Chapter 35: Jadian
Virgo
"Sepertinya Edo pergi karena aku ada di sini, ya?" tanyaku berbisik tepat di telinga Vonne saat pandangan gadis itu mengikuti sosok Edo yang baru saja berpamitan dengan yang lainnya dan kemudian melajukan motornya ke jalan raya.
Vonne menoleh padaku. "Nggak ada yang membantu Opie di kafe. Nggak ada hubungannya denganmu," jawabnya kemudian menuangkan jus ke dalam gelas kaca dan menyodorkannya padaku.
Aku menerimanya dengan sedikit kecewa. "Aku dengar ayahmu punya pabrik wine di Paris."
"Mersailles," ucap Vonne.
"Mersaillles?" tanyaku sambil mengerutkan dahi.
"Iya. Bukan Paris, tapi di Mersailles." Vonne menuangkan jus ke dalam gelasnya sendiri dan kemudian bersandar di dekat jendela kaca.
Aku mengangguk-angguk lalu mengikuti gadis itu.
"Aku pikir bisa dapat seteguk wine dari Mersailles," celetukku sambil berdiri di seberang sisi jendela, tepat di depan Vonne. Aku mengikuti gayanya menyandarkan tubuh.
"Papa punya pabrik di Mersailles, bukan di Malang. Kalau kamu mau, datang aja ke sana."
Aku tergelak mendengar celetukkan balasan dari Vonne.
"Lagi pula, bukannya kamu nyetir sendiri ke sini? Kalau kamu mabuk, siapa yang mau antar kamu pulang? Aku nggak mau jadi sopir dadakan." Vonne menambahkan lalu menyesap jusnya kembali.
"Bonjour, maaf ganggu sebentar." Seorang wanita bule yang hampir sama tingginya dengan Vonne, tetapi memiliki kulit yang jauh lebih bule, muncul di antara kami. Bahasa Indonesianya pun terbata-bata.
Wanita muda itu berbicara dengan menggunakan bahasa Prancis dengan Vonne. Kulihat ekspresi Vonne seperti tidak menyukainya. Seraya menghela napas, tapi kemudian mengatakan sesuatu pada wanita bule itu lalu menoleh padaku.
"Virgo, she is Sophie, my step sister." Vonne sedikit melirik dengan jenuh pada bule yang bernama Sophie tadi. "And Sophie, this is Virgo. He can't speak franch. You can use English." Vonne lantas melirik padaku. "Dokter spesialis sepertimu bisa ngomong bahasa Inggris, kan?" tanyanya dengan nada mengejek.
Aku mendengus, lalu menoleh pada Sophie. "Nice to meet you, Mademoiselle." Aku mengingat les bahasa Prancis mendadak saat dulu bersama Poppy. Mademoiselle atau dilafalkan sebagai mad.mwa.zel merupakan panggilan siopan untuk wanita muda dan masih single.
Sophie membulatkan matanya dan sedikit berseru. Aku yakin itu adalah ungkapan kekaguman dan keterkejutan karena lafalku sempurna. Selanjutnya, kami mengobrol bertiga. Beberapa kali Vonne seperti ingin mengusir Sophie, tetapi sepertinya saudari tirinya itu memiliki sifat tida tahu diri dan suka mengobrol.
Sejujurnya, mengobrol dengannya itu asik. Aku jadi tahu kalau ternyata dia sama sekali tidak suka dan berniat untuk melanjutkan usaha wine ayah mereka. Sophie lebih suka menjalani kehidupannya yang sekarang yakni menjadi penyiar radio di stasiun penyiaran terkenal di Paris. Bahkan saat ini, ia sedang mengambil cuti liburan sekaligus mengunjungi Vonne dan mamanya.
Sophie begitu terbuka, berbeda dengan Vonne. Oleh karena itu, baru beberapa menit mengobrol, aku sudah seperti sudah tahu seluruh dunianya dan tidak berminat mendengarkan lebih jauh.
"Virgo, kamu bukannya harus segera balik ke rumah sakit?" tiba-tiba Vonne menyeletuk di tengah-tengah obrolan. Aku menatapnya dengan heran.
"You said that you have an emergency patient, right?" Vonne menatapku tajam.
"Hah?" Aku tidak mengerti. Aku memang harus kembali ke rumah sakit, tapi seingatku tidak ada pasien gawat darurat. Vonne masih menatapku tajam dan seketika membuatku mengerti.
"Oh, yeah. Hm, sorry, Sophie. I have to come back to the hospital."
"Oh, no. You have to go? We're just having fun chit chat." Sophie memasang wajah imutnya dan belum sempat merespon, Vonne sudah menarik lenganku untuk menjauh.
"Yeah, right now!" Vonne yang menjawabnya sambil menggiringku ke depan.
"Hei, kenapa tiba-tiba kamu usir aku?" Aku menahan kekuatan dorongan Vonne begitu sampai di pintu depan.
"Ya, ini emang saatnya kamu pergi."
"Tapi aku belum mengobrol dengan yang lainnya."
"Siapa misalnya?"
"Hm, papa kamu."
"Udah tadi."
"Mama kamu."
"Juga udah."
"Hm, yang lainnya ... seperti—"
"Sophie? Kurang lama ngobrolnya?"
Aku menaikkan alis mendengar suara yang sedikit ketus itu. Kuamati wajah jelita Vonne dan mendapati ada sedikit emosi di sana.
"Vonne ... kamu cemburu?" tebakku dan hasilnya mengundang wajah memerah gadis itu.
"Si ... siapa yang cemburu?" Wajahnya kian memerah. Aku tersenyum melihatnya. Sebelum sempat menggodanya lagi, Sophie kembali muncul dari belakang tubuh Vonne.
"Virgo, Vonne's mom said that you can't leave without have a meal with us."
Vonne melotot pada Sophie.
"Not me." Sophie menarik tubuhnya sedikit menjauh dari tatapan Vonne.
Aku tersenyum melihat respon Vonne yang entah ia sadari atau tidak, dia sedang menciptakan teritorinya padaku terhadap Sophie.
"Thank you, Sophie. But this is really an emergency case. So, they need me. Maybe next time." Aku menolak secara halus. Sophie terlihat kecewa dan akhrnya kembali masuk.
Aku kembali menatap Vonne. "Apa aku juga nggak dapat izin buat pamitan sama papa dan mama kamu?" tanyaku sambil mengulum senyum.
Vonne memasang wajah cuek. "Nanti aku sampaikan."
Aku mengangguk-angguk. "Oke, kalau begitu. Aku pergi dulu, ya. sampai ketemu nanti malam."
Vonne mengangguk sebentar lalu terkejut. "Nanti malam?" tanyanya bingung.
"Iya, dinner nanti malam tanda kita udah jadian."
Author's Note
Dear All.
Makasih udah ngikutin cerita Virgo dan Vonne sampai sini, padahal akunya suka lama update. Sabar, ya. Bakal ada kejadian yang mengejutkan, nih. Kawal mereka sampai akhir, ya. Sisa 1,2,3,4 eh apa 5 chapter, yah? Lupa, pokoknya rencananya sebelum Desember udah tamat.
Thank you buat vote dan komennya. Komen yang banyak, dong buat penyemangatku. Nanti kelar cerita ini baru bisa kubalasin semua hi hi hi.
Borahae 💜💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top