Chapter 21: Orang Asing


Yvonne

Aku masih memandangi nomor handphone Virgo. Suara panggilan di pelantang menyadarkan lamunan. Itu bukan untukku, tetapi membuatku sadar bahwa sudah meninggalkan mama terlalu lama.

"Jangan terlalu dipikirkan, Vonne. Il faut laisser faire le temps. Ҫa me prend la téte! (Biarkan segala sesuatunya mengikuti alurnya. Ini membuatku gila!) Kamu sudah lihat bagaimana dia setelah mendengar fakta tentang dirimu. Kesimpulannya, dia memilih mundur dan jangan sampai itu membuat semangatmu kendur. Lagi pula dia suda punya ... kekasih. Laisser vivre! Kembali ke kehidupanmu. Fokus pada kesehatan mama saja."

Aku mendongakkan kepala dari layar gawai. Di depanku, berdiri seseorang yang mengenakan jas putih. "Permisi." Sedikit kuelakkan tubuh untuk berjalan melewatinya sebelum mata ini memindai deretan abjad yang tersemat di saku snelli.

Virgo Ramadhan Malik.

Langkahku terhenti. Benarkah pria yang berdiri di depanku ini Virgo? Aku mengamati semua hal yang ada pada pria ini. Bahkan indera penciumanku berusaha mengenali aroma parfum yang selalu dipakainya.

"Apa kabar?"

Memang benar. Itu suara Virgo.

"Kamu ke sini untuk ... menemuiku?" tanya lelaki yang beberapa hari ini memenuhi pikiranku itu. Entah sudah berapa kali kucoba untuk mengenyahkan suara hangat itu.

"Apa ini rumahmu?" tanyaku tanpa menoleh. Entah mengapa, aku ingin terlihat baik-baik saja. Tak ingin laki-laki itu merasa senang karena berhasil membuatku terluka.

Virgo itu berpindah ke depanku.

"Tentu saja ... bukan. Maksudku, rasanya sudah lama banget aku nggak lihat kamu di sekitar sini. Terkahir saat kamu membagikan pamflet."

Aku tersenyum sinis. "Aku juga sudah lama nggak lihat kamu mondar-mandir di Bon Appetit. Apa yang bisa kuartikan dari itu? Apa aku harus berpikir seperti kamu sekarang? Mengira untuk menemuimu?"

Untuk sedetik kemudian, aku sadar bahwa baru saja kukeluarkan suara kekecewaan dan isyarat hati yang sakit. Buru-buru kutambahkan agar Virgo tidak salah tanggap. "Mamaku dirawat di sini. Dia sudah lama jadi pasien di Rs. Lovelette. Maaf kalau kemunculanku di sini membuatmu terganggu."

Aku mengangkat dagu tinggi-tinggi. Seolah-olah dengan itu bisa melindungi harga diri yang terluka.

"Mama kamu ... dirawat di sini? Sakit apa?"

Aku terkejut dan mengartikan kata-kata dokter saraf itu sebagai ungkapan kekhawatiran. "Terima kasih atas perhatiannya. Aku harus segera menemui mama."

Tanpa menunggu, aku memilih untuk segera meninggalkan lelaki itu. Terlalu lama di sana hanya akan menunjukkan bahwa ada secuil rasa yang mulai menggerogoti hatiku. Sebelum semakin parah, aku harus menghindarinya.

Bukankah dia juga sudah tidak menyukaiku lagi? Tidak banyak yang bisa diharapkan dari pria seperti itu. Pria seperti papa yang kuhormati.

Bayangkan saja. Jika papa memilih pergi setelah tahu penyakitku, apa yang bisa kuharapkan dari laki-lai lain yang mengaku mencintaiku seperti Edo ataupun Virgo?

Edo selalu mengatakan betapa ia bersedia bersamaku meski telah tahu bahwa aku menderita buta wajah. akan tetapi, aku tahu alasan sebenarnya adalah rasa bersalah saat dulu kami satu sekolah SMA.

Gara-gara Edo, aku dijauhi dan menjadi bulan-bulanan yang lainnya. Edolah yang membuat teman-teman sekolahku tahu penyakitku secara tidak sengaja hanya karena ingin mendapatkan perhatianku.

Lalu, teman-temanku mulai menyebarkan rumor alasan papa pergi karena tidak sudi memiliki anak buta wajah. Entah bagaimana, akupun percaya pada alasan itu. Rasa marahku pada Edo membuat laki-laki itu merasa bersalah dan memilih untuk selalu berada di sisiku.

Dia bahkan memilih untuk bekerja di Bon Appetit daripada menerima tawaran di hotel milik keluarga Adrien.  Namun, itu tidak bisa membuatku percaya bahwa Edo cukup tulus mencintaiku. Bayangkan bagaimana dengan Virgo yang baru kukenal beberapa minggu?

Sudah pasti, tidak mungkin dia berbeda. Dia jatuh cinta pada pandangan pertama? Itu cinta versinya? Kamu percaya, Vonne? Kamu percaya cinta pada pandangan pertama? Lalu, bagaimana kamu bisa bilang sudah jatuh hati juga padanya sementara jelas-jelas kamu tidak bisa mengenali wajah laki-laki itu!

Lihatlah laki-laki itu. Mundur begitu tahu kamu punya kekurangan, Vonne.

Aku menghentakkan kaki begitu pintu lift terbuka.

Buang jauh-jauh rasa kecewamu, Vonne. Virgo hanya main-main selama ini! Jangan jatuh dalam perangkapnya lagi.

Dia hanya orang asing yang singgah sebentar untuk melihat apa kamu cukup worth it untuk dicintai dan diperjuangkan.

"Hai, Vonne. Kenapa kamu terlihat sangat kesal? Ada yang menganggu?" Aku menoleh dan mendapati seorang wanita bertubuh sedikit gemuk dan berpakaian perawat berdiri di bagian paling belakang.

Kubaca nama yang tertera. "Hai, Suster Nina." Dia adalah perawat yang menangani mama, perawat poli bedah.

"Aku hanya kesal karena terlalu lama mengantri makanan." Aku berbohong.

"Kamu belum makan siang? Aduh, nanti sakit, lho."

Aku hanya tersenyum menanggapi kekhawatian perawat senior itu. Seingatku, dia sudah lama bekerja di sini. Dulu, perawat Nina sering ke Bon Appetit saat masih jadi toko kue biasa. Kalau tidak salah, dokter di tempat polinya merupakan pelanggan tetap mama. Hm, siapa yah namanya? Mama sering menyebutnya. Aku juga beberapa kali mengantarkan pesanan ke ruangannya.

Ah, dokter Ana.

Kabarnya, dokter itu meninggal karena kecelakaan. Perawat Nina masih sering mengunjungi toko kue mama sambil bercerita betapa ia merindukan dokter itu. Kalau tidak salah, dokter Anna punya anak. Aku lupa nama anaknya. Itu sudah terlalu lama. Entahlah, mungkin sepuluh atau lima belas tahun yang lalu. Aku mendengarnya saat pulang dari perawatan terapi begitu tahu menderita prosopagnosia.

"Kamu pasti cemas memikirkan operasi mama kamu, ya? Semoga operasi Madame Risma berjalan lancar, ya. Dokter Galen itu dokter yang bagus, kok. Kamu nggak perlu cemas."

Perawat Nina sering memperlakukanku seperti masih kecil dulu. Lagi-lagi aku hanya mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih, Suster."

"Tapi ngomong-ngomong, kamu kenal Dokter Virgo, ya? Saya lihat kalian mengobrol di bawah."

Aku sedikit menghela napas. "Hanya menyapa saja, kok. Dia pernah ... jadi pelanggan di Bon Appetit."

Tenggorokanku tercekat.

"Oh ya? Ternyata, meski beda generasi, tetap saja yah penyuka roti-roti Prancis. Seperti ibunya dulu," celetuk Perawat Nina.

Pintu lift terbuka. Perawat Nina berbasa-basi kembali mengucapkan kata-kata penyemangat untuk kesembuhan mama. Begitu pintu kembali tertutup, benakku memroses kata-kata perawat itu.

"Ibu Virgo pernah jadi pelanggan kami?"

Sepertinya Virgo memang pernah mengatakannya, tetapi aku hanya menganggap itu sebagai trik murahan untuk mendekati seseorang.

"Ternyata dia nggak bohong. Tapi ... yang mana? Aku mengenal semua pelanggan mama. Kenapa dia nggak pernah datang bersama ibunya kalau memang benar? Ah, benar. Kalau nggak salah, dia pernah cerita kalai ibunya sudah meninggal."

Entah mengapa, aku merasa sudah mengenal Virgo hanya dari kalimat singkat perawat Nina tadi. Pada kenyataannya, aku sadar bahwa kami hanyalah dua orang asing yang kehidupannya pernah nyaris beririsan. Dan sekarang, aku dan Virgo kembali menjadi orang asing. Dia sudah punya seseorang lainnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top