Chapter 42 Ending Yang Memulai
Yvonne
"Jadi, jelaskan padaku. Bagaimana bisa Om Pram itu ayah kamu?" tanyaku dengan bingung.
Terdengar helaan napas dari laki-laki itu. "Aku akan menceritakan semuanya, Vonne. Mungkin ini memang sudah saatnya aku jujur."
Kata-kata Edo membuatku semakin bingung. Namun, alih-alih kembali memberinya pertanyaan, aku hanya diam menunggu.
"Awalnya, aku mendekatimu karena ingin membalas dendam."
Lagi-lagi ada kejutan yang lain. "Balas ... dendam? Maksudnya?"
"Yang aku tahu saat itu, ayahku dan Madame Risma punya hubungan yang nggak wajar—meskipun kemudian aku tahu kalau ayah yang menggoda Madame Risma dan mama kamu tahunya ayah dan ibuku sedang dalam proses perceraian. Apalagi saat itu, Madame Risma sedang mengurus perceraian dengan papa kamu, Vonne."
Edo berhenti sejenak. Aku menahan diri untuk memotong ceritanya dengan meralat pendapatnya tentang "hubungan khusus" Om Pram dan mama.
"Saat tahu kita di SMA yang sama, aku ingin membalaskan dendam padamu. Aku ingin membuatmu jatuh cinta padaku dan meninggalkanmu begitu saja. Sama seperti yang dilakukan oleh ayah pada ibuku."
Tangan Edo saling mengaitkan seolah ia memang menyesali pemikirannya sendiri.
"Namun, bukannya menjadi kekasih, kau justru menganggapku hanya sebagai sahabat. Dan satu per satu aku tahu kondisimu. Itu membuatku ... justru ingin selalu di sisimu."
Aku masih diam saja.
"Saat aku tahu kalau kamu justru menyukai Virgo—orang yang baru beberapa bulan ini kamu kenal—daripada aku yang sudah sejak dulu menemanimu sampai mau membuang masa depanku hanya untuk bisa bekerja di sini dan selalu dekat denganmu."
"Aku juga menyukaimu, Edo." Aku segera meralat ucapannya.
Edo terdengar meringis. "Kamu tahu dengan pasti 'menyukai' yang seperti apa maksudku."
Aku terdiam.
"Kamu nggak perlu merasa bersalah. Aku sudah baik-baik saja."
"Sudah?" tanyaku memastikan.
"Tadinya aku merasa kamu nggak adil. Tetapi aku bisa apa kalau hati kamu maunya sama dokter itu. Dibandingkan aku yang hanya karyawan kafe biasa, tentu siapa pun akan lebih memilih seorang ...."
"Aku nggak pernah membandingkan kalian begitu, Edo!" ralatku.
Edo tidak mengatakan apa-apa.
"Maaf," ucapku lagi.
Kudengar suara helaan napas. "Sudah, berhentilah meminta maaf terus. Justru aku yang datang ke sini untuk minta maaf karena ayahku kembali mengganggumu."
Aku ragu untuk menanyakan satu hal yang berkaitan dengan Om Pram mengenai kecelakaan itu. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, aku memutuskan untuk menanyakannya.
"Jadi, dia ayahmu yang kabur lima belas tahun yang lalu?" tanyaku hati-hati.
"Ya."
"Apa ... kamu tahu alasannya kabur?" tanyaku lagi.
Edo tidak langsung menjawab. Seraya memainkan ketukan jari di paha. Ketukan itu berhenti setelah beberapa detik.
"Ayahku ... senang berjudi. Semua uang hasil kerjanya—bahkan milik ibu dari jualan di pasar—selalu habis di meja judi. Hutang-hutang pun untuk judi."
Edo diam sejenak sebelum melanjutkan.
"Malam itu, ayah baru saja pulang dari Bon Appetit. Kejadiannya sangat cepat. Ayah pulang meminta uang ibuku. Ibuku menolak dan ayah pun mengamuk. Ibuku ... dipukuli ... seperti yang biasa dilakukannya. Aku ... baru saja pulang dari rumah temanku ... mendapati ibu tak sadarkan diri di ruang tamu. Tepat saat itu, mobil ayah keluar dari garasi. Itulah terakhir kalinya aku melihatnya lima belas tahun yang lalu."
Terdorong perasaan simpati, aku mengelus tangan Edo, berharap bisa menyalurkan sedikit kekuatan.
"Beberapa minggu lalu, ayah tiba-tiba muncul. Saat tahu kalau ibu sudah meninggal, untuk pertama kalinya aku melihat air matanya. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya. Haruskah kuterima lagi orang seperti itu? Lalu, saat aku butuh seseorang yang bisa membantuku menenangkan diri, kamu juga berada dalam kesulitan karena Madame Risma sakit. Aku ... menyembunyikan fakta bahwa aku bekerja di sini dari ayah. Beberapa kali dia ke sini, aku bersembunyi. Sayangnya, dia tahu juga. Sejak itu, ayah terus menanyakan Madame Risma dan dirimu. Itu ... membuatku takut. Aku takut ayahku akan mengganguu atau bahkan ... menyakiti kalian lagi."
Aku teringat sesuatu.
"Ayahku ... mungkin bukan orang jahat, tetapi dia juga ... tidak sebaik itu untuk dipanggil ayah. Aku tidak tahu dosa apa yang dibuatnya dan pada siapa selain pada ibuku. Aku ... tidak ingin menerimanya lagi, tetapi dia—ayahku—sakit."
Aku yakin, Edo tidak tahu soal itu.
"Sakit?"
"Dari hasil pemeriksaan Dokter Virgo, ayah menderita Myasthenia Gravis yang sudah di tahap serius. Aku tidak terlalu tahu penyakit apa itu, hanya saja akhir-akhir ini, ayah sering sesak napas parah dan ...."
"Dokter Virgo? Maksudmu ... dokter yang merawat Om Pram adalah ... Dokter Virgo?"
Aku melihat anggukan Edo.
Firasat buruk tiba-tiba muncul begitu saja.
"Pagi ini, ayah juga hendak check up sebelum jadwal operasi ditentukan."
"Om Pram mau bertemu Dokter Virgo?"
Lagi-lagi Edo terlihat menggangguk. "Dia bilang mau datang pagi-pagi untuk memberikan hadiah pada Dokter Virgo."
Keningku mengerut. "Hadiah?"
"Ya. Vonne, kamu kenapa? Kenapa wajahmu tiba-tiba pucat?"
Aku tidak lagi mendengarkan Edo. Yang kulakukan detik berikutnya adalah menyambar kardigan dan menuruni tangga secepat mungkin.
Aku harus menemui Virgo!
***
Dear pembaca yang budiman. Mohon maaf baru bisa update. Author baru dapat kemalangan dan butuh masa menenangkan diri yang cukup lama. Alhasil, planning menamatkan cerita ini di Bulan Desember tidak tercapai. Author nggak mau PHP lagi, tapi cerita ini sudah mendekati akhir. Author butuh revisi sana sini dulu hi hi hi.
Terima kasih sudah setia mengikuti LovSen sampai chapter ini. :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top