Chapter 28 Sakit
Virgo
"Saat kamu jadi dokter nanti, kamu pasti akan menemukan paling tidak satu pasien yang sangat ingin kamu sembuhkan, tetapi belum ada satu pengetahuan pun tentang penyembuhannya. Kalau itu terjadi, apa yang akan kamu lakukan?"
Suara bunda menembus gendang telingaku saat kami baru saja keluar dari toko roti Bon Appetit.
"Apa ada penyakit yang seperti itu, Bun?" tanyaku sambil membuka pintu mobil dan duduk di samping kursi kemudi.
"Banyak. Salah satunya di sini."
Pandangan bunda mengarah pada bangunan kecil berinterior eropa yang baru saja kami singgahi. Aku ikut menoleh. Dari kaca jendela, terlihat lagi gadis yang baru saja membuat efek kupu-kupu menggeliat di dalam perutku. Dia sedang berbicara dengan laki-laki bertato itu. Aku tidak tahu hubungan mereka, tetapi sepertinya keduanya tidak punya hubungan baik.
"Apa maksudmu, Bunda? Apa di toko roti ini ada yang sakit?"
Telunjuk bunda mengarah pada gadis bule itu lagi.
"Ibunya adalah teman SMA Bunda. Dulu, kami nggak begitu akrab. Lalu Bunda jadi pelanggan di sini dan jadi lebih dekat."
Aku mendengarkan dengan seksama.
"Gadis itu ... dia nggak bisa mengenali wajah."
Aku terkesiap. "Tapi kayaknya dia nggak buta deh, Bun."
"Dia nggak buta. Dia bisa melihat dan mengenali apa pun, kecuali wajah."
"Tapi, kenapa dia nggak bisa mengenali wajah, Bun?" Aku masih tidak percaya. Bunda hanya tersenyum prihatin.
"Karena bagian temporal otaknya tidak berfungsi dengan baik."
"Dari mana Bunda tahu? Apa dia pasien Bunda?" tanyaku lagi.
"Karena teman Bunda itu juga punya kelainan yang sama. Tidak terlalu parah, tapi dia menyembunyikannya dari suaminya. Begitu suaminya tahu, hubungan mereka tidak lagi sama."
Aku terdiam. Gadis secantik itu tidak bisa melihat wajahnya sendiri dari pantulan cermin. Bagaimana rasanya bicara dengan seseorang yang tidak bisa kau kenali wajahnya?
Aku masih menatap keindahan dari balik pintu kaca itu. Sepertinya ia masih berdebat dengan pria bertato yang tadi menghalangi jalanku masuk. Pria bertato itu menoleh.
Dia adalah ... Pram Rahardjo.
Benar!
Gadis itu mengenalnya. Dia pasti pelanggan toko roti itu. Gadis itu ... Yvonne ... dia pasti mengenalnya!
"Virgo."
Aku mengalihkan pandangan, kembali pada bunda.
"Kalau kamu mencintai seseorang, cintai juga kekurangannya. Kelebihannya nggak akan bisa kamu lihat tanpa menerima kekurangannya."
Lalu sosok bunda yang anggun terlihat penuh luka.
"Inilah ingatan yang kamu cari selama ini, Nak."
Aku merasakan sesuatu yang amat menyakitkan terjadi dalam tubuhku. Bayangan berpindah pada seorang gadis yang lebih muda dariku mengetuk kaca mobil berkali-kali. Dia berlari ke sana kemari lalu menggenggamku erat. Dia memiliki aroma manis ... seperti aroma roti.
Suara sirine ambulance terdengar dari jauh. Semua kembali menggelap.
***
Aku terbangun dan menyadari kalau saat ini sedang di dalam mobil. Melihat logo di atas pintu masuk seberang sana, aku bisa tahu kalau ini di basement rumah sakit Lovelette. Kepalaku terasa sangat pusing sekali.
"Kamu udah sadar?"
Suara itu membuatku menoleh. Yvonne duduk di belakang kemudi. Ia menyodorkan botol air mineral dan obat.
"Aku menunggumu bangun untuk memberikan ini. Minumlah."
Aku menatap tangan yang mengulur itu dan bergeming.
"Sejak tadi kamu mengigau kepalamu sakit. Badanmu juga panas, keringat bercucuran. Aku pikir kamu kena demam, jadi aku belikan paracetamol. Paling nggak, ini bisa meredakan gejalanya."
Aku mencoba mengingat alasan bisa berada di sini dengan kondisi seperti ini.
"Kamu sudah ingat?" tanya Yvonne lagi.
Ah, aku bertemu dengannya di lift. Perlahan, kepala ini mengangguk lemah.
"Kalau begitu, cepat minum ini biar rasa sakitnya hilang." Yvonne kembali menyodorkan obat dan botol air mineral. Melihat wajahnya yang pucat kemerahan dan ekspresi khawatir membawa senyum kecil di bibirku.
"Baik, Dok." Aku menerima obat dan botol minuman itu dengan sedikit bercanda. Tanpa menunggu anjuran dokter amatir itu lagi, segera saja kutelan. Aku menghela napas panjang.
"Gimana sekarang? Sudah baikan?" tanya Yvonne lagi. matanya membola dan terlihat jernih.
"Kamu cocok jadi dokter," celetukku menyembunyikan rasa pusing yang masih terasa. "Obat apa pun butuh waktu untuk bereaksi. Mungkin dalam beberapa jam ke depan, aku sudah membaik lagi," jawabku sambil tersenyum. "Tapi karena kamu di sini, tanpa obat ini pun sepertinya aku sudah membaik."
"Benarkah? Kalau begitu, kamu bisa pergi." Ia membuka pintu mobil.
"Ini mobil kamu?"
"Iya."
"Kamu mau meninggalkan orang sakit sendirian?"
Yvonne menghentikan gerakannya dan menoleh. "Kamu masih di rumah sakit, kok."
"Jangan terlalu kasar pada orang sakit, Vonne."
"Kalau begitu kenapa kamu nggak mau diurusin orang-orang di rumah sakit? Aku mau memanggil perawat, kamu malah bilang nggak mau dan cuma butuh istirahat."
"Aku bilang begitu?"
"Kamu bahkan minta aku supaya bawa kamu pergi jauh dari rumah sakit."
"Terus kenapa masih di sini?"
"Aku nggak tahu mau bawa kamu ke mana."
"Kamu bisa bawa aku ke apartemenku atau ... mungkin rumahmu?"
Dahi Yvonne mengerut.
"Becanda." Aku kembali meneguk air mineral.
"Udah tanya jawabnya?"
"Temani aku di sini."
"Apa?"
"Sebentar saja. Temani aku di sini. Aku ... bertemu ibuku." Obrolan bersama bunda di mimpi tentang gadis ini membuat hatiku terenyuh. Ditambah lagi kehadiran laki-laki bertato itu, kehadirannya mengacaukan semuanya.
Entah Yvonne tahu maksud "bertemu ibuku" atau tidak, gadis itu perlahan kembali menutup pintu mobil dan duduk.
"Kamu ... baik-baik saja?"
Aku tidak menjawabnya. Wajah bunda kembali muncul saat mata ini terpejam sebentar. "Apa aku sudah pernah cerita bagaimana ibuku meninggal, Vonne?" tanyaku dalam pejam.
Tidak ada jawaban dari gadis itu sehingga membuatku membuka mata dan menoleh padanya. Raut wajahnya berbeda. Ia terlihat murung. Agaknya ia tahu kalau aku melihat ke arahnya.
"Belum," jawabnya lirih.
"Kecelakaan. Tabrak lari dan aku ada di sampingnya saat beliau kesakitan."
Yvonne tidak mengatakan apa-apa sebelum akhirnya mengucapkan rasa prihatinnya.
"Aku ... bertemu lagi dengan orang itu. Pelaku yang menabrak mobil ibuku dan kabur. Dia datang sebagai ... pasienku."
Aku tidak ingin terlihat lemah, terutama di depan gadis yang kutahu sudah kucintai ini. Namun, sebuah "teman bicara" adalah hal yang paling kubutuhkan saat ini. Kusembunyikan fakta bahwa Yvonne mengenal "pasienku" itu. Siapa yang tahu hubungan seperti apa yang mereka punya.
"Apa ... aku hanya perlu menemanimu?" tanya gadis itu.
Aku mengangguk.
"Bagaimana apa ... aku boleh ... balas dendam padanya?"
Aku menatapnya. Wajah ini semakin memanas. Obat yang kuminum tidak membuatku lebih baik ... atau mungkin karena luka batin yang mendalam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top