tersebut. Merah di mana-mana. Ruas-ruas jalan utama pasti sedang dipenuhi orang-orang yang hendak merayakan tahun baru.
Harold buru-buru masuk mobil. Dia sampai lupa berpamitan kepada Mary. Dalam hati dia berdoa, ponselnya tidak keburu mati sebelum dirinya sampai di toko Cik Lina yang dimaksud tadi. Mobil Ayi’ Fen tidak dilengkapi GPS. Dia perlu ponselnya untuk mengecek rute alternatif menuju tempat tujuannya.
=0=
“Har! Harry! Bangun, sarapan sik.” Suara lembut Oma bersahutan dengan bunyi gedoran di pintu.
Mata Harold perlahan membuka, lalu pandangannya tertanam ke langit-langit kamar selama beberapa saat. Ketika dia telah sepenuhnya sadar, barulah Harold menyahut untuk memberitahukan bahwa dia sudah terjaga.
Lelaki itu meraba nakas di samping tempat tidur. Setelah menemukan dan mengenakan kacamatanya, pria itu melirik jam tua yang bertengger di salah satu sisi dinding. Sudah hampir jam sepuluh pagi. Itu artinya dia kesiangan. Gagal sudah rencananya untuk lari pagi membakar kalori yang dikonsumsinya kemarin.
Semalam Harold baru sampai rumah lewat tengah malam. Macet di mana-mana karena banyak ruas jalan yang ditutup. Belum lagi, dia masih harus tertahan di rumah Ayi’ Fen karena ditanyai ini itu tentang pertemuannya dengan keluarga Mary. Karena takut melewatkan Subuh, dia sekalian menunggu adzan berkumandang dan baru tidur setelah melaksanakan salat.
Mungkin karena sedang cuti, tubuhnya menuntut jam istirahat yang lebih banyak dari biasanya. Atau mungkin juga karena hari ini adalah peringatan kematian ibunya, dia jadi enggan menjalani hari yang muram itu.
Harold meraih ponsel. Ternyata semalam dia lupa mengecas ponsel. Sekarang, benda itu benar-benar kehabisan daya. Bahkan, ketika akhirnya sudah tersambung dengan kabel cas, ponsel Harold masih tidak mau langsung menyala. Harold memutuskan untuk membiarkan baterai ponselnya terisi dulu. Setelah melakukan peregangan ringan, lelaki jangkung itu bangkit dari tempat tidur.
“Itu wis Oma belikno nasi kuning,” ujar Oma saat Harold masuk ke ruang makan.
Harold mengucap terima kasih, lalu duduk di kursi makan. Namun bukannya langsung menyantap hidangan yang tersaji di hadapannya, dia justru melamun.
Sudah 24 tahun, tapi ternyata rasa sakitnya masih sama.
Luka hati Harold kembali menganga. Bahkan kenangan bahagia yang dia bangun bersama Mary seharian kemarin tidak mampu menghapus dukanya. Seperti yang sudah-sudah, Harold menggunakan hari pertama tahun itu untuk berkabung.
Selama 364 hari dalam setahun, Harold menyisihkan rasa rindu dan sedihnya agar dapat beraktivitas normal. Namun pada tanggal satu ini, dia biarkan emosinya tumpah ruah.
Harold melambatkan irama napasnya, berusaha menenangkan badai yang bergemuruh di dada ketika kilasan memori tentang hari itu kembali membayang di benak.
Saat itu, ibu Harold memang sudah berbulan-bulan tidak keluar kamar sejak anak keduanya–adik Harold–meninggal dalam kandungan. Badan wanita itu tinggal tulang berbalut kulit. Harold kecil tidak begitu paham yang terjadi. Yang dia tahu, ayahnya memintanya jadi anak baik dengan tidak mengganggu sang ibu yang perlu istirahat. Harold kecil menurut. Jika sedang ingin menemui Mama, Harold biasanya duduk bersandar di pintu kamar wanita itu.
Waktu itu, perayaan tahun baru lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya karena menandai pergantian milenium. Partai tempat ayah Harold bernaung juga tidak mau ketinggalan dan menyelenggarakan acara yang mengundang seluruh pengurus partai di tingkat provinsi. Sebagai panitia acara, Lukito Wijaya mendedikasikan seluruh waktunya untuk kesuksesan acara tersbut, sementara Harold ditinggalkan bersama pengasuh.
Hari itu, pengasuh Harold entah sedang pergi ke mana. Harold baru saja bangun tidur siang saat mendengar suara pecahan beling dari arah kamar ibunya. Ketika Harold akhirnya masuk kamar utama, dilihatnya sang ibu kesulitan bernapas dengan tangan memegangi dada.
Harold yang kala itu belum genap berusia delapan tahun, hanya bisa membeku panik, tidak tahu harus berbuat apa. Dengan berurai air mata, dia kemudian menelepon ayahnya. Tidak diangkat. Akhirnya, Harold berlari meminta bantuan tetangga sebelah yang kemudian meneleponkan ambulans. Sayang semua usaha Harold itu sudah terlambat. Ibunya meninggal saat dalam perjalanan menuju Unit Gawat Darurat.
Sepertinya Oma menyadari perubahan air muka Harold. Wanita itu mengelap tangannya, lalu mendekat pada sang cucu. Tangan keriputnya membelai rambut Harold.
“Ndak apa-apa, Har. Itu bukan salahmu, kok.” Tiap tahun, kata-kata yang diucapkan Oma untuk menghibur Harold hampir selalu sama.
Harold mengangguk. Meski tak merasa lapar, dia memaksakan diri untuk makan.
“Apa perlu Oma temenin?”
“Nggak perlu, Oma. Saya bisa sendiri.”
Oma menepuk bahu Harold, lantas kembali melanjutkan pekerjaannya menyiangi tauge. Selama beberapa tahun terakhir, Harold memang lebih suka menghabiskan waktu sendiri untuk berkabung. Setelah berziarah ke makam ibunya, Harold biasa mampir ke tempat-tempat yang memiliki kenangan tersendiri baginya.
=0=
Terik matahari langsung membakar pucuk kepala Harold saat lelaki itu melepas helm. Dia mengambil topi bisbol dari kantong kulit yang difungsikan untuk menyimpan barang-barang di vespa kakeknya. Pada hari biasa, Harold pasti akan menyisir rambutnya dulu dan memastikan topi tersebut bertengger anggun di kepalanya. Namun, hari ini Harold tidak sedang berusaha memberikan impresi pada orang-orang di sekelilingnya. Dia mengenakan topi secara sembarangan, lalu berjalan meninggalkan area parkir.
Area pemakaman yang menjadi persemayaman terakhir ibunya tergolong luas, sampai-sampai memerlukan beberapa plang penunjuk jalan agar pengunjung tidak tersesat. Akan tetapi, Harold tidak memerlukan petunjuk itu. Dia masih hafal jalan menuju makam ibunya walaupun hanya berkunjung sekali setahun.
Di sana, dia menemukan kelopak-kelopak mawar yang telah layu menutupi tanah makam. Opa dan omanya masih rutin berziarah sebulan sekali. Saat natal kemarin, mereka juga pasti berziarah ke sana bersama keluarga Ayi’ Fen.
“Halo, Ma. Lama nggak ketemu.” Senyum getir menghias wajah Harold. Lelaki itu kemudian berjongkok dan meletakkan karangan bunga yang dia bawa di dekat batu nisan.
Sepasang mata sipit itu dipenuhi serakan air mata. Tak sampai ada air mata yang menetes jatuh, tetapi cukup membuat kacamata Harold berembun sampai lelaki itu harus mengelapnya sebelum lanjut berbicara, “Sebenarnya, ada orang yang pingin aku ajak kenalan sama Mama. Tapi, kayaknya aku belum siap dia ngelihat sisi menyedihkan ini. Aku nggak mau dia mengasihani aku.”
Sambil membersihkan rumput liar yang mulai tumbuh, Harold terus mengoceh. “Namanya Mary, Ma. Anaknya … bersemangat.” Tawa kecil menyelinap di bibir Harold saat dia terbayang beragam ekspresi yang pernah ditunjukkan Mary. “Ada aja tingkahnya yang buat aku ketawa. Kemarin, aku ketemu keluarganya dan orang tuanya baik banget. Keluarga mereka hangat. Nggak kayak ….”
Kalimat Harold menggantung di udara. Dia meraba-raba saku celana bagian belakang untuk mencari ponsel, tetapi benda pipih itu tidak ada di sana.
“Ah, sepertinya aku harus menguji hafalanku.” Harold tertawa pelan saat menyadari ponselnya ketinggalan. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum mulai menderaskan doa.
Di bawah matahari sore itu, Harold melanjutkan ceritanya tentang Mary. Kapan mereka pertama bertemu. Apa saja yang disukainya dari Mary. Bagaimana Mary selalu punya cara membuatnya tertawa. Harold terus bercerita seolah–olah ibunya ikut duduk bersama di sana sambil menyimak setiap kalimatnya.
Perlahan-lahan, simpul-simpul kesedihan yang membelit hati Harol terurai. Senyuman yang membayang di wajahnya tak lagi terlihat getir. Gelak tawa yang lolos dari bibirnya juga terasa sangat natural.
Tanpa Harold sadari, Mary telah mengisi ruang kosong di dalam hatinya serta menyembuhkan luka yang tersimpan di sana selama bertahun-tahun.
=====
Ceritamela:
Hai hai halo.
Nggak terasa sudah minggu ketiga bulan Januari ya...
Jujurly saya tuh mix feeling nulis part ini karena moodnya suram. Terus saya kesel juga ma Harold kenapa belum bisa 100% merelakan kepergian ibunya padahal dah lebih 20 th. Tapi, di lain sisi saya juga paham sih, cara masing2 orang menghadapi kehilangan itu berbeda2.
Saya juga ngerasa part terakhir bab ini dragging. Pingin hapus tapi setelah saya pikir2 lagi sepertinya perlu juga buat nunjukin sisi lain harold yg ga banyak ditunjukin ke orang lain.
Baiklah demikian saja cuap2nya. Jangan lupa cek seberapa paniknya mary pas harold ga bisa dikontak seharian di tempat izaddina yes.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top