Advice 12: Jangan Omongin Kerjaan di Meja Makan
Di mata orang lain, suasana sarapan keluarga Wijaya mungkin tak ubahnya keluarga lain. Sepintas, mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang harmonis. Akan tetapi, jauh di lubuk hatinya, Harold merasa berada di tempat yang salah. Dia merasa asing. Kehadirannya seolah menjadi hal janggal dalam potret keluarga ideal di meja makan rumah dinas Lukito Wijaya.
Tak ingin merusak suasana, Harold memilih tidak melibatkan diri dalam percakapan yang terjadi. Apalagi, topik yang sedang dibahas Ronald adalah rencana kampanye ayah mereka. Topik yang sangat Harold hindari.
"Aku lihat followers Mas Harry nambah lagi. Beneran nggak bisa, nih, dipakai buat bantuin kampanye?" Ronald tiba-tiba menembakkan pertanyaan kepada Harold. Meski sang kakak menghujamkan tatapan tajam kepadanya, pemuda itu cuek saja dan terlihat menantikan jawaban.
Harold berusaha menahan emosi dan merancang kalimat yang tepat untuk diucapkan. Namun, ayahnya keburu menyela.
"Sudah Bapak bilang, ndak perlu libatkan masmu dalam program kampanye," kata Lukito dengan intonasi tegas. Dia lalu menoleh kepada Harold. "Kamu ndak usah khawatir. Sesuai janji Bapak semalam, Bapak ndak akan ngerepotin kamu dengan urusan Bapak."
"Terima kasih, Pak." Harold mengangguk hormat, lantas melanjutkan makan. Diabaikannya Ronald yang tampak kesal karena idenya kembali mendapat penolakan. Harold tahu Ronald bukan tipe orang yang gampang menyerah, tapi paling tidak adiknya itu tidak akan berani memprovokasinya di hadapan ayah mereka.
"Aku lihat akhir-akhir ini, Mas Harry sewa fotografer profesional terus. Dapat endorse-an banyak, ya, Mas?" Ronald tampaknya masih enggan mengakhiri pembicaraan tentang akun Mashtama milik Harold. Dia berusaha mencari celah dengan membahas foto-foto terakhir Harold yang memang agak melenceng dari tema biasanya.
"Lumayan," jawab Harold sekenanya. Usahanya untuk tidak terprovokasi gagal terwujud. Otot-otot wajahnya menolak perintah dan justru memasang raut merengut.
Rupanya, Santika sadar dengan perubahan roman muka si anak sambung. Wanita itu menegur putranya dan berusaha mengalihkan pembicaraan pada hal lain.
Sesi sarapan yang canggung itu akhirnya selesai juga. Piring Harold telah kosong. Usai mengelap mulut dengan serbet makan, Harold memohon izin untuk meninggalkan kediaman keluarganya.
"Kalau sempat, sepulang dari Surabaya, mampir lagi ke sini," pinta Santika.
Harold mengangguk lemah, tapi dalam hati dia tidak berniat mengiakan.
"Saya pulang dulu, Pak." Harold bangkit dari kursi dan berpamitan kepada sang ayah.
"Hati-hati di jalan. Jangan lupa sampaikan salam Bapak kepada Opa dan Omamu." Ayah Harold mengulang pesannya semalam, lalu kembali meyakinkan bahwa Harold tidak perlu khawatir dipaksa ikut berkampanye untuk dirinya seperti usulan Ronald.
Harold harap, ayahnya benar-benar menepati janji. Sejauh ini, pria itu tidak pernah mengingkari janjinya kepada Harold, tapi tetap saja Harold skeptis. Bagaimanapun juga, ayahnya adalah seorang politisi yang hobi mengobral janji. Selain itu, Harold juga tahu sendiri bahwa Lukito adalah pria yang penuh perhitungan dalam bisnis dan karier politiknya.
Sang ayah pasti telah memperhitungkan untung-rugi segala sesuatunya. Mungkin, persona Harold di dunia maya bukanlah hal yang menguntungkan bagi seorang Lukito Wijaya. Entah apakah Harold harus merasa senang atau tidak karena hal itu.
=0=
Tempo hari, Harold tidak sedang mengada-ada saat berkata akan sulit menemukan waktu luang untuk mampir ke rumah ayahnya. Setelah hari itu, jadwalnya benar-benar padat. Nyaris tanpa jeda. Jika tidak sedang berjaga di IGD, dia akan menghabiskan waktu di salah satu klinik tempatnya bertugas. Dalam seminggu, hanya ada satu hari istirahat, itu pun dia habiskan dengan tidur dan mengisi ulang energi untuk tugas selanjutnya.
"Rekam jantung janin baik, tapi harus terus dipantau. Pasien sudah saya berikan obat pencegah kejang dan antihipertensi. Dokter Rita sudah dihubungi dan sedang on the way ke sini," terang Harold kepada dokter yang akan menggantikannya jaga IGD. Kondisi pasien tersebut perlu perhatian lebih, jadi dia menjelaskan secara langsung tindakan medis yang telah diberikannya meski semua itu juga sudah tercatat dalam file operan jaga.
"Terima kasih, Dok. Dokter Harold tenang saja, biar kami yang lanjut tangani. Besok, Dokter sudah mulai cuti, kan?"
Harold mengangguk seraya tersenyum manis. "Iya. Terima kasih, Dok. Sampai jumpa tahun depan," pamit pria jangkung itu sebelum keluar ruangan.
Begitu tidak ada yang memperhatikan, Harold menyimpan kembali senyumnya. Pekerjaan terakhirnya tahun itu telah selesai. Dia berjaga di IGD untuk shift pagi dan sore. Nyaris 12 jam. Jiwa dan raganya lelah bukan main. Tersenyum simpul saja sudah terasa menguras energi. Yang dia inginkan sekarang hanyalah segera sampai rumah dan tidur nyenyak hingga matahari terbit besok pagi.
Bulan Desember selalu menjadi bulan yang murung dan melelahkan bagi Harold. Peringatan hari kematian ibunya yang makin dekat membuat benaknya kerap terjebak dalam masa lalu. Belum lagi, agar bisa cuti cukup lama, dia rela mengambil shift double beberapa kali, seperti hari ini.
Sayangnya, Harold tidak bisa terlalu lama melepas topeng berwajah ramahnya. Seorang gadis berseragam perawat berteriak memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan penuh semangat. Lalu, gadis itu berlari menghampiri.
Mau tak mau, Harold tersenyum lagi. Demi sopan santun. Demi menjaga citra di hadapan para sejawatnya. Demi menghindarkan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tercetus dari orang-orang kepo.
"Syukur, deh, Dokter Harold belum pulang," ucap gadis bernama Lena itu dengan napas sedikit terengah-engah. Sebelum dipindahkan ke bangsal penyakit dalam, dia sering bertugas di IGD bersama Harold.
"Ada apa memangnya?" tanya Harold ramah, berusaha tidak memperlihatkan wajah lelahnya di depan sang lawan bicara.
"Dokter bakal cuti sampai tanggal empat, kan?"
Pertanyaan tersebut Harold jawab dengan anggukan kepala. Dia tak mengerti bagaimana rencana cutinya bisa tersebar ke seantero rumah sakit, padahal Harold sendiri tidak pernah bercerita pada orang-orang yang tidak berkepentingan.
Dengan ekspresi malu-malu, Lena menyodorkan sebuah bingkisan yang dibungkus kertas kado merah jambu. Terdapat hiasan pita besar berwarna merah di bagian atas bingkisan itu.
Harold langsung dapat menebak alasan Lena menemuinya. Tadi, juga ada beberapa orang yang sempat menyerahkan kado ulang tahun lebih awal kepadanya. Tampaknya, tanggal lahir Harold sudah menjadi rahasia umum di rumah sakit. Kadang-kadang Harold penasaran juga, sebenarnya seberapa sering dirinya menjadi bahan perbincangan di tempat itu.
"Karena Dokter Harold lagi cuti pas ulang tahun, saya mau kasih ini dulu," ucap Lena dengan nada kenes.
Bingkisan yang disodorkan Lena akhirnya berpindah tangan. "Terima kasih. Harusnya, kamu nggak perlu repot-repot," ucap Harold sopan, sekadar untuk basa-basi.
"Saya sama sekali nggak repot, kok. Itu sebagai balas budi karena Dokter sudah sering bantu saya." Gadis itu terkekeh pelan. "Dokter habis ini ada agenda lain?"
Harold bisa menebak arah pembicaraan. Kelihatannya, Lena masih ingin mengobrol dengannya. Sayang, energi sosial Harold sudah berada di ambang batas kritis. Dia sedang tidak ingin beramah-tamah dengan orang yang hanya berstatus "kenalan" dalam kamus sosialnya.
"Saya harus segera pulang. Mesti siap-siap buat mudik besok." Harold mengarang alasan, padahal sebenarnya seluruh barang yang hendak dia bawa ke Surabaya sudah selesai di-packing.
Raut kecewa membias di wajah Lena, tapi Harold tidak mau ambil pusing. Pria itu mengucapkan terima kasih sekali lagi, lalu berlalu pergi.
Dengan langkah cepat, Harold segera menuju parkiran. Kepulangannya yang harus sedikit tertunda akibat kehadiran Lena justru memperburuk suasana hatinya. Begitu sampai di mobil, Harold melemparkan hadiah dari Lena ke jok belakang secara sembarangan. Ada tiga bingkisan lain yang sudah lebih dulu menghuni jok tersebut. Ketiganya dia terima pagi siang di sela-sela jam pergantian shift.
Kado-kado tersebut turut ambil andil dalam kekacauan yang dirasakan Harold hari itu. Bukannya dia tidak suka diberi hadiah. Hanya saja, bingkisan-bingkisan yang diterimanya seakan makin menegaskan bahwa sebentar lagi tahun baru akan datang. Bulan Januari tidak hanya menjadi tanda pertambahan usianya, tetapi juga menambah bilangan tahun yang dia habiskan tanpa kehadiran sang ibu. Ingatan menyedihkan itu sedikit banyak mempengaruhi suasana hati Harold dan membuat energinya makin cepat menyusut.
Sebenarnya selama beberapa bulan terakhir, Harold punya satu kegiatan penawar yang bisa mendongkrak suasana hatinya dengan cepat, yaitu mendengarkan celotehan Mary. Sayang, seminggu terakhir mereka tidak sempat bertemu. Dalam hal dedikasi pada pekerjaan, mereka punya kemiripan. Keduanya sama-sama sibuk menyelesaikan tumpukan pekerjaan. Mereka tidak ingin meninggalkan beban kerja terlalu banyak bagi rekan yang menggantikan selama mereka cuti.
Saking sibuknya, mereka juga jadi jarang bertukar pesan. Bahkan, Mary belum juga memberikan jawaban apakah esok pagi akan berangkat ke bandara bersamanya atau tidak. Harold sungguh tidak sabar menantikan hari esok. Jujur, dia kangen melihat beragam ekspresi yang terbit di wajah Mary.
Tanpa permisi, wajah Mary mewujud di benak Harold. Bibir Harold refleks melengkung ke atas. Pria itu baru menyadari hal itu ketika melihat pantulan dirinya di cermin yang terpasang dalam lift.
Bukannya surut, senyuman Harold justru kian lebar saat dia membayangkan Mary meledeknya yang tersenyum tanpa sebab. Bukan sekali dua kali gadis itu mengingatkannya untuk tidak terlalu sering tersenyum. Padahal, senyuman yang Harold berikan untuk Mary, bukan topeng bukan pula sandiwara. Kedua sudut bibirnya selalu refleks tertarik ke atas ketika dirinya sedang bersama Mary.
Bahkan hanya dengan memikirkan Mary sebentar, perasaan Harold jadi jauh lebih baik.
Mungkin kali ini, tahun baruku akan baik-baik saja.
=0=
Mary selalu punya cara untuk membuat jantung Harold berdebar tak karuan. Pagi ini, gadis itu berhasil membuat Harold deg-degan setengah mati karena belum juga muncul di bandara. Padahal semalam Harold sudah menawari Mary berangkat dengan mobilnya, tapi Mary bilang akan berangkat sendiri. Harusnya dia lebih memaksa. Dengan begitu, dia tidak perlu cemas seperti sekarang.
Mary bilang, sih, gadis itu sudah dalam perjalanan menuju bandara. Naik taksi katanya. Harold sudah mencetakkan boarding pass mereka berdua. Masih ada cukup waktu sampai jadwal boarding. Namun, tetap saja Harold tidak tenang. Pasalnya, terminal tiga Bandara Soekarno Hatta sangat ramai. Banyak orang yang juga hendak bepergian. Entah untuk mudik seperti mereka atau memanfaatkan libur akhir tahun untuk berwisata. Antrean di area pemeriksaan mengular hingga luar.
"Maaf, Pak. Bapak ikut antre atau tidak?" Tiba-tiba seorang pemuda seusia Ronald mencolek bahu Harold yang posisinya memang sedikit membingungkan.
Tadi, Harold berdiri beberapa meter dekat ujung antrean di security checkpoint. Namun karena deretan orang-orang yang menunggu giliran masuk terus memanjang, posisi Harold jadi agak menghalangi jalan bagi orang-orang yang hendak bergabung ke dalam barisan.
"Oh, saya masih nunggu teman. Silakan duluan." Harold mundur untuk memberi jalan. Diabaikannya panggilan "bapak" yang sedikit menyentilnya barusan. Ada hal lain yang lebih mendesak untuk dipikirkan.
Sebenarnya bisa saja Harold masuk duluan dan duduk tenang di ruang tunggu, tapi dia mana tega meninggalkan Mary. Lagipula menurutnya, lebih baik mereka masuk ke ruang tunggu bersama-sama daripada Mary nyasar ke gate lain. Dia harus memastikan mereka dapat berangkat bersama seperti yang direncanakan.
Harold coba menelepon Mary sekali lagi, tapi panggilannya lagi-lagi tidak diangkat.
"Ke mana, sih, bocah satu itu?" Harold menggerutu. Sebenarnya alih-alih marah, dia lebih ke mencemaskan Mary. Dia takut Mary kenapa-kenapa karena sejauh ini gadis itu selalu tiba lebih awal saat janjian bertemu dengannya.
Harold mulai memikirkan rencana cadangan jika Mary benar-benar terlambat datang. Kalau mereka sampai ketinggalan pesawat, rasanya akan sulit mendapatkan tiket pengganti. Barusan, dia mengecek website resmi PT KAI. Tiket kereta menuju Surabaya untuk jadwal keberangkatan hari itu juga sudah sold out. Mungkin, dia harus mempertimbangkan untuk menyetir ke Surabaya karena Harold rasa naik bus bukan pilihan yang cocok untuknya.
Bukan opsi buruk, pikir Harold saat terbayang harus menempuh jarak lebih dari 700 kilometer dengan mobil. Melelahkan itu pasti, tapi kalau ada Mary di sisinya, Harold rela-rela saja. Yang Harold khawatirkan hanya satu, yaitu Mary terlambat mengikuti rangkaian acara pernikahan kakaknya. Jika melalui jalur darat, kemungkinan terbaiknya, mereka baru sampai tengah malam nanti. Itu pun sangat kecil probabilitasnya karena berdasarkan berita yang dibacanya, jalan tol menuju Surabaya juga dipadati kendaraan.
Untung saja, wajah mungil Mary muncul tak lama kemudian. Harold tidak perlu pusing memikirkan rute tercepat menuju Surabaya. Mereka masih bisa berangkat naik pesawat sesuai rencana.
Di sela napasnya yang terengah-engah, gadis itu meminta maaf. Kedua pipinya memerah. Harold segera menarik Mary masuk antrean, lalu sisanya mereka bergerak dalam mode autopilot hingga sampai di gerbanh keberangkatan yang dituju.
======
Ceritamela:
Halo, hai hai, halo.
Terima kasih sudah mampir ke sini. Setiap dapat notif ada yang vote, komen, dan masukin Love Shot ke daftar bacaan, saya senang sekali. Benar-benar jadi moodbooster buat saya sehari-hari.
Mohon maaf kalau ada komentar yang terlewat di balas. Seringnya notif muncul pas saya lagi ngerjain hal lain, terus habis itu kelupaan buat dicek lagi.
Jadi, apakah tahun 2024 ini kalian buat semacam resolusi gitu? Atau, kalian tipe yang jalani ajalah, ikuti aja ke mana arah angin berembus?
Saya, sih, tipe kedua. Walau, tetap juga bikin mental notes tentang apa-apa yang ditargetkan tercapai tahun ini.
Apa pun itu. Mau pakai daftar resolusi atau tidak. Semoga tahun ini harapan-harapan kalian bisa terwujud ya.
Demikian, dan sampai jumpa Sabtu nanti.
Oh iya, jangan lupa mampir ke tempat izaddina buat tahu Mary ngapain aja selama nggak ketemuan sama Harold.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top