Chapter 7: Member Card
Halo, Pembaca yang penuh cinta. Mohon maaf karena kemarin tane ngga bisa update. Sibuk persiapan lebaran. Besok juga libur dulu update-nya yah. Btw, selamat hari raya idul fitri yah bagi yang merayakan. Santapan lebarannya sudah lengkap? Menurut pengalaman, santapan lebaran seperti kue atau ketupat hanya 10-20% dinikmati oleh tamu, sisanya ya dimakan sendiri he he he.
Jangan kalap yah, kalap baca boleh apalagi baca cerita-cerita #projecthospitallove dari theWWG yang kece banget. Coba deh, abis baca ini balik lagi cek di prakata tane. Ada list-nya di situ.
Selamat membaca.
Yvonne
"Mas bisa baca nama saya?"
Pertanyaan itu keluar begitu saja. Kalau mama tahu, pasti beliau langsung menegurku. Tapi, kalau kamu mengalami yang aku alami dengan nama ini, aku rasa wajar untuk bertanya seperti itu.
Dari suaranya, aku tahu kalau orang yang sedang berdiri di depanku ini adalah laki-laki. Dari suaranya juga—yang terdengar sangat bass dan dewasa—usianya mungkin sudah kepala tiga, entahlah. Aku yakin dia pasti terkejut mendengar pertanyaan konyolku. Tampilan dandy dengan vest rajut, jam tangan Alexandre Christie, tentu jauh dari kesan orang yang tidak bisa membaca. Apalagi id card nama dan profesinya penggantung di tangan.
Dr. Virgo R. Malik, Sp. N
Aku harus segera meralat pertanyaan. "Maksud saya ... biasanya orang suka salah mengeja nama saya."
"Oh ya?"
"Yah, mereka nggak baca I-V0N-NE, tapi suka baca nama saya jadi Ye-vo-ne atau Ye-von bahkan ada yang baca Vone saja. Jadi, saya sedikit terkejut karena Mas bisa tepat membacanya tanpa bertanya dulu."
Aku melihat gerakan tangannya mengarah ke belakang kepala. Dia menggaruk-garuk leher bagian belakang. "Oh, saya kira saya terlihat seperti gembel di mata Mbak."
"Nggak ada gembel yang pakai barang bermerk." Aku menimpalinya sambil tersenyum.
Agaknya pria itu melirik ke jam di pergelangan tangan sebelum menyembunyikannya di dalam saku celana. Tepat saat itu pintu lift terbuka.
Ia lantas menekan tombol ke basement.
"Jadi, Mbak pemilik toko roti prancis di seberang jalan?"
Aroma parfum musk diracik dengan aroma kayu mint begitu menusuk hidung. Berapa botol yang dipakai orang ini? Aku sedikit mendengus. Hidungku sesnsitif dengan bau. Itulah masalahnya. Parfum yang berlebihan bisa membuatku mulai pusing. Apalagi di ruang tertutup seperti lift ini.
Aku berusahs tersenyum dan mengangguk. "Mas suka roti dan cake prancis? Ini ada sample daquoise cake. Silakan dicoba dulu."
Aku mengeluarkan kemasan daquoise cake mini yang memang diperuntukkan sebagai sample dari dalam goodie bag. Stok terakhir hari ini.
Aku menyodorkannya. "Saya juga akan kasih diskon untuk pembelian minimal Rp 100.000,-"
Prinsip promosi dan marketing-ku adalah siapa pun bisa menjadi calon pelanggan. Bahkan jika itu orang yang ditemui saat menunggu lift seperti tadi dan sekarang sedang berdiri di depanku.
Sejak semakin banyaknya toko roti dan kafe berjamuran di Malang, aku harus kerja ekstra. Lihat saja di lantai bawah rumah sakit elit ini. Entah berapa banyak kafe untuk pengunjung di sana, sekadar menyesap kopi di pagi hari sembari menunggu pasien.
Bon Appetite terancam kehilangan pamor. Untuk itulah aku merenovasi toko roti mama menjadi perpaduan toko roti dan kafe yang menarik seperti di Paris. Inspirasiku seperti kafe-kafe di Trocadero, Paris. Romantis dan penuh kenangan. Selain itu, aku bahkan kerap memberikan sampling untuk pelanggan lama dan yang baru.
"Wah, seratus ribu itu dapat apa saja? Secangkir kopi dan satu croissant? Kemahalan."
Aku mengernyitkan dahi. Kalau dari penampilannya, dia terlihat seperti laki-laki yang sering belanja barang mewah tanpa peduli dengan price tag. Lalu sekarang mengeluh harga kopi plus croissant?
Sebenarnya seratus ribu rupiah itu bukan hanya untuk secangkir kopi dan sepotong croissant.
"Di brosur itu ada roti dan cake yang kami jual, lengkap dengan harganya. Bisa dilihat-lihat dulu. Tentu saja kalau Mas jadi pelanggan, akan ada diskon yang lebih banyak lagi. Kami akan re-opening dan merilis member card akhir pekan depan. Mas bisa datang untuk mencoba menu-menu yang lainnya dan bergabung sebagai member pelanggan untuk dapat kejutan lainnya." Aku memasang senyum semanis mungkin meskipun mata ini sudah sangat kelelahan.
"Oh ya? Seperti apa misalnya?"
Aku senang karena sepertinya dia tertarik. "Hm, misalnya saat ulang tahun atau anniversary."
"Mbak kasih saya free cake ulang tahun, begitu?"
Aku mengangguk. "Ya."
"Tapi saya nggak suka cake. Terlalu manis."
"Masih ada keuntungan lain, kok. Kalau sering beli apa pun di Bon Appetite, poin akan semakin bertambah."
"Gunanya?"
"Bisa di-redeem untuk dapat diskon yang lebih banyak lagi."
"Jajan di Bon Appetite lagi, dong?"
"Ng ... Ya kira-kira begitu." Kenapa aku jadi merasa seperti terdakwa?
"Kalau saya diabetes karena kebanyakan makan roti dan kue gimana?"
"Hah?"
"Iya. Mbak tahu 'kan dalam sepotong roti dan cake itu ada berapa kalori? Pernah hitung nggak, Mbak? Belum lagi gula yang digunakan. Saya yakin, Mbak pakai pemanis buatan juga. Bayangkan berapa banyak gula yang harus saya tumpuk di badan saya hanya untuk dapat poin di member card di sini?" Telunjuk laki-laki itu mengarah pada brosur dan kartu nama yang ada di tangannya.
Aku melengos. Nih orang kenapa sih? Kok jadi bahas kalori dan gula?
"Kami punya menu diet juga." Aku masih berusaha untuk mempromosikan Bon Appetite.
"Laku?"
Belum sempat kujawab, pintu lift terbuka dan laki-laki itu tanpa menunggu, melangkah ke luar. Sambil berlalu, ia bahkan sempat mengutarakan sesuatu yang menurutku menjadi trigger kekesalan sebagai owner dan tukang roti di Bon Appetite. "Tapi ini ... terima kasih. Nanti saya coba. Kalau cocok dengan selera, mungkin saya mau jadi member. Kalau nggak ... yah barangkali saat re-opening nanti ada yang lebih worth it untuk dicoba."
Aku merasa kesal. Laki-laki itu semakin menjauh, punggungnya begitu menyebalkan.
"Ipong!"
Aku menoleh. Itu suara Edo.
"Aku baru aja selesai kasih brosur dan kartu nama ke bagian administrasi. Mereka suka dengan sample Daquoise cake kita. Kayaknya menu ini bakal ngalahin mille fuille, deh. Kamu kenapa? Kok kayaknya kesel gitu?"
Aku mengibaskan tangan dan mengajak Edo untuk pulang.
"Tante Risma gimana?" Edo berjalan di sampingku. Tempat parkir ada di gedung E dan sekarang kami di lobi gedung D. Butuh waktu untuk sampai ke sana. Benar-benar tida efektif.
"Tadi baru bikin janji dengan dokternya. Minggu depan baru bisa ketemu. Untungnya aku belum bawa mama. Sepertinya rumah sakit sebesar ini kekurangan dokter ahli deh, lebih banyak dokter yang kebanyakan gaya."
Mataku melirik ke arah pintu otomatis yang mengarah ke gedung E, tepat saat punggung laki-laki tadi menghilang di belokannya.
"Dokter banyak gaya? Siapa?"
"Ada deh. Semoga besok-besok nggak ketemu lagi sama dia. Masa belum pernah nyobain daquoise cake kita, tapi udah sok jual mahal. Itu resep turun temurun dari keluarga papa di Paris!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top