Chapter 8: Mantan

Dear pembaca penuh cinta. Virgo dan Vonne alias ViVo update lagi. Gimana lebarannya? Kue lebarannya udah habis belum? Banyakan dimakan tamu atau dimakan sendiri? 🙈. Kalau Tane dimakan sendiri karena tamu tahun ini sedikit efek Covid 19.😟
Semoga tahun depan, lebaran bisa seperti biasanya yah. Saling berkunjung dan bercengkerama bersama teman, sahabat, dan keluarga. 🥰

Salam sehat selalu, kalau badan mulai terasa nggak nyaman, segera konsultasi ke dokter di Rs. Lovelette yaa. #projecthospitallove💞

Btw, ada Poppy dari cerita "Catatan Hijrah" nongol di sini sebagai mantan dr. Virgo.🤭

-Tane-

Virgo

Merci kesayanganku sedikit berguncang saat pintunya tertutup. Senyumku mengembang mengingat dengan jahil, aku mengerjai gadis kecil yang kini sudah dewasa dan semakin cantik itu.

Ekspresinya terlihat manis ketika sedang menahan kejengkelan. Sample kue kuangkat dan kupandangi dengan senyum. "Ternyata toko roti itu masih ada."

Awalnya aku tidak mengenalinya. Begitu membaca posisinya sebagai bos Bon Appetit, itulah kenangan tentang perkenalan singkat kami kembali menyembul. Tidak benar-benar berkenalan. Lebih tepatnya, aku berpotensi naksir pada si rambut hitam kemerahan dengan kulit seputih salju itu. Aku justru baru tahu namanya tadi.

Yvonne Cheverly Leroux.

Pantas saja wajahnya sangat bule. Dulu, jarang sekali ada anak campuran seperti gadis ini di lingkunganku. Itu pertama kalinya aku bertemu dengan gadis seputih dan se-bule Yvonne. Ah, nama itu hampir membuatku salah paham.

"Mas bisa baca nama saya dengan benar."

Tentu saja, aku pernah punya dosen tamu dari luar saat kuliah dulu. Namanya sama, Yvonne dan dia mewanti-wanti dengan pelafalan I-V-ON-N-E.

Hatiku tergelitik saat kata "Mas" meluncur begitu saja di bibir mungil merah jambunya. Bukan "Mas" dalam pelafalan orang jawa pada umumnya, lebih pada kata "Mas" dengan huruf "S" mirip "SH".

Imut sekali. Apa ini kesempatanku untuk kembali mendekatinya? Sudah lima belas tahun dan aku masih mengingat pertemuan kami pertama kali. Jangan-jangan ini yang dinamakan takdir?

Dia adalah gadis yang dulu kulihat sebelum berangkat ke Depok untuk kuliah. Dia adalah gadis sepuluh menit yang membuat jantungku nyaris berhenti berdetak. Mantan gebetan. Anak pemilik toko roti prancis kesukaan bunda.

Mengingat bunda, hatiku rasa seperti teriris. Ada ingatan yang hilang tentang malam itu. Malam kecelakaan terjadi. Kata Dokter Lala—psikiater yang membantuku bangkit dari rasa kehilangan—itu efek dari treatment trauma kehilanganku selama ini. Jika aku bersabar, ingatan itu akan kembali dengan sendirinya. Meskipun ini sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu.

Aku mengambil botol obat dan mengeluarkan isinya. Menelan sebutir dan menghela napas. Saat itulah, gawaiku bergetar. Nama Poppy muncul di layar. Mendadak kepalaku pusing.

"Halo," sapaku enggan.

"Virgo? Kamu udah pulang?" Poppy memiliki suara yang merdu dan manja sebenarnya. Aku saja yang tidak menyukai tipikal suara adik kelas beda fakultas itu.

Poppy mengenyam pendidikan sastra Prancis dan lima tahun lebih muda dariku. Kami bertemu dan berkenalan karena Robin, kakak tirinya yang kebetulan seangkatan di fakultas kedokteran. Entah ada perjanjian apa antara dua kakak beradik itu, setiap kali aku dan Robin bertemu, Poppy selalu menyusul ke tempat pertemuan. Lama-lama, hubunganku dengan Poppy menjadi lebih dari sekadar teman. Kami memutuskan untuk berpacaran begitu selesai KOAS dan putus saat aku hendak ambil spesialisasi.

"Ini baru sampai tempat parkir. Ada apa, Pop?" Aku menyalakan mesin vios. Suaranya sudah tidak begitu nyaman, sepertinya harus segera di-service atau mungkin diganti saja sekalian.

"Kok nggak ngabarin kalau udah mau pulang? Gimana pekerjaan hari ini? Pasiennya banyak?"

"Yah, begitulah."

"Udah dapat penggantiku belum? Atau masih belum bisa move on?"

Aku tertawa. "Kayaknya yang belum bisa move on itu kamu deh, Pop. Ngapain malam-malam begini masih telepon aku? Nggak ada yang angkat telepon kamu selain aku?"

"Yei, sombong. Aku tinggal silang kaki pas duduk aja udah banyak yang minta nomorku."

"Tapi nggak ada yang hubungin."

"Ih, kamu kok jadi jahat, sih?"

"Ya bukannya jahat, tapi kita 'kan udah putus. Bukannya kalau putus, seharusnya nggak begini? Kamu yang mutusin aku. Nggak amnesia, kan?"

"Ya, emang. Tapi itu 'kan karena kamu sibuk sama pasien-pasien kamu itu sampai nggak punya waktu buatku."

"Dan kamu memilih jalan sama cowok itu, kan?"

"Iya, tapi karena aku itu kesepian ditinggal kamu kerja terus."

"Sekarang juga begitu, kok. Aku sama sekali nggak berubah. Prioritasku tetap pasienku. Jadi, sebaiknya kamu nggak buang-buang tenaga. Lagi pula, bukannya kamu bilang mau cari cowok yang lebih baik dariku, Pop?" Jari-jariku mengetuk setir beberapa kali.

"Kamu kebangetan yah, padahal aku udah minta maaf. Aku udah nurunin harga diriku cuma buat ngajakin balikkan. Aku tahu kalau kamu masih sayang sama aku."

"Hm, sayang banget," gumamku tanpa sadar.

"Apa? Kamu bilang 'sayang'? Virgo, kamu ... kangen aku yah? Tiba-tiba aku dipanggil sayang. Ih, kamu mah pas deket aja sering nolak buat balikkan. Giliran udah jauhan begini, baru jujur."

Alisku terangkat, menyadari kalau aku salah ngomong. "Bu ... bukan. Maksudku sayang banget aku pindah ke sininya telat. Di sini, aku sepertinya betah."

"Beneran? Kamu betah jauh dariku? Yah, padahal aku itu kangen berat sama kamu. Rencananya, minggu depan aku mau mengunjungi kamu di Malang. Kamu 'kan sendirian di sana."

"Kamu mau ke sini?" Aku bisa merasakan kedua alisnya nyaris bertautan.

"Iyah, sekalian aku mau liburan. Pusing kerjaan di ritel nggak ada habisnya. Kayaknya aku salah pilih kerjaan deh. Ilmu kuliahku sama sekali nggak kepake kecuali buat ngobrol sama big bos. Kebetulan dia orang Prancis."

Poppy terus mengoceh tentang pekerjaannya dan rasa rindu yang tidak pada tempatnya. Bagaimana bisa? Yah, karena aku sudah benar-benar melupakannya. Aku sama sekali tidak merindukan karyawan PT. Happy Family itu. Bagiku, Poppy hanyalah seorang wanita yang pernah kusayangi. Mungkin aku masih sayang, tetapi bukan sayang yang menjurus untuk berhubungan kembali.

"Pokoknya, selama di Malang, kamu harus nemenin aku. Aku itu ke Malang cuma buat ketemu kamu, Virgo."

"Iya deh iya." Aku memilih mengiyakan permintaannya. Kalau tidak begini, Poppy akan jadi teman ngobrol sepanjang jalan pulang. Terserah nanti bagaimana. Mungkin aku bisa minta pasien lebih banyak lagi ke perawat Nina. Dengan begitu, alasan klasik kembali bisa digunakan.

Setelah mengakhiri telepon, aku segera melajukan mobil ke luar area rumah sakit. Mataku sempat menangkap sosok Yvonne yang sedang berjalan hendak menyeberang. Di sampingnya, seorang laki-laki menggandeng erat.

Siapa itu? Pacarnya? Atau jangan-jangan ... suaminya? Eh, tapi kayaknya dia masih muda banget. Nikah muda? Yah, padahal baru juga mau dipedekate-in. Bahuku melemas.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top