Advice 10: Pikir Dulu Kalau Ngomong
"Salah orang lu ngajak gue." Mary berkacak pinggang di depan rak berisi aneka ragam mainan untuk anak perempuan. Kedua matanya yang serupa biji almon sibuk memindai satu persatu mainan tersebut.
"Cuma kamu yang nggak baper dan kegeeran kalau aku ajak jalan," jelas Harold. Senyumannya belum juga pudar sejak tadi. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa senang setiap kali melihat jepit rambut pemberiannya menyembul di puncak kepala Mary.
Jepit itu dibelinya kemarin, dari salah seorang pasien yang berprofesi sebagai pedagang aksesoris keliling. Pria renta itu datang ke klinik dhuafa dalam kondisi dehidrasi akibat muntah-muntah sejak pagi, tapi masih memaksakan diri berjualan demi mendapat penghasilan. Tak ingin si pasien lanjut berjualan sehabis dari klinik, Harold pun memborong dagangan pria itu dan membagikannya kepada rekan-rekan kerjanya. Dia sengaja menyimpan beberapa jepit rambut mini untuk Mary.
Benda-benda imut itu baru Harold serahkan hari ini, saat dia menjemput Mary untuk menemaninya membeli kado. Mulanya, Harold pikir Mary akan menolak karena jepit-jepit itu memiliki ornamen bunga yang tampak sangat girly. Pada awalnya gadis itu memang memprotes, tapi akhirnya mengucap terima kasih dengan pipi memerah.
Kala melihat Mary langsung memakai pemberiannya, Harold merasa girang bukan kepalang. Apalagi, jepit dengan ornamen mungil berbentuk bunga daisy yang sekarang Mary kenakan membuat gadis itu terlihat sangat manis. Pendapat Harold mungkin saja bias karena mau bergaya seperti apa pun Mary tetaplah manis di matanya, tapi yang jelas perasaan bahagia terus meletup-letup di dadanya sejak tadi.
"Iyain aja dah," kata Mary pasrah sambil membolak-balik sebuah kotak berisi tea party set bertema princess. Tampangnya begitu serius saat membaca keterangan yang tertulis di bagian belakang kotak.
Harold merasa ada yang kurang jika dia tidak meledek Mary.
"Terus, anak Ario agak barbar kayak kamu, sih. Dia lebih suka jadi wonderwoman daripada main princess-princessan," sambung pria itu, sengaja memancing kerusuhan.
"Apa maksud lo barbar, hah?" Mary memakan umpan. Dia membalas Harold dengan satu pukulan di lengan.
"I think no explanation is needed," gumam Harold sembari mengelus-ngelus lengannya yang sekarang pasti sedikit memerah di balik kemeja. Akhir-akhir ini, tindak kekerasan yang dilakukan Mary memang telah naik level. Sepertinya, gadis itu tidak lagi menahan diri saat mendaratkan pukulan atau cubitan ke kulit Harold.
Kalaupun Mary mendengar gumaman Harold, gadis itu jelas memilih mengabaikannya. Mary kembali membahas tujuan utama mereka mampir ke toko mainan.
"Anak temen lu umurnya berapa deh?"
Kepala Harold sedikit terangkat. Dia berusaha mengingat-ingat.
Rasanya baru kemarin.
"Lima tahun kalau nggak salah." Harold akhirnya menjawab.
Seharusnya dia tidak salah hitung. Dia masih ingat saat Ario meneleponnya tengah malam untuk mengabari kelahiran Keisha. Pria betawi yang dulu belum segembul sekarang itu bicara dengan diselingi sedu sedan. Waktu itu, Harold masih di Papu. Ada perbedaan waktu dua jam, tapi kantuknya langsung sirna. Dia menghabiskan sekitar satu jam untuk menenangkan Ario yang tiba-tiba khawatir tidak bisa menjadi sosok ayah yang baik.
"Lima tahun, ya ...," ucap Mary lirih sambil menggulir ponsel. "Salah lu ngajak gue. Ponakan aja gue belum punya."
Perbedaan tinggi badan mereka membuat Harold dapat mengintip apa yang sedang diamati Mary di ponselnya. Gadis itu sedang mencari jawaban di internet. Menelusuri satu-satu mainan yang direkomendasikan sebuah artikel di media daring.
Tak ingin membebani Mary lebih jauh, Harold akhirnya mengusulkan solusi yang lebih masuk akal. "Iya, sih, kayaknya. Ya udah, deh, aku tanya mbak-mbak SPGnya aja."
Harold bergegas menghampiri salah satu SPG yang kemudian menawarkan beberapa opsi dengan sikap ramah yang sedikit berlebihan. Gadis semampai itu hampir selalu tertawa di setiap akhir kalimat, entah apakah itu salah satu trik agar Harold berbelanja lebih banyak atau dia sedang berusaha menarik perhatian Harold. Akhirnya, Harold membelikan Keisha satu set komplit mainan kasir dan sekotak lego untuk balita. Benda kedua dia beli sambil membayangkan Ario misuh-misuh saat menginjak lego yang berceceran di lantai.
Setelah Harold menyelesaikan pembayaran, SPG tersebut membawa belanjaan Harold untuk dibungkus dengan kertas kado. Harold kembali menghampiri Mary yang kini sedang berdiri di depan rak boneka. Pandangan mata gadis itu tertuju pada sebuah boneka kucing yang juga dapat berfungsi sebagai sandaran punggung.
"Kamu mau dibeliin juga?" tawar Harold.
Mary tak menyahut. Dia mengambil boneka berbentuk kucing calico itu, lalu membolak-baliknya untuk mencari label harga. Ketika menemukan apa yang dia cari, air mukanya langsung berubah.
Gadis itu tak mengindahkan tawaran Harold dan buru-buru mengembalikan boneka tadi ke tempat semula. Sayangnya gerak-gerik Mary bertentangan dengan ucapannya. Mary sempat melirik boneka itu sekali lagi sebelum melipir ke rak lain.
Harold memperhatikan label diskon yang tertera di atas tumpukan boneka tadi. Dia bisa memperoleh diskon 50% untuk pembelian boneka kedua. Pria itu menyeringai, lalu mengambil sebuah boneka kucing berwarna oranye untuk dirinya sendiri serta boneka kucing calico yang tadi sempat Mary pegang. Dia bisa menggunakan potongan harga itu sebagai alasan untuk sekalian membelikan Mary boneka.
"Kok malah jadi gue yang dapat barang, padahal gue nggak berkontribusi pada pemilihan kado?" tanya Mary dengan kerutan di kening ketika Harold menyodorkan kantong kertas berisi boneka kepadanya.
Sudah Harold tebak, Mary tidak akan menerima begitu saja pemberiannya.
"Rezeki jangan ditolak," jawab Harold enteng.
"Ya tapi dalam rangka apa gitu, loh?" Gadis itu masih terlihat berat hati.
"Memangnya harus ada alasan khusus? Aku sekalian beli dua karena mumpung lagi diskon, kok."
Akhirnya Mary menyerah. Tampaknya, gadis itu sudah paham benar sifat Harold yang satu ini. Kalau sudah urusan beri-memberi, Harold memang bisa sangat keras kepala.
=0=
Hari Minggu datang dengan cepat. Sesuai yang telah disepakati dengan Ario, Harold mengajak Mary ke acara ulang tahun Keisha untuk menjadi fotografer. Setelah berbasa-basi sebentar dengan tuan rumah, Mary langsung menjalankan aksinya mengabadikan momen berharga itu.
"Yah, tapi kalau dia mau diajak ke pesta ulang tahun anak kecil yang nggak dia kenal, dia nggak benci lo, sih," komentar Ario saat Harold bertanya pendapatnya tentang Mary. Kedua lelaki itu menepi dekat meja makanan agar tidak tertabrak anak-anak yang berlarian ke sana kemari. Juga supaya akses Ario terhadap makanan jadi lebih mudah.
"Ya, kan, dia gue ajak buat jadi fotografer." Harold mendengkus. "Jelas mau, lah!"
"Tapi, kan, nemenin lo beli kado bukan termasuk jobdesk fotografer." Ario menambahkan. "Dia juga sering nemenin lo jalan di luar pemotretan, kan?"
Gadis yang sedang mereka bicarakan tengah sibuk memotret Keisha dengan teman-temannya. Mary terlihat luwes mengarahkan gaya. Sikapnya yang ramah dan wajahnya yang ekspresif berhasil membuat anak-anak itu menurut saja disuruh berpose di depan kamera. Entah kenapa, dada Harold terasa hangat saat menyaksikan hal itu. Dia tidak dapat berhenti membayangkan suatu saat di masa mendatang, anak-anak mereka lah yang menjadi objek foto. Sayangnya lamunan indah itu harus buyar karena Ario tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang agak di luar nalar.
"Lo ga bisa cari cewek yang tinggian apa? Kasihan lho dia mesti jinjit kalau mau ciuman sama lo yang kayak tiang listrik."
Muka Harold langsung merah padam. Ditatapnya Ario dengan tajam. "Memang salah gue minta saran lo," katanya sambil melengos. Sampai sekarang, dia masih tidak habis pikir bagaimana persahabatan mereka bisa bertahan lebih dari satu dekade.
Harold masih ingin membalas kelakar Ario yang menurutnya tidak lucu itu, tapi Mary keburu datang menghampiri.
"Kak Ario, nanti ini saya kirim lewat mana foto-fotonya?" tanya Mary sambil menunjuk kameranya.
"Titipin aja ke Harold." Yang ditanya menjawab santai, tak memedulikan isyarat Harold yang memohon agar dirinya tidak mengungkit-ungkit pembicaraan mereka tadi.
"Oke, Kak."
"Ngemil-ngemil dulu sini, Mar." Ario mencegah Mary pergi, lalu dengan telunjuk terarah pada Harold, dia melanjutkan, "Siapa tahu lo mau tanya-tanya sesuatu tentang kunyuk satu ini."
Harold melotot kepada Ario. Andaikan tidak banyak anak kecil di sekitar mereka, pasti dia sudah menjitak sahabatnya itu. Namun, yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah berdoa semoga Mary lebih memilih kembali memotret bocah-bocah lucu itu.
"Boleh, kalau Kak Ario lagi nggak repot." Harapan Harold tidak terwujud. Mary menerima tawaran tersebut dengan senang hati. "Kak Ario sama Harold udah temenan lama banget ya?"
"Lumayan. Dari zaman kuliah. Bisa dibilang, gue dah tahu busuk-busuknya Harold ini."
"Ini saya panggil Kak Rio aja boleh, nggak, sih? Lidah saya belibet nyebut nama Kak Ario."
"Iya, boleh, asal Harold nggak keberatan," jawab Ario sambil mengerling penuh arti kepada Harold.
"Apa hubungannya sama gue?" tanya Harold ketus. Dia menahan diri untuk tidak memaki. Untuk melampiaskan rasa kesalnya, Harold mengunyah sepotong bolu dengan cepat.
"Ya, sapa tahu lo nggak rela Mary punya panggilan spesial buat gue," timpal Ario sambil cengengesan. Tampak jelas bahwa dia sengaja mengerjai Harold.
Sepertinya Mary tidak sadar bahwa kedua pria itu saling melempar kode. Dia justru lanjut bertanya, "Emang Harold pas kuliah dulu ngapain aja, Kak?"
"Dia tuh Kang PHP. Banyak banget cewek yang deket sama dia, tapi nggak ada yang ditembak-tembak. Sampe pernah tuh, ada junior yang dicegat sama anak angkatan kami gara-gara sering jalan sama Harold. Terus lo bisa nebak nggak apa yang dilakuin Harold?"
"Apa tuh, Kak?" Muka Mary menunjukkan rasa penasaran.
Harold berusaha memberi isyarat agar Ario berhenti bercerita. Namun, pria bebadan gempal itu tak memperhatikan.
"Tuh dua cewek nyamperin Harold minta penjelasan. Terus, Harold cuma bilang 'aku nggak ada perasaan apa-apa sama kalian, selama ini, kan, kalian yang ngajakin aku jalan.' Kurang ajar banget, kan?" tutur Ario dengan diakhiri kekehan puas.
Mary menoleh ke Harold dan menghakimi pria itu. "Parah bet lu, Rol. Kasian banget anak orang digituin." Kemudian, dia kembali memusatkan perhatian kepada Ario. "Harold dimusuhin nggak habis itu?"
"Gue lupa yang mana, tapi salah satu dari mereka nyiram Harold pakai es teh, persis kayak adegan di sinetron." Tawa Ario kembali pecah. Setelah tawanya agak reda, dia menambahkan, "Mana itu es teh gue pula yang dipakai nyiram."
Mary terlihat menahan tawa. Dia kembali menoleh pada Harold yang tengah menekuk muka. "Harold, lu sampai sekarang masih gitu kagak? Kasian itu fans-fans lu!"
"Kamu jangan percaya Ario, dia itu sesat," jawab Harold dengan bersungut-sungut. Lalu, dia menoleh kepada Ario sambil memasang wajah garang. "Heh, lo jangan ngomong macem-macem, ya. Gue nggak pernah ngomongin kelakuan jaman jahiliyah lo ke Rina."
"Omongin aja." Ario mengangkat bahu cuek. "Rina juga nggak bakal peduli."
Perkataan Ario membuat Harold makin kesal. Ario dan Rina sudah lama menikah. Ancamannya tidak ada artinya lagi.
"Ya, dah percuma kalau sekarang," ucap Harold dengan wajah cemberut.
"Ayo Kak, spill lagi kelakuan Harold. Kayaknya saya harus hati-hati nih kerja sama dia habis ini. Takut tiba-tiba ada serangan dari cewek patah hati pas lagi foto-foto." Mary masih terlihat semangat mengorek-orek aib masa lalu Harold.
Ario kembali tergelak. "Kalau ada yang nyerang kamu, umpanin aja dia. Biar dia yang jadi sasaran."
Harold memutuskan diam saja. Percuma menanggapi. Mary bisa menjadi lebih semangat bertanya-tanya kepada Ario.
"Tapi, yang gue salut sama Harold, sih, dia nggak pernah pacaran kalau nggak beneran suka sama cewek itu." Ario lanjut bercerita. "Kan, banyak tuh playboy cap teri yang samber aja semua cewek, mau dia suka apa nggak."
Mary mengangguk-angguk, terlihat serius menyimak cerita Ario.
"Tapi, ya, gara-gara itu juga dia jomlo sampai sekarang. Padahal gue sudah sering bilang, coba aja jalanin dulu, sapa tahu jadi beneran suka. Dia nggak mau dengerin."
"Loh, nggak pernah pacaran sama sekali?" Mary terlihat tidak percaya dengan informasi yang baru didengarnya.
"Kagak. Kaget, kan? Sama, gue aja sampai sekarang masih heran, sampai-sampai gue sudah di tahap kalau si Harold tiba-tiba bilang dia nggak suka cewek, gue nggak bakal terlalu kaget."
Harold tak peduli lagi dengan sekelilingnya. Dia menjitak bagian belakang kepala Ario. "Heh! Sembarangan. Gue masih normal tahu."
"Harold?" Mary menatap Harold dengan sorot menuduh.
"Jangan dengerin si Ario!" pinta Harold frustrasi. Pria berkacamata itu mulai menyesal mempertemukan Ario dengan Mary. Bisa-bisa, Mary benar percaya kalau dirinya punya kelainan.
"Eh, tapi kok bisa sih orang-orang suka sama dia, Kak?" Mary tak memedulikan permohonan Harold. "Temenmu nyebelin banget, Kak. Saya suka dibikin kesel sama kelakuannya."
Ario sama tidak pedulinya. Dia mengabaikan Harold yang memberi isyarat agar berhenti menjelekkan-jelekkannya dan justru menanggapi pertanyaan Mary. "Lah, dia di depan orang lain kan mode gentleman, senyum-senyum terus kerjaannya, nggak pernah marah, iya-iya mulu kalau diminta tolong. Emang di depan lo nggak gitu?"
"Apaan? Nyebelin dia, ngatain gue bocah mulu!" Mary berdecak. "Mana suka kepedean lagi!"
"Itu artinya, lo spesial di mata Harold, Mar."
Harold memelototi Ario. Kali ini dia sudah tidak ragu lagi untuk memiting Ario jika sahabatnya itu sampai keceplosan tentang perasaannya kepada Mary.
"Martabak kali, Kak, spesial. Heran aja saya, spesies macam Harold kok banyak yang demen." Mary kembali beralih kepada Harold. "Nanti kalau ada cewek yang lu incer, bilang, Rol. Gue kasi warning dulu kalau lu nyebelin."
"Jangan ikut-ikutan Ario, deh, Mar." Harold mendengkus. Mukanya terasa panas. "Lagian, ngapain juga aku cerita-cerita sama kamu kalau ada cewek yang aku suka. Perasaan, kita nggak sedekat itu, deh."
"Gue cuma gamau jadi sasaran baku hantam dari cewek yang lu pedekatein, sih." Mary ikutan mendengkus.
Meski wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun, sesungguhnya Harold panik setengah mati. Pikirannya buntu. Dia belum siap menghadapi konsekuensi yang terjadi jika Mary mengetahui perasaannya. Maka, jalan keluar yang terpikir olehnya sekarang hanyalah menyangkal sebisa mungkin.
"Tenang, nanti aku cari cewek yang kalem, nggak barbar kayak kamu, jadi kamu nggak perlu khawatir dilabrak." Begitu selesai bicara, Harold langsung menyesali ucapannya. Namun, dia tidak bisa menarik kembali kata-kata yang telanjur meluncur dari mulutnya.
"Gue nggak barbar!" Mary menendang kaki Harold, lalu menggeloyor pergi.
Ario juga meninggalkan Harold untuk melerai putrinya yang sedang berebut mainan dengan anak lain. Harold yang kini sendirian hanya bisa merutuki diri. Padahal, dia bisa memilih kalimat penyangkalan yang lebih baik, tapi kenapa dia justru mengucapkan kata-kata yang membuat Mary tersinggung.
=0=
Ceritamela:
Jadiii.. apakah kalian pingin jitak Harold yang mulutnya jahat banget sama Mary?
Kalau belum, coba deh mampir ke tempat izaddina karena di sana kalian bisa baca POV Mary yang sakit hati dan kecewa dengan omongan Harold.
Kenapa sih dua anak ini nggak jujur aja kalau saling ada rasa? Oh iya, soalnya kalau gitu ceritanya tamat dengan cepat. Wkwkwk.
Sekali lagi, saya mau ngucapin terima kasih karena sudah mampir ke sini. Jika berkenan, jangan lupa tinggalin jejak berupa vote atau komen.
Kalau misal kalian ada kritik atau saran misal, colek saja yak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top