Chapter 41 Benang Kusut Yang Terurai (4)
Yvonne
Otakku tidak bisa berpikir. Ucapan Opie tentang hubungan Om Pram dan Edo benar-benar mengejutkan. Kutunggu Edo dengan gelisah sampai menjelang kafe buka pukul tujuh. Namun, laki-laki itu sampai sekarang belum memperlihatkan diri.
"Bonjour," sapaku saat bunyi pintu dibuka terdengar. Seorang pria—kira-kira lebih pendek dari Virgo—berjalan mendekati drink station yang ada di tengah ruangan. Aku baru selesai menata krosan dan baguette di nampan dan keranjang rotan saat aroma kopi menguar begitu pria itu berjalan ke kasir.
Pria itu mengenakan baju yang biasa saja. Kemejanya pun tampak lusuh. Melihat caranya berjalan, aku yakin kalau usianya juga sudah tidak muda lagi.
Aku hendak masuk ke dalam bar saat pria itu berkata, "Tempat ini benar-benar nggak berubah." Tubuhnya yan tadinya lurus di depan kasir, kini sedikit miring menoleh padaku. "Akhirnya aku bisa ketemu kamu lagi, Nak Ponne."
Suara itu begitu familiar.
"Apa kabar, Nak Ponne. Masih ingat dengan Om Pram?"
Aku merasa sekujur tubuh ini bergetar karena terkejut. Mendengar namanya beberapa kali sejak kemarin, belum benar-benar membuatku percaya kalau Om Pram benar-benar kembali. Namun, sekarang dia ada di depanku.
"Om dengar mama kamu sakit dan baru saja selesai dioperasi. Kamu pindah rumah? Om datang ke rumah kalian yang lama, tapi pemiliknya beda."
Aku terkejut mendengarnya.
"Kenapa diam saja, Nak Ponne?"
Tanpa sadar, aku sedikit mundur.
"Nak Ponne nggak kangen sama Om Pram?"
Aku merasa napasku sesak. Bayangan laki-laki ini yang pernah "memainkan drama" dengan mama dan menyebabkan ibunda Virgo meninggal berkelebat.
"Om ... Pram?"
Om Pram tertawa. "Kamu ingat? Wah, sudah lama banget kamu. Lihat! Biarpun tadi Om ragu, tapi Om masih ingat sama kamu waktu kecil. Tetap sama, bahkan jauh lebih cantik."
Aku bergidik mendengar pujian itu.
"Jadi, kamu dan mama kamu pindah ke mana? Om sudah lama nggak ketemu sama Dek Risma."
Bagiku, itu terdengar menakutkan.
"Papa sudah pulang," jawabku dingin.
Om Pram terdiam. Aku tidak bisa melihat ekspresina, tetapi yakin pasti ada raut terkejut di wajah itu.
"Dek Risma dan Mister Le Roux rujuk? Dek Risma rujuk sama suaminya?"
Ingin sekali aku mengiyakan, tetapi itu sama saja dengan berbohong. Maka yang kulakukan hanya tidak mengacuhkannya.
"Nak Ponne nggak berubah ya sejak dulu, selalu cuek sama Om."
"Om Pram kenapa datang ke sini?" tanyaku dingin.
"Oh, Om Pram mau ketemu orang dan ini beli kroisan untuk dia. Dia sudah merawat Om Pram dengan baik selama ini." Om Pram mengangkat kantong berlabel Bon Appetit.
Merawat? Siapa maksudnya?
"Dan sekalian mana tahu Om Pram ketemu kamu. Om beberapa kali ke sini lho, tapi Nak Ponne jarang di sini. Sibuk, ya?"
Aku tidak menjawab dan masih menatapnya dengan perasaan yang berkecamuk.
"Om juga baru tahu kalau ternyata Edo kerja di sini. Nggak jodoh ibunya, anak sama anak juga nggak apa-apa." Om Pram terkekeh dan membuatku bergidik.
"Ya udah, kalau begitu. Om senang bisa ketemu kamu lagi. Jadi, kalian pindah ke mana? Om mau silaturahmi sama Dek Risma."
Kesabaranku habis. "Maaf, Om. Tolong jangan ganggu mama saya lagi!"
"Lho, Om nggak ganggu, Nak Ponne." Om Pram menndekat. Aku bisa mencium aroma kretek dari tubuhnya. "Mungkin dulu karena kamu masih kecil, jadi nggak begitu mengerti. Tapi sekarang kamu udah besar, jadi Om akan jujur." Laki-laki tua itu kembali terkekeh. Aroma napasnya benar-benar membuat kepalaku pusing.
"Om dan Dek Risma, hubungan kami sangat dekat. Bisa dibilang, bisa saja Om dan mama kamu menikah setelah perceraiannya dengan Mister Le Roux."
Darahku mendidih. Namun, melihat satu per satu pelanggan mulai berdatangan, aku mencoba mengendalikan emosi.
"Jangan bicara sembarangan, Om!" tukasku dengan intonasi setenang mungkin. "Aku udah tahu semua cerita 'palsu' Om dan mama. Dan semua kesalahpahaman itu sudah jelas sejelas-jelasnya. Jadi, jangan mencoba kembali memperkeruh keluargaku."
"Oh, Om nggak bicara sembarangan, Nak Ponne. Om benar-benar bisa saja menjadi papa kamu sekarang kalau saja malam itu ...." Ucapan Om Pram terhenti.
"Malam itu apa?" tantangku.
"Malam itu, ayah nggak melarikan diri setelah menabrak mobil kijang dokter itu."
Baik aku dan Om Pram menoleh ke arah pintu masuk.
"Edo?!"
"Kapan Ayah akan berhenti mengganggu Vonne dan Madame Risma?" Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Edo, tetapi bisa kupastikan bahwa lelaki itu sednag menatap tajam dan putus asa jika mendengar intonasi yang keluar dari bibirnya.
"Apa Ayah masih belum puas menghancurkan hidup satu wanita dan sekarang ingin menghancurkan hidup wanita lain?"
"Wanita apa maksudmu, Edo?"
"Ibuku, istri Ayah sendiri!"
Suara Edo cukup menggelegar hingga membuatku terkejut. Beberapa pelanggan berhenti melakukan aktivitasnya dan menoleh pada kami. Aku segera menyapa ramah pada dan mempersilakan untuk melanjutkan apa yang mereka lakukan.
Setelahnya, aku menoleh pada Edo dan Om Pram. "Edo, lebih baik bicara di tempat lain." Aku berbisik pada laki-laki itu.
Edo seperti menyadari kesalahannya, ia bicara terbata-bata saat meminta maaf. "Vonne, ada yang ingin kukatakan padamu. Dan Ayah, aku mohon, jangan pernah mengganggu hidup Vonne dan ibunya. Pikirkan saja kesalahan-kesalahan Ayah yang belum selesai. Aku bahkan belum memaafkan perlakukan Ayah pada ibu—sampai detik ini."
Aku tidak tahu bagaimana raut wajah Om Pram, yang kutahu, ia mengegertakkan gigi dan mengatakan sesuatu dengan sangat pelan dan berbisik pada Edo. Setelahnya, Om Pram berbalik padaku.
"Kalau Nak Ponne sudah mau memberitahukan alamat Nak Ponne dan Dek Risma, Nak Ponne bisa hubungi Om, ya. Ini nomor, Om." Om Pram berkata dengan suara lembut, tetapi bagiku sangat menyulut emosi. Pria itu menuliskan nomornya di secarik kertas yang dimintanya ke Opie. Seraya lantas menyerahkan kertas itu padaku.
Dengan enggan, aku menerimanya.
"Jangan sungkan, ya buat hubungi Om." Setelah berkata sperti itu, ia pun berbalik dan berjalan ke luar Bon Appetit.
Setelah agak tenang, aku pun menoleh pada Edo. "Ikut aku!"
Tanpa menunggu, aku berjalan ke balik bar, melewati pintu dan dapur produksi, menaiki tangga, dan berhenti di lobi lantai dua. "Jadi, apa yang ingin kamu katakan? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku bersedekap tangan di depan dada.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top