Chapter 9: Apa Yang Lucu?


Bonjour, pembaca penuh cinta. Cerita ini hanya fiksi semata. Jika ada kesamaan nama, lokasi, dan kejadian, hanya kebetulan yah. Kecuali kalau judulnya "fiksi". Say no to plagiarism.
Selamat membaca 🥰🥰🥰

Yvonne

Aku menunggu mama diperiksa. Setelah membuat janji berkali-kali, akhirnya jadwal mama dengan dokter spesialis bedah onkologi itu bisa dicocokkan juga. Kini, mama sedang menjalani pemeriksaan CT Scan. Sejujurnya, butuh waktu lama untuk membujuk mama agar mau memeriksakan tubuhnya secara keseluruhan sejak sering sakit-sakitan. Ada saja alasannya supaya bisa menghindar dari ajakan ke rumah sakit.

Berulang kali hanya ke dokter umum--Dokter Ellen--sampai akhirnya ada kemungkinan mama mengidap penyakit yang lebih serius seperti kanker. Dokter setengah baya itu menyarankanku untuk membuat janji dengan Dokter Hwang Galen yang katanya dokter ahli bedah onkologi paling direkomendasikan di rumah sakit ini.

Kata Dokter Ellen, Hwang Galen itu seperti artis Korea. Dia sepertiku. Kalau aku campuran Indo-Prancis, Galen campuran Indo-Korea. Semakin banyak saja darah campuran di Malang ini.

"Tapi jangan harap sikapnya semanis cowok-cowok di drakor, ya. Orangnya blak-blakkan dan kalau marah sering meledak-ledak." Wanti-wanti dari Dokter Ellen.

"Ya, masak sama pasien juga begitu, Dok."

"Hm, iya juga sih. Aku belum pernah lihat Dokter Galen nunjukin emosinya ke pasien."

Selain dokter langganan mama, beliau juga pelanggan tetap Bon Appetit sejak awal berdiri. Simbiosis mutualisme. Sedekat itulah Dokter Ellen denganku dan mama. Mama membutuhkannya saat sakit, Dokter Ellen membutuhkan kue-kue dari Bon Appétit saat terlalu keras bekerja dan telinga mama saat curhat betapa melelahkannya bekerja sebagai dokter dan juga menjadi single parent dari dua anak.

Aku duduk di depan ruang CT Scan. Ujung jari tak mau berhenti mengetuk paha berkali-kali. Mataku hanya tertuju pada pintu ruang radiologi. Sesekali menunduk saat kepala mulai pusing karena banyaknya orang lalu lalang. Sejak mama sakit, aku lebih banyak berada di luar entah itu menemani mama ke sana kemari atau mengurus Bon Appetit.

Beberapa hari yang lalu, aku ke sini dengan Edo untuk menyebarkan brosur tentang Bon Appetite yang akan dibuka kembali setelah tiga bulan sempat tutup. Harusnya itu pekerjaan Edo dan Misha. Dua karyawan yang sudah bergabung dengan Bon Appetite sejak kuambil alih sementara. Namun, Misha sedang menyiapkan pernikahannya dan aku tidak tega membiarkan Edo menyebar brosur sendirian. Meskipun susah beradaptasi karena banyaknya orang yang lalu lalang, akhirnya kemarin bisa terlewati juga.

Saat itulah gawaiku bergetar. Dari papa. Bergegas ikon hijau bergeser untuk menjawab.

"Halo, Ma Chérie. Bagaimana keadaan mama kamu?" Suara papa terdengar sama gelisahnya denganku.

"Mama sedang diperiksa dokter. Papa jadi ke sini?" Aku berharap ya. Papa sudah lama tidak bertemu dengan mama. Terakhir saat kelulusan kuliahku yang hampir tiga tahun lalu. Mungkin saja sakitnya mama karena merindukan papa. Aku akan senang kalau begitu. Setidaknya jika papa ke sini, artinya mama akan segera sembuh.

"Ya, tapi Papa masih punya banyak pekerjaan di sini, Ma Chérie. Papa baru bisa ke Malang setelah Sophie bisa mengurus pabrik. Begitu proposal kerja samanya diterima oleh perusahaan Italia itu, Papa akan segera berangkat ke Malang."

Sophie adalah anak tiri papa dari wanita lain. Dua tahun setelah bercerai dengan mama dan kembali ke Paris, papa menikah lagi dan Sophie adalah anak dari wanita blonde itu. Hatiku sakit jika ingat saat-saat itu. Dadaku terasa ada yang menghimpit begitu tahu papa punya Ma Chérie yang lain dan dari perempuan lain dan itu anak sambung.

Ujung bibirku terangkat. Tersenyum paksa. "C'est bon, Papa. Mama akan baik-baik saja. Papa nggak perlu khawatir. Telepon saja aku untuk tahu perkembangan mama. Papa nggak perlu ke sini."

"Non, Ma Chérie. Papa akan ke Indonesia. Papa merindukan Kota Malang dan keluarga Papa di sana."

"Keluarga papa? Apa itu artinya hanya aku?"

Ada keheningan di seberang sana untuk beberapa saat sebelum suara helaan napas terdengar. "Ada yang ingin Papa luruskan dengan mama kamu, Ma Chérie."

"Apa?"

"Papa tidak bisa kasih tahu kamu. Papa harus bertemu dengan mama kamu."

"Pada akhirnya, Papa ke sini karena keperluan Papa. Bukan karena Papa benar-benar peduli pada mama."

Aku memutuskan panggilan dan menggenggam erat gawai. Tidak boleh menangis di tempat umum. Ini akan memalukan dilihat orang. Aku berkali-kali menggumamkan itu.

Kuatur napas dan mengerjapkan mata beberapa kali. Ada hal lain yang bisa mengalihkan kecemasanku karena kesehatan mama memburuk dan kesedihan karena mama benar-benar telah menjadi orang asing bagi papa. Jemariku mencari nomor telepon Bon Appétit.

"Bon Appétit, Bonjour. Ada yang bisa kami bantu?"

"Edo, ini aku."

"Aku siapa yah?"

"Bos kamulah."

Ada suara cekikikan di seberang. "Iya tahu, Madame Ipong yang judes. Jadi, Madame Risma gimana, Madame?"

Aku menegur Edo karena memanggilku "Madame" padahal kami seumuran. Bahkan aku pernah satu sekolah sampai SMA dengannya. Edo satu-satunya yang tahu penyakitku. Dia tahu aku tidak bisa mengenali wajah orang lain, bahkan wajahku sendiri. Ilmu kedokteran menyebut penyakitku dengan prosopagnosia atau buta wajah.

"Mama masih sedang diperiksa. Sedang menunggu mama di ruang radiologi. Kafe aman?"

Sejak hari ini, pâtisserie Bon Appétit sudah kembali buka setelah tutup karena renovasi per tiga bulan yang lalu. Belum secara resmi dibuka. Namun, saat aku sempat mampir sebentar sebelum ke rumah sakit tadi, pelanggan-pelanggan lama sudah mulai heboh berdatangan.

Selama tiga bulan renovasi, aku menyediakan jasa delivery dan pemesanan online. Sementara dapur produksi pindah ke rumahku sendiri.

"Aman, Madame. Kamu ... nggak apa-apa sendiri? Nggak kesulitan?" tanya Edo.

Aku tahu maksud dari pertanyaan laki-laki itu. "Iyah, aku udah terbiasa, kok. Ini hanya perlu diam saja dan cuek ke sekeliling."

"Nggak ada yang ajak ngobrol? Atau menyapa karena kenal? Harusnya aku temani kamu."

"Hei, aku udah hidup begini dua puluh tujuh tahun. Berhenti bersikap seolah kamu tahu aku harus gimana buat jalaninnya. Kamu lihat sendiri, kan? Kemarin aku bahkan bisa sebar-sebar brosur sendiri." Aku pura-pura bersungut yang sudah pasti Edo tidak akan bisa lihat.

"Hm, bukan begitu. Seharusnya kemarin aku nggak minta tolong buat nyebarin brosur. Masak bos turun ke jalan. Biasanya juga kamu di dapur atau di belakang meja."

"Ngapain? Ngumpet?"

Terdengar suara tawa di seberang.

"Lagian yah, aku bukan bos. Bos kamu masih mama. Aku cuma numpang nama sebagai owner."

"Iya juga yah. Berarti kita masih satu level. Kamu karyawan dapur, aku karyawan seksi sibuk."

"Sibuk sana, sibuk sini."

Kami berdua tertawa.

"Ya sudah kalau begitu, Do. Kayaknya mama sebentar lagi selesai CT Scan. Kalau ada apa-apa di kafe, kabari yah."

"Yes, Madame. Oh ya, di sini ada Monsieur Adrien. Kayaknya dia sedang suntuk." Edo kerap meniruku mengucapkan kata 'monsiuer' pada siapa pun bule atau campuran Prancis yang kukenal. Tentu saja dengan pelafalan yang sangat salah.

"Pasti wajahnya dilipat macam baju kusut yah?" Aku menimpali dengan cara Edo menggambarkan Adrien setiap kali cowok campuran itu mampir ke toko roti yang kini sudah menjadi kafe.

"Ya begitulah."

"Baiklah. Setelah mama selesai diperiksa, aku akan ke kafe. Adrien nggak akan pergi kalau belum curhat." (Kalau mau tahu curhatan Adrien, bisa baca work Ka Dee Ane yah.)

Sambungan teleponku dengan Edo pun terputus. Saat itulah aku merasakan seseorang baru saja duduk di bangku sisi sebelah kananku.

"Hari ini nggak sebarin brosur lagi, Mbak?"

Aku menoleh ke arah orang itu. Jantungku berdetak lebih cepat. Berusaha mengamati apa pun untuk meyakinkan diri bahwa aku mengenalnya atau tidak.

"Masih ada brosur buat saya nggak? Mungkin ada sample lagi?" tanya orang itu.

Rasa-rasanya suara itu familiar. Di mana aku pernah mendengarnya? Apa dia kerja di rumah sakit Lovelette? Salah satu yang dapat brosur dan sample daqouise cake kemarin? Tapi dia tidak berseragam.

"Wah, kayaknya emang udah habis yah brosur dan sample-nya," celetuk pria itu lagi.

Ah, sepertinya dia melihatku membagikan brosur dan sample di sekitar rumah sakit ini kemarin. Dengan cekatan aku mengubek-ubek isi tas. Nah ini dia! Untung masih ada.

"Masih ada, kok." Aku menyodorkan brosur re-opening patiserrie Bon Appetit. "Opening-nya minggu depan. Silakan datang, yah. Ada promo tambahan kalau bergabung membership pelanggan. Bisa daftar di nomor yang tertera ini. Dan untuk sample daquoise cake seperti kemarin, maaf hari ini nggak ada. Atau Mas bisa mampir ke Bon Appetit, kebetulan hari ini kami sudah buka. Yah, belum resmi buka, sih. Masih untuk pelanggan tetap saja. Mas bisa sebut nama saya, mereka pasti melayani."

Ada jeda menyelimuti kami berdua.

"Oh ya, nama saya juga ada di kartu nama itu. I-VON-NE. Panggil saja saya Vonne." Aku menunjuk kartu nama yang sengaja direkatkan dengan brosur. Ada nama Edo juga, tapi nama cowok itu tercetak langsung di brosur.

Lagi-lagi orang yang duduk di depanku dan tadi menyapa, masih diam saja. Apa ada yang salah dari penjelasanku? Apa aku harus ulangi lagi?

"Ada yang mau ditanyakan, Mas?"

Meledaklah tawa dari pria ini. Alisku saling bertautan. Apa yang lucu?

***

Author's Note
Buat yang mau tahu cerita dokter oppa-oppa seperti Dokter Galen, bisa check work Kak Fiieureka yah.
Kalau mau kenal Adrien, bisa ke work Kak Dee_ane

Big Love 🍰🍰🍰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top