Chapter 23: Kotak Makanan
Jika memendam perasaan itu menyakitkan, apa tidak lebih baik mengungkapkannya?
Vonne
"Ibumu ... baik-baik saja? Apa operasinya berjalan dengan lancar?"
Aku memiringkan kepala untuk tahu siapa yang baru saja duduk di kursi sebelah. Nama yang tertera di snelli memberikan perasaan yang aneh. Untuk apa lelaki ini di sini? Bukankah dia sudah menyerah? Namun, demi kesopanan, aku tetap menjawabnya.
"Ya, operasi mama berjalan lancar." Aku mencoba tidak mengindahkan kata-kata dokter Galen tentang kesehatan mama pasca operasi. "Mama masih harus menjalani terapi setelah ini. Beberapa kali aku harus mengingatkan mama kalau aku adalah anaknya karena mama nyaris melupakanku.
Terdengar helaan napas. "Syukurlah. Sabar, ya. Operasi ini ... pasti berat untukmu dan mama kamu. Biasanya, enam minggu pertama, pasien akan kesulitan mengingat. Dengan kata lain, daya ingatnya akan turun dan sulit membaca. Selama masa pemulihan itu, pihak keluarga harus terus mendampingi." Virgo menyodorkan minuman hangat. "Di luar hujan. Minumlah supaya kamu merasa lebih hangat."
"Ya. dokter Galen sudah mengingatkanku." Vonne menerimanya. Aroma teh chamomile itu menguar. "Dari mana kamu tahu aku suka aroma ini?" Seraya meneguknya.
Virgo menyilangkan kedua kakinya. Menumpu sebelah kaki ke kaki yang lain. "Hm, sebenarnya aku nggak tahu. Di mesin filter cuma ada teh ini."
Aku bisa mendengar ada tawa kecil yang canggung. Itu membuatku ikut tersenyum.
"Kamu ... sudah makan? Merawat pasien pasca operasi kanker butuh kekuatan fisik dan mental."
"Dari mana kamu tahu kalau mama operasi kanker?" Aku menatap wajah lelaki itu. Sayang sekali, tak ada yang bisa kulihat selain sesuatu seperti lukisan meleleh yang kusinyalir sebagai wajah Virgo.
"Poppy yang memberitahuku."
Ah, seharusnya aku tahu itu. Hubunganku dengan Poppy cepat sekali berkembang. Di pertemuan pertama, kami berkenalan. Pertemuan kedua, dia mampir ke kafe dan mengobrol banyak. Dia bahkan bisa membuatku menceritakan kondisi mama tanpa ragu. Benar-benar orang yang menakutkan. Mudah membuat orang percaya.
"Aku sama sekali nggak menyangka kalau kamu orang yang cepat akrab dengan orang asing. Kamu menolakku beberapa kali, sementara dengan Poppy hanya perlu sekali bertemu saja, kalian sudah sangat akrab."
Aku mengangkat kedua bahu. "Aku nggak punya banyak teman yang bisa mengobrol dengan bahasa Prancis. Dan mungkin juga karena dia orang yang menyenangkan. Nggak heran kalau kamu pernah bersamanya cukup lama." Kugigit bibir bawah karena keceplosan. Selain aku yang membongkar kondisi mama, Poppy juga membongkar kehidupan pribadinya dengan Virgo.
Ah, ini pasti karena aku kelelahan sampai tidak bisa mengendalikan kata-kata barusan.
"Kamu cemburu?" Pertanyaan Virgo mengagetkanku.
Aku sedikit mencemooh. "Kenapa harus cemburu? Kita bahkan belum pernah jadian."
"Nggak harus jadian dulu, kok untuk boleh cemburu."
Aku mengernyitkan dahi dan membuang wajah. Apa-apaan orang ini! Kurasakan wajah bersemu merah. Ah, ini pasti karena kelelahan merawat mama.
"Aku mau minta maaf." Ucapan Virgo membuatku kembali menoleh.
"Minta maaf untuk ... apa?" tanyaku hati-hati.
"Karena sudah menjauh begitu saja." Dari sudut mata, kulihat jemari lelaki itu mengetuk pahanya beberapa kali. Apa dia gugup? "Aku tahu ini bukan saat yang tepat. Kamu pasti kelelahan karena harus menjaga mama kamu. Aku hanya ... nggak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Setidaknya untuk mengatakan itu." Suara lelai itu terdengar tulus.
Ujung bibirku naik sebelah. "Aku sudah biasa dengan sikap seperti itu. Kamu nggak perlu merasa bersalah." Lagi-lagi kuhirup aroma chamomile yang menenangkan sebelum meneguknya. Di luar—dari dinding kaca—terlihat jelas rintik yang semakin deras. Sementara di dalam sini—berkat teh dari Virgo—aku merasa sedikit lebih hangat.
"Tetap saja. Kamu pasti menganggap aku pria yang nggak punya prinsip," ujar dokter muda itu.
"Nggak ada hubungannya," celetukku.
Terdengar helaan napas Virgo. "Sedetik suka, sedetik kemudian nggak suka."
"Aku sudah bilang, nggak ada hubungannya." Aku mengulanginya.
Aku bisa melihat tubuh lelaku itu kini condong ke arahku. "Ada karena aku ... mulai menyadari perasaanku yang sebenarnya padamu, Vonne. Aku peduli sama kamu."
Aku terkesiap atas ucapan Virgo. Aroma disinfectan tercium begitu jelas dari tubuh Virgo. Berbeda dengan aroma tubuhnya yang biasanya. Ini menandakan bahwa lelaki ini mungkin sudah bekerja keras seharian ini sampai tubuhnya bahkan berbau seperti rumah sakit. Namun, aneh sekali jika aku justru ... menemukan kenyamanan di sela-sela aroma itu. Biasanya, ini adalah aroma yang sangat kubenci.
"Aku menyadari kalau di hatiku ... memang ada sosok kamu yang membuatku jatuh hati. Terlepas dari kamu nggak bisa mengenali wajahku, kamu tetaplah Vonne yang membuatku rindu."
Helium dipompa secara gerilya melalui setiap rongga dadaku. Bisa kubayangkan bagaimana mimik wajahku saat ini. Semerah tomat matang.
"Kamu bisa berhenti menggombal, dr. Virgo. Simpan saja untuk calon yang lebih serius. Poppy barangkali? Bukankah kalian sekarang bersama? Kata-kata seperti itu bisa berbahaya untuk beberapa orang."
Aku hendak beranjak dari kursi saat tangan Virgo justru menahan lenganku. "Aku sama sekali nggak sedang menggombal atau—merayumu, Vonne. Aku serius. Jika memendam perasaan itu menyakitkan, apa tidak lebih baik mengungkapkannya? Itulah yang kulakukan sekarang, Vonne. Aku nggak mau membohongi diri sendiri lagi. "
Mata ini menyipit, mencari celah mungkin saja gambaran wajah Virgo bisa terlihat semain jelas, tetapi tidak. Ia masih seperti lukisan yang mencair. Tak beraturan bentuknya.
"Virgo. Kamu lupa dengan kata-kataku di festival kemarin? Ada batasnya kalau kamu ingin mempermainkanku!" Leherku terasa sedikit sakit karena berbicara dengan menahan semua gejolak ini. "Percayalah, aku sama sekali nggak tersinggung karena sikapmu. Aku sudah terbiasa. Jadi, berhentilah bermain-main denganku.
"Aku sama sekali nggak mempermainkan kamu, Vonne. Aku—" Virgo seperti menyadari sesuatu. Ia lantas melembutkan suara kembali. "Kamu pasti kelelahan dan sedang banyak pikiran karena mama kamu, Vonne. Kalau kamu butuh sesuatu, aku ada di sini."
Aku tidak tahu apa yang tiba-tiba membuat Virgo berbicara lebih lemah lembut seperti itu. Namun, genggaman tangannya membuat tubuhku bergetar. "Virgo, aku—"
"Bonjour, Yvonne!"
Suara itu sangat familiar. Aku menoleh.
"Lho, Virgo? Kamu ngapain di sini?" Itu suara Poppy. Aroma parfum wild rose yang belakangan ini tercium olehku menguar dengan sangat jelas.
"Hai, Poppy." Aku membalas sapaannya sambil memaksakan senyum.
"Oh, Yvonne. Comment ça va?" Pasti yang dimaksud Poppy adalah operasi mama.
"Ça va bien, Poppy." Aku tersenyum memaksakan diri. "Semua berjalan lancar."
"Ya sudah, aku harus kembali ke poli." Virgo kembali bersuara. Tangannya mengaitkan sesuatu ke genggamanku. "Ini, aku khawatir kamu nggak sempat makan karena menjaga mama kamu." Kantong yang terbuat dari kertas tebal berwarna cokelat kiniberada di genggamanku. Di dalamnya, ada kotak makanan.
"Ini ...?" Aku menoleh dari Virgo ke Poppy secara bergantian.
"Poppy, kamu bisa temani Vonne, kan? Pastikan dia makan dengan benar, ya." Setelah berjata seperti itu—tanpa menunggu jawaban dari Poppy—punggung lelaki itu menjauh.
"Hei, aku nggak tahu kalau kalian berdua dekat." Suara Poppy menyadarkanku.
"Oh, kami hanya kebetulan bertemu dan mengobrol di sini." Aku mencoba menghindar. Mana mungkin mengakui betapa kami hampir dekat beberapa hari yang lalu?
"Lalu kotak makanan itu apa?"
***
Dear Readers penuh cinta.
Mohon maaf karena slow update-nya, baik cerita ini maupun cerita Still Him. Jari Tane mengalami trigger finger selama dua minggu ini, jadi belum bisa menulis terlalu banyak. Tapi diusahakan seminggu sekali bisa update.
Btw, terima kasih untuk yang sudah berlangganan, vote, dan komen. Semua feedback pembaca itu sangat berarti bagi Tane. Stay safe ya, semuanya. Borahae. 💜💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top