Chapter 26 Papa!
Yvonne
"Ma Cherie!"
Aku terkejut mendengar suara itu begitu membuka pintu kamar rawat mama. Suara yang begitu lama tidak kudengar langsung. Terakhir kali mendengarnya sebelum mama menjalani operasi—melalui telepon.
Seseorang memelukku dengan erat. Aroma yang sudah sangat lama tidak kuhirup sedekat ini. Aroma papa.
"Papa? Papa ... Papa, tu es là? Papa ... di sini?"
"Oui, Ma Cherie. Papa memenuhi permintaanmu untuk datang."
Ingatanku kembali pada obrolan beberapa hari yang lalu, sebelum mama menjalani operasi. "Papa ... Papa ke sini untuk menemuiku atau mama?"
Pelukan papa melonggar. Aku menarik diri ke belakang dan menatapnya penuh harap.
"Papa datang untuk kalian berdua."
Aku melangkah ke dalam dan memeriksa mama. Mama masih tidur jika kuperhatikan dari tubuhnya yang diam saja. Membayangkan mama tahu ada papa di sini, aku yakin beliau tidak hanya akan berbaring seperti sekarang.
Papa mengikutiku.
"Papa ke sini sendiri?" tanyaku tanpa menoleh.
Papa tidak menjawab.
"Papa datang bersama wanita itu?"
Kali ini papa menarik lenganku dan mengajak duduk di ruang jaga. Bangsal mama dengan ruang jaga hanya dibatasi dengan dinding tipis dan pintu setengah kaca. Aku memang sengaja menempatkan mama di kamar VIP seperti ini agar beliau tidak terganggu jika ada yang menjenguk. Sedari pagi, sahabat dan pelanggan mama berdatangan sampai aku kewalahan menjelaskan bahwa ada maksimal pengunjung yang boleh diterima oleh pasien pasca operasi.
Ruang tunggu inilah yang menjadi tempat ibu-ibu itu bercerita sembari menunggu giliran. Ruangan ini sebenarnya tidak terlalu besar. Hanya ada dua sofa berukuran tiga seat lalu satu kursi kayu tanpa sandaran di pojok. Di dinding, TV ukuran biasa menempel sebagai hiburan.
"Katakan padaku, Pa. Untuk apa Papa datang? Bukannya Papa sudah nggak peduli lagi padaku dan mama?"
Aku berusaha menahan emosi yang bercampur aduk. Dalam kekecewaan dan kemarahan atas keputusan papa meninggalkan kami, rasa rindu tetap berkelindan.
"Papa tidak pernah mengatakan kalau Papa tidak peduli padamu ... dan pada mamamu, Vonne. Papa datang karena mencemaskan kalian berdua. Dengan mamamu yang sakit-sakitan, kamu tidak mungkin sendirian di sini. Kamu butuh keluargamu yang lain, Vonne."
"Dan itu Papa?" timpalku dengan sinis. "Aku masih ingat, Pa. Beberapa hari yang lalu Papa bilang tidak bisa datang karena urusan bisnis dan keluarga baru Papa. Bertahun-tahun yang lalu pun Papa bilang akan sering mengunjungiku meski kemudian Papa pun ingkar. Dan di saat aku dan mama sudah tidak mengharapkan kedatangan Papa, Papa datang bersama keluarga baru Papa? Papa beneran membawa mereka ke sini?"
Papa diam saja sebelum menganggukkan kepala.
Air mataku menggenang. "Papa datang bersama keluarga baru Papa? Maksud Papa apa? Mau menambah rasa sakit yang dirasakan aku dan mama? Mama baru saja menjalani operasi, Pa. Papa, tu es sans cœur! (Papa tidak punya hati!)"
"Mereka orang baik, Vonne. Sophie seumuran denganmu. Papa yakin kalian akan cepat akrab. Karena itu, Papa mau ajak kamu ke Paris."
Aku terkejut mendengarnya. "Sekarang Papa memintaku meninggalkan mama yang sedang sakit?" Aku benar-benar tidak percaya dengan yang baru saja diucapkan ayahku sendiri.
"Kita bisa ajak mama kamu sekalian. Mama bisa menjalani pengobatan di Paris. Papa akan menanggung semuanya sampai mamamu sembuh. Kamu bisa buka toko roti di sana dan Sophie akan membantumu."
"Mama tidak akan pernah sembuh, Pa!"
Aku berusaha untuk tidak berteriak dan membangunkan mama. "Mama ... hanya punya waktu kurang dari satu tahun. Aku ... aku tidak akan meninggalkan mama, apalagi itu untuk Papa yang tidak pernah memikirkan kami berdua selama ini!"
Kuhentakkan kaki dan berlari ke luar ruangan. Aku bertabrakan dengan dua wanita di depan pintu.
"Hei, Tu dois être Yvonne! (Kamu pasti Yvonne!)"
Aku mendongakkan kepala yang tadinya tertunduk. "Et qui êtes-vous? (Kamu siapa?)"
"Je m'appelle Sophie."
Wanita itu mengulurkan tangannya. Oh, jadi ini anak tiri papa? Aku merasakan emosi yang memuncak. Di sampingnya, wanita dengan rambut tak kalah pirang dengan ramut Sophie. Dia pasti istri baru papa.
Tanpa basa-basi, aku segera meninggalkan wanita muda bernama Sophie itu. Terus berjalan dengan air mata berlinang. Rasanya ingin melampiaskan semua emosi ini. Kutekan lift dan menunggu pintunya terbuka.
Berbagai pikiran buruk mampir di rubanah ini. Aku benci papa! Aku benci wanita bernama Sophie! Aku benci wanita berambut pirang disanggul di samping Sophie. Aku benci Poppy. Aku benci Virgo! Aku benci mama! Aku benci semua orang yang mempermainkan keberadaanku!
Pintu lift terbuka. Untunglah tidak ada siapa-siapa di sana. Aku masuk dan menangis di dalam ruangan kecil yang meluncur ke lantai di bawahnya itu.
Kenapa hidupku tidak seperti yang lainnya? Kenapa tidak ada orang yang benar-benar menanyakan tentang perasaanku? Kenapa tidak ada yang benar-benar peduli padaku?
Pintu kembali terbuka saat lift berhenti di lantai tiga. Aku buru-buru menyeka air mata begitu seseorang berjas putih masuk dengan lunglai. Aku tidak tahu siapa orang itu. Namun, begitu mendekat, nama di jas putihnya membuat jantungku berdegub aktif.
"Dr. Virgo?" Mulutku menyebutkan namanya.
Lelaki itu memiringkan tubuh. Lalu, tiba-tiba tubuhnya menubrukku.
"Hei! Dr. virgo! Virgo!" Aku menyentaknya agar menjauh. namun, lelaki itu tidak bergeming. Lalu, kurasakan tubuhnya dingin dan gemetar.
"Vir ... go? Kamu ... sakit?"
***
Dear, Reader.
Minggu lalu sama sekali nggak bisa update cerita. Baru bisa update lagi hari ini. Tadinya mau tamatin bulan lalu, tapi apa daya kerjaan RL semakin menggila. Hi hi hi cuma bisa bersyukur masih diberi kerjaan dan bisa nulis sedikit-sedikit.
Hm, Pak Dokter tiba-tiba sakit. Kira-kira Virgo sakit apa, ya?
Lalu, apa Vonne bisa memaafkan papanya dan menerima Sophie sebagai saudara tiri? Vonne bakal mengabulkan permintaan sang ayah untuk pindah ke Paris atau tetap di Malang?
Ikuti terus ya cerita ViVo Couple ini. Untuk pembaca baru, selamat datang. Semoga ini cerita yang kamu sukai. Jangan lupa komen, like, dan masukin cerita ini ke reading list kamu, yaa.
Borahae.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top