Chapter 27 Ingatan

Virgo

"Pasien punya keluhan sulit bernapas sejak tiga jam sebelum ke sini. Sementara, dia juga mengalami kesulitan menelan, batuk terasa sakit, terkadang caranya berbicara seperti orang cadel. Dari hasil pemeriksaan, pasien juga mengalami penglihatan ganda, kelopak mata sulit diangkat dan lemah pada tungkai, Dok."

Perawat Nina menjelaskan sejarah penyakit dan hasil pemeriksaan sementara yang sudah dilakukan pada Pram.

"Dia sudah pernah periksa ke dokter sebelumnya?" tanyaku sambil memeriksa hasil rontgen pasien terakhir sebelum visite.

"Sudah. Beberapa tahun yang lalu katanya sudah pernah periksa di rumah sakit lain. Dia divonis menderita Myasthenia Gravis. Namun, karena gejalanya hilang timbul, pasien mengabaikan pengobatan dan belakangan ini mulai sering terasa lagi."

"Baiklah, suruh masuk saja langsung. Jadwalku sudah terlalu padat hari ini." Aku mengelus dagu begitu perawat mengangguk dan keluar.

"Pram Rahardjo!" Suara Perawat Nina memanggil nama pasien.

Aku masih membaca hasil pemeriksaan lab di e-MR saat siluet seseorang masuk dan duduk di hadapanku.

"Baiklah, Pak Pram Rahar ...." Begitu mendongakkan kepala, kulihat wajah yang tak asing. Dia menua. Keriput di mana-mana. Bahkan tubuhnya lebih kurus, tidak lagi tegap seperti dulu.

Mata lelaki itu memandangiku dengan tidak fokus. Sebelah kelopak matanya seperti ditarik ke bawah, lalu ia berusaha membenarkan posisi duduk dan lurus menatap ke bola mataku.

"Ya, Dok." Lelaki itu masih bersikap seolah tidak mengenalku. Mungkin dia benar-benar tidak mengenaliku, tetapi aku mengenalinya. Meskipun wajahnya penuh dengan guratan kelelahan dan keriput karena menua, aku masih sangat bisa mengenalinya.

Dialah pembunuh bundaku tersayang!

"Bagaimana, Dok?"

Pertanyaan itu seperti sebuah tawa penuh ejekan yang ditujukan padaku. Membawaku ke malam itu, malam saat kendaraannya menghantam mobil yang dikendarai bunda dan hanya melirik sebentar dari kaca jendela mobil yang bening sebelum akhirnya pergi begitu saja. Aku bisa melihatnya dengan jelas karena lampu jalan. Tato di lehernya, di tangan, raut wajah tanpa dosa itu.

Kupejamkan mata, mencoba mengenyahkan semua kenangan buruk itu. Kucoba untuk mengesampingkan rasa gemuruh di dalam dada dan kembali menatapnya tajam.

"Sudah berapa lama Anda divonis Myasthenia Gravis, Pak ... Pram?" Aku bertanya tanpa mengalihkan pandangan darinya.

Pria itu seperti berpikir sebelum menjawab, "Tiga tahun, Dok. Tapi setiap kali saya merasa kalut atau berpikir terlalu keras, tangan dan kaki saya gemetar."

Itu bayaran atas dosamu!

"Sudah berapa lama gemetar itu dirasakan?" tanyaku lagi.

"Sudah sangat lama, sejak saya pindah dari Malang ... berarti ... sekitar sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu."

Sejak Anda menabrak bunda!

"Lalu, apa yang Pak Pram lakukan untuk meredakannya?" tanyaku lagi.

"Tidak ada, Dok. Orang seperti saya yang sudah khatam tinggal di jalan, merasa sakit ya cuma berharap rasa sakit itu hilang dengan sendirinya."

Lalu bagaimana dengan rasa sakit yang disebabkan olehmu!

"Jadi, bagaimana, Dok?"

Aku memejamkan mata sebelum memeriksanya lebih lanjut. "Saya sudah membaca hasil pemeriksaan CT Scan. Tidak ditemukan timoma. Anda merasa susah bernapas?"

"Akhir-akhir ini, Dok."

"Baiklah. Saya sarankan untuk tidak melakukan aktivitas fisik yang terlalu berat. Cegah infeksi dengan mencuci tangan secara ruti sebelum dan sesudah makan, buang hajat, atau menyentuh benda-benda kotor lainnya.  Saya sarankan ikut kelas meditasi atau yoga untuk melatih otot dan mengendalikan stress."

"Harus ya, Dok?"

"Itu kalau Anda ingin hidup lebih lama!" Kata-kata itu meluncur begitu saja. Pram agaknya mengira aku bercanda, seperti dokter ramah pada umumnya.

"Baiklah. Saya tuliskan resep obat untuk meredakan gejalanya. Anda juga harus kontrol secara berkala agar tidak memburuk." Sebaliknya, aku mendoakan itu. "Apa ada yang menjaga Pak Pram?"

"Saya punya anak seumuran Pak Dokter."

Rahangku mengeras. "Dia ada di sini? Boleh saya bertemu?" Aku menekan semua amarah yang mungkin saja kelepasan jika kubiarkan.

"Ya. Dia yang mengantarkan saya ke sini, tapi dia buru-buru pergi karena urusan pekerjaan."

Tubuhku kembali gemetar karena amarah yang berusaha kubendung. Buru-buru kutuliskan pyridostigmine dan neostigmine dan memberikannya pada lelaki itu.

Sepeninggalannya, tubuh ini melemah. Keringat dingin mulai bercucuran.

"Dokter Virgo?" Residen Mona sudah berada di ruanganku. Entah kapan dia masuk. "Dokter sakit?"

Aku menahan dada dengan sebelah tangan, mencoba menghentikan degub yang semakin menggila.

"Dokter istirahat dulu saja. Untuk visite, biar aku saja."

Aku mengibaskan tangan. "Dia pasienku," jawabku menahan rasa nyeri dan sakit kepala.

"Tapi, Dokter terlihat pucat."

"Nggak apa-apa. Aku cuma belum makan siang," jawabku asal.

"Ih, jadi karena belum makan? Nih, aku punya nasi ayam goreng. Tadi titipan Dokter Sasha, tapi orangnya udah ke bagian forensik. Ayamnya disuruh makan saja. Mubazir nih, Dok!"

Perawat Nina juga sudah masuk dan mengulurkan bungkus kertas cokelat dengan logo huruf "M" yang cukup menonjol.

"Nggak usah. Bu Nina makan saja." Aku memeriksa gawai yang bergetar. Pesan dari Poppy. Wanita itu mengabarkan jam penerbangannya ditunda karena cuaca buruk.

Kutolehkan kepala ke luar jendela. Ah, ternyata di luar sedang hujan. Mungkin itu yang membuat tubuhku kedinginan, selain karena penyejuk ruangan yang menyala.

"Tapi ...."

Aku tidak menanggapinya lagi dan hanya melempar senyum sebiasa mungkin. Kuseret langkahku dengan paksa agar terlihat baik-baik saja.

Semuanya mulai membaik begitu tiba di kamar pasien. Namun, setelah visite, tubuhku kembali bereaksi terhadap kenangan-kenangan buruk itu. Aku bergegas ke lift. Begitu lift terbuka, kudorong paksa tubuh ini dan mendarat di pelukan seseorang.

"Dokter Virgo?"

Aku mengenali suaranya di antara pandangan yang mulai mengabur. Kucoba untuk berdiri tegak, tetapi kembali ambruk.

"Dokter Virgo. Kamu sa ... kit?"

Napasku berat sekali.

"Dokter, kamu be ... rat."

Semuanya menggelap.

***

Hm, Tane baru sadar kalau banyak pertemuan Virgo dan Vonne yang terjadi di lift hi hi hi. Kali ini, trauma Virgo kembali muncul. Dia bakalan menemukan ingatan yang hilang dari kecelakaan itu nggak ya? 

Virgo bakal mengenali Vonne sebagai "penyelamat" sekaligus "saksi yang kabur" nggak, yah?

Gimana chapter ini? Makin greget nggak?

Pram, pelaku tabrak lari dr. Ana menderita Myasthenia Gravis. Apa itu?

Rodrigo Duterte adalah Presiden Filipina yang menderita kelainan Myasthenia Gravis (MG) dan baru mengungkapkannya pada publik di tahun 2019. Saat bertugas, kelopak matanya akan turun tanpa bisa dikontrol. Saat baca berita beliaulah, Tane membuat tokoh Pram Rahardjo. Hanya sebagai referensi kelainannya, ya. Bukan bermaksud yang lain-lain. Sungkem dulu ke Bapak Presiden Duterte. 🙇

MG adalah kelainan autoimun pada neuromuskular atau otot saraf yang jarang ditemukan. Adanya malfungsi saraf dan kelemahan otot yang terjadi menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik serta mempengaruhi setiap aspek dari kualitas hidup. Meskipun jarang, kasus penderitanya meningkat dari tahun ke tahun. Kualitas hidup pasien akan menurun seiring dengan lamanya menderita kelainan ini. 

Kalau reader mau tahu lebih banyak tentang MG, bisa buka-buka jurnal penelitian. Mana tahu mau mengoreksi dari caraku membawakan kelainan itu ke dalam cerita. :)

Borahae! 💟💟💟

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top