Advice 14: Susun Skenario Sebelum Sandiwara
Pip. Pip.
Terdengar bunyi khas dari alarm mobil, menandakan bahwa kunci mobil telah diaktifkan. Tidak terlalu sulit menemukan tempat parkir karena keluarga Mary telah memesan area khusus bagi para tamu yang diundang.
Sebelum beranjak meninggalkan area parkir, Harold mengamati pantulan dirinya di jendela mobil. Lelaki itu merapikan kerutan yang muncul di bagian siku. Kemeja batik berwarna biru gelap itu tampak kontras di kulit putihnya. Setelah kemarin menerima kiriman foto kebaya Mary, dia langsung meluncur ke toko batik tulis yang direkomendasikan Oma.
Harold sengaja mencari motif dan warna kemeja semirip mungkin dengan kain batik yang menjadi setelan kebaya Mary. Beruntung, dia berhasil menemukan kemeja yang serasi meski sore harinya harus meminta bantuan Oma untuk memermaknya agar lebih pas badan. Dia memadukan kemeja itu dengan celana hitam berbahan kain, sementara rambutnya dia tata klimis seperti saat akan berangkat ke tempat kerja.
Resepsi pernikahan kakak Mary diselenggarakan di ballroom sebuah hotel bintang lima. Tidak sulit menemukan ruangan tersebut karena ada beberapa petugas penerima tamu yang sudah stand by di sekitar lobi. Berbeda dari acara pernikahan yang biasa Harold hadiri, tidak ada meja khusus untuk menampung kado atau amplop sumbangan. Mary memang sudah mewanti-wantinya untuk tidak repot-repot membawa hadiah. Kakak Mary sengaja tidak menerima hadiah dari tamu yang diundang.
"Voucher ini nanti bisa ditukar dengan suvenir sebelum pulang nanti," terang gadis penerima tamu yang menyodorkan selembar kertas berbentuk seperti tiket bioskop kepada Harold.
Seperti biasa, Harold memasang senyum andalannya dan mengucap terima kasih. Pipi si gadis yang memang telah dipulas perona pipi menjadi kian merah. Dari cermin besar yang terpasang di dekat pintu masuk, Harold dapat melihat bahwa si gadis penerima tamu masih terus memperhatikannya yang berjalan ke arah aula.
Aula itu tampak elegan dengan hiasan bernuansa biru dan putih. Harold mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada yang dia kenal. Maksudnya, tidak ada yang dia kenal secara personal. Karena kalau sekadar tahu nama, dia melihat beberapa selebritis dan pejabat daerah yang sering berseliweran di media sosial. Baru saja melintas di depannya, Wakil Gubernur Jawa Timur beserta istrinya yang mantan artis ibu kota.
Harold menepi untuk mengirimkan pesan kepada Mary, memberi tahu gadis itu bahwa dia telah sampai. Beberapa menit kemudian, sosok Mary terlihat berjalan ke arahnya. Berbeda dengan biasanya, Mary berjalan perlahan-lahan.
Pandangan Harold kini hanya terpusat pada Mary, sementara keriuhan di sekelilingnya hanya tampak seperti kilasan bayangan kabur. Saat melihat foto kebaya yang Mary kirimkan kemarin, Harold telah membayangkan bahwa Mary akan tampak manis dalam balutan pakaian berwarna biru itu. Namun, apa yang dia lihat sekarang jauh melebihi imajinasinya. Mary benar-benar tampak memesona dengan riasan tipis yang menonjolkan fitur-fitur wajahnya.
Seiring langkah Mary yang makin dekat, jantung Harold berdetak kian kencang. Andaikan bisa, Harold ingin membekukan waktu agar bisa berlama-lama memandangi Mary tanpa perlu merasa rikuh. Sayangnya, waktu terus bergulir dan Mary kini hanya berjarak beberapa langkah darinya. Gadis itu terdiam beberapa saat, lalu suaranya yang seperti dentang lonceng menarik Harold dari lamunan.
"Jarang-jarang gue lihat lu kayak gini," ucap Mary. "Bapak udah ribut nanyain lu mulu. Ayo ikut gue."
Sepertinya Mary cukup terburu-buru, Harold terpaksa menyimpan kembali pujian yang telah disiapkannya. Dengan jantung masih berdebar-debar, pria berkacamata itu membuntuti Mary ke area private yang dikhususkan bagi keluarga para mempelai. Di sana, terdapat beberapa orang yang mengenakan pakaian berwarna senada dengan Mary.
Harold langsung dapat mengenali ayah Mary. Semalam, dia memang sempat mengubek-ngubek profil Jawamulya untuk mencari tahu sosok direktur utama salah satu perusahaan media terbesar di Indonesia itu. Ibu dan kakak Mary juga ada di sana.
"Perkenalkan, ini Harold ...." Kalimat Mary sedikit menggantung. Ada keraguan yang membayang di wajah gadis itu.
Harold akhirnya berinisiatif memperkenalkan diri. "Salam kenal, Om, Tante. Saya Harold, pacarnya Mary"
"Itu pacar kan mau jadi anggota keluarga, kenapa ndak diajak akad aja, Dek?" Tiba-tiba, ayah Mary berceletuk.
"Saya nggak diizinin datang sama Mary," jawab Harold spontan. Sebenarnya, hal itu tidak sepenuhnya benar. Mary hanya tidak mengundangnya untuk turut hadir di acara akad nikah Isabel, bukan melarang datang. Namun, kalimat itu sudah telanjur terucap. Mau bagaimana lagi?
"Siapa yang nggak ngizinin, heh?" Seperti yang sudah Harold perkirakan, gadis berambut cokelat itu langsung memasang wajah sebal.
"Kemarin kamu bilang acara akad khusus keluarga aja."
"Owalah Nduk, gimana sih kamu?" Ibu Mary langsung menegur gadis itu, lalu tersenyum sopan kepada Harold. "Maafkan putri kami ya, Mas Harold."
"Nggak apa-apa, Tante. Saya paham, kok. Sepertinya Mary pingin kami ketemu pas akad kami berdua aja." Harold tersenyum tanpa dosa.
Wajah Mary terlihat makin kesal. Namun ketika Isabel berbisik ke telinganya, kerut-kerut di wajahnya justru mengendur dan bibir ranumnya menyimpul senyum. Harold jadi penasaran apa yang tengah diobrolkan kakak-beradik itu. Sayangnya, prosesi acara akan segera dimulai. Ramah-tamah harus ditunda dan Harold pun pamit undur diri.
Mary mengantarkan Harold kembali ke aula. Setelah memperkenalkan Harold kepada sahabatnya yang bernama Acha, gadis itu kembali bergabung bersama keluarganya.
Harold sedikit lebih lega karena tidak perlu bengong sendiri selama Mary sibuk menjalankan perannya sebagai adik sang mempelai wanita. Senyumannya terus terkembang selama dia memperhatikan Mary dari kejauhan. Meski banyak gadis cantik lain berseliweran di sekitarnya, Harold sama sekali tak peduli. Di matanya, hanya ada Mary. Jika saja Acha tak mengajaknya bicara, mungkin Harold akan lupa bahwa gadis itu ada di sana.
"Kok, mau Mas temenan sama Mary?" tanya Acha to the point.
Harold terpaksa melepas pandangannya dari Mary dan menoleh pada Acha yang berdiri di sampingnya. "Lho, kamu sendiri, kok, mau temenan sama Mary lama?"
"Mary, tuh, anaknya nggak sombong. Biar dia anak orang tajir, tapi humble banget. Nggak muka dua juga. Tipe teman yang bakal selalu ada dan pasang badan buat orang-orang yang deket sama dia. Walaupun kadang kelakuannya bikin heran bin gemes, sih," jelas Acha sembari tersenyum lebar.
Harold mengamini penilaian Acha. Hal-hal baik itulah yang membuat Harold jatuh cinta. Secara otomatis, Harold kembali mencari-cari Mary. Gadis itu tengah berpose bersama keluarga besarnya di atas pelaminan. Meski telah mengenakan sepatu hak tinggi, tetap saja Mary terlihat paling mungil. Benar-benar imut dan menggemaskan, ingin sekali Harold kemas dan masukkan ke saku untuk dibawa pulang.
"Tapi, setahuku, dia jarang deket sama cowok selain dalam hubungan kerja." Acha kembali memecah lamunan Harold. "Makanya aku kaget dia tiba-tiba bawa Mas Harold. Kalian deket banget, ya?"
"Nggak tahu, sih. Mau bilang deket banget, takutnya aku doang yang ngerasa begitu." Harold terkekeh. Dia teringat pada kesalahpahaman antara dirinya dan Mary beberapa waktu lalu. "Mary nggak pernah cerita tentang aku ke kamu?"
"Pernah, nggak, ya?" Acha justru balik bertanya dengan nada meledek. Gadis itu lalu tertawa pelan, sebelum akhirnya mengungkapkan, "Sering, Mas. Tadi pagi aja, heboh sendiri dia.*
Senyuman Harold makin terkembang lebar. Dadanya terasa dipenuhi letupan kebahagiaan. Meski Acha tidak menjelaskan apa yang membuat Mary heboh, setidaknya Harold bisa berbangga hati dirinya ikut mengisi benak Mary.
"Kenapa tuh ngerasa deket sama si Mary?" pancing Acha lagi.
"Hampir tiap minggu kami ketemu. Dan tiap kali ketemu, apa aja bisa kami obrolin sampai lupa waktu." Harold kembali menoleh kepada Acha dan memasang senyuman diplomatis yang biasa dia berikan kepada koleganya di rumah sakit. "Tapi, kan, tipe kayak Mary memang gampang akrab sama orang. Jadi mungkin dia biasa aja dengan pertemanan kami. Padahal buat aku yang nggak punya banyak teman di luar lingkungan kerja, pertemanan kami ini spesial."
Acha menyeringai lebar. "Pertanyaanku belum dijawab, lho. Kenapa suka sama Mary?"
Bukannya Harold tak tahu maksud pertanyaan Acha, tapi dia rasa waktunya belum tepat. Mereka baru pertama kali bertemu. Harold belum bisa menebak apakah Acha akan mendukungnya jika dia mengatakan yang sebenarnya.
"Memangnya ada hal dalam diri Mary yang bisa bikin orang nggak suka?" Harold memutuskan untuk bermain kata.
"Ya makanya aku tanya. Kadang ada yang sebel sama mulutnya yang unfiltered itu soalnya. Atau hobi cari ributnya yang kadang minta dipites." Acha bersedekap. "Mas Harold nggak pernah digarai emang? Eh, Mas Harold ngerti bahasa Jawa, nggak?"
"Ngerti, kok. Aku sekolah di Surabaya sampai SMP." Harold mengangguk. "Ya, emang, sih, Mary blak-blakan banget kalau ngomong. Tapi, aku biasa aja, kok. Nggak bikin aku jadi nggak suka sama Mary."
"Ooh. Suka banget, ya, Mas?" Acha senyum-senyum lagi.
Harold tak menanggapi. Dibiarkannya Acha menyimpulkan sendiri, apalagi kini Mary berjalan ke arah mereka. Bisa gawat kalau Mary sampai mendengarkan pembicaraan mereka yang penuh kode rahasia itu.
"Aku baru ngobrol sama Mas Harold, nih, Mar," celetuk Acha kala sang sahabat telah berada dalam jangkauan tangan. "Pantesan kamu jadi gitu, ya."
"Gitu apa?" Mary melotot. Muncul kerutan di keningnya, ciri khas gadis itu saat sedang penasaran.
Acha tersenyum penuh makna. "Ya, gitu. Udah ah, aku mau ambil es puter dulu. Kalian silakan menikmati waktu berdua."
"ACHA!" Mary berusaha menahan gadis dalam balutan gaun merah muda itu, tapi usahanya sia-sia karena Acha sudah keburu kabur.
"Kalian ngomongin apa tentang gue?" Mary memicingkan mata dan menatap Harold dengan sorot curiga.
"Kamu tanya aja sama Acha."
"Nanti Acha bilang, tanya sama lu." Mary masih terlihat waspada. "Nggak ngomongin aneh-aneh kan?"
Harold mengangkat bahu dengan seringai jahil terpampang di wajahnya. "Kayaknya, nggak, sih."
"Senyum lu sus." Mata Mary menyipit. "Apa maksud 'kayaknya'?"
"Ya menurutku sih nggak aneh, tapi nggak tahu kata Acha."
"Awas ya kalau ternyata aneh-aneh."
Sebenarnya, Harold masih ingin menggoda Mary, tapi ibu Mary tengah berjalan menghampiri mereka. Harold segera memasang senyum andalannya yang selalu berhasil memikat hati wanita, berapa pun usia mereka.
"Mas Harold, kalau Mary-nya nggak sopan sama kamu, tegur aja." Wanita keturunan kaukasia itu kemudian mengomeli putri bungsunya. "Kamu kira Ibu ndak dengar kamu pakai lu-gue ke Mas Harold? Ndak sopan itu, Nduk!"
"Ya Allah, Bu ... Harold aja nggak masalah—" Mary berusaha membela diri.
"Mas Harold lebih tua dari kamu, Nduk. Kamu kayak anak ndak pernah diajari pakai sopan santun aja!" Ibu Mary berkata tegas, lalu intonasinya menjadi jauh lebih lembut saat berbicara kepada Harold. "Maafkan putri kami, ya, Mas Harold. Dari dulu anak ini memang agak susah dididiknya."
Seakan kehadirannya memang hanya untuk menegur si putri bungsu, wanita itu lalu pamit pergi untuk kembali mendampingi Isabel di pelaminan.
Begitu ibu Mary telah di luar jangkauan pendengaran, Harold segera menembakkan amunisi yang baru diperolehnya. Sambil berkacak pinggang, pria berkulit bersih itu berkata dengan nada menggurui. "Dengar kata ibu kamu, tuh, Mar."
"Diem lu," desis Mary.
"Heh. Nggak boleh kayak gitu. Nggak sopan tahu."
Tampaknya, Mary paham bahwa dirinya tidak mungkin memenangkan perdebatan itu. Dia memilih berjalan meninggalkan Harold. Sayang, hak sepatunya yang tinggi justru membuatnya oleng dan nyaris ambruk ke lantai. Untung saja, tangan kokoh Harold dengan sigap menahannya.
"Kamu pegangan aja ke aku, biar nggak jatuh," tawar Harold. Lelaki itu tahu bahwa gadis pujaannya tak terbiasa menggunakan sepatu hak tinggi. "Lagian, tumben-tumbenan pakai heels?"
"Tuntutan keluarga." Mary menepis tangan Harold. Namun, baru beberapa langkah, dia kembali tersandung kaki sendiri.
Dengan tungkai panjangnya, Harold mudah saja menyusul Mary. Dia kembali meraih tangan Mary dan memosisikan rangkaian jemari mungil itu agar melingkari lengan kokohnya.
Harold melirik sepatu yang Mary kenakan. Dari penampakannya, sepatu itu terlihat masih baru dan belum pernah dipakai sebelumnya. Namun, Harold tetap bertanya untuk memastikan asumsinya. "Sepatu kamu baru?"
"Iyalah. Sejak kapan gue demen pakai heels?" Mary membenarkan.
"Kaki kamu lecet?" Harold kembali bertaya.
"Nggak tau sih. Perih dikit doang."
"Aku bawa plester. Ayo dicek dulu." Harold mengajak Mary menepi.
"Apanya yang dicek?" Mary tampak kebingungan, tapi beberapa saat kemudian mulutnya membulat. "Aduh, ribet amat sih?"
Walaupun tampak keberatan, Mary menurut juga. Dia mengikuti Harold ke sebuah sudut yang lumayan sepi, lalu duduk di kursi kosong yang tersedia.
Setelah memastikan Mary duduk dengan nyaman, Harold langsung berjongkok di hadapan Mary. Dia meraih salah satu kaki Mary dan melepas sepatu yang dikenakan gadis itu. Dengan gerakan yang teramat hati-hati, dia memeriksa pergelangan kaki Mary. Benar dugaannya, terdapat lecet yang cukup dalam pada kulit Mary karena tergesek bagian belakang sepatu.
Pria itu kemudian mengeluarkan dua buah plester dari saku celana. Sebelum berangkat tadi, dia memang sempat mampir ke minimarket untuk membeli sebungkus plester transparan.
"Kalau sepatu baru, apalagi model begini, sebaiknya sebelum make diplesterin dulu belakang pergelangan kakinya, biar nggak lecet." Harold memasang plester ke kaki Mary sambil mengomel. "Masak gini aja nggak tahu, sih? Padahal dah banyak tipnya di internet."
"Ya maaf. Gue mana kepikiran kalau pake sepatu baru bisa seribet itu?" Mary tentu saja tak mau disalahkan begitu saja. Rupanya gadis itu menyadari bahwa plester yang dibawa Harold berbeda, tidak memiliki motif-motif lucu seperti biasanya. "Tumben plester lu bening."
Harold mengangkat wajah. Sorot matanya melembut saat dia beradu tatap dengan sepasang mata berbentuk almon milik Mary. "Soalnya aku sudah nebak bakal begini. Kalau pakai plester yang biasanya, nanti nggak matching ama bajumu. Udah dandan cantik-cantik, masak pakai plester gambar kucing."
Wajah Mary memerah. Entah karena marah atau malu, atau mungkin keduanya. Harold sudah siap jika gadis itu tersinggung akan sikapnya yang sok tahu dan menggurui. Namun ternyata, Mary tidak mendebatnya seperti biasa.
"Lu ngomongnya berasa gue luka mulu dah." Nada jutek yang digunakan Mary terlihat bertentangan dengan rona merah di wajahnya. "Gue repotin banget, ya?"
"Bukannya hampir tiap kali kita ketemu, kamu ada aja kebaret atau kepentok sesuatu?" Harold bangkit berdiri. Rasa iba terbit di hatinya saat dia melihat wajah Mary yang muram. Harold kini membalas tatapan Mary dengan sorot serius. Dengan nada lebih lembut, Harold lanjut berbicara, "Aku nggak masalah kamu repotin, kok."
"Lu jangan baik-baik banget lah jadi orang."
"Lah, kenapa nggak boleh?'
"Gue jadi berasa setan pas jalan ama lu," terang Mary dengan bibir yang mengerucut maju.
Tawa Harold pun pecah. Mary benar-benar terlihat imut. Ingin sekali dia mencubit pipi gadis itu, tapi dia khawatir Mary akan kembali mengamuk. Karena itu, Harold memilih untuk mengalihkan pembicaraan.
"Ini acara masih lama?" tanya Harold.
"Em ... Kalau sampai akhir, ya masih. Lu ada agenda?"
"Nggak, kok. Aku cuma takut kamu pegel aja kalau kelamaan pakai high heels segini. Kenapa nggak pakai yang pendekan sih?"
"Disuruh Ibu." Gadis itu kembali manyun, tapi raut wajahnya seketika berubah saat beberapa tamu melintas di depan mereka. Matanya kembali bersinar. Dengan sedikit tergesa, gadis itu bangkit dan menarik tangan Harold.
"Makan, yuk!" ajak Mary.
Harold mengangguk pelan dan kembali menempatkan tangan Mary agar melingkar di lengannya. Dengan begitu, Mary dapat berjalan dengan lebih seimbang tanpa khawatir akan terjatuh.
Harold ingin sekali telapak tangan mungil itu selalu berpegangan kepadanya. Salahkah dia jika berharap mereka tidak sekadar berpura-pura?
=0=
Ceritamela:
Akhirnya, sampai juga di part yang sejak bulan lalu bikin saya dan izaddina fangirling-an.
Jadi, pas mulai proyek duet ini, kami malah roleplay dialog dan interaksi Harold-Mary mulai timeline kondangan ini. Jadi, apakah kalian suka juga dengan part ini?
Omong-omong, part ini saya schedule di hari Minggu 7 Januari, soalnya minggu depan saya mau taruh dulu otak romantis saya biar bisa nulis thriller. Jadi, konsep cerita yang saya ikutin lomba ternyata terpilih. Saya mesti tamatin cerita itu di bulan Maret, lalu cerita itu akan tayang eksklusif di Rakata.
Kalian ada yang main di Rakata juga, nggak? Kalau ada ayo berteman. Saya juga pakai nama yang sama kok di aplikasi itu. Coba search Amela Erliana.
Akhir kata, terima kasih banyak sudah mampir di sini. Setiap vote, komentar, masukin cerita ini ke library, atau sekadar view yang terus nambah benar-benar jadi penyemangat buat saya.
Sampai jumpa di bab berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top