Chapter 5: Ma, Aku Takut
Yvonne
"Kenapa kamu nggak bisa mengenali Om Pram? Jelas-jelas fotonya ada di situ." Mama memegang bahuku erat.
Keringat mengucur di pelipisku. Yah, kenapa aku sama sekali tidak bisa mengenali Om Pram dari fotonya? Aku menatap lekat-lekat mama yang duduk bersimpuh di depan lutut. Mama memandangiku. Aku tahu itu, tapi kenapa baru sekarang aku sadar kalau wajah mama pun sama sekali tak bisa kukenali.
Sentuhan jari-jarinya, aroma tubuhnya, pakaiannya, ciri-ciri fisiknya. Semua itu aku hapal. Pantas saja aku benci bertemu dengan orang-orang. Aku kesulitan mengenali mereka secara langsung. Pantas saja di sekolah tak ada yang mau berteman denganku ... karena aku tidak pernah menyapa mereka. Aku tidak mengenali wajah mereka. Satu orang pun.
Kenapa aku bodoh sekali? Kenapa baru sekarangaku menyadari semua itu?
"Ma, tapi aku yakin itu benar Om Pram."
"Lalu kenapa kamu nggak bisa tahu wajah Om Pram? Polisi bilang kamu hanya diam saja di dalam sana. Mama sampai datang buat nemenin kamu, Vonne. Kesaksian kamu ini penting buat penyelidikan. Kalau memang Om Pram yang jadi pelaku tabrak lari itu, dia harus dihukum. Kalau itu orang lain, setidaknya kamu nggak membuat orang yang nggak bersalah jadi bersalah, Vonne."
Aku mendengar ada nada aneh dalam suara mama. Ada kegusaran yang luar biasa dan sangat terganggu setiap kali menyebut nama laki-laki genit itu. Mama seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Malam itu pun, saat ia menyusulku di tempat kejadian, mama justru menanyakan Om Pram.
"Kenapa Mama marah karena aku nggak bisa mengenali foto Om Pram?"
"Kamu ketemu dia setiap hari, Vonne. Dia sering menyapa kamu dan ...,"
"Aku nggak pernah menggubrisnya karena selama ini aku ... nggak bisa kenal wajahnya?"
Kami berdua sama-sama terdiam. Aku menyipitkan mata. Berharap wajah yang mengabur itu hanya karena mata minusku bertambah. Mataku beralih pada papan nama tak jauh dari kami berdua duduk. "Dilarang Menginjak Rumput."
Aku bisa membacanya dengan sangat jelas.
Kenapa wajah mama beda? Kenapa mata mama ke mana-mana? Kenapa tidak ada bentuk di sana? Apa yang terjadi padaku? Apa yang terjadi pada pandanganku?
"Nggak. Kita harus periksa ke dokter. Semoga mereka tahu apa yang terjadi padamu, Vonne. Mama yakin, ini pasti karena kamu trauma ditinggalkan papa kamu dan menyaksikan kecelakaan itu."
Aku harap juga begitu.
***
Dari hasil konsultasi dengan dokter umum, beliau mengarahkan ke dokter mata. Dugaanku benar. Mataku baik-baik saja. Semua huruf-huruf di dinding itu bisa kusebutkan tanpa kendala.
Dokter mata tersebut lantas menyarankan mama untuk membawaku ke dokter kejiwaan. Mungkin saja aku benar-benar trauma dan kejiawaanku terganggu karena mengalami hal buruk belakangan ini.
"Ma, Vonne capek."
Aku berhenti di depan lift begitu kami berada di lantai empat gedung D dari rumah sakit Lovelette nan megah ini.
"Sayang, kita belum tahu apa yang terjadi sama kamu. Ruang praktik Dokter Rin sudah dekat." Mama jongkok di depanku. Kepalanya mendongak, menatap wajahku yang tertunduk. Berada sedekat ini, tidak ada celah yang bisa kubaca sebagai wajah mama. Perlahan, air mataku menggenang.
"Kenapa, Vonne? Kenapa kamu menangis?" Mama mengelus lenganku khawatir.
"Vonne ... Vonne ... Vonne nggak tahu wajah Mama." Akhirnya aku mengatakannya. Mengatakan apa yang baru kusadari setelah lebih dari tiga belas tahun bersama mama.
Pegangan mama di lenganku terlepas. Tidak ada yang bersuara. Aku mulai terisak. Otakku berusaha menemukan wajah papa dan itu pun tidak bisa kutemukan. Hanya aromanya, pakaian borjuis yang selalu dikenakannya, suaranya ...dan pelukan hangatnya yang bekelindan.
Papa, kenapa aku juga tidak bisa mengingat wajah Papa?
"Vonne." Suara mama terdengar berat dan bergetar.
"Kita temui Dokter Rin. Kita akan tahu apa yang terjadi padamu, Sayang. Kalau rumah sakit sebesar Lovelette ini nggak tahu apa yang terjadi padamu, Mama akan cari rumah sakit lain. Kalau nggak ada juga, Mama akan cari rumah sakit di luar negeri sekalian."
Seseorang mendorong kursi roda melewatiku sambil mengatakan sesuatu. Aku bergeming. Kata-katanya tidak begitu jelas, tapi suara ini ... aku rasa mengenalinya di suatu tempat.
Aku segera menoleh. Dari pakaiannya, aku tahu kalau yang mendorong kursi roda adalah wanita. Suara tadi bukan suara wanita. Suara ini ... jangan-jangan yang ada di kursi roda itu ....
Tubuhku menegang.
"Kenapa lagi?" Mama terdengar frustasi.
Aku takut. Aku takut, Ma.
Begitu banyak orang lalu lalang di sini, satu pun tak bisa kukenali wajahnya dengan sempurna. Wajah-wajah itu meleleh dan berbentuk tak beraturan. Seperti wajah mama.
Aku takut, Ma.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top