Chapter 22: Makan Malam
Virgo
"Katakan saja, Len. Apa penyakit Mama Yvonne parah?" Aku duduk di ruang kerja dr. Galen. Saat hendak konsultasi penyakit salah satu pasienku dengannya, tanpa sengaja aku melihat Yvonne keluar dari ruangan dokter campuran Korea-Indonesia itu.
"Kamu sudah berapa lama jadi dokter? Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi, Virgo. Ini rahasia pasien. Kalau kamu sebegitu ingin tahu, tanyakan saja padanya." Galen mengambil ballpoint dan menuliskan sesuatu di atas buku catatannya.
Aku menghela napas. Sejujurnya memang begini tidak baik dan bisa saja Galen kena sanksi karena membocorkan rahasia pasien. Bodoh sekali! Sudah pasti aku salah kalau mencari tahu dengan cara ini. "Ya sudahlah kalau begitu. Aku kembali ke poli."
Aku beranjak dari kursi dan berjalan keluar.
"Kamu ... sebentar. Bukannya kamu bilang mau mundur mendekati wanita itu? Kenapa sekarang justru terlihat khawatir?"
Tak kuhiraukan rasa penasaran dr. Galen. Saat pintu hendak kututup, masih bisa kudengar gerutuan Galen tentang sikapku baru saja.
***
Ini makan malam keduaku dengan Poppy setelah nona manis di depanku ini merengek dengan mengirimi pesan nyaris setiap jam seharian ini. Padahal, aku sudah menemaninya makan malam kemarin malam. Demi membuat liburannya ke Malang tidak sia-sia—karena aku sama sekali tidak bisa menemaninya berkeliling Malang—akhirnya permintaannya kukabulkan. Setiap malam harus makan bersama.
"Selama nggak di restoran hotel ini terus ya nggak apa-apa. Kamu bayangin berapa harga steak di sini. Bisa-bisa setelah kamu balik ke Jakarta, ATM-ku jebol." Aku menggelengkan kepala melihat kelakuan Poppy. "Di sini banyak kuliner enak dan murah, Pop. Kenapa kebiasannmu itu nggak hilang-hilang?"
"Ngapain aku keluar hotel kalau nggak sama kamu?" Aku hendak menyela, tetapi Poppy buru-buru kembali bersuara. "Iya, iya. Besok malam kita hunting makanan lokal di pinggir jalan."
"Sudah kubilang kalau aku ...."
"Aku bilang malam, Virgo. Kamu 'kan udah setuju mau menemaniku makan malam selama di sini." Poppy menatap dengan wajah merajuk.
Aku menghela napas. "Baiklah."
Poppy tersenyum penuh kemenangan. "Oh, ya! Kamu tahu, Vir? Ternyata pemilik kafe di depan rumah sakit itu, orang yang meminjamkan handphone-nya padaku kemarin. Tadi pagi aku sarapan di sana.
Pisau yang sedang memotong daging steak berhenti sebentar. Aku mencoba bersikap biasa saja. "Oh ya?"
Poppy mengangguk bersemangat. Seperti biasa, ia terlihat ceria untuk status mantan pacar. "Menu cream soup baguette-nya enak banget. Nggak nyesel, deh karena nggak ketemu kamu—yang sibuk banget—tadi pagi." Dia menyindirku. "Dan dia kasih diskon karena aku pelanggan baru. Baik banget orangnya."
Poppy mengatupkan bibirnya untuk berhenti sejenak sebelum kembali bercerita."Hm, dia nggak ingat wajahku, sih. Aku sampai kenalan lagi sama dia."
Aku nyaris tersedak mendengarnya. Tumben Yvonne menyambut tamunya di kafe, biasanya hanya Edo dan seorang karyawan—kalau tidak salah namanya Opie—yang kutahu lebih sering terlihat di kafe. Yvonne biasanya di ruang produksi pastry. Selama ini, aku harus meminta tolong Edo untuk mengabarinya jika berkunjung.
Ah, pasti laki-laki itu senang karena saingannya berkurang, tetapi ... sedekat apa mereka berdua? Kalau dilihat dari sikap Yvonne saat kami kencan di Batu, sepertinya dia ... bertepuk sebelah tangan.
"Pantas ayah dan bunda Lina suka sama pastry di sana, enak-enak. Tempatnya juga comfy banget. Coba sesekali kamu kalau jam istirahat ke sana. Jangan di rumah sakit terus."
Itu sudah pernah kulakukan, Poppy.
"Iya, sih. Di Lovelette semuanya lengkap. Banyak pilihan kafe di lobi, tapi tetap saja kamu masih di gedung yang sama. Nggak ada bedanya istirahat atau enggak. Di Happy Family juga sama seperti Lovelette, tapi aku jarang makan di kafe lobi." Happy family adalah perusahaan ritel bertaraf internasional tempat Poppy mencari nafkah sebagai manajer.
"Oh ya? Bukannya biasanya kamu bawa bekal?"
Aku ingat betul kemampuan memasak Poppy. Racikan tangannya tidak pernah mengecewakan. Saat masih bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di TB Simatupang, Karena jarak tempat kerja kami cukup dekat, Poppy kerap mampir sekadar membawakan camilan atau bekal untuk sarapan. Aku pernah bersyukur karena pacaran dengan Poppy. Makanku benar-benar teratur. Sebelum akhirnya putus karena bosan dan sibuk.
"Yah, tapi nggak setiap hari. Aku punya banyak kenalan yang bisa kuajak makan siang bareng di luar." Poppy menyibakkan rambut sebahunya.
Ujung bibirku naik sebelah dan mendengkus. "Kalau begitu kenapa makan malam jauh-jauh ke Malang?" tanyaku sebelum menyuap potongan steak ke mulut.
Poppy membelalakan mata. "Kamu kok begitu, sih? Aku 'kan kangen sama Dokter Virgo. Kalau kamu nggak bisa jadi Dokter Virgo yang kukenal, jangan galak-galak, dong!"
"Kamu putus lagi?" tebakku.
Poppy menghentikan gerakan tangannya yang memegang pisau. Bahunya melemas. Matanya sedikit berkilat. "Aku kurang apa, sih, Vir? Masa' semua cowok yang kusukai nggak ada yang betah."
Aku meletakkan pisau, steak sudah habis. "Aku sudah selesai."
"Virgo!" pekik Poppy tertahan karena menyadari kami ada di tempat umum.
Aku menghela napas.
"Kamu jujur saja. Aku kurang apa, sih? Bahkan kamu—yang paling lama bersamaku—akhirnya juga nggak betah, kan?" Poppy menegakan posisi duduknya. "Aku nggak akan tersinggung, kok." Wanita itu memasang wajah sungguh-sungguh.
Aku memikirkan cara terhalus untuk menjawab pertanyaan sulit itu. Sedekat apapun kami, tetap saja. Aku tidak ingin Poppy terluka lagi. "Hm, kamu sama sekali nggak kurang apa-apa, Pop. Sebaliknya, kamu terlalu berlebihan. Kadang, cowok nggak betah dengan perhatian yang berlebihan ... apalagi di saat yang nggak diperlukan."
"Maksudmu, aku posesif? Kamu jahat, Vir!." Poppy bersungut lalu meraih gelas wine-nya dan meneguknya sampai habis sebelum kucegah.
"Lho, tadi disuruh jujur." Aku menimpali sambil terkekeh. Di antara semua mantanku, Poppylah yang paling nyaman untuk diajak kembali berteman. Hm, kalau kubilang, Poppy adalah mantan ter-sportif yang kupunya.
Raut wajah Poppy tiba-tiba berubah serius. Matanya terlihat mulai sedikit kurang fokus. Ah, satu lagi. Andai kebiasaan minum-minumnya bisa dikurangi. "Terus, kalau aku mau berubah ... apa kita bisa ... balikan?"
Yah, meskipun terkadang dia suka tiba-tiba begini.
"Kamu tahu kalau aku nggak pernah balikan sama mantan, Pop." Aku menjawab santai. "Bukankah seperti ini lebih nyaman?"
Poppy memutar kedua bola matanya. Ia menghela napas. "Sepertinya gagal. Padahal aku serius."
Aku pura-pura tidak mendengarkan kata-kata itu. "Kamu beneran mau ketemu ayah sama Bunda Lina?" tanyaku. Bunda Lina adalah mama tiriku. Aku tid aterlalu dekat dengannya. Bahkan kalau dipikir-pikir, aku juga sudah tid abegitu dekat dengan ayah lagi sejak Bunda meninggal.
"Lebih baik besok saja. Siapa suruh minum wine? Bunda nggak akan suka kalau aku bawa orang setengah mabuk ke sana."
"Cuma setetes begini nggak akan membuatku mabuk, Virgo. Oh iya, aku sampai lupa. Nanti kita mampir ke kamarku dulu, ya. Aku tadi udah beli pastry kesukaan Bunda Lina." Ia terdiam sejenak, lalu mendongakkan kepala. "Sejak kapan setetes wine bikin seorang Poppy teler?" gerutunya lagi.
Kami memang makan di restoran tempat Poppy menginap. Satu-satunya hotel bintang lima di Malang. Sejujurnya, aku baru tahu kalau di kota "kecil" ini punya hotel mewah begini.
"Baiklah. Jangan salahkan aku kalau nanti kamu diusir sama Bunda Lina karena bau alkohol."
"Ya ampun, aku sampai lupa. Ngomong-ngomong soal bunda, besok aku bakal mampir ke rumah sakit kamu lagi."
Dahiku berkerut. "Kenapa? Bukannya kamu udah janji nggak akan menemuiku di sana?"
Mata Poppy mendelik. "Ih, kepedean. Aku ke sana karena mau jenguk Mama Yvonne."
Aku terdiam. Jantungku berdetak lebih cepat. "Ehm, kamu ... bukannya baru kenal sama ... pemilik kafe itu?" tanyaku sambil memasang pura-pura tidak peduli.
"Iya." Poppy tersenyum. "Tapi meskipun baru dua kali bertemu, aku sudah merasa dekat banget sama Yvonne. Nyambung banget. Mungkin karena dia bisa kuajak ngobrol pakai bahasa Prancis. Jarang-jarang aku ketemu orang Indonesia yang bisa bahasa Prancis ... kecuali teman di kampus dulu."
"Dia campuran Prancis-Indonesia. Sudah pastilah bisa bahasa Prancis," celetukku.
"Lho, kamu kok tahu?"
Aku terciduk. Sambil berpura-pura mengambil gelas berisi air putih, berusaha bersikap cuek. "Dia cukup ... terkenal di rumah sakit. Seperti yang kamu bilang, pastry di sana enak. Orang-orang di rumah sakit suka pesan."
Poppy mengangguk-angguk. "O, kamu tahu dong kalau mamanya mau dioperasi? Kasihan sekali, dia nggak punya siapa pun di sini kecuali mamanya."
Ada batu es yang menyiram sekujur tubuhku. Tiba-tiba, wajah Yvonne muncul begitu saja. Mengeyahkan semua denial yang belakangan ini berusaha mendominasi hati.
"Mamanya ... sakit apa?" Kata-kataku tercekat di tenggorokkan.
"Kanker. Katanya tadi sore dioperasi."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top